A Barbaric Proposal Chapter 86
- 5 Sep
- 7 menit membaca
ā»Permintaan yang Sangat Sulitā»
[Liene] "Wah..."
Ada sesuatu yang terjadi saat ia sedang tidur.
[Liene] "Kapan sudah menyelesaikan semua ini?"
Kamar mandi telah dipercantik. Di kamar mandi yang tadinya hanya berisi tong air dan tempat pembuangan, kini muncul bak mandi marmer yang berkilau, seperti yang pernah ia miliki sebelumnya. Sebuah cermin besar dan alas lebar untuk meletakkan baskom air juga telah ditambahkan.
Sebuah tungku besar dipasang untuk memanaskan air secara langsung. Kelihatannya, air akan memanas dengan cara mengisi bak mandi dan menyalakan api di tungku.
[Liene] "Aku belum pernah melihat yang seperti ini. Sepertinya berasal dari negara lain."
Liene, yang penasaran melihat mekanisme tungku dan bak mandi yang terhubung, melilitkan handuk di tubuhnya dan melangkah masuk ke bak mandi.
Nyonya Flambard berkata bahwa merendam tubuh dalam air hangat adalah yang terbaik. Saat tubuhnya terendam, kehangatan pun menyebar.
[Liene] "Ah... Rasanya sangat nyaman."
Ia lupa betapa nyamannya berendam di bak mandi. Liene menyandarkan punggungnya ke sisi bak mandi dan memejamkan mata. Rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya perlahan luruh dan larut dalam air.
Tok tok.Ā Seseorang mengetuk pintu.
[Black] "Bolehkah aku masuk?"
[Liene] "Eh... Ah, tunggu sebentar... ya, silakan."
Liene dengan tergesa-gesa merapikan handuk yang melilit tubuhnya dan mengangguk.
Cklek,Ā kenop pintu berputar dan Black melangkah masuk.
[Liene] "Ah, jangan terlalu dekat. Aku malu."
[Black] "Aku akan menuruti perkataanmu, tapi aku rasa tidak ada alasan sedikit pun untuk merasa malu."
[Liene] "Kenapa tidak?"
Ia membelakangi Black. Itulah mengapa kepalanya terus-menerus menoleh ke belakang. Hari sudah menjelang malam, jadi ia sudah lama tidak melihat Black.
[Liene] "Aku hanya memakai sehelai handuk dan wajahku pasti sangat merah sekarang."
[Black] "Kemarin kau bahkan tidak memakai handuk."
[Liene] "Tapi... saat itu kan gelap."
[Black] "Bulan bersinar terang."
Dia bisa mengucapkan hal-hal memalukan seperti itu dengan santai.
[Liene] "Kau membuatku semakin malu. Kau harus pergi sekarang."
[Black] "Sepertinya ingatanku salah. Saat itu sangat gelap."
[Liene] "Tidak ada gunanya berbohong sekarang, kan?"
[Black] "Biarkan aku berbohong, sekali saja.. Aku sudah menahan diri untuk melihatmu seharian."
Kalau begitu, aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.
[Black] "Aku bahkan datang diam-diam. Aku tidak ingin ketahuan oleh para Nyonya."
Jadi, dia benar-benar merasa berkecil hati?
[Black] "Apa aku benar-benar harus pergi?"
Tentu saja tidak.
Aku juga sangat merindukannya.
[Liene] "Kalau begitu, tetaplah di belakangku."
Saat Liene berkata sambil tersenyum, Black dengan cepat mendekat dan duduk di sisi bak mandi, menyandarkan lengannya. Bibirnya mendarat di bahu Liene yang basah, seperti desahan napas.

[Black] "Aku merindukanmu."
[Liene] "...Aku juga."
[Liene] "Di mana dirimu seharian ini?"
[Black] "Di mana-mana. Mereka melarangku memasuki kamar ini."
[Liene] "Apa para Nyonya begitu menakutkan?"
[Black] "Aku takut padamu."
[Liene] "Padaku? Kenapa?"
[Black] "Aku takut kau akan kecewa atau marah padaku. Karena aku tidak bisa mengendalikan diri."
Benarkah... begitu?Ā
Perkataan Black mengembalikan kenangan malam sebelumnya yang telah ia coba lupakan. Suhu tubuhnya yang sudah naik karena air hangat, kini terasa semakin panas.
[Liene] "Umm... aku rasa itu bukan salahmu seorang.."
[Black] "Aku tidak tahu kau akan kesakitan seperti ini. Seharusnya aku tahu."
Suaranya terdengar anehnya tanpa semangat. Saat itulah Liene mengerti alasan sebenarnya mengapa Black merasa ciut.
Bukan karena para Nyonya, tapi karena diriku.
[Liene] "Mana mungkin kau akan tahu. Ini pertama kali kita melakukannya."
[Black] "Aku terlalu berlebihan tadi malam."
[Liene] "Kurasa tidak..."
Faktanya, rasanya justru sebaliknya.Ā
Jika harus membandingkan malam sebelumnya dengan sebuah sensasi, rasanya seperti menunggangi ombak. Gelombang yang tak pernah berhenti, tak pernah terputus.
Ia tidak punya kesempatan untuk melepaskan diri. Ia tidak pernah tahu bahwa ada begitu banyak bagian tubuh manusia yang bisa disentuh, atau ada begitu banyak jenis kenikmatan. Wajah Liene memerah seperti apel matang.
[Black] "Aku sangat menyesal."
Meskipun begitu, bibirnya yang terus mencium bahu dan lehernya tanpa henti. Liene menghela napas panjang dan bertanya,
[Liene] "Kalau kau menyesal, mengapa kau terus menciumku?"
[Black] "Karena aku sudah menyesalinya."
[Liene] "Lalu?"
[Black] "Jadi hari ini akan berbeda."
Wow... bagaimana bisa itu disebut menyesal?
[Liene] "Aku sama sekali tidak mengerti bagaimana kau bisa menyesalinya."
[Black] "Kau akan tahu kalau sudah melihatnya."
Berarti aku harus melihatnya, ya.Ā
Ia mencoba untuk tidak tertawa, tapi senyum terus muncul, membuatnya merasa canggung. Liene memiringkan kepalanya dan menarik telinga Black dengan lembut.
[Liene] "Sepertinya kau tidak punya rasa malu. Bagaimana kau akan melihat wajah para Nyonya besok?"
[Black] "Apa rasa malu harus ada?"
Black memegang dagu Liene yang menghadap ke arahnya dan bibir mereka menyatu. Berciuman saat berendam air hangat terasa entah mengapa lebih sensual.
[Liene] "Ah, jangan lagi... kita sedang di kamar mandi."
[Black] "Tidak bisakah kau memberiku sedikit kelonggaran? Ini ciuman pertama kita hari ini."
[Liene] "Kurasa ciumannya sudah cukup."
[Black] "Tidak mungkin."
Black memeluk kepala Liene, menariknya lebih dekat untuk menciumnya lebih dalam.
[Black] "Seumur hidup pun tidak akan pernah cukup."
[Liene] "Itu... umm..."
Ciuman mereka berlanjut untuk waktu yang lama.
[Liene] "Tetap saja... jangan lagi. Aku tidak bisa tidur siang lagi besok."
[Black] "Pasangan pengantin baru boleh melakukannya."
[Liene] "Entahlah... ini pengalaman pertamaku, jadi aku tidak tahu."
[Black] "Karena kau tidak tahu, dengarkan saja diriku."
Ah, pria ini benar-benar keras kepala dalam hal-hal seperti ini. Padahal biasanya ia selalu mendengarkan setiap perkataanku.
[Liene] "Aku bahkan belum makan."
[Black] "Ah..."
Bibirnya terlepas dengan perlahan, penuh kerinduan yang membara. Black bergumam tidak puas.
[Black] "Kalau begitu, aku tidak bisa keras kepala lagi, kan?"
Jadi dia tahu kalau dia keras kepala.
[Black] "Kalau begitu, selesaikan mandimu. Aku akan menyiapkan makan malam."
Sangat aneh melihatnya berdiri dengan penuh keengganan.
[Liene] "Ada satu permintaan sebelum kau pergi."
Liene mengulurkan tangan dan menggenggam jari-jari Black.
[Black] "Katakan."
[Liene] "Tolong cium aku sekali lagi sebelum kau pergi. Jangan terlalu lama."
[Black] "Apa kau tahu betapa sulitnya permintaanmu?"
[Liene] "Tetap saja, kau akan memenuhinya, kan?"
Black mencondongkan tubuhnya ke depan. Ternyata, memang permintaan yang sangat sulit.
[Dieren] "Ini saatnya."
Sambil pelayan menyematkan liontin permata beruntai emas pada kemejanya, Dieren bergumam sambil menatap cermin.
Pria di cermin adalah Pangeran Alito, dengan penampilan anggun dan kemampuan bicara yang halus. Ia menarik di mata setiap wanita, dan ia sendiri tidak pernah meragukannya.
[Dieren] "Sehari setelah pernikahan. Setelah malam pertama, biasanya mereka akan menyesal telah menikah."
Dieren menyeringai pada bayangan dirinya di cermin.
Pelayannya hanya membantu dalam diam. Ia berpikir bahwa itu tergantung pada orangnya, tetapi ia tahu Dieren tidak akan mendengarkannya.
[Dieren] "Sang Putri tidak keluar kamar seharian, beralasan karena tidur siang. Itu bukti penyesalan."
[Pelayan] "...Sudah selesai, Yang Mulia."
[Dieren] "Sisir rambutku lagi. Aku harus terlihat menawan."
Rambutnya sudah disisir rapi dengan minyak. Pelayan itu tetap diam dan mengambil sisir.
[Dieren] "Apa yang bisa menghibur seorang wanita yang patah hati?"
[Pelayan] "Entahlah. Bukankah semua wanita menyukai perhiasan?"
[Dieren] "Benar juga. Pergi dan pilihkan sesuatu yang layak. Jangan terlalu mahal, tapi cukup mencolok di mata."
Pelayannya mengangguk, meskipun ia merasa permintaan Pangeran seperti āteh panas yang diminum dinginā*1. Ia membuka peti besar di bawah tempat tidur dan memeriksa perhiasan milik Dieren. Sebuah bros berbentuk bunga lili yang terbuat dari safir dan opal tampak cocok untuk diberikan pada seorang wanita.
[Pelayan] "Bagaimana dengan ini?"
Ā [Dieren] "Bagus. Ambil itu."
Pelayan itu memasukkan perhiasan ke dalam kotak. Sesaat kemudian, Dieren, yang berpakaian seanggun burung merak dari Grand Duchy Alito, pergi ke kamar Liene dengan kotak perhiasan di tangannya.
Fermos menghadapi situasi yang sangat tidak menyenangkan. Ia sedang dalam perjalanan menuju kamar baru Liene dan Black. Makan malam yang terlambat akan disajikan di ruang makan di samping kamar, bukan di ruang makan utama. Jelas sekali, Tuan mereka tidak berniat keluar .
Banyak sekali pekerjaan yang tertunda karena pernikahan. Apakah ia mencoba membuatku mati?Ā
Meskipun kata-kata itu ingin ia ucapkan, Fermos menahan rasa frustrasinya.
Ya, mereka pengantin baru.
Aku harus bersabar beberapa hari. Jika aku mengganggu mereka sekarang, pasti akan terjadi masalah besar.
Jadi, ia menuju ke kamar baru mereka, tetapi ia melihat Pangeran Alito berkeliaran di luar kamar.
Apa orang ini gila?Ā
Fermos, yang memiliki mata tajam, langsung mengetahui tujuan Dieren.
Ia berpakaian seperti burung merak yang terangsang dan memegang kotak perhiasan.Ā
Ia pasti ingin menemui Putri Liene.
Fermos mendengus. Bodoh sekali.Ā
Meskipun ia tahu Dieren tergila-gila pada wanita, ia tidak menyangka Dieren akan mengincar wanita milik Tuannya.
[Fermos] "Apa yang Anda lakukan di sana, Yang Mulia?"
[Dieren] "Ah, bagus sekali kau datang. Beri tahu Putri Liene bahwa aku datang menemuinya."
[Fermos] "Ada urusan apa Anda pada jam seperti ini?"
[Dieren] "Bukan urusanmu. Beri tahu saja dia."
[Fermos] "Itu urusan saya. Permintaan untuk bertemu dengan Tuanku adalah wewenang saya."
[Dieren] "Aku pikir kau buta, tapi ternyata kau juga tuli. Tidakkah aku bilang aku datang untuk bertemu Putri Liene?"
[Fermos] "Saya mendengarnya. Mereka berdua sedang bersama, jadi apa bedanya?"
[Dieren] "...Bersama?" Wajah Dieren mengeras.
Fermos mendengus lagi.
[Fermos] "Sudah waktunya makan malam, jadi tentu saja mereka bersama."
[Dieren] "Makan malam pada jam segini?"
[Fermos] "Karena sang Putri bangun terlambat. Tetap harus saya sampaikan permintaan Anda?"
[Dieren] "...Tidak, kalau begitu."
Dieren tampak berpikir sejenak, lalu mundur selangkah. Tepat seperti yang Fermos duga. Apa yang Dieren rencanakan dengan pakaian mewahnya, dan tidak bisa ia lakukan jika Black ada di sana.
[Dieren] "Aku akan menemuinya lain kali."
[Fermos] "Apa yang ada di tangan Anda?"
[Dieren] "Sesuatu yang tidak perlu kau ketahui."
Itu pasti perhiasan. Dieren memiliki banyak wanita, dan ia juga memberikan banyak perhiasan kepada mereka. Ia mungkin percaya para wanita itu menyukainya, tapi di mata Fermos, 80% dari semua itu adalah karena status dan kekayaannya.
[Fermos] "Kalau begitu, semoga perjalanan Anda lancar. Karena sudah sangat larut."
Fermos tidak lupa untuk menyindirnya, lalu ia membungkuk seadanya. Dieren, tanpa membalas hormat, berbalik dan berjalan pergi bersama pelayannya.
[Fermos] "Cih, bahkan tidak ada ucapan terima kasih. Padahal aku baru saja menyelamatkan nyawanya."
Fermos mengetuk pintu kamar dengan keras.
[Fermos] "Tuanku, Putri. Ini saya. Bolehkah saya masuk?"
[Black] "...Masuklah."
Black menjawabnya cukup lama.
Yah, aku sudah menduganya.Ā
Pernikahan baru kemarin, dan Black tidak bisa berada di sisi Liene sepanjang hari.
[Fermos] "Apa makan malam kalian menyenangkan?"
Saat ia membuka pintu, hal pertama yang terlintas di pikirannya adalah betapa terangnya ruangan itu, seolah-olah hari masih siang. Sangat terang sekali. Wajah Liene begitu bersinar dan penuh vitalitas, sampai-sampai matanya terasa sakit.
Untung saja aku mengusir orang itu.Ā
Jika Dieren melihat wajah sang Putri, ia pasti akan mengganggu mereka lebih lama. Seperti yang Fermos katakan, kedua pasangan itu terlihat begitu bahagia sampai-sampai rasanya sulit untuk melihat mereka. Ia hanya merasa seperti pengganggu di sana.
Fermos terbatuk canggung, lalu berbicara dengan cepat.
[Fermos] "Waktu sudah larut, jadi saya akan menyampaikan pesan dan segera pergi."
Pembicaraan Fermos tidak terlalu panjang. Tapi hal yang sangat penting untuk diketahui.
*1: ungkapan kiasan untuk menggambarkan sesuatu yang kontradiktif. Si pelayan menganggap perintah Dieren hal yang mustahil. Dieren meminta hadiah yang "layak" dan "mencolok mata" (seperti hal-hal yang bagus dan mahal), tetapi di sisi lain juga meminta agar hadiah itu "tidak terlalu mahal."
Komentar