A Barbaric Proposal Chapter 85
- 1 Sep
- 8 menit membaca
ā»Malam PernikahanĀ (2)ā»
[Liene] "Tapi aku belum... mandi..."
Suaranya terputus-putus karena ia terus menelan ludah. Black, dari belakang Liene, melepaskan satu per satu simpul yang terbuat dari mutiara pada gaunnya.
[Black] "Tidak apa-apa. Toh kita akan mandi lagi nanti."
[Liene] "Tetap saja... kita sudah seharian berada di luar."
[Black] "Gaunmu tebal, jadi kulitmu tidak akan kotor."
Setelah melepaskan dua simpul, Black sedikit menyentuhkan hidungnya ke tengkuk Liene yang kini terlihat.
[Black] "Dan kau wangi. Jadi tidak perlu cemas."
[Liene] "Tidak mungkin."
Apakah ia berbohong? Atau tidak?Ā
Liene yang sedikit ragu, menoleh ke samping dan mencium pergelangan tangan Black.
[Liene] "Oh...?" Ia mencium aroma sabun yang samar dari tubuh Black.
[Black] "Aku baru saja mandi."
Tentu saja.Ā Meskipun ia masih mengenakan jubah pengantinnya, kerah bajunya terbuka dan beberapa kancingnya sudah terlepas.
[Liene] "Kau tidak seharusnya mandi duluan."
[Black] "Anggap saja aku putus asa. Aku tidak ingin membuang waktu lagi."
Tuk, tuk.Ā Simpul-simpul di gaunnya dilepas tanpa ampun.
[Liene] "Ah, tunggu. Sebentar."
Rasanya terlalu cepat. Liene, yang punggungnya terasa hampa, menghentakkan ujung kakinya dan mencoba menghentikan Black.
[Liene] "Ini... agak..."
[Black] "Agak?"
[Liene] "Aku butuh persiapan... mental."
[Black] "..."
Black sejenak menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat kedua tangannya.
[Black] "Kalau begitu."
Huuuf.Ā Liene menghela napas yang sempat tertahan.
[Liene] "Ini... rasanya belum... tidak, maksudku... ini pertama kalinya, jadi..."
[Black] "Aku mengerti. Jika kau butuh waktu, silakan."
[Liene] "Baik. Kalau begitu, untuk sekarang..."
Liene hendak mengatakan ia ingin pergi mandi.
[Black] "Untuk sekarang, kau bisa melepaskan bajuku, kan?"
[Liene] "Eh? Bukan itu maksudku."
[Black] "Aku sudah siap. Sudah dari dulu."
Black menarik tangan Liene dan meletakkannya di kancing kemejanya.
[Black] "Kau boleh melakukannya dengan cepat. Jika kau malas, kau bisa merobeknya."
Mana bisa begitu...
[Black] "Kau tidak mau? Kalau begitu aku saja yang melakukannya."
Jika ia ditanya apakah ia tidak ingin melepaskan pakaian pria ini, hanya ada satu jawaban.
[Liene] "Tidak... tidak juga."
[Black] "Kalau begitu, lakukan."
[Liene] "..."
Mungkin sudah seratus kali aku membayangkan malam ini di kepalaku. Tapi kenapa rasanya begitu sulit?
[Liene] "Terlalu terang."
Liene dengan susah payah memilih jawaban.
[Liene] "Ini masih terlalu awal untuk dibilang malam... dan orang-orang di luar mungkin belum semuanya pergi... dan ini bukan waktu yang tepat untuk melepas pakaian sebelum bersiap. Pokoknya... rasanya tidak pas."
Suasananya belum tepat. Black sudah siap, tapi ia belum. Ia merasa seperti masih berada di tengah-tengah upacara pernikahan.
[Black] "Aku mengerti."
Untungnya, Black sangat peka. Ia selalu memahami perasaan Liene lebih dulu.
[Black] "Kalau begitu, aku akan mematikan lampunya."
Namun, ia tidak bergerak untuk memadamkan lilin. Tiba-tiba tangannya yang perlahan terulur meraih dagu Liene dan menyesuaikan sudut wajahnya.
[Liene] "Kau bilang akan mematikan lampu..."
Kalimat selanjutnya terbungkam oleh bibir Black. Ciuman yang jauh lebih lembut dan lambat dari biasanya, terasa jauh lebih panas dari ciuman mana pun. Bibirnya benar-benar basah, tapi lehernya terasa haus. Ketika ia sadar, lengan bajunya sudah melorot di bahu, dan ia sedang memeluk leher Black.
[Black] "Aku merasa seperti terkena panah." Black berbisik di bibirnya yang basah.
[Liene] "Kenapa?"
[Black] "Rasanya sama seperti saat demam, ketika pikiranku kacau."
[Liene] "Ah..."
[Black] "Jika aku tidak terkena panah saat itu, aku mungkin masih menjadi pria yang terhormat."
Dengan bibir yang masih menyatu, Black menarik Liene. Tanpa disadari, mereka sudah berada di depan dinding tempat lilin digantung. Saat itulah bibir mereka terlepas sejenak.

Huuuf.Ā Lilin itu padam. Ada lima tempat lilin di kamar tidur. Biasanya, hanya satu atau dua yang dinyalakan, tapi malam ini, untuk merayakan malam pertama, kelimanya dinyalakan.
Artinya mereka harus pindah tempat empat kali lagi.
[Liene] "Kenapa?"
[Black] "Entah bagaimana, aku merasa harus bersikap sok terhormat."
[Liene] "Maksudmu, kau tidak akan menciumku seperti ini?"
[Black] "Aku pikir akan butuh waktu yang sangat lama sampai sang Putri bisa menerima dirikuk..."
[Liene] "Itu..."
Bukankah aku juga merasakan hal yang sama? Aku tidak pernah menyangka akan datang hari di mana aku bisa mencintai pria ini sebegitu dalamnya.
[Black] "Itu sebabnya aku bersyukur pernah terkena panah. Tapi..."
Cup.Ā Dengan lembut, Black menggigit bibir bawah Liene, lalu mereka kembali berjalan. Kali ini, menuju tempat lilin kedua.
[Black] "Sejujurnya, tidak akan ada bedanya. Bahkan jika aku ingin menunggu, aku tidak akan bisa."
[Liene] "Kenapa?"
[Black] "Kau bisa melihatnya sekarang."
Huuuf.Ā Lilin kedua pun padam. Dalam kamar yang semakin gelap, Black meletakkan tangan Liene di kancing kemejanya.
[Black] "Lepaskan."
Kata 'lepaskan' terdengar begitu sensual. Liene menelan ludah, lalu menggerakkan tangannya.
Mematikan lampu benar-benar berhasil. Ciuman semakin panas seiring ruangan menjadi lebih gelap, dan pria ini menjadi semakin menggoda.
Tuk, tuk.Ā Kali ini, kancing kemeja terlepas dengan cepat. Tangannya terasa gemetar, tetapi kegelapan menyembunyikan getaran itu. Kemeja yang kancingnya sudah terlepas jatuh di kakinya.
[Black] "Bagus."
Dengan tubuh bagian atas yang terbuka, Black memegang wajah Liene dengan lembut, meninggalkan ciuman di sana-sini.
Huuuf.Ā Lilin ketiga padam. Keduanya melanjutkan pertukaran ciuman yang memburu menuju tempat lilin berikutnya.
Ketika lilin kelima padam, tidak ada lagi pakaian yang tersisa. Black menggendong Liene dan membawanya ke ranjang.
Liene baru berhasil membuka mata keesokan harinya, jauh setelah siang hari.
[Liene] "..."
Rasanya sangat aneh. Matahari sudah mulai terbenam, mewarnai sekeliling dengan warna merah. Di kedua sisi tempat tidurnya, Nyonya Henton dan Nyonya Flambard duduk di kursi, seolah menjaganya. Di meja di samping tempat tidur, ada teko air, handuk, dan makanan, seolah ia adalah pasien yang sudah lama sakit.
[Liene] "Nyonya...? Ada apa ini?"
[Ny. Flambard] "Ah, Putri. Anda sudah bangun?"
[Liene] "Ya. Apa diriku sakit? Mengapa kalian berdua menjaga kamar ini?"
[Ny. Henton] "Anda memang sakit. Berbaringlah. Setidaknya minumlah segelas air. Suara Anda serak."
[Liene] "Ah... Benarkah?"
Setelah mendengarnya, Liene memang merasakan sakit di lehernya.
Kenapa leherku sakit? Apa aku masuk angin?Ā
Nyonya Henton tanpa kata-kata menuangkan air dan menyodorkan gelas. Liene mengulurkan tangan untuk mengambilnya, tapi ujung jarinya gemetar.
[Liene] "Eh, kenapa begini?"
[Ny. Flambard] "Ya ampun, Putri!"
Nyonya Flambard dengan cepat memegang tangan Liene dan menurunkannya. Seolah sudah sepakat, Nyonya Henton langsung menyuapkan gelas itu ke bibirnya.
[Ny. Henton] "Minumlah."
[Liene] "Aku bisa minum sendiri, Nyonya."
[Ny. Henton] "Jangan. Nanti gelasnya bisa pecah. Minum seperti ini saja."
[Liene] "Tidak..."
Namun, karena ekspresi keduanya begitu tegas, Liene akhirnya meminum air yang diberikan. Saat air melewati tenggorokannya, rasanya perih.
[Ny. Flambard] "Sepertinya Anda juga kesulitan pergi ke kamar mandi. Saya akan membasahi handuknya, jadi Anda bisa mencuci muka di tempat tidur saja."
Nyonya Flambard tanpa ragu membasahi handuk dan memerasnya. Ia menyentuhkan handuk ke wajah Liene, seolah ingin mencucikan wajahnya.
[Liene] "Nyonya, ada apa? Mengapa tiba-tiba begini?"
[Ny. Flambard] "Ucapan kami benar, bukan? Jangan coba-coba bangun, tetaplah berbaring."
[Liene] "Hanya leherku yang sakit. Setelah minum air, terasa lebih baik. Aku baik-baik saja, tolong singkirkan handuknya."
Liene mendorong tangan Nyonya Flambard yang memegang handuk. Namun, anehnya lengannya terasa sangat berat. Nyonya Flambard, yang seharusnya bisa ia dorong dengan mudah, berdiri dengan kokoh.
[Ny. Flambard] "Putri, ada apa? Sudah saya bilang jangan bergerak. Gerakan sekecil apa pun bisa membuat pinggang Anda sakit."
[Liene] "Tidak. Aku hanya bangun terlambat. Tolong minggir. Aku ingin bangun."
[Ny. Henton] "Mohon, berbaring saja, Putri."
Nyonya Henton ikut menyuruhnya, tapi Liene tidak mengerti mengapa mereka melakukan ini, jadi ia mengangkat selimutnya. Saat ia mencoba untuk bangun, matanya tiba-tiba berkaca-kaca.
[Liene] "Uh..."
Liene yang hendak bangun kembali terjatuh. Seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa seperti dipukuli. Pinggangnya sangat sakit, dan paha serta pantatnya terasa seperti memar. Lengan dan kakinya gemetar tanpa tenaga. Jangankan berjalan, ia bahkan tidak bisa duduk tegak. Dengan wajah yang hampir menangis, Liene bertanya,
[Liene] "Kenapa diriku seperti ini?"
[Ny. Flambard] "Karena Anda telah melewati malam pertama. Dan terjadi dalam waktu yang sangat lama."
[Liene] "Apa...?"
Wajah Liene memerah seperti apel tanpa ia sadari.
Ah, benar. Kemarin adalah pernikahanku, dan tadi malam...
[Liene] "Apa... ini... memang begini?"
Ia pernah mendengar bahwa pengalaman pertama bisa sangat menyakitkan. Tapi ia tidak menyangka seluruh tubuhnya akan terasa sesakit ini.
[Ny. Flambard] "Tidak. Saya juga pernah melalui malam pertama, tapi saya yakin tidak ada pengantin wanita yang seperti Anda."
Mendengarnya, Nyonya Henton mengangguk setuju.
[Ny. Henton] "Benar. Tidak ada."
[Liene] "Apa diriku sakitnya lebih parah dari yang lain?"
Apa karena pengalaman pertamaku terlambat? Tidak juga... Aku dengar jika usianya lebih muda, rasa sakitnya akan lebih parah. Dan... bagian bawahku tidak terlalu sakit. Justru pinggang, paha, dan betisku yang sangat sakit.
[Ny. Flambard] "Bagaimana mungkin tidak parah."
[Liene] "Apa ini karena aku terlalu lelah saat persiapan pernikahan?"
Liene mencari alasan yang masuk akal dan memiringkan kepalanya, tapi Nyonya Flambard memasang wajah serius.
[Ny. Flambard] "Ini bukan salah Anda, Putri."
[Liene] "Eh? Lalu siapa?"
[Ny. Flambard] "Salah suami Anda."
[Liene] "Apa?"
Nyonya Flambard memang orang yang lugas, tapi Nyonya Henton bahkan lebih blak-blakan.
[Ny. Henton] "Ini berarti kalian berdua bersenang-senang. Meskipun malam pertama melelahkan, saya belum pernah melihat pengantin wanita yang tidak bisa membuka mata selama setengah hari seperti Anda. Ya ampun, astaga."
Jika saja ia tidak menambahkan kata 'astaga,' pipi Liene mungkin tidak akan semerah itu.
Bersenang-senang... ya, memang begitu... tapi kenapa kedua nyonya ini tahu segalanya...
[Liene] "Mungkin saya hanya masuk angin. Upacara pernikahan sangat panjang..."
Nyonya Flambard juga sangat tegas dalam hal ini.
[Ny. Flambard] "Kami juga ikut andil dalam persiapan pernikahan. Bukankah Anda tidur paling cepat? Ya ampun, astaga."
Kenapa Nyonya juga bilang 'astaga'?
[Ny. Flambard] "Bagaimanapun, Anda mungkin tidak akan bisa berjalan untuk sementara waktu, jadi istirahatlah. Apa Anda lapar?"
[Liene] "Saya agak lapar."
[Ny. Flambard] "Tentu saja. Ya ampun, astaga."
[Ny. Henton] "Saya akan mengambilkan makanan hangat."
Nyonya Henton bangkit. Sambil berjalan keluar, ia kembali berkata, "Ya ampun, astaga."
[Liene] "Tolong jangan katakan 'astaga' lagi."
Liene bergumam sambil menutupi wajahnya dengan selimut.
[Ny. Flambard] "Bagaimana bisa dihentikan? Sungguh. Ya ampun, astaga."
[Liene] "Nyonya..."
Melihat wajah Liene yang memerah di balik selimut, Nyonya Flambard melambaikan tangannya.
[Ny. Flambard] "Baik, baik, saya akan berhenti. Anda terlihat sangat bahagia sampai saya ikut-ikutan tidak sopan."
[Liene] "Saya tidak bisa bangun karena sakit. Bagaimana mungkin saya terlihat bahagia..."
[Ny. Flambard] "Itu namanya bahagia. Saya jamin, tidak ada pengantin wanita yang sakit parah sampai tidak bisa membuka matanya seperti Anda..."
[Liene] "Nyonya, tolonglah!"
Liene tidak tahan lagi dan menarik selimutnya. Tubuhnya sudah terasa panas, dan Nyonya Flambard terus menggodanya, membuat bagian dalam selimut terasa lebih panas.
[Ny. Flambard] "Cepat sembuh, Putri. Ah, saya tidak yakin apakah kata 'sembuh' bisa digunakan dalam kasus ini."
Wajah Nyonya Flambard terlihat lebih penuh kasih dari biasanya saat ia merapikan rambut Liene.
[Ny. Flambard] "Jika Anda melihat betapa cemasnya suami Anda pagi ini karena Anda tidak bisa membuka mata, Anda akan tahu mengapa saya berkata begini. Lord Tiwakan pasti sedang berkecil hati karena kami terus memarahinya."
[Liene] "Ah... Jadi itu sebabnya dia tidak di sini?"
[Ny. Flambard] "Saya yang menyuruhnya. Saya bilang Anda butuh istirahat."
Liene terkekeh pelan.
[Liene] "Lucu sekali mendengar pria itu berkecil hati. Nyonya bahkan takut padanya di awal."
[Ny. Flambard] "Ya ampun. Jika saja dia bukan suami Anda, saya pasti masih takut padanya."
Setelah merapikan rambutnya, Nyonya Flambard menepuk punggung tangan Liene.
[Ny. Flambard] "Saat Anda menjalin hubungan dengan Tuan Kleinfelter, saya pikir tidak ada orang lain di dunia ini yang bisa lebih menyayangi Anda daripada saya. Tapi sekarang, saya mungkin berubah pikiran."
Itu kata-kata yang sangat menghangatkan hati.
Nyonya benar. Aku memang bahagia.
[Liene] "Jika Nyonya yang berkata begitu, pasti benar."
[Ny. Flambard] "Tentu saja. Saya yakin. Pria itu, jika demi kebaikan Anda, dia akan melakukan apa pun, bahkan menangkap beruang kutub sekalipun."
Liene merasa sedikit pusing mendengarnya karena rasanya sangat mungkin.
[Liene] "Sebaiknya jangan katakan itu. Bagaimana jika dia benar-benar melakukannya?"
[Ny. Flambard] "Sepertinya dia tidak hanya akan bilang akan melakukannya, tapi benar-benar akan menangkapnya. Sekarang aku memikirkannya... Ya ampun, astaga."
[Liene] "Nyonya, sudah cukup."
Nyonya Henton, yang kembali membawa makanan hangat, juga mendengar cerita itu dan kembali mengucapkan "ya ampun, astaga" berulang kali, membuat Liene merasa canggung.
Setelah makan, tubuhnya terasa jauh lebih baik, dan ketika bulan terbit, ia sudah bisa berjalan.
Komentar