A Barbaric Proposal Chapter 10
- Crystal Zee
- May 19
- 6 min read
Updated: 2 days ago
~Pertemuan Berbahaya (1)~
Ketika bibir mereka akhirnya berpisah, Liene terengah-engah mencari udara. Bibirnya terasa perih dan bengkak. Bibir pria itu basah dan berkilauan, begitu pula bibirnya.
“Aku tidak mengharapkan ini,” gumam Black, hanya menyisakan jarak yang cukup bagi bibir mereka untuk berbicara.
[Black] “Tapi… tidak masalah. Termasuk gaun ini."
Lengan yang katanya terluka melingkar erat di pinggang Liene. Liene merasakan bahaya yang memabukkan sekaligus rasa aman yang sekokoh batu.

[Liene] “Sepertinya kau bisa melepaskanku sekarang.”
Liene mendorong bahu Black. Ia ingin terlihat tenang, tetapi rasanya sulit sekali dilakukan di hadapan pria ini. Jika kakinya semakin lemas, Liene akan langsung ambruk ke pangkuannya.
“Aku akan pergi…” Liene menghentikan kata-katanya. Ia melihat Black mengerutkan kening.
[Liene] “Ah, maaf.”
Ia baru sadar tangannya mendorong bahu yang terluka. Liene buru-buru menarik tangannya.
[Liene] “Aku… tidak sadar… Kau baik-baik saja?”
[Black] “Aku baik-baik saja.” Meskipun jawabannya lugas, alisnya semakin berkerut.
[Liene] “Kau tidak baik-baik saja.”
Liene perlahan membelai area yang tadi ia dorong, seolah menenangkan luka itu. Tidak ada darah yang merembes di perban. Sepertinya lukanya tidak terbuka.
[Liene] “Lain kali, tolong beri tanda kalau kau merasa kesakitan.”
[Black] “Aku tidak merasa sakit. …Aku juga tidak sadar.”
Bibirnya merah dan hangat, sama seperti kemarin. Entah mengapa, Liene berpikir bibir yang kemerahan lebih cocok untuk pria ini. Ia merasa Black terlihat lebih mempesona saat panas. Ia berharap pria ini akan terlihat sepanas itu saat melihatnya.
…Omong kosong apa yang kupikirkan.
Liene memalingkan wajahnya, takut akan pikirannya sendiri.
[Liene] “Aku harus pergi sekarang.”
Ada hal yang harus ia lakukan. Ia harus menghentikan kekasihnya sebelum kepulangannya diketahui dan memicu perang.
[Liene] “Kau bilang tidak merasa sakit, jadi sepertinya kau tidak butuh bantuanku.”
Seketika, ekspresi Black berubah sedikit, tampak geli (Liene memalingkan wajah dan tidak melihatnya).
[Liene] “Semoga cepat pulih, Lord Tiwakan.”
Liene pergi tanpa menunggu jawabannya. Setelah menutup pintu kamar, ia baru sadar lupa membawa perban dan obat tadi. Tapi sudah terlambat.
Sudah terlambat. Untuk kembali.
Ia menyadari, kekasihnya dan pria ini berbeda. Dengan kekasihnya yang pura-pura kesakitan, ia ingin segera melepaskan tangan. Dengan luka pria ini yang tidak membuatnya mengeluh, ia justru merasa terdorong untuk merawatnya.
Pria ini… sudah menjadi tunangannya. Ia tidak bisa melepaskan diri dari kenyataan.
Ada banyak alasan untuk mengunjungi Keluarga Kleinfelter. Pertama, pemimpin keluarga itu secara resmi adalah Tuan Lyndon Kleinfelter, Ketua Dewan Aristokrat Nauk, dan Liene punya puluhan alasan untuk menemuinya, termasuk menyampaikan belasungkawa. Kekasihnya juga seorang Komandan Ksatria Arsak, jadi ia berkewajiban menyampaikan duka cita.
“Meskipun begitu, saya tetap menentangnya, Tuan Putri.” Weroz berkata dengan suara rendah saat Liene bersiap untuk pergi.
[Weroz] “Mengunjungi mereka saat ini… hanya akan menimbulkan kecurigaan.”
“Kalau soal itu, jangan khawatir,” Liene berbalik di depan cermin.
Persiapannya hanya menambahkan hiasan rambut sebagai tanda duka. Ia hanya perlu mengenakan jubah hitam di atas baju berkabungnya. Jubahnya sedang dibawakan oleh Nyonya Flambard.
[Liene] “Mereka… Tiwakan sudah tahu dia tidak meninggal.”
[Weroz] “Apa? Apa maksud Anda…? Benarkah?”
[Liene] “Aku… berfirasat. Sepertinya mereka memeriksa sudah memeriksa jasadnya sebelum dikembalikan.”
Peringatan Black… sebenarnya cukup halus.
[Weroz] “Mereka tidak tahu wajah Tuan Kleinfelter, kan? Mengapa Anda berpikir begitu?”
[Liene] “Entahlah… aku juga tidak yakin, tapi mungkin ada tanda di jasad itu?”
[Weroz] “Tanda apa di jasad…?” Weroz mendadak berubah pucat.
[Weroz] “Mungkinkah… mereka mengenali hiasan di helmnya?”
[Liene] “Apa? Hiasan apa?”
[Weroz] “Jasad yang mengenakan helm Tuan Kleinfelter. Di antara Ksatria Arsak, hanya Tuan Kleinfelter yang mengenakan armor dengan hiasan seperti itu.”
[Liene] “… sangat mungkin.”
Walaupun mereka orang barbar, tapi ketajaman mata mereka sangat mengerikan. Terlebih lagi, pemimpin mereka dan tangan kanannya bukanlah orang bodoh. Mereka bukan sekadar pasukan bayaran brutal yang bertindak sembarangan.
[Liene] “Ya… jika dipikir-pikir, mereka juga irit bicara saat menunjukkan pedang pria itu. Hanya memberi isyarat, bukan perkataan langsung. Mungkin saat itu, mereka sudah tahu bahwa yang mati bukanlah Komandan Ksatria Arsak.”
Fakta bahwa Black datang dengan noda darah di wajahnya… mungkin bukan karena ia barbar yang tidak tahu sopan santun, tetapi ia sengaja.
[Weroz] “Kalau begitu… sampai sejauh mana perhitungan mereka…?”
[Liene] “Sejauh apa pun, mereka melampaui pemikiran kita. Kebohongan tidak akan berguna.”
Itu sebabnya Liene merasa sudah terlambat. Tiwakan sudah masuk ke dalam kastil sebagai tunangannya. Mereka sekarang bukan lagi Tiwakan, tetapi Ksatria Penjaga Arsak.
[Weroz] “Tuan Putri… kalau begitu alasan Anda mengunjungi Keluarga Kleinfelter adalah…”
[Liene] “Untuk menyuruhnya melarikan diri,” kata Liene dengan wajah getir.
[Weroz] “Tuan Putri akan melepaskan Tuan Kleinfelter dan keluarganya?”
[Liene] “Hanya itu jalan satu-satunya agar dia bisa bertahan hidup. Tiwakan selama ini bersikap lunak, tetapi mereka tidak akan membiarkannya hidup. Terlebih lagi, dia… menembakkan panah itu.”
[Weroz] “Kita belum tahu pasti, Tuan Putri.”
[Liene] “Apa bedanya. Yang terpenting adalah seseorang mencoba membunuh Lord Tiwakan. Dia harus bertanggung jawab.”
[Weroz] “Keluarga Kleinfelter tidak akan membiarkannya terjadi.”
[Weroz] “Ya, tentu saja. Dan aku mencoba mencegah buruk terjadi. Apakah Tuan Weroz ingin Keluarga Kleinfelter berperang melawan Tiwakan? Perang yang jelas tidak ada harapan untuk menang?”
“Hm…” Weroz juga pasti sudah memperhitungkan.
Kleinfelter dan Tiwakan tidak bisa hidup berdampingan. Mengingat keunggulan mutlak Tiwakan, keputusan Liene sudah bijaksana.
[Weroz] “Tapi Tuan Putri, jika begitu, Anda tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari tangan barbar itu. Apakah Anda menyadarinya?”
[Liene] “Ya. Aku tau.”
[Weroz] “Meskipun begitu, coba pikirkan kembali. Jika Anda melepaskan Tuan Kleinfelter, Anda benar-benar tidak akan bisa kembali.”
[Liene] “Tidak ada jalan untuk kembali,” kata Liene dengan tegas.
[Liene] “Kau juga sudah tahu kenyataannya.”
[Weroz] “Ya, saya tahu. Tapi, Tuan Putri… Anda yang akan menikah.”
[Liene] “Aku… sudah siap.”
Meskipun sudah siap, kenyataan bahwa pria itu tidak seburuk yang ia kira. Hal yang paling tidak masuk akal dalam pernikahan yang tidak masuk akal ini… adalah Lord Tiwakan.
[Liene] “Ngomong-ngomong, jubahku belum datang. Ada apa dengan Nyonya Flambard?” Liene berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
Tepat pada waktunya, Nyonya Flambard mengetuk pintu dan masuk.
[Nyonya Flambard] “Saya bawakan jubahnya, Tuan Putri… Astaga.”
Nyonya Flambard, yang baru masuk kamar, melihat Liene di depan cermin dan mengerutkan keningnya.
[Nyonya Flambard] “Tuan Putri? Apakah Anda… mengenakan itu sebagai baju berkabung?”
“Ya?” Liene melihat bajunya dengan bingung. “Ya. Hanya ini baju berkabung milikku. Nyonya juga tahu itu.”
“Astaga… Ini… baju itu?” Nyonya Flambard menggelengkan kepala.
[Nyonya Flambard] “Kapan terakhir kali Anda mengenakannya? Kira-kira lima tahun lalu? Ya ampun… betapa berbedanya sekarang. Memang benar, Anda sudah tumbuh besar, jadi tidak bisa dihindari.”
Ini sudah komentar ketiga. Liene merasa bersyukur Weroz tidak mengomentari pakaiannya dengan gamblang.
[Liene] “Aku tidak bertambah besar sebanyak itu. Sepertinya tidak terlihat mengerikan…”
[Nyonya Flambard] “Mengerikan?! Justru kebalikannya yang jadi masalah!”
[Liene] “Apa?” Ia kembali bingung. “Kebalikannya?”
[Nyonya Flambard] “Warna hitam… sangat cocok dengan Tuan Putri, bukan? Dulu, Anda terlihat terlalu cantik karena masih kecil, tapi sekarang... sama sekali tidak terlihat seperti baju berkabung. Berat badan Anda turun, jadi bahu dan dada Anda terlihat begitu jelas. Ini… seperti gaun yang dipakai pada malam pertama pernikahan. Tuan Weroz, apa Anda hanya diam saja di sampingnya?!”
Weroz yang mendadak diserang, bingung, menggelengkan kepala. “Tuan… Tuan Putri memang sangat cantik, jadi saya hanya mengira… seperti itu saja…”
“Ck ck. Memang, apa yang diketahui kesatria ini?” Nyonya Flambard menggelengkan kepala, memarahi Liene.
[Nyonya Flambard] “Bagaimanapun, pakaian itu sama sekali tidak pantas dikenakan saat berkabung. Sebaiknya ganti pakaian lain, Tuan Putri. Saya sangat khawatir, pikiran kasar apa yang mungkin ada di benak para barbar saat melihat Anda seperti ini. Terlebih lagi, pemimpin mereka… terlihat seperti ingin melahap Anda bulat-bulat.”
[Liene] “…”
Wajah Liene sedikit memucat. Nyonya Flambard tidak melewatkannya.
[Nyonya Flambard] “Anda sudah… menemuinya?”
Ya.
[Liene] “Baju ini… tidak memperlihatkan banyak kulit, Nyonya. Bukan masalah besar.”
[Nyonya Flambard] “Ya. Tapi baju ini memperlihatkan lekuk tubuh. Bagi saya, itulah masalahnya.”
[Liene] “…”
Liene terdiam. Ia teringat Black berkata pakaian itu mengganggunya. Fermos terang-terangan bertanya apakah ia harus terus memakainya. Jadi… ternyata itu maksudnya.
Perkataan Nyonya Flambard bahwa baju ini seperti gaun malam pertama pernikahan… adalah versi sopannya. Jika ia berbicara lebih jujur, maka ia akan jauh lebih… gamblang.
…Astaga. Bagaimana jika Black berpikir aku sengaja memakainya?
Ia tahu, ia hanya khawatir berlelebihan, tetapi Liene tidak bisa menghentikan pikirannya.
Liene… yang mulai duluan menciumnya.
Apakah ia akan berpikir kalau ia sengaja mengenakan pakaian yang menggoda dan bertindak menciumnya duluan?… Tidak mungkin.
Liene melepaskan baju berkabung yang tidak terlihat seperti baju berkabung. Pakaiannya akan diperbaiki oleh Nyonya Flambard. Karena ia hanya memiliki satu baju berkabung, Liene terpaksa mengenakan gaun gelap dan mengenakan jubah di atasnya, kemudian berangkat menuju Puri Keluarga Kleinfelter.
Perjalanan Putri pun sederhana. Pengawalnya, seperti biasa, hanya Weroz.
“Aku… melihat orang-orang Tiwakan di mana-mana.” Liene berbisik, memandang sekeliling dari atas kudanya.
Weroz mengangguk. “Mereka masih mencari pelaku penembakan panah itu.”
[Weroz] “…Karena alasan itu, Tiwakan akan mempelajari semua jalan di Nauk dengan menjelajahi setiap sudutnya.”
“Benar.” Liene tersenyum getir.
[Weroz] “Sampai pada titik ini, saya bisa percaya bahwa Lord Tiwakan sengaja terkena panah. Melalui insiden ini, Tiwakan… dengan mudah mengambil alih segalanya di Nauk.”
“Jika pemanah berhasil membuat Lord Tiwakan meninggal… ceritanya akan berbeda,” kata Weroz.
Senyum getir di wajah Liene menghilang. “Ya. Maka semua orang di Nauk akan mati. Atas nama balas dendam.”
Weroz, yang tahu bahwa perkataannya benar, menundukkan kepala alih-alih menjawab. Uban di pelipisnya terlihat semakin banyak.
[Liene] “Syukurlah Lord Tiwakan tidak mati. Dan syukurlah ia memilih cara damai seperti lamaran, alih-alih mengambil Nauk dengan paksa.”
[Weroz] “Putri, … perkataan Anda terlalu… sopan.”
[Liene] “Harus. Lima belas hari, tidak, sekarang berkurang sehari lagi. Setelahnya, pemimpin Tiwakan akan menjadi penguasa Nauk.”
Weroz tahu fakta itu. Tetapi rasanya ia tidak akan pernah terbiasa dengan kenyataan Lord Tiwakan sebagai penguasa Nauk seumur hidupnya.
[Weroz] “Kita sudah sampai.”
Pintu masuk puri megah Keluarga Kleinfelter terlihat. Meskipun tidak lebih tinggi dari Kastil Nauk, dari segi luas, tempat itu jauh lebih besar dan mewah. Jumlah pekerjanya pun jauh lebih banyak dibandingkan Kastil Nauk.
Gedubrak, gedubrak!
“Buka pintunya! Tuan Putri Liene Arsak dari Keluarga Arsak telah tiba!” Weroz mengetuk pintu, mengumumkan kedatangan mereka.
Setelah waktu yang berlalu cukup lama, para pelayan keluar dan membuka pintu.
תגובות