;
top of page

A Barbaric Proposal Chapter 87

  • 5 Sep
  • 7 menit membaca

※Saat Telinga Menjadi Tuli※

[Fermos] "Tentang keluarga Kleinfelter, Tuan. Karena upacara pernikahan sudah selesai, bagaimana jika kita mengosongkan rumah itu? Kami sudah menyita aset yang terlihat, tapi sepertinya mereka menyembunyikan satu atau dua brankas rahasia di suatu tempat."

Bukan tanpa alasan Fermos mendatangi mereka pada jam selarut ini dan melontarkan hal yang tidak perlu.Ā Ada alasan penting di baliknya.

[Black] "Jika kau berkata begitu, berarti kita perlu untuk menggeledah rumah itu."

[Fermos] "Benar, Tuan. Ini hanya dugaan, tapi saya merasa ada yang janggal."

[Liene] "Ada apa?"

[Fermos] "Mereka keluarga yang pada dasarnya sudah musnah. Keturunan langsung mereka tidak akan pernah bisa kembali ke tanah ini. Namun, para pekerja mereka masih ada di sana. Siapa dan bagaimana caranya mengatur para pekerja? Bahkan jika mereka tetap di sana karena kesetiaan, mereka tetap harus makan untuk hidup."

Pekerjaan terbesar setelah pernikahan adalah mengawasi faksi-faksi yang menentang kekuasaan baru. Meskipun keluarga Kleinfelter telah musnah, akar yang mereka tanam selama ini pasti sangat dalam.

Lima keluarga bangsawan yang tersisa sudah terikat oleh perjanjian baru, tetapi jika mereka mengubah pikiran setelah pernikahan, maka akan menjadi masalah besar.

Memimpin dan berperang adalah dua hal yang sangat berbeda, dan Lord Tiwakan berencana melakukan yang pertama.

Dalam hal ini, keberadaan para pekerja yang masih menetap di kediaman Kleinfelter bukanlah pertanda baik.

[Black] "Artinya, ada seseorang di sana."

[Fermos] "Ya, benar. Seperti yang saya katakan waktu itu. Semakin saya memikirkannya, semakin mencurigakan. Bukankah aneh jika orang yang selama ini menikmati segalanya tiba-tiba memilih untuk bersembunyi?"

Liene setuju.

Sulit dipercaya jika ada seseorang yang selama ini mengendalikan keluarga Kleinfelter dari belakang, yang tidak diketahui oleh siapa pun di negara kecil ini.

[Liene] "Jadi, ada sosok seperti itu, tapi kau tidak yakin?"

[Fermos] "Ya. Karena itulah saya ingin mengosongkan rumah itu secepat mungkin. Pasti ada sesuatu yang tersembunyi di sana."

[Liene] "Jika = memang diperlukan, lakukan saja. Orang-orang saat ini bersikap ramah terhadap istana berkat pernikahan, jadi lebih baik melakukannya sekarang. Alasan pengusiran keluarga Kleinfelter juga seharusnya sudah tersebar luas."

[Fermos] "Ya. Kediaman itu juga akan menjadi milik istana sebagai bagian dari aset kerajaan. Bangunannya besar dan bagus, jadi daripada dibiarkan kosong, bagaimana jika kita menggunakannya untuk hal yang berguna? Seperti perpustakaan atau akademi."

[Liene] "Wah, ide yang sangat bagus."

[Fermos] "Terima kasih atas izinnya. Kalau begitu, saya akan mengosongkannya besok. Ah, dan ini bukan untuk menyenangkan hati Anda, tapi tapi berdasarkan pertimbangan objektif."

Fermos berhenti sejenak dan tersenyum.

[Fermos] "Tuan, sebaiknya Anda tinggal di istana besok. Tidak akan terlihat bagus jika Anda secara pribadi pergi ke kediaman Kleinfelter. Saya yang akan pergi. Kebetulan ada seseorang yang bisa membantu."

Orang yang Fermos maksud adalah Klima. Klima sudah lama berurusan dengan kediaman itu, jadi ia tahu banyak tentang tempat-tempat rahasia yang digunakan Lyndon Kleinfelter.

Black juga tidak menolak.

[Black] "Baiklah."

[Fermos] "Nikmati waktu kalian bersama sepenuhnya untuk sementara waktu. Ah, tapi hanya untuk sementara. Saya ulangi, hanya untuk sementara."

Seolah menyadari kesalahannya, Fermos menghilangkan senyumnya dan mengulangi permintaannya sebelum pergi.

Kini, waktunya untuk beristirahat.

[Liene] "Tapi, ada tempat yang harus kita datangi besok."

Bulan madu terasa begitu mewah. Liene bahkan tidak perlu mengangkat satu jari pun untuk makan malam yang terlambat, dan kini Black melakukan segalanya untuknya, bahkan mengeringkan rambut dan menemaninya ke kamar.

[Black] "Ke mana?"

[Liene] "Ke kuil agung."

[Black] "Kenapa?"

[Liene] "Aku ingin bertemu Kardinal."

[Black] "Ah..."

Saat Liene tersenyum tipis, Black mengerti alasannya. Liene pernah bertemu pria tua pengemis, tapi ia belum pernah bertemu dengan Kardinal Manau.

[Liene] "Bukankah aku juga berhak tahu apa yang terjadi? Kau tahu betapa terkejutnya aku saat melihat wajahnya di upacara pernikahan."

Ketika Manau mendekat untuk memberkati mereka, Liene hampir saja berteriak. Ia menahan diri mati-matian sampai rahangnya terasa sakit.

[Black] "Maaf. Aku lupa memberitahumu."

Liene terkejut bahwa Black bisa melupakan sesuatu.

Kukira hanya aku yang bisa membuat kesalahan seperti itu.

[Liene] "Dia memang seorang Kardinal, kan? Aku baru menyadarinya sekarang. Jadi itu alasannya dia mengenali Pangeran Ferdinand."

[Black] "Saat kecil, tubuhku lemah."

Black menurunkan Liene ke tempat tidur dan mulai menceritakan masa lalunya. Mereka berbaring berdampingan, kening saling bersentuhan, berbagi momen yang masih terasa asing dan sulit.

[Black] "Bahkan ada yang menyebutnya kutukan dewa yang diturunkan pada keluarga kerajaan."

Karena itulah Pangeran Ferdinand menghabiskan banyak waktu di kuil. Manau bisa langsung mengenalinya karena Black sudah lama berdoa dan Manau memberkatinya.

[Liene] "Mengapa mereka mengucapkan hal sekejam itu..."

Liene menggenggam tangan Black erat-erat.

[Liene] "Dirimu hanya sakit. Anak yang sakit pasti yang paling menderita."

[Black] "Memang seperti itulah tempat ini. Mendiang Raja juga pasti pernah mendengar hal yang sama saat kekeringan melanda."

Hati Liene sakit ketika Black menyebut ayahnya sebagai ā€˜Mendiang Raja'.

Bukan seorang Raja, tapi orang yang merebut mahkota. Darimu.

Liene tidak sanggup menatap mata Black dan membenamkan wajah ke pelukannya.

[Liene] "Kardinal mengatakan padaku namamu adalah Henton... dia sengaja, kan?"

[Black] "Aku yang memintanya. Aku tidak ingin memulai perang di tempat ini."

Black membelai rambut Liene dengan perlahan.

[Black] "Untungnya, dia menuruti permintaanku. Meskipun hanya trik murahan yang tidak bertahan lama."

[Liene] "Rasanya seperti... kita melewati jalan yang sangat panjang. Kita berdua."

[Black] "Jalan yang harus dilalui, meskipun panjang."

[Liene] "Itu... benar, kan?"

Mendengar suaranya yang entah mengapa menjadi kecil, Black mencondongkan tubuhnya ke bawah dan memaksa Liene untuk menatap matanya.


Baca Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 87: Saat Telinga Menjadi Tuli. Baca Novel A Savage Proposal Bahasa Indonesia oleh Lee Yuna. Baca  Novel Terjemahan Korea. Baca Light Novel Korea. Baca Web Novel Korea

[Black] "Apa kau merasa itu tidak benar?"

[Liene] "Hanya saja... aku merasa apa aku pantas menerima semua ini. Apa aku pantas menerima begitu banyak hal?"

[Black] "Malah kau yang sudah memberi terlalu banyak."

[Liene] "Apa maksudmu? Itu tidak mungkin."

[Black] "Fakta bahwa aku berbaring di sini sekarang, adalah sesuatu yang kau berikan padaku."

[Liene] "Mengapa kau menyebutnya 'memberi'? Aku berbaring disini karena kita sudah menikah."

[Black] "Aku bisa saja tidur di kamar sebelah. Seperti bangsawan Nauk lainnya."

Ekspresi wajahnya saat mengucapkan kata-kata itu begitu lembut dan penuh gairah, hingga Liene memahami maksudnya.

Dia mengatakan aku telah memberikan hatiku padanya.

Dan itu sangat berarti baginya.

[Liene] "Aku lebih senang kita sekamar. Kau tidak tahu betapa dinginnya musim dingin di Nauk. Semakin besar kamarnya, semakin dingin."

[Black] "Kalau begitu, sukai aku lebih dari ini. Karena aku yakin, tak peduli seberapa besar kau menyukaiku, aku akan selalu lebih menyukaimu."

[Liene] "Itu tidak mungkin, kan?"

[Black] "Kau akan tahu kalau sudah melihatnya."

[Liene] "Baiklah. Tunggu saja."

Sambil saling menatap, mereka tertawa untuk waktu yang lama. Ketika tawa berhenti, ciuman dimulai. Bibir yang menyatu terasa begitu manis, hingga berbahaya.

[Liene] "Besok... tidak bisa tidur siang... kita akan... pergi ke kuil."

[Black] "Aku akan memanggil mereka untuk datang ke sini."

[Liene] "Tidak, apa maksudmu... Dia seorang Kardinal... dan kakinya... sakit."

[Black] "Memangnya kenapa?"

Bibir yang sedikit menggigit leher Liene, kini turun ke bawah. Piyama yang longgar terbuka dengan sangat mudah. Desahan yang ia keluarkan berubah menjadi gelombang panas. Liene membiarkan jari-jarinya menyentuh rambut hitam Black yang menggelitik dadanya.

Seberapa jauh pria ini akan membawaku?

Namun, satu hal yang pasti. Ke mana pun ia membawanya, tempat itu akan terasa memukau.

Malam baru saja dimulai.

Namun, hari ini ia tidak pingsan hingga sore hari seperti kemarin. Liene membuka mata tepat sebelum tengah hari.

[Liene] "Ini masih pagi..."

Liene, yang telah tidur larut selama dua hari berturut-turut, bergumam dengan alasan yang memalukan sambil bangkit. Tidak jelas apakah Black benar-benar menyesali perbuatannya, seperti yang ia katakan.

[Black] "Sudah bangun?"

Berbeda dengan Liene yang masih mengenakan piyama, Black sudah berpakaian rapi dan elegan. Ia bersandar di pintu sambil tersenyum, lalu mendekati tempat tidur.

[Liene] "Umm... aku memang sudah bangun, tapi tolong pura-pura tidak tahu. Aku bahkan belum mencuci muka."

[Black] "Ya, aku tahu."

Black mencium sudut matanya yang masih terlihat mengantuk. Mata Liene menyipit secara refleks, tapi ia berusaha mendorongnya.

[Liene] "Ini tidak adil. Kau terlihat begitu rapi sendirian."

[Black] "Aku akan berpura-pura tidak tahu, jadi tidurlah lagi."

[Liene] "Tidak, tidak. Aku sudah cukup tidur."

[Black] "Kau masih terlihat seperti orang mengantuk."

Apa maksudnya? Apa mataku bengkak?

[Liene] "Setelah mendengarnya, aku jadi ingin segera mandi. Aku merasa seperti orang paling malas di sini."

[Black] "Kau boleh tidur lagi dan bermalas-malasan. Cukup bagiku jika kau sudah berada di sampingku saat diriku membuka mata."

[Liene] "Ah, jangan. Jangan katakan hal-hal yang menyenangkan seperti itu. Aku bisa tergoda."

Liene memegang lengan Black dan bangkit. Sebelum itu, Black mengangkatnya dengan ringan dan menurunkannya dari tempat tidur.

[Black] "Apa ada yang sakit hari ini?"

Tentu saja ada.

Ketika ia berdiri, ia hampir menangis. Pinggangnya terasa sangat pegal.

[Liene] "Jika berhati-hati, aku akan baik-baik saja."

[Black] "Itu berarti kau tidak baik-baik saja. Apa sebaiknya kau berbaring lagi?"

[Liene] "Aku tidak mau. Aku merasa seperti pasien."

[Black] "Jika kau sakit, kau memang pasien."

[Liene] "Justru itu. Aku tidak sakit, hanya... berbagi cinta. Aku tidak bisa menjadi pasien setiap saat. Ini akan menjadi bagian dari hidupku, kan?"

Black menghela napas tanpa alasan yang jelas.

[Black] "Apa yang harus kulakukan?"

[Liene] "Ada apa?"

[Black] "Kau berkata begitu, tapi tubuhmu tidak akan membaik secara tiba-tiba... Tapi kau begitu menggemaskan saat mengatakannya hingga aku memikirkan hasilnya akan buruk."

[Liene] "Mengapa hasilnya akan buruk..."

[Black] "Maafkan aku kali ini. Aku tidak akan melakukannya lagi."

Ia memotong perkataan Liene dan segera mencium bibirnya. Liene memegang bahunya dengan panik, sementara lengannya melingkar erat di pinggangnya.

[Liene] "Tapi, aku baru saja bangun..."

Terkadang, Black, yang biasanya menuruti setiap perkataannya, bisa menjadi tuli. Seperti sekarang.

[Nyonya Flambard] "Putri, Putri."

Entah keberuntungan atau kesialan, Nyonya Flambard datang sebelum Liene kembali terdorong ke tempat tidur.

[Black] "Tidak bisakah kita menyuruhnya pergi saja?"

[Liene] "Tidak mungkin. Dia memanggilku berulang kali."

Tok tok.

[Nyonya Flambard] "Putri, Putri. Bolehkah saya masuk? Saya merasa harus mengatakan sesuatu..."

Suaranya terdengar cemas. Black menggelengkan kepalanya sekali, lalu menjauhkan diri dengan tenang.

[Black] "Diam di sana. Aku akan membantumu berdiri."

[Liene] "Masuklah, Nyonya."

[Nyonya Flambard] "Putri, Putri."

Pintu terbuka dan Nyonya Flambard masuk dengan wajah muram.

[Nyonya Flambard] "Astaga... Kalian berdua masih bersama. Tolong maafkan kelancangan saya. Tapi saya tidak bisa tinggal diam."

[Liene] "Ada apa, Nyonya?"

[Nyonya Flambard] "Sejak pagi, saya tidak melihatnya. Saya sudah mencari ke mana-mana, tapi dia menghilang begitu saja. Saya merasa ada yang tidak beres..."

[Liene] "Dia? Apa maksudmu Nyonya Henton?"

[Nyonya Flambard] "Benar, Putri."

Meskipun mereka masih sangat kaku satu sama lain, sepertinya hubungan mereka lebih dari sekadar teman.

[Liene] "Apa nyonya yakin dia tidak ada di istana?"

[Nyonya Flambard] "Setahu saya begitu. Bukankah dia orang yang tidak boleh keluar? Tapi mengapa dia tiba-tiba meninggalkan istana, saya tidak mengerti..."

[Black] "Aku akan pergi ke kediaman Kleinfelter."

[Liene] "Apa? Tapi kau bilang tidak akan pergi ke sana."

[Black] "Memang, tapi aku rasa Nyonya Henton pergi ke sana."

JANGAN REPOST DI MANA PUN!!!


Postingan Terkait

Lihat Semua

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Donasi Pembelian Novel Raw untuk Diterjemahkan

Terima kasih banyak atas dukungannya 

bottom of page