A Barbaric Proposal Chapter 8
- Crystal Zee
- May 19
- 7 min read
Updated: 2 days ago
~Kematian Palsu~
Jalan keluar dari kapel sunyi, sama seperti saat Liene masuk. Sepertinya dia tidak akan berpapasan dengan tim pencari Tiwakan. Sungguh melegakan.
Liene menarik napas panjang setelah agak jauh dari kapel. Bulan bersinar redup malam ini. Ini pertama kalinya dia merasa bersyukur karena langit tidak begitu terang.
"Kita harus bergegas," ucap Liene, tiba-tiba menghentikan langkah dan menarik sedikit pakaian Weroz.
Weroz menoleh. "Apa maksud Yang Mulia?"
[Liene] "Perihal menghubungi keluarga mendiang."
[Weroz] "Tentu saja, Yang Mulia. Keluarga mendiang... Ah."
Perkataan yang sengaja diucapkan berputar-putar, yang hanya dipahami oleh mereka berdua, bermakna bahwa mereka harus segera mencari kekasihnya dan memastikan kontak terjalin secepat mungkin. Tidak akan sulit menemukannya. Keluarga Kleinfelter pasti menyembunyikan kekasihnya.
Weroz pun mengerti bahwa yang dimaksud dengan "keluarga mendiang" adalah Kleinfelter. "Baik, Yang Mulia. Saya rasa itu memang hal yang paling mendesak."
[Liene] "Sampaikan pada mereka bahwa aku ingin berunding mengenai pengaturan pemakaman. Katakan aku ingin berbicara langsung jika memungkinkan."
[Weroz] "Akan saya sampaikan, Yang Mulia."
Setelah percakapan yang maknanya hanya dipahami oleh mereka berdua selesai, langkah yang sempat terhenti pun dipercepat.
Namun, dugaan Liene salah. Fermos tahu jauh lebih banyak dari yang dia kira.
[Fermos] "Kita ditipu."
Fermos datang mengunjungi Black saat orang lain terlelap. Keduanya, yang sebenarnya berada di tengah wilayah musuh, tampak santai seolah berada di markas sendiri.
[Fermos] "Yang meninggal adalah Atil Tende, Kapten Ksatria Arsak. Tapi kemampuan pedangnya sangat buruk untuk ukuran kapten. Dan helm serta zirahnya tidak serasi. Seolah dia buru-buru mengganti helm dan berpura-pura menjadi Komandan Ksatria."
[Black] "..."
[Fermos] "Tentu saja, Anda sudah tahu semuanya, bukan?"
Black tidak menjawab, hanya mengernyitkan alisnya. Saat demamnya mulai mereda, rasa sakit dari lukanya justru lebih terasa.
[Fermos] "Hmm. Kalau begitu, masalahnya adalah sejauh mana Tuan Putri terlibat. Apakah dari awal? dari Atil Tende? ... mari kita lihat. Mungkin Tuan Putri berpikir kekasihnya memang meninggal sampai ia melihat jenazah itu."
[Fermos] "Tapi walau sang kekasih tidak meninggal sekalipun, bukankah dia sama saja sudah mati? Melarikan diri setelah melemparkan bawahannya ke dalam bahaya demi menyelamatkan diri... Ah, begitu."
Fermos menepuk dahinya, seolah teringat sesuatu. "Dia mungkin menyusup masuk. Ke dalam Nauk."
Dia mengira semua jalur keluar masuk telah diblokir saat mengepung kastil, tetapi pasti ada jalan masuk bagi tikus kecil untuk menyusup.
[Fermos] "Sepertinya dia pria yang sangat bodoh. Seharusnya dia melarikan diri dan menyelamatkan nyawanya saat Kerajaan Sharka menolak memberikan bantuan."
Fakta bahwa Komandan Ksatria Keluarga Arsark meminta bantuan pada Kerajaan Sharka sudah diketahui oleh mereka. Mereka juga sudah menduga Nauk akan melakukannya, dan Kerajaan Sharka akan menolak. Hanya saja mereka tidak menduga Komandan Ksatria Arsak sebodoh ini.
Fermos berdecak lidah. "Apa yang dia harapkan bisa ia lakukan sendirian...? Semuanya sudah berakhir saat Nauk membuka gerbang benteng dengan tangannya sendiri."
Black membuka mulutnya, wajahnya mengernyit. "Mungkin baginya hanya Nauk yang berakhir."
[Fermos] "Ya? Apa maksud Anda?"
[Black] "Dia mungkin berpikir hubungannya dengan Tuan Putri belum berakhir."
[Fermos] "Itu... Hmmph."
Fermos menunjukkan ekspresi yang sangat tidak senang.
[Fermos] "Jadi, maksud Anda Komandan Ksatria Arsak berniat melarikan diri bersama Putri Liene di tengah malam? Tidak mungkin bangsawan waras memikirkan hal seperti itu, kecuali dia sudah gila. Terlebih lagi, Putri Liene tidak akan mudah dibujuk. Rasa tanggung jawabnya terhadap Nauk luar biasa, bukan? Itulah alasan dia menerima lamaran Anda."
[Black] "Tidak ada yang melarang bangwasan menjadi gila."
Ekspresi Fermos berubah setelah terdiam sejenak, berpikir.
[Fermos] "Memang... ya, begitulah. Bagiku, permainan cinta tidak ada gunanya, tapi selalu ada orang yang mempertaruhkan nyawa untuk cinta, aku tidak bisa memahaminya."
Fermos dengan sengaja memainkan monokelnya.
[Fermos] "Ngomong-ngomong, ini jadi merepotkan. Dia punya pengaruh di Nauk, jadi sulit untuk menyelesaikannya tanpa keributan... Ah, apakah pembunuhan kemarin sore juga perbuatannya? Apakah Anda sempat melihat wajahnya? Kira-kira tinggi badannya, atau warna rambutnya?"
[Black] "Tidak terlalu dekat." Black mengingat kembali kejadian di taman kemaren sore.
Panah itu ditembakkan dari jarak yang cukup jauh. Saat dia mendengar suara, semuanya sudah terlambat.
[Fermos] "Berarti dia cukup mahir memanah. Komandan Ksatria Arsark juga dikatakan mahir memanah, jadi kita harus menganggap mereka orang yang sama. Tapi... Ah, tapi Anda yang terkena panah?" Suara Fermos melonjak dengan nada lucu. "Anda sengaja terkena panah itu, kan? Saya benar, bukan?"
[Black] "..."
Black menghindar untuk menjawab. Itulah jawabannya.
[Fermos] "Tidak, sungguh! Anda benar-benar melakukannya? Anda tidak tahu apa yang harus saya hadapi? Tentu, berkat kesediaan Tuanku untuk terluka, pengambilalihan Nauk jadi lebih cepat... Tapi Anda mengambil langkah yang ceroboh."
Black berkata lain, bukan menjawab. "Aku tidak tahu ternyata kekasihnya orang sebodoh itu."
Suara rendah Black membuat bulu kuduk Fermos berdiri. Fermos menggosok tengkuknya sambil menatap Tuannya. Dia tahu alasan bulu kuduknya berdiri sekarang. Karena Black menunjukkan kemarahan.
[Black] "Bisa saja Putri yang terkena panah, bukan aku."
[Fermos] "Begitu..."
Fermos merasa sedikit aneh meskipun sarafnya menegang.
Apa dia marah karena Putri Liene hampir terkena panah...? Apakah begitu? Baru kemarin dia ditanya apakah jatuh cinta pada pandangan pertama dan dia bilang tidak. Apa hatinya sudah berubah secepat itu? ...Tidak, terlalu terburu-buru untuk dipikirkan, bukan? Tidak mungkin. Jika Black menunjukkan minat pada wanita, setidaknya desas-desus mengerikan tentang homoseksualitas Tiwakan tidak akan ada.
...Ya. Dia tidak terpengaruh oleh kecantikan. Dia bersikap begitu karena Putri memiliki nilai guna. Coba pikirkan jika dia terkena panah dan meninggal sebelum menikah. Semuanya akan merepotkan. Tidak, sebenarnya tidak akan merepotkan. Tapi tetap saja.
Dan sialan, orang yang menembakkan panah yang mungkin mengenai Liene bukanlah manusia, melainkan seekor anjing. Tentu saja wajar untuk marah. Wajar jika Tuannya marah pada bajingan seperti itu.
Tapi mengapa dia merasa tidak nyaman?
[Fermos] "Bagaimanapun, Anda harus memperhitungkan pengkhianatan Tuan Putri. Pihak sana sepertinya akan lebih sering menyerang. Apa yang akan Anda lakukan? Bagaimana jika kita membasmi Keluarga Kleinfelter, bukan hanya melakukan pencarian sia-sia? Itu akan lebih cepat dan mudah. Sebelum Komandan Ksatria Arsak mencoba menghubungi Putri lagi."
[Black] "..."
Sebenarnya, pikirannya yang lambat. Dia tahu perkataan Fermos benar. Jika ini perang, maka dia harus menang, tentu saja dia akan melakukannya.
Tapi yang ingin dilakukannya bukanlah perang, melainkan pernikahan.
-Berjanjilah kau tidak akan menghancurkan atau melenyapkan Nauk
Black berjanji seperti itu. Bukan karena demam atau alasan lain, tapi karena dia memang ingin melakukannya.
-Dan aku pun akan berusaha dengan segenap hati untuk merindukan dan menginginkan Lord Tiwakan.
Apakah itu kebohongan? Atau apakah menjadi kebohongan saat dia mengetahui kekasihnya masih hidup? Black harus segera mengetahuinya
[Black] "Tidak. Biarkan saja."
[Fermos] "Baiklah. Tapi apakah Anda yakin?"
[Black] "Akan terungkap orang seperti apa Tuan Putri. Apakah pernikahan ini layak dipertahankan, atau sebaliknya."
[Fermos] "Hmm..."
Fermos merasakan hal yang sama. Bahwa Dewa Tiwakan tampaknya tidak berniat berperang melawan Nauk.
[Fermos] "Aku akan tetap mengawasinya. Tuan Putri akan segera mengambil tindakan setelah mengetahui kebenaran mengenai jasad itu"
[Black] "Pastikan dia tidak menyadarinya."
[Fermos] "Baiklah."
Fermos, setelah menyelesaikan urusannya, meninggalkan ruangan dengan wajah tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
Fakta bahwa Laffit Kleinfelter menyusup ke dalam Nauk memang tak terduga, tetapi itu bukan masalah besar. Bagi pasukan bayaran yang telah berperang selama sepuluh tahun, ancaman seperti itu tidak ada artinya. Namun, Black kesal karena hal lain.
[Black] "...Seharusnya kubunuh saja dia," gumaman yang bercampur dengan rasa sakit yang semakin tajam dan halus keluar dari bibirnya.
Kekasih Liene bukanlah ancaman baginya, tapi memikirkan lelaki itu membuatnya sangat kesal
[Black] "Sialan." Black menggosok alisnya dengan kasar.
Sebelum berciuman, keberadaan Liene membuatnya kesal. Setelah berciuman, kini kekasihnya yang membuatnya kesal. Black belum tahu apa yang membuatnya kesal kali ini.
Matahari terbit setelah Liene hampir tidak tidur semalaman. Liene bangun dari tempat tidur seperti biasa, mencuci muka, dan berpakaian. Dia bisa melihat sendiri wajahnya yang tidak terlihat baik.
"Banyak yang harus dilakukan. Jangan sampai sakit!," gumam wanita yang terlihat sangat pucat di cermin. Matanya tampak cekung, entah karena berat badannya turun. "Kalau begini terus, hanya tinggal beberapa potong pakaian yang bisa kupakai."
Liene tertawa kecil membayangkan pakaiannya yang kini longgar dan melorot. "Pasti akan terlihat aneh."
Jika begitu, mungkinkah karena tak punya baju yang pantas, pria itu tidak lagi menginginkannya?
"...Omong kosong apa ini. Sejak awal, dia tidak jatuh cinta karena aku terlihat cantik."
Liene menghentikan pikirannya di situ dan menutup cermin. Masalah yang mengganggunya semalam suntuk masih ada, tetapi harus ditunda sampai dia berhasil menghubungi kekasihnya.
"Hari ini... Ah, aku harus memakai pakaian berkabung. Persiapan pemakaman akan segera dimulai."
Karena jenazah telah kembali, dia harus memakai pakaian hitam sebagai tanda duka. Pemakaman di Nauk berlangsung selama tiga hari, dan tradisi melepas pakaian berkabung pada tengah malam di hari terakhir pemakaman.
Liene mencari pakaian hitam tanpa meminta bantuan Nyonya Flambard. Dia tidak bisa memikirkan hal lain saat berpakaian, tetapi warna hitam bukanlah pilihan yang baik. Kulitnya yang putih terlihat halus seperti marmer berlawanan dengan kain hitam. Pakaian yang agak longgar tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya, justru menonjolkannya. Kain yang tipis dan lembut melilit kulitnya seperti mengalir setiap kali dia bergerak. Dengan pakaian hitam, Liene terlihat memancarkan aura rapuh namun menggoda lebih cantik dari biasanya.
Sekali lagi, pakaian itu bukan pilihan bagus, bahkan lebih buruk karena Liene sama sekali tidak menyadarinya.

Liene membawa sarapan, pereda nyeri, dan perban baru ke kamar tidur Black. Pakaiannya yang longgar terus saja melilit pergelangan kaki. Sejak mengetahui bahwa kekasihnya masih hidup, dia tidak yakin bisa menghadapi Black dengan tenang. Dia masih belum membuat pilihan, dan dia tidak bisa melupakan ciuman yang bagai panas bagai demam.
...aku yakin Black juga tidak melupakannya.
Hal yang paling menakutkan adalah Black pasti tidak berubah, tetap dingin seperti biasanya meski mereka sudah berjanji untuk saling menginginkan.
Lalu... bagaimana aku harus menghadapinya? Dia takut black masih bergairah seperti kemarin.
"Hahh." Tapi seberapa banyak pun dia menghela napas, tidak ada yang akan berubah.
Ketuk, ketuk. Liene perlahan mengetuk pintu.
[Liene] "Selamat pagi. Apakah kau sudah bangun?"
Liene mendengarkan sejenak, tetapi tidak ada jawaban. Dia masih tidur, sepertinya. ...Syukurlah. Liene membungkuk, berniat meletakkan barang-barang di tangannya di depan pintu dan berbalik.
Gedebuk. Suara terdengar dan pintu terbuka tiba-tiba.
[Liene] "Ah..."
Jantungnya hampir copot. Orang yang membuka pintu adalah Black.
[Black] "Apa aku mengejutkanmu?"
[Liene] "Tidak, oh..."
[Black] "Syukurlah. Biar aku yang membawa nampannya."
Awalnya, Liene tidak tahu apa yang salah. Black berdiri dengan tegak di kedua kakinya dan dengan alami mengambil nampan besar yang dipegang Liene dengan kedua lengannya. Jika tidak ada perban yang melilit di salah satu bahunya, Liene mungkin hanya akan melamun tanpa sadar.
"Apa yang kau lakukan!" Liene terkejut dan buru-buru merebut kembali nampan itu. "Cepat lepaskan. Bahumu masih terluka."
[Black] "Sudah tidak apa-apa. Nampanya tidak berat."
[Liene] "Buka itu masalahnya..."
Sekuat apapun Liene menariknya, nampan itu tidak bergerak.
[Liene] "Kau terluka."
Liene memegang nampan itu sambil menatap Black. Untuk bertatapan mata, dia harus mendongak. Ternyata Black berada sangat dekat dengannya.
[Black] "Apakah lukaku membuatmu khawatir?" Suaranya terdengar sangat dekat.
[Liene] "...Ya."
Bibir Black bergerak samar. Tampak seperti desahan, atau gumaman untuk dirinya sendiri.
[Black] "Aku juga khawatir."
[Liene] "Tapi aku tidak terluka."
[Black] "Bukan karena luka, tapi karena pakaianmu."
留言