A Barbaric Proposal Chapter 9
- Crystal Zee
- May 19
- 7 min read
Updated: 2 days ago
~Kesalahpahaman Black~
[Liene] “…Apa?”
Mata Black jernih karena demam telah mereda menelusuri pupilnya dan area bawah tubuhnya. Mengikuti pandangan Black, Liene tanpa sadar menundukkan kepala, dan bibirnya terasa hangat.
Apakah karena pakaiannya kedodoran?
Ia tahu pakaiannya tidak terlalu pas di badan. Tapi ia pikir seharusnya tidak sampai membuat orang terang-terangan menunjukkan ketidaknyamanan seperti ini.
…Dia tidak terlihat seperti orang yang peduli dengan pakaian orang lain.
Lagipula, dia sendiri… bahkan tidak mengenakan kemejanya dengan benar. Black justru mengenakan pakaian yang membuat orang lain cemas. Mungkin karena cedera bahunya, tapi kemejanya hanya tersampir di satu sisi, tanpa dikancing.
[Liene] “Mohon dimaklumi jika pakaian yang tidak pas ini agak mengganggu. Aku sudah lama tidak memakai baju berkabung, sepertinya ukuran tubuhku sudah berubah. Seperti yang kau tahu, pemakaman akan segera dimulai, jadi tidak ada waktu untuk membuat baju baru.” Liene berusaha menghindari tatapan Black, menarik nampan sekali lagi.
[Liene] “Bagaimana kalau kita masuk? Lenganmu pasti masih sakit, aku akan membantumu makan.”
[Black] “…”
Black mengerutkan alisnya sejenak. Tapi kemudian ia mengalah.
[Black] “Masuklah.”
[Liene] “Baik.”
Liene masuk ke kamar tidur Black, berdampingan dengannya dalam posisi canggung—ia tidak sepenuhnya memegang nampan, dan Black tidak menyerahkan nampan seutuhnya.
[Fermos] “Tidak, Tuan Putri! Apakah hanya baju itu yang Anda miliki?”
Bukan hanya Black, tapi Fermos dan bawahan lainnya sudah datang untuk melayani di pagi hari. Entah pantas atau tidak disebut ‘melayani’ untuk orang barbar, tapi begitulah yang terlihat. Para bawahan membawakan air untuk mandi dan pakaian ganti.
Melihat mereka masuk berdampingan, seolah berbagi satu nampan, Fermos yang sedang duduk langsung berdiri. Liene sempat bertanya-tanya mengapa Black repot-repot membuka pintu sendiri ketika bawahannya ada di sana.
[Fermos] “Meskipun tidak sopan, saya benar-benar harus bertanya. Apakah Anda harus mengenakan pakaian itu?
Setelah Black, kini Fermos yang mengomentari baju berkabungnya, membuat Liene sedikit kesal.
…Apakah terlihat seburuk itu?
Tapi mengomentarinya terang-terangan… sungguh sangat kasar.
Liene tanpa sadar mengerutkan kening.
[Liene] “Pakaian ini untuk menjalankan tradisi. Di Nauk, kami mengenakan pakaian hitam hingga pemakaman selesai.”
[Fermos] “Apa? Selama tiga hari lagi, Anda harus memakai pakaian itu?” Fermos berkata lagi, bahkan sampai mengangkat kacamata berlensa tunggalnya.
Rasanya aneh kalau ia begitu peduli hanya karena pakaian ini sedikit kedodoran.
[Liene] “Apakah ada masalah dengan baju berkabungku?”
[Fermos] “Itu…” Fermos tidak bisa melanjutkan kata-katanya dan melirik Black.
[Fermos] “Tuanku…”
Black tidak akan mengamati hal-hal kecil, kan? Alasan Fermos melirik Black sudah jelas. Sungguh disayangkan, Putri Liene dalam gaun hitam terlihat terlalu menonjol. Di matanya saja ia terlihat luar biasa cantik, apalagi di mata Tuannya? Ia sangat khawatir. Jika saja Putri Liene hanya sekadar wanita cantik biasa, ia tidak akan khawatir berlebihan.
Tapi ia sadar ada sesuatu yang menghubungkan wanita itu dengan masa lalu Black. Sesuatu yang tidak bisa ia abaikan begitu saja. Wanita ini istimewa bagi Black. Masalahnya ia tidak tahu apa artinya itu. Bahkan mungkin Black sendiri tidak tahu.
Satu hal yang pasti, ia tidak ingin melihat Tuannya kehilangan akal sehat karena seorang wanita. Apalagi jika wanita itu adalah putri dari kerajaan yang di ambang kehancuran. Tak perlu banyak bicara lagi.
[Black] “Diamlah.”
Tapi mungkin sudah terlambat. Black menatap Fermos, melewati kepala Liene. Mata yang berkilat seperti dilapisi minyak menandakan suasana hati Black sedang buruk.
[Black] “Jika pakaian itu menjadi masalah, maka kau saja yang jangan melihat. Keluar, atau pejamkan matamu.”
[Fermos] “T—tidak… Maafkan saya. Saya telah bersikap tidak sopan. Mohon maafkan saya, Tuan Putri.”
Fermos yang cerdas buru-buru mengundurkan diri. Meskipun begitu, kekhawatiran di hatinya tak kunjung reda. Tidak seharusnya begini… Komandan Ksatria Keluarga Arsak masih hidup. Putri Liene juga tahu itu.
Pada saat ini, tidak baik bagi Black untuk tertarik pada Liene.
[Fermos] “Kami berharap pemakaman ini selesai secepat mungkin.” Fermos menggumamkan itu dengan nada tak yakin.
“Keluar.” Kata Black. Sepertinya ia terganggu oleh gumaman Fermos.
[Fermos] “…Tidak… Saya tidak bisa—… Dimengerti.”
Fermos hendak mengatakan bahwa ia ingin tetap tinggal dan mengawasi, tetapi ia memaksakan diri menahannya dan menundukkan kepala. Tuannya bukanlah tipe yang akan bertanya alasannya jika ia bersikap mencurigakan.
Haa… Apa yang harus kulakukan.
Tidak ada pilihan lain. Seperti yang dikatakan Tuannya, ia perlu mengetahui apa yang sebenarnya yang akan dilalukan oleh Putri Liene. Sesegera mungkin.
[Fermos] “Saya titipkan Tuanku pada Anda, Tuan Putri.”
Fermos memimpin pasukan bayaran lainnya, yang peka akan situasi untuk segera keluar ruangan.
Hanya mereka berdua yang tersisa. Kebetulan sekali, mereka berada di ruang yang sama tempat ciuman yang terasa bagai demam terjadi tadi malam.
Jika bukan karena Fermos, Liene pasti sudah merasa sangat tidak nyaman, ingatan tadi malam kembali menghantuinya.
…Apakah pakaianku seaneh itu?
Tapi syukurlah, pikirannya sibuk dengan hal lain. Dua orang berturut-turut berkomentar tentang pakaiannya membuat ia benar-benar cemas. Ia merasa pakaiannya pasti terlihat sangat buruk.
Haruskah aku menambah berat badan?
Saat pikiran itu terlintas, Liene merasa wajahnya memerah karena malu.
…Gila. Untuk apa menambah berat badan?
Apakah aku ingin terlihat menarik di mata pria ini?
[Black] “Apa yang kau pikirkan?”
Suara Black mendadak masuk, memecah lamunannya.
[Liene] “...Bukan apa-apa.”
Liene berusaha mengusir pikiran yang ia sendiri tidak mengerti dari kepalanya. Pikiran untuk terlihat menarik di mata pria ini terasa aneh. Pria itu adalah orang yang telah menghancurkan kedamaian Nauk. Meskipun kedamaian pun tak lama lagi akan layu.
[Liene] “Apakah kau ingin sarapan dulu? Atau merawat luka dulu?”
[Black] “Tidak masalah, tapi jika harus memilih, aku ingin perban ini diganti dulu.”
[Liene] “Baiklah, kalau begitu.”
Sebelum Liene memintanya, Black sudah menurunkan kemejanya yang tersampir. Lalu tubuh yang memesona terpampang jelas. Biasanya, melihat luka di kulit seseorang akan mengingatkan pada rasa sakit atau kisah di baliknya. Tetapi luka-luka di tubuh pria itu… justru membuat Liene merasa pusing.
…Mungkin karena wajahnya.
Ya, karena wajahnya membuat segalanya terlihat seperti hiasan. Warna mata yang aneh, yang lebih menyerupai binatang buas daripada manusia, ekspresi tanpa emosi seperti patung batu, dan tubuh yang gagah—ketika semua itu berpadu dengan wajahnya, semuanya menjadi terlihat indah.

[Liene] “Aku akan melepas perbannya. …Ah, tapi?”
Ketika ia menyingkirkan pikiran dan kegelisahan yang tidak perlu dan menyentuh perban Black. Liene merasa perbannya terlalu bersih. Seperti baru saja diganti.
[Black] “Tapi?” Black mengulang kata-kata Liene sambil menatapnya.
[Liene] “Sepertinya… aku tidak perlu mengganti perbanmu. Apakah kau sudah mengoleskan obat…?”
[Black] “Tetap harus ganti.” Black buru-buru memotong ucapan Liene.
[Black] “Kecuali… kau tidak mau lagi untuk menyentuhku.”
[Liene] “…Baiklah.”
Kata ‘lagi’ terdengar aneh, tetapi Liene diam saja dan melepaskan perbannya.
Kalau dipikir-pikir, ia memang tidak membenci pria itu. Barusan, ketika dia menyuruh bawahannya memejamkan mata atau keluar karena mengomentari pakaiannya, ia sempat berkhayal kalau pria itu sedang membelanya.
Jika memang benar begitu.
Apakah artinya pria ini tidak melupakan janji yang ia buat kemarin? Apakah ia berniat menepati janjinya dengan sungguh-sungguh?
Kalau begitu…
Aku juga. Aku juga harus menepati janji? Apakah bisa?
Liene melepaskan perban tanpa bicara. Obat baru sudah dioleskan dibalik perban. Memang benar, perbannya sudah diganti pagi ini.
…Aneh.
Aneh bahwa pria itu meminta perban yang jelas-jelas baru diganti untuk diganti lagi. Aneh juga bahwa ia sendiri melakukannya meskipun tahu itu tidak perlu. Segalanya terasa aneh.
“Karena obat sudah dioleskan, aku tidak perlu melakukannya lagi.”
Lukanya tampak sembuh dengan cepat. Syukurlah.
Liene menutupi luka dengan perban baru, membalutnya dengan hati-hati. Tiba-tiba ia teringat bahwa kekasihnya pernah terluka di tempat yang sama. Bagaimana kejadiannya saat itu…?
Saat itu, ia merawat luka kekasihnya.
…Ah, benar. Aku yang mengoleskan obat, dan Nyonya Flambard yang membalutnya.
Saat itu, kekasihnya terus memegang erat tangan Liene dan mengusap dahi di jubahnya. Ia berpikir kekasihnya terlihat sangat kekanak-kanakan. Padahal lukanya tidak terlalu besar, tapi dia mengeluh kesakitan. Liene lebih khawatir karena kekasihnya terus memegang tangannya daripada khawatir pada lukanya.
Sampai kapan dia akan memegangku? Aku punya banyak pekerjaan.
Ia harus menahan diri berkali-kali untuk tidak memintanya melepaskan tangan.
[Black] “…Apakah sudah dipastikan?”
Karena terlalu larut dalam pikiran, Liene melewatkan suara Black.
[Liene] “…Ya? Apa katamu tadi?”
[Black] “Aku bertanya apakah jasadnya sudah dipastikan.”
Berbeda dengan kekasihnya, Black tidak mendramatisir rasa sakit. Namun ada satu kesamaan. Seperti kekasihnya yang menahan Liene dengan tangan, Black menahan Liene dengan tatapan.
Dan Liene merasakan sensasi yang benar-benar berbeda dari sebelumnya. Ia tidak sempat berpikir kapan ia akan memintanya melepaskan tatapan Black.
Ia hanya merasa… seolah terikat kuat.
“Ah, ya… seperti yang sudah kau dengar. Ya, aku pergi ke kapel. Sepertinya… mengucapkan selamat tinggal dengan benar adalah hal yang pantas.” Sangat sulit mengucapkan kebohongan di hadapan mata pria yang terlalu jernih.
[Black] “Jadi, apakah perpisahannya sudah selesai?”
Bahkan saat ini pun, ia merasa Black sedang melihat kebohongannya dengan mata jernihnya. Liene tanpa sadar menelan ludah.
[Liene] “Ya…”
[Black] “Syukurlah.” Suaranya terdengar kering, tanpa emosi.
[Black] “Kalau begitu, sekarang tinggal menunggu Tuan Putri menepati janji.”
[Liene] “…”
Black perlahan mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Liene. Mata Liene mengikuti gerakan tangannya yang lembut, napas Liene terasa dingin dan kulitnya meremang.
[Black] “Aku ingin secepat mungkin… Kapan kira-kira bisa dilakukan?”
Ini… bukan rayuan.
Pria itu sudah tidak demam. Meskipun suhu tubuhnya cenderung tinggi, tangannya tidak sepanas kemarin. Matanya pun begitu. Bukan mata yang berkabut karena demam. Mata pria itu jernih dan dingin laksana air.
[Black] “Aku tidak suka hal yang tidak jelas.”
Terdengar seperti ia tidak suka hal yang tidak murni. Seolah ia tidak berniat mentolerir keraguan, konflik, atau ucapan yang mengambang. Mengikuti sentuhan Black, ekspresi Liene perlahan mengeras.
…Apa yang dikatakan Fermos?
—Apakah pria ini kekasih Sang Putri?
Ia yakin Fermos berkata begitu, dengan sedikit nada curiga.
—Jika ucapan Anda tulus, kami sangat menghargainya.
Fermos sengaja menekankan kata ‘tulus’ terasa aneh. Seolah ia tahu bahwa ia tidak tulus.
Mereka tahu. Bahwa jasad itu bukan Komandan Ksatria Arsak.
Black, tanpa penekanan, membelai kulitnya.
[Black] “Dan Aku… tidak suka menunggu.”
[Liene] “…”
[Black] “Aku harap kau tidak membuatku menunggu terlalu lama.”
Black sedang memberi peringatan. Ia tahu perpisahan itu palsu, jadi Liene harus menjadikannya nyata.
[Liene] “Aku…”
Ketegangan membuat bulu matanya bergetar. Sangat sulit berbohong di hadapan seseorang yang tahu kebenarannya.
…Tapi aku harus berbohong.
Jika ia melakukan kesalahan, fakta bahwa kekasihnya hidup akan terbongkar. Keluarga Kleinfelter akan mati-matian melindungi pewaris mereka, dan Tiwakan akan dengan senang hati mengayunkan pedang untuk membunuhnya. Tidak ada yang tahu siapa yang akan mati oleh pedang itu.
[Liene] “Aku… sedang berusaha.”
Liene meletakkan tangannya di atas tangan Black yang memegang pipinya.
Black memandang tangan mereka yang bersatu tanpa bicara.
[Liene] “Aku juga tidak suka hal yang tidak jelas.”
Ia harus mengambil keputusan. Liene menimbang kekasihnya dan keluarganya melawan Tiwakan dan pemimpin mereka. Beban yang tadinya terasa seimbang, anehnya, mudah sekali miring ke satu sisi.
Keluarga Kleinfelter tidak mampu melawan Tiwakan. Memilih kekasihnya berarti ia pun akan bertarung dalam pertempuran yang pasti kalah.
Aku tidak bisa.
Apa yang kumiliki… hanya akan membawa Nauk pada kehancuran.
Tangan yang harus ia genggam adalah tangan ini. Ia menambah tekanan pada tangannya yang bertumpu di tangan Black.
[Liene] “Aku… akan melupakan masa lalu.”
Liene bangkit, tangan mereka masih bertaut. Pandangan Black, yang duduk di ranjang, mendongak ke atas. Liene mengarahkan pandangannya pada bibir yang terangkat ke arahnya.
[Liene] “Sesuai janji.”
Liene memejamkan mata, dan menundukkan kepala.
Seketika, bibir mereka bersentuhan. Liene, seperti yang Black lakukan kemarin, merangkul kepala pria itu dan menarik bibirnya, menghisapnya.
Comments