A Barbaric Proposal Chapter 71
- 23 Agu
- 7 menit membaca
Diperbarui: 5 hari yang lalu
※Satu Jam※
Awalnya, Black mengira terjadi sesuatu yang buruk.
Begitu ia melompat turun dari kudanya, Liene langsung memeluknya seolah sudah menunggu.
[Black] "Putri?"
Black bersumpah, inilah pertama kalinya Liene secara aktif menunjukkan perasaannya.
[Black] "Apa yang terjadi?"
Black hendak melepaskan Liene sedikit untuk melihat ekspresinya. Namun, Liene malah menguatkan pelukannya dengan keras kepala.
[Black] "Ada apa sampai begini?"
Black pun menyerah untuk melihat wajah Liene dan balas memeluknya erat. Tangan besarnya perlahan membelai punggung Liene.
Liene terdengar menarik napas dalam-dalam untuk beberapa saat, lalu bergumam sambil memeluknya.
[Liene] "Aku merasa ingin menangis."
[Black] "Jadi, kau mencariku?"
[Liene] "Ya. Tapi sekarang air matanya sudah hilang semua."
[Black] "Sayang sekali."
[Liene] "Aku..."
Tiba-tiba Liene menjauhkan diri dan menatap mata Black. Mata hijaunya sungguh indah. Kemudian, ia kembali memeluk Black dengan tiba-tiba seperti sebelumnya.
[Black] "Putri..."
[Liene] "Aku pikir suatu hari nanti, kau akan meninggalkanku."
[Black] "..."
Black mematung, lalu mendengus, seolah menganggap perkataan Liene mustahil.
[Black] "Itu hanya lah mimpi kosong."
Liene tampaknya masih belum mengerti apa artinya menikah dengan Black.
[Black] "Aku tidak akan pergi dengan kakiku sendiri."
[Liene] "Kenapa? Kau yang meninggalkanku, memang sudah yang seharusnya, kan?"
[Black] "Apa maksudmu 'seharusnya'?"
[Liene] "Ayahku membunuh ayahmu, iya kan?"
[Black] "Putri..."
[Liene] "Aku mencoba membalikkan keadaan dan memikirkannya. Aku pun tidak akan pernah bisa memaafkannya. Jadi... jadi aku pikir kau tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu. Tapi aku tahu suatu hari kau akan mengetahuinya. Dan kupikir, jika kau tahu, perasaanmu padaku akan berubah. Karena orang-orang bisanya memang begitu. Aku punjuga akan begitu. Kau tidak mungkin berbeda. Harapan dimana persaanmu tidak akan berubah terasa... seperti mimpi."
[Black] "Sudah berkali-kali kukatakan, masa lalu sudah tidak penting dalam hidupku."
[Liene] "Aku baru tahu sekarang bahwa semua ucapanmu memang sebuah ketulusan."
[Black] "Putri...."
Kali ini, Liene menurut ketika Black mendorongnya sedikit. Black menundukkan kepala, memegang dagunya, dan mengunci pandangan mereka. Air mata yang menggantung di bulu mata keemasan Liene akhirnya tidak menetes. Perkataannya bahwa air matanya sudah hilang memang benar.
[Black] "Apa itu alasannya kau merusak jubah pernikahan?"
[Liene] "Aku tidak bisa membiarkanmu memakai pakaian ayahku, kan?"
[Black] "Apakah yang terjadi di masa lau begitu menyiksamu? Sampai-sampai kau lebih memilih melukai tanganmu sendiri?"
[Liene] "Tidak peduli seberapa tersiksanya aku, aku tidak akan bisa menandingi penderitaan yang sudah kau alami."
[Black] "...Ini akan sulit," Black bergumam pada dirinya sendiri tanpa alasan.
[Liene] "Apanya yang sulit?"
[Black] "Perkataanmu barusan, apa artinya kau sangat mencintaiku? Benarkah?"
[Liene] "Benar. Tapi, apanya yang sulit?"
Black mengerutkan kening dan melihat sekeliling. Bagian depan kandang kuda terlihat seperti biasa. Marton, penjaga kandang kerajaan, bergerak sibuk ke sana kemari mengurus kuda, dan para Tiwakan yang kembali ke kastil bersamanya sedang turun dari kuda atau menuntun kuda mereka.
[Black] "Tempatnya."
[Liene] "Kenapa tempatnya— Astaga!"
Black mengangkat Liene. Seketika, semua orang menoleh ke arah mereka dengan mata terbelalak kaget.

[Black] "Berikan aku waktu satu jam."
[Liene] "Kenapa harus satu jam? Dan apakah aku harus berbicara sambil digendong seperti ini?"
[Black] "Ya, satu jam. Dan harus seperti ini. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika kedua tanganku bebas."
[Liene] "Apa?"
[Black] "Maksudku, saat ini aku sangat ingin menciummu hingga rasanya aku bisa gila."
Black berjalan cepat dengan langkah kakinya yang panjang menuju ke dalam kastil.
[Liene] "Aku bisa berjalan sendiri."
[Black] "..Kau membuatnya sulit."
Black tiba-tiba berhenti dan mencium bibirnya. Liene terkejut dan memegang Black. Ia mencengkeram apa pun yang bisa ia raih, yang ternyata adalah telinganya.
[Black] "Sakit." Black berbisik dengan bibir masih menempel di bibir Liene.
[Liene] "Maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Tapi jika kau melakukannya di sini..."
[Black] "Jika kau tidak masalah, aku akan langsung membawamu ke kamar tidur."
[Liene] "Aku bisa berjalan sendiri. Semua orang melihat kita."
[Black] "Aku jamin, jika kau mencoba berjalan sendiri, akan ada lebih banyak orang melihat."
[Liene] "Apa maksudmu?"
Kepolosan Liene terasa jelas dalam momen seperti ini.
[Black] "Tolong, jangan bicara lagi."
[Liene] "......?"
[Black] “Ketika aku mengajakmu ke kamar untuk berciuman, dan kau bilang 'aku bisa jalan sendiri', itu terdengar seolah kau sangat tidak sabar untuk melakukannya. Bisakah kau tidak membuatku semakin gila?"
[Liene] "......Ah?"
[Black] "Jika sudah mengerti, tolong diam lah."
[Liene] "......"
Liene membuang muka ke samping dan menutup mulut. Melihat pipi hingga cuping telinga Liene memerah perlahan, Black merasa sebagian otaknya seolah putus.
Black menaiki tangga dua sampai tiga langkah sekaligus hingga tiba di kamar tidur.
[Black] "Satu jam."
Black melirik jam di dinding dengan mata yang terlihat lebih redup dari biasanya.
Mengapa dia terus menghitung waktu? Apakah akan terjadi sesuatu setelah satu jam?
Sesaat kemudian, pikiran itu menghilang. Begitu Black membaringkannya di tempat tidur, Black langsung menempelkan bibirnya.
Ah...
Ciuman Black kali ini terlihat terburu-buru memicu gairah yang tak berujung. Jari-jarinya yang melingkari leher Black tanpa sadar merayap di antara rambutnya. Setiap kali ujung jarinya menyentuh rambut dan tengkuk Black, Black mengeluarkan erangan panas.
Ah, lagi...
Bibir Black menjauh sebentar, lalu dengan lembut menggigit bibir bawah Liene sedikit demi sedikit. Tidak sakit, tetapi rasanya aneh.
Apa dia suka menggigit? Aku lebih suka ciuman biasa.
[Liene] "Aku penasaran." Liene bertanya sambil sedikit mendorong dahi Black.
[Liene] "Kenapa kau menggigit?"
[Black] "Aku melakukannya?"
[Liene] "Ya. Tadi kau melakukannya lagi. Seperti ini."
Karena Black terlihat tidak mengerti, Liene menirunya dengan menggigit bibir bawahnya perlahan. Black memejamkan mata dan mendesah singkat.
[Black] "Itu... untuk berhenti sebentar."
[Liene] "Berhenti dari apa?"
[Black] "Ciuman. Karena aku tidak bisa melanjutkannya."
Pada saat yang sama, muncul jawaban yang sedikit berkabut.
[Liene] "Ah... benar. Karena kita bisa sesak napas."
[Black] "Karena kita belum menikah."
[Liene] "......? Kita sudah sering berciuman, kan? Sepertinya itu tidak ada hubungannya dengan pernikahan."
[Black] "......Tidak kusangka aku percaya bahwa orang sepemalu ini menyukai orang yang berpengalaman."
Black menempelkan dahinya ke dahi Liene dengan ekspresi yang entah kenapa terlihat lelah.
Liene berbisik dengan malu saat wajah mereka saling menempel.
[Liene] "Kau tahu bahwa pernyataan itu bohong, kan?"
[Black] "Ya. Aku tidak percaya aku sempat mempercayai kebohongan yang begitu jelas."
[Liene] "Kenapa?"
...Apakah begitu mengejutkan? Aku mungkin memang pandai berbohong.
Namun, pikiran Liene salah total. Black terkejut karena ia sangat terbutakan oleh cinta hingga mempercayai kebohongan yang begitu jelas. Sebuah hal yang sebenarnya bisa ia ketahui hanya dengan sedikit memiringkan arah ciuman.
[Black] "Jika aku berciuman, aku menginginkan tahap berikutnya."
Perkataan yang terdengar sangat dekat, terasa seperti rawa yang lengket. Jika Liene salah melangkah, ia akan tersedot sepenuhnya.
[Liene] "Ah... itu maksudmu."
Untungnya, Liene, meskipun polos, tidak sepenuhnya bodoh.
[Liene] "Itu, umm... aku tahu hal itu bisa terjadi. Dan aku..."
Haruskah aku bilang boleh ke tahap selanjutnya? ...Tentu saja aku juga mau. Tapi ini bukan malam, ini masih siang. Dan masa siklus bulananku sepertinya akan berakhir besok...
[Liene] "Aku belum siap..."
[Black] "Aku tahu."
Black menjauhkan dahinya, lalu menjilat bibir Liene sambil menjawab.
[Black] "Aku juga tidak ingin memeluk dirimu terburu-buru seperti ini. Kau pantas mendapatkan semua prosedur yang sesuai, dan aku akan melakukan yang terbaik untuk menyesuaikan diriku dengan prosedur itu."
Mendengar perkataannya, Liene tertawa kecil.
[Liene] "Itu, umm... kau tidak perlu terlalu memaksakan diri. Sejak awal, kita tidak mematuhi satu pun prosedur."
[Black] "Justru karena itu aku ingin mematuhinya. Aku tidak ingin terus-menerus menyimpang, hanya karena permulaannya sudah salah."
Black mencondongkan tubuhnya, membuka bibir Liene dengan bibirnya sendiri. Bibir Liene terbuka, dan tubuhnya dibaringkan di tempat tidur.
[Black] "Tetapi aku tidak bisa menahan diri hanya dengan berciuman, jadi aku menentukan batas waktu satu jam. Satu jam seharusnya cukup membuatku sedikit mereda."
Bertolak belakang dengan perkataannya, bibir yang menempel itu terasa sangat panas.
Liene merentangkan kedua tangannya dan memeluk leher Black.
[Liene] "Kau sangat kontradiktif."
[Black] "Ini pertama kali aku mendegarnya."
[Liene] "Bagus lah."
[Black] "Kenapa bagus?"
Percakapan mereka terus berlanjut, disela-sela ciuman. Karena setiap kali ada jeda sebentar, Black pasti akan kembali menempelkan bibirnya.
[Liene] "Karena jika ada orang lain yang mengatakannya, pasti dia seorang wanita."
Liene menekan sudut bibir Black yang basah dan berkilauan dengan bibirnya sendiri, lalu bergumam pelan.
[Liene] "Perkataanmu yang akan mereda justru membuatku semakin bersemangat. Bagaimana itu tidak kontradiktif?"
Black melirik jam di atas perapian. Matanya yang menyipit kesakitan terlihat semakin sensual—juga sebuah kontradiksi.
[Black] "39 menit... Sebaiknya dirimu tidak usah mengatakan apa-apa."
[Liene] "Terserah dirimu saja."
[Black] "Jangan katakan hal itu juga."
Ciuman yang berlanjut terasa panas hingga menyiksa.
"Hei, keluar. Kalian berdua."
Krieet, DUAK!
Pintu besi yang tebal terbuka. Sinar terang yang cukup cerah menyinari ruangan setelah sekian lama. Kedua Kleinfelter harus berulang kali mengerjapkan mata mereka yang sudah terbiasa dalam kegelapan.
[Lyndon] "K-kemana...?" Lyndon bertanya dengan suara serak.
[Tiwakan] "Katanya harus pergi ke Alun-alun Dewa."
[Lyndon] "Ah, kalau begitu... Kalau begitu!"
Mata Lyndon, yang selama ini hanya terbaring di lantai ruang bawah tanah seperti orang sekarat, kembali fokus.
[Lyndon] "Apakah hari ini diadakan Pertemuan Dewan Agung!"
[Tiwakan] "Itu bukan urusanku."
Salah satu Tiwakan, yang kebetulan bertugas sebagai kepala penjara bawah tanah, menjawab dengan malas.
[Tiwakan] "Keluar lah. Aku malas bicara terus."
[Lyndon] "...Aku akan mengingat wajahmu, bajingan."
Lyndon mendapatkan kembali nada bicaranya yang khas Kleinfelter.
Beberapa hari terakhir terasa seperti neraka.
Ia telah memberi tahu dua bangsawan yang datang tentang rencananya untuk mempermalukan Liene, tetapi hasilnya masih tidak diketahui. Jika rencananya berhasil, dua bangsawan itu seharusnya kembali untuk memberi tahu hasilnya.
Waktu yang ia habiskan untuk menunggu kedua bangsawan senior, sampai lehernya terasa sakit, membuatnya mengerti perasaan ikan yang terdampar di darat. Ia bahkan berpikir bisa mati hanya karena menunggu kabar.
Namun, yang sangat aneh adalah tidak ada perubahan sama sekali di penjara bawah tanah. Jika Klima berhasil mempermalukan Liene dan melemparkannya ke hadapan Black, seharusnya ada sesuatu yang berubah.
Mungkin Klima belum berhasil. Meskipun memiliki keahlian membunuh yang hebat, Klima sangat lemah seperti anak kecil. Sungguh disayangkan.
Jadi, ia terus menunggu kabar, dengan hati yang terbakar. Lyndon yakin, meskipun pemimpin barbar itu gila karena menginginkan wanita yang sedang mengandung anak orang lain, perasaan Black tidak mungkin kokoh.
Setiap pria tahu bahwa Liene Arsak, dengan bodohnya mengira yang ia lakukan adalah permainan cinta, padahal dirinya dipermainkan sebagai hiburan oleh sang barbar. Jika Liene dicemari dan dihancurkan, permainan cintanya pasti akan berakhir.
Pria adalah makhluk yang seperti itu dalam hal kasih sayang. Ada beberapa orang bodoh yang salah mengartikan kasih sayang dan nafsu, tetapi pada dasarnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan wanita hanyalah hiburan.
Jika kesenangan itu hilang, perasaan pun akan berakhir. Tidak penting apakah perasaan itu cinta atau nafsu. Yang penting, jika kegembiraan berakhir, semuanya akan berakhir. Jika wajah cantik Liene terluka, kegembiraan sang barbar pasti akan hilang.
Artinya, menghancurkan Liene Arsak adalah dua keuntungan dalam satu langkah. Putra sulung Kleinfelter juga seorang pria, dan sudah jelas bahwa kegembiraannya juga akan sirna.
Jadi, yang dibutuhkan hanyalah kabar gembira, tetapi kabar itu datang sangat terlambat.
[Lyndon] "Siapa yang menjemput? Siapa dari keluarga Kleinfelter yang datang?"
[Tiwakan] "Jangan terus membuatku repot, cepat keluar saja."
[Lyndon] "Jawab dulu! Beraninya kau, sampah, berbicara seperti itu di hadapanku!"
Tiwakan yang bertugas menatap Kleinfelter yang berdebat layaknya bangsawan meskipun ia meringkuk di lantai bawah tanah yang lembap, dengan tatapan sangat kasihan.
Mereka sudah berkeliling medan perang bersama Black selama sepuluh tahun dan melihat berbagai macam bangsawan. Bahkan raja dari kerajaan besar pun seringkali pucat dan gemetar di hadapan pemimpin mereka.
Tidak peduli seberapa keras Lyndon berteriak, itu hanya terdengar konyol.
[Tiwakan] "Benar-benar tidak sadar diri, cih. Kalau kau tidak mau keluar, aku akan menyeretmu."
Tiwakan itu melangkah masuk ke dalam penjara dan mencengkeram pergelangan kaki Lyndon.
[Lyndon] "Beraninya kau menyentuhku... Ugh!"
Lyndon diseret seperti anjing dengan satu kaki terangkat. Lafitte tidak berniat menghentikan pemandangan itu, sama seperti ketika Komandan Tiwakan mematahkan kedua pergelangan tangan pamannya. Kedua mata Laffit tetap terlihat kosong.
[Tiwakan] "Hei, kau juga keluar. Mau aku seret juga?"
Lafitte menoleh ke luar sebentar, lalu perlahan bangkit.
Komentar