A Barbaric Proposal Chapter 7
- Crystal Zee
- May 19
- 7 min read
Updated: 2 days ago
~Jika Kau Bisa Bertahan (2)~
[Liene] "Itu..."
Sungguh perkataan yang sangat aneh.
Direbut? Siapa, dari siapa? Kau sendirilah yang merebutku dari kekasihku.
Black berbicara seolah-olah Liene memang sudah menjadi miliknya sejak awal.
[Liene] "Mengapa kau mengatakan kalau aku akan direbut?"
[Black] "Dan sekarang aku merasa senang karena aku tidak kehilangan dirimu."
[Liene] "Lord Tiwa..."
[Black] "Jika kau menikah dengan pria lain, semuanya akan semakin berantakan. ...Aku akan lebih sulit untuk menahan diri" Gumaman Black terdengar samar dan tidak jelas, bagai suara dari dalam mimpi.
[Black] "Apa aku tidak boleh menciummu?"
Matanya yang sayu tertuju pada bibir Liene. Liene tahu Black menjulurkan lidahnya dan menjilati bibirnya yang kering, seperti seseorang yang kehausan.
[Liene] "Ya, Aku..."
[Black] "Maksudmu tidak boleh?"
...Tidak boleh. Jangan tertipu.
Melihat bibir pria itu kering dan mengelupas, Liene merasa bibirnya sendiri semakin terbakar. Liene memutuskan untuk tidak tertipu oleh kehausan mendadak ini.
Demam. Ini terjadi karena pria itu mencampuradukkan demam dan hasrat. Seiring demamnya mereda, gairahnya akan mendingin.
Karena rayuanmu tidak tulus, sama seperti persetujuanku yang tidak tulus.
[Black] "Kau tidak bisa menolakku selamanya. Aku sekarang bukan peminang lagi, tapi tunanganmu." Black masih tampak dilanda demam.
Liene menggigit bibirnya, menatap mata yang keruh, berbeda dari biasanya.
[Black] "Bagaimana caranya agar kau mengizinkanku?"
...Mungkin. Jika dia berhalusinasi karena demam hingga menjadi lengah. Mungkinkah situasi ini bisa dimanfaatkan?
[Liene] "Kalau begitu, janjikan aku satu hal."
[Black] "Apa itu?"
Pria itu sudah menjanjikan banyak hal. Dia menjanjikan kelangsungan hidup Nauk, dia menjanjikan nyawa dan keselamatan anaknya, dan dia menjanjikan hak kekuasaan di masa depan. Jika ditelusuri, justru Liene yang diuntungkan dari pernikahan ini.
Liene akan mendapatkan kekuatan militer yang tangguh yang dapat melindungi Nauk dari serangan mana pun, dan biayanya akan ditanggung oleh Black, menggantikan Liene.
Mungkin Nauk memang membutuhkan raja seperti Black. Suami yang bisa mengisi kekosongan yang selama ini dibiarkan begitu saja karena kurangnya kemampuan. Liene ingin semua janji ini menjadi kenyataan yang pasti, bukan hanya secarik kertas perjanjian yang bisa dirobek kapan saja. Dia menginginkan pernikahan mereka menjadi nyata.
[Liene] "Jika kau menyerbu Nauk karena ingin memilikinya, cukup sampai di situ saja."
[Black] "Apa maksudmu?"
[Liene] "Berjanjilah kau tidak akan menghancurkan atau melenyapkan Nauk."
Black menghembuskan napas pendek. Black juga tak tahu apa alasannya.
[Liene] "Kau hanya akan menginginkan Nauk dengan tulus."
[Black] "...Sebagai gantinya, apa yang akan Tuan Putri berikan?"
Kali ini Liene yang menghela napas.
[Liene] "Jika kau berjanji, aku pun akan berusaha dengan segenap hati untuk merindukan dan menginginkan Lord Tiwakan... Begitulah janjiku."
Jawabannya sangat cepat.
[Black] "Baiklah."
[Liene] "Lord Tiwakan..."
[Black] "Jika aku memang ingin menghancurkan Nauk, akan aku lakukan sejak awal. Bukan dengan melamar."
Setelah mengatakannya, Black melingkarkan lengannya di pinggang Liene. Gerakan yang sulit dipercaya dari seorang yang bahunya tertancap panah.
Leher Liene yang dirangkul oleh satu lengan Black tertekuk ke belakang. Black mendekap Liene seolah hendak membaringkannya, lalu ia mencium bibir Liene.
Saat suara kulit yang bersentuhan mencapai telinganya, membuat kepalanya terasa kosong. Napas panas pria itu berpindah ke dalam dirinya melalui bibir mereka. Tanpa sadar, kedua tangannya melingkari leher Black.
Jika tidak memeluknya, dia merasa akan tenggelam ke dalam jurang yang tak berdasar. Sensasi yang ditanamkan oleh bibir pria itu terasa sangat asing. Ciuman kekasihnya sama sekali bukan seperti ini. Ciuman yang Liene tahu adalah ciuman lembut tak terkira. Gairah yang membuatnya merasa akan hancur bukahlah sebuat ciuman.

[Black] "......Kurasa sebaiknya kita harus berhenti di sini."
Gelombang pasang tak berujung akhirnya berhenti.
Black, yang wajahnya terkubur di kulit lembut di antara dagu dan leher Liene, bergumam. "Aku sendiri tidak tahu sampai sejauh mana aku akan menggunakan demam sebagai alasan."
Bibirnya masih menyentuh kulit Liene, membuat Liene merasa geli bagai bulu kuduk berdiri.
Liene yang tersadar mendorong bahu Black, menjauh sambil berusaha menyembunyikan tangannya yang gemetar.
[Liene] "Aku lupa kalau kau sedang sakit."
[Black] "......"
Black dengan patuh melepaskan tubuhnya. Liene segera bangkit dari tempat tidur dan pergi, berusaha terlihat tenang sambil meninggalkan salam.
[Liene] "Kalau begitu, Aku akan pergi agar kau bisa beristirahat. Semoga lekas sembuh."
[Black] "Aku akan segera sembuh karena sekarang aku tidak perlu memakai alasan demam untuk menyentuhmu."
Black membalas salamnya dengan suara lambat, seperti orang yang tenggelam dalam mimpi. Suaranya pun rendah, bagai tertelan dalam tidur.
[Liene] "Selamat tidur."
Suara bagai mimpi menggelitik telinganya. Liene buru-buru meninggalkan kamar tidur Black, takut dirinya juga akan tenggelam dalam mimpi.
Sambil berjalan, ia berdoa dalam hati.
Semoga, kau tidak melupakan janjimu. Meskipun kelak kau akan tahu bahwa aku berbohong padamu, semoga kita tetap saling menginginkan, seperti yang telah kita janjikan.
Namun, menepati janji bukanlah hal yang mudah.
[Weroz] "Yang Mulia."
Ketika Liene kembali ke kamar tidurnya, ada seseorang yang menunggu. Liene, yang mengira kamarnya kosong, hampir berteriak terkejut. "Wero..."
"Ssst." Weroz meletakkan jari di bibirnya. Dia melihat sekeliling sekali lagi, meskipun di ruangan itu tidak ada orang lain. Artinya ada rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapa pun.
[Weroz] "Aku sengaja mengalihkan perhatian mereka sejenak. Mereka belum curiga, tapi mungkin ada yang mengikuti."
Liene pun merendahkan suaranya hingga berbisik. "Ada apa?"
[Weroz] "Ada sesuatu yang penting yang harus Yang Mulia ketahui."
Weroz, bersama Fermos dan anggota Tiwakan lainnya, telah membentuk tim pencari untuk melacak orang yang menembakkan panah. Di tengah pencarian, dia menemukan sesuatu. Sesuatu yang tidak akan dikenali oleh Tiwakan.
"Ini..." Weroz merogoh lengan bajunya dan mengeluarkan sesuatu.
[Weroz] "Apakah Anda mengenali ini?"
[Liene] "......"
Yang disodorkan Weroz adalah hiasan berbentuk daun panjang dan tebal, seukuran dua ruas jari. Bagi orang lain, itu hanya sekedar hiasan. Tapi di ujung daun itu, ada bekas tali yang terikat. Ini adalah hiasan panah milik kekasihnya.
[Weroz] "Pasti baru-baru ini terjatuh."
[Liene] "......"
[Weroz] "Saya menemukannya hari ini saat melacak jejak orang yang menembakkan panah."
Pusing yang mencekik tiba-tiba menyerang. Maknanya jelas. Kekasihnya mungkin tidak mati. Mungkin dia masih hidup dan berpura-pura mati untuk menipu musuh, lalu menyusup ke dalam Kastil Nauk. ...Dan pasti dia yang menembakkan panah ke arah Black.
[Weroz] "Yang Mulia! Anda baik-baik saja?"
Liene menyadari bahwa dia terhuyung saat Weroz mencoba menopangnya.
[Liene] "Baik... tidak, Aku tidak baik-baik saja. Dia... dia masih hidup...?"
[Weroz] "Belum bisa dipastikan. Bisa jadi orang lain yang menggunakan panah Tuan Kleinfelter."
Tidak bisa dipastikan. Masih perlu bukti lain.
[Liene] "Peti mati... kau belum memeriksa peti mati, kan?"
Enam peti mati yang dibawa Black diletakkan di kapel kerajaan, menunggu upacara pemakaman. Tentu saja, Liene mengira salah satunya adalah jenazah sang kekasih.
[Weroz] "Benar. Apakah Anda ingin memeriksanya?"
[Liene] "...Ya, aku harus."
[Weroz] "Saya setuju. Tapi Yang Mulia, sebaiknya Anda bersiap terlebih dahulu."
Suara jujur Weroz terdengar berat hari ini. Seolah meminta Liene untuk menimbang beratnya kata-kata yang akan diucapkan sekarang.
[Weroz] "Jika Tuan Kleinfelter hidup, apa yang akan Anda lakukan dengan pernikahan ini?"
[Liene] "......"
Liene tidak bisa menjawab dengan gegabah. Liene telah menerima lamaran dari pria lain tanpa berpisah secara resmi dengan kekasih. Hari ini, dia berjanji kepada pria yang telah melindunginya dari panah, bahwa dia akan membuat pernikahan ini menjadi nyata.
Namun, panah itu mungkin ditembakkan oleh kekasihnya.
[Liene] "...Aku harus melihat jenazah dengan kedua mataku terlebih dahulu."
Liene memaksakan punggungnya tegak, melawan pusing gelap yang terasa akan menelannya. "Setelahnya, akan kupertimbangkan."
Jika kekasihnya hidup. Dan jika dia mempertaruhkan nyawanya untuk membatalkan pernikahan ini. Lalu, apa yang harus Liene lakukan?
[Liene] "......"
Liene menghentikan pikirannya dan berbalik. Dan dia bergegas menuju kapel.
...Brak! Peti mati menutup dengan suara lantang.
[Weroz] "......Yang Mulia! Anda tidak terluka, kan?"
Weroz dengan cepat menangkap Liene yang hampir tertimpa tutup peti.
[Liene] "Orang itu... bukan dia, kan?"
Peti yang baru saja dibuka adalah peti terakhir. Di antara enam peti mati yang dibawa Black hari ini, tidak ada jenazah kekasihnya. Namun, ada jenazah yang mengenakan helm dan jubah berbordir lambang Keluarga Kleinfelter, berpura-pura menjadi kekasihnya. Dia pasti menggantikan sang kekasih untuk menyelamatkan nyawa.
[Weroz] "Benar."
[Liene] "Dia masih hidup."
Keringat membasahi dahinya yang memucat.
[Weroz] "Tampaknya begitu. Panah tadi sore juga..."
[Liene] "Dia berniat untuk bertarung, bukan?"
[Weroz] "Sepertinya begitu. Jika saya adalah Tuan Kleinfelter, saya juga akan melakukan hal yang sama."
Keringat yang menggenang menetes. Liene juga harus membuat pilihan. Bertarung, atau menyerah. Mempercayai pengabdian kekasihnya, atau mempercayai gairah seorang pria yang dilanda demam.
[Weroz] "Tuan Kleinfelter mungkin mencari perlindungan pada Ketua Aristokrat."
Itulah sebabnya pencarian mereka sia-sia.
[Weroz] "Di sana, keselamatannya akan terjamin. Setidaknya kirimkan surat terlebih dahulu tanpa sepengetahuan Tiwakan..."
Belum sempat Weroz menyelesaikan kalimatnya, Kriiieeet! Suara pintu kapel terbuka kasar menggores gendang telinga Liene.
Terkejut, Liene menoleh dan melihat Fermos beserta pasukan Tiwakan masuk.
[Fermos] "Oh, tenyata... Yang Mulia Putri. Apa yang Anda lakukan di sini?"
Mungkinkah... mereka mendengar percakapan kami?
Untunglah kapel itu gelap. Fakta bahwa ekspresi Liene berubah suram saat melihat wajah Fermos bisa tetap tersembunyi dalam kegelapan.
[Fermos] "Apa yang Anda lakukan di sini?"
Suara Fermos dipenuhi kecurigaan. Pasti ada alasan mengapa Putri Liene berada di kapel pada larut malam seperti ini, jauh dari kediamannya di istana utama, hanya ditemani komandan pasukan penjaga.
[Fermos] "Apakah Anda memeriksa jenazah? Sungguh aneh."
Monokel Fermos memantulkan cahaya bulan yang susah payah masuk melalui jendela kecil. Cahaya bulan yang dingin bagai bilah pedang.
[Fermos] "Bukankah tradisi di Nauk bahwa orang yang hidup tidak boleh melihat jenazah sebelum upacara pemakaman?"
[Liene] "......"
Itu benar. Liene dan Weroz kehilangan kata-kata.
[Fermos] "Mungkinkah ada sesuatu yang harus diketahui oleh Lord Tiwakan?"
[Liene] "Itu..."
Liene memaksa bibirnya yang terasa lengket dan enggan bergerak untuk terbuka. Sekarang dia harus membuat alasan apa saja. Jika mereka sampai mengetahui fakta bahwa kekasihnya masih hidup, masalah tak terkendali akan terjadi.
[Liene] "...Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal."
Tiwakan pasti mengira komandan ksatria Arsak telah meninggal. Liene harus menyesuaikan situasinya dengan asumsi itu.
[Liene] "Jika bukan sekarang, tidak akan ada waktu lain."
[Fermos] "...Hmm."
Fermos menunjukkan keraguannya dengan gumaman bukan dengan perkataan.
[Liene] "Lord Tiwakan dan diriku telah berjanji untuk menjadikan pernikahan ini senyata dan setulus mungkin. Jadi..."
[Fermos] "Jadi karena dia kekasih Anda, sehingga Yang Mulia membutuhkan waktu untuk mengucapkan perpisahan?"
[Liene] "...Ya."
Apakah dia berhasil menipu mereka?
Dengan ini, kekasihnya secara resmi menjadi orang meninggal, menghantarkan hawa dingin misterius. Liene merasa seolah-olah dia berdiri sendirian di tengah badai salju, telanjang.
Monokel Fermos kembali berkilau seperti bilah pedang.
[Fermos] "Hmm, baiklah saya paham. Saya akan menyampaikan hal yang sama pada Lord Tiwakan."
"...Aku yakin Lord Tiwakan akan mengerti." Liene mengangguk ringan, bersikap tenang meskipun dalam hatinya bergejolak.
[Liene] "Sekarang aku harus pergi. Semoga pencarianmu malam ini segera membuahkan hasil."
[Fermos] "Jika tulus, itu adalah perkataan yang sangat berarti, Yang Mulia."
Fermos mundur selangkah dari pintu masuk kapel, bersikap sopan.
[Fermos] "Silahkan. Sampai jumpa nanti."
[Liene] "Baiklah."
Liene berbalik terlebih dahulu, diikuti oleh Weroz.
Comments