top of page

A Barbaric Proposal Chapter 6

Updated: 2 days ago

~Jika Kau Bisa Bertahan (1)~

Ketika Liene kembali dengan gunting di tangannya, Fermos—tangan kanan Black—tiba lebih cepat dari tabib kerajaan, dan telah menyelesaikan semua tindakan yang diperlukan. 

Weroz, yang datang bersama Fermos, menyadari bahwa dirinya tidak dapat membantu, dan hanya bisa berdiri dengan wajah canggung bersama Nyonya Flambard, bagaikan hiasan dinding yang bisu.

[Fermos] "Anda terkena panah?" Fermos bertanya sambil membalut bahu Black dengan kain. 

Pertanyaan itu terasa aneh, mengingat dialah orang yang langsung merobek kulit, mencabut anak panah, membersihkan darah, mengukur dalamnya luka, dan bahkan mengoleskan obat. 

[Fermos] "Jadi, Tuan benar-benar terkena panah? Sungguh?"

"…Berisik. Diamlah," Black membungkam mulut Fermos. Pemikiran bahwa pertanyaan Fermos aneh segera lenyap digantikan oleh pemikiran lain. 

Ah…. Liene membeku di tempatnya, dengan gunting di satu tangan.

Black… tidak memakai bajunya.

Jubah dan kemeja yang berlumuran darah tergeletak robek di lantai. Black duduk di depan kursi yang tadi didudukinya, menerima perawatan. 

Hal pertama yang menarik perhatian Liene adalah banyaknya luka yang terukir di tubuh pria itu. Ada yang besar, ada yang kecil. Ada yang telah sembuh dan meninggalkan bekas putih, ada pula yang menonjol kasar. Dari atas ke bawah, dari bawah ke atas. 

Setelah matanya menyusuri semua luka itu, barulah Liene menyadari bahwa yang sedang dilihatnya dengan tatapan terpaku adalah tubuh bagian atas pria itu. Tubuh yang lebih dinamis dan hidup daripada tubuh mana pun yang pernah dilihatnya.

Seperti paradoks. Tubuh yang menanggung begitu banyak luka sama sekali tidak terlihat mengerikan. Justru sebaliknya. Tubuh pria itu mengungkapkan bentuk yang indah, bahkan tanpa perlu mengukur tulang dan panjangnya. Ia bagaikan patung yang menakjubkan.

Seolah seorang maestro dengan hati-hati membuat patung tanpa cela, lalu sengaja menggores permukaannya dan menambahkan luka untuk memberikan kesan kehidupan.


Terjemahan Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 6

[Black]"Jangan berdiri saja di sana, duduklah."

Saat Liene menatap Black, Black juga balas menatapnya. Black mengamati dengan seksama wajah yang memucat dan mata hijau yang melebar dramatis saat melihat lukanya.

[Black] "Kau masih terlihat seperti akan pingsan."

[Liene] "…Aku baik-baik saja."

Untunglah ada orang lain di sana. Jika hanya mereka berdua dalam keadaan seperti ini, Liene pasti tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya.

"Seberapa parah luka Lord Tiwakan?" Liene bertanya pada Fermos.

[Fermos] "Tidak terlalu parah, tapi juga tidak bisa dibilang ringan. Tidak akan sampai cacat, tapi dia akan menderita untuk sementara waktu. Dia juga akan demam, dan mungkin akan kesulitan tidur di malam hari. Dan jika ada racun pada panah, situasinya akan jauh lebih mengerikan."

Kata "racun" mengubah suasana yang tadinya baik-baik saja dalam sekejap. Weroz meninggikan suaranya dengan nada bicara yang penuh ketidakadilan.

[Weroz] "Pasukan penjaga Nauk bekerja sama untuk mengejar pelakunya. Bahkan jika ada racun, tidak akan sulit untuk mendapatkan penawarnya."

[Fermos] "Pelakunya memang akan tertangkap, tapi yang lebih penting adalah siapa dalang di balik semua ini, bukan?" Orang barbar itu tidak pernah berbasa-basi untuk sopan santun.

[Fermos] "Kami tidak ingin berpikir bahwa panah yang tak terduga ini adalah niat tersembunyi Nauk, mengingat kedua belah pihak telah menyelesaikan perjanjian dengan lancar."

[Weroz] "Sungguh tidak sopan… Tentu saja tidak! Apa Anda meremehkan Nauk sebagai tempat yang tidak punya integritas?!" Seorang ksatria yang jujur, yang merasa terhina, menjadi marah.

[Liene] "Tuan Weroz," Liene menenangkan Weroz. "Tenanglah. Nauk lah yang gagal menunjukkan integritas dengan benar."

[Weroz] "Tuan Putri!"

[Liene] "Kita tidak bisa menyangkal bahwa panah itu milik Nauk, bukan?"

[Weroz] "Itu…." Weroz menggigit bibirnya dengan erat. 

Kejadiannya terjadi di taman belakang istana, bukan di tempat lain. Jelas bahwa panah itu adalah milik Nauk. Jika posisinya dibalik, Liene juga pasti akan mencurigai niat pihak lain.

[Liene] "Mungkin… ada orang-orang yang menentang pernikahan ini. Tapi itu jelas bukan sikap resmi Nauk."

Itulah kenyataannya. Liene berkata, dengan sangat berharap Black akan mempercayai kata-katanya.

[Liene] "Nauk akan melakukan segala yang memungkinkan untuk meredakan kekhawatiran Tiwakan. Nauk tidak ingin perjanjian pernikahan ini dibatalkan, juga tidak ingin kedua belah pihak kembali bertempur. Kami hanya menginginkan perdamaian yang utuh."

"Begitukah pendapat Anda, Tuanku?" Fermos bertanya pada Black. "Apakah Tuanku juga menginginkan hal yang sama dengan Putri Nauk?"

Masa depan Nauk bergantung pada jawaban Black. Ironisnya, saat ini Liene berada dalam posisi yang lebih menginginkan pernikahan yang selama ini ditolaknya.

[Black] "…Apa yang kuinginkan tetap sama."

Dan saat Black mengatakannya, Liene merasakan kelegaan. Tak bisa dipercaya. Semua emosi yang ditimbulkan oleh sang pria semuanya kontradiktif. Hari ini adalah hari jenazah kekasihnya kembali. Seharusnya Liene berduka tapi dia sudah melupakan fakta itu.

"Kalau begitu." Fermos mengangguk. Suara "klik" yang lucu terdengar dari kacamata monokelnya.

[Fermos] "Jelas ada kekuatan di Nauk yang menentang Tiwakan, jadi kita harus membereskannya sebelum pernikahan."

Tentu saja semuanya setuju dengan Fermos.

[Liene] "Nauk juga berpikiran sama."

[Fermos] "Syukurlah kalau begitu. Tiwakan ingin mengambil alih urusan mengungkap dan membereskan dalang di balik kejadian ini. Ah, bukan berarti kami ingin mengambil alih pekerjaan penjaga, jadi jangan salah paham. Bagaimanapun, Tiwakan sekarang adalah Ksatria Pelindung Keluarga Arsak, jadi bukankah sudah seharusnya kami menangani dalang di balik percobaan pembunuhan Lord Tiwakan, yang telah menjadi anggota keluarga?"

[Weroz] "Itu…." 

Weroz menatap Liene dan Mashilow bergantian. Jika mereka menolak, kecurigaan bahwa mereka menyembunyikan dalangnya akan semakin besar. Kapal yang dinaiki Liene sudah meninggalkan daratan dan berlayar di atas air.

[Liene] "Aku setuju."

Semua isi perjanjian pernikahan yang baru saja dibuat hari ini, kecuali upacara pernikahan, tampaknya akan segera terlaksana.

Memang benar, demam datang. Menjelang senja, Black tertidur nyenyak, hampir tak sadarkan diri. Liene, bersama Nyonya Flambard, berjaga di sisinya, menyaksikan Black sesekali sadar sejenak, lalu kembali menelan erangan.

"Istirahatlah, Yang Mulia. Sepertinya dia sudah kembali tertidur," ucap Nyonya Flambard.

Liene, yang tadinya berusaha mengalihkan pandangan dari Black, kini kembali menatapnya. "Tidak… kelopak matanya bergerak. Kurasa dia belum benar-benar tertidur."

[Nyonya Flambard] "Tapi dia juga tidak mengenali kehadiran Yang Mulia."

[Liene] "Aku harus menunjukkan ketulusan. Ini masa genting bagi kita semua," Liene menyerahkan handuk baru kepada Nyonya Flambard. "Tolong lap keringatnya dengan ini."

[Nyonya Flambard] "…" 

Setelah ragu sejenak, Nyonya Flambard menerima handuk itu, matanya berkaca-kaca. "Anda bahkan tidak suka tubuh Anda disentuh, mengapa Anda berpikir untuk menikahi pria sepertinya? Bagaimana Anda akan menahannya?… Tuan Putriku yang malang."

Liene dengan cepat menggelengkan kepala. "Nyonya, mohon jaga ucapanmu. Kita tidak sendirian di sini. Ada orang-orang Tiwakan di luar pintu."

"Astaga, kalau begitu…" Nyonya Flambard baru menyadari kesalahannya dan buru-buru menutup mulut. Liene mengambil kembali handuk dari tangan Nyonya Flambard.

[Liene] "Dan bukan berarti aku tidak tahan tubuhku disentuh. Berikan padaku. Aku akan melakukannya sendiri."

…Memang benar aku tidak suka disentuh. Memang benar ada rasa tidak nyaman bersentuhan fisik dengan pria ini. 

Tapi, Liene pikir perasaaannya sedikit berbeda dari yang diucapkan Nyonya Flambard. Bukan berarti dia membenci pria ini atau merasa jijik. 

Dia hanya… Lalu, apa sebenarnya yang tidak disukainya?

Liene merasakan kontradiksi dalam hatinya sendiri saat mulai menyeka dahi Black. Dia tidak membencinya, tapi tidak suka. Dia tidak suka, tapi tidak membencinya. Dia tidak bisa memahami perasaannya sendiri.

"Saya akan mengambilkan air baru, Yang Mulia," kata Nyonya Flambard, merasa malu karena kesalahannya dan terpaksa mencari alasan untuk meninggalkan kamar tidur. 

Ruangan yang digunakan Black adalah kamar tidur Liene saat mendiang raja masih hidup. Saat itu, dia berpikir tempat tidurnya terlalu besar tanpa alasan, tetapi dengan Black berbaring di sana, entah mengapa terlihat sempit.

"Ketika dia sadar, aku harus memintanya pindah kamar," Liene bergumam pelan pada dirinya sendiri saat dia menggerakkan handuk ke leher Black.

[Black] "…Kamar ini saja, tidak apa-apa."

[Liene] "…!" Terkejut, Liene menjatuhkan handuk. Mata Black yang berwarna terang menatapnya.

[Liene] "Kau… sudah bangun." Sejak kapan? Seberapa banyak yang sudah didengarnya?

[Black] "Aku mendengar dari saat kau mengatakan bahwa kau bisa menahan sentuhanku"

[Liene] "…"

Liene mencengkeram ujung roknya. Dia menatap handuk yang jatuh tepat di bahu yang terluka dengan rasa kesal. Untuk mengambil handuk itu, dia harus mendekat.

[Liene] "Berikan aku… waktu. Aku adalah wanita yang pernah memiliki kekasih. Sedangkan Lord Tiwakan masih terasa asing bagiku."

[Black] "Bagiku tidak."

…Apa yang tidak?

[Black] "Kau tidak asing bagiku." Kata-kata terakhir Black begitu pelan dan rendah, hampir terdengar seperti desahan.

[Black] "Jika tak tertahankan, lalu seberapa banyak yang bisa kau tahan?"

[Liene] "…Apa?" Liene bisa dengan jelas melihat mata Black bergerak. Dia perlahan dan gigih menyusuri setiap ekspresi di wajah Liene.

[Black] "Mungkin karena demam. Aku ingin memastikannya."

[Liene] "Apa yang kau… maksud?"

[Black] "Aku bertanya. Seberapa banyak sentuhanku yang dapat kau tahan?" Black mengangkat tangannya. Tangannya yang panas perlahan terulur dan menyentuh pipi Liene.

[Black] "Ini tidak apa-apa kan?"

[Liene] "Lord Tiwakan. Aku…"

[Black] "Katakan padaku. Tuan Putri."

…Aku tidak tahu. Apa yang harus kukatakan? Mengapa tangan yang menyentuh pipiku tidak menjauh, tapi malah terus membelai pipiku?

[Black] "Sentuhan ini tidak apa-apa kan?"

[Liene] "…"

Liene juga tidak tahu. Sentuhannya terasa panas. Demamnya tinggi. Mata birunya yang pucat seperti air, seolah bisa memantulkan segalanya, kini keruh oleh panas. Dia terlihat sangat panas. Seolah panas itu menular ke Liene juga.

[Liene] "Demammu tinggi, Lord Tiwakan." Liene menggelengkan kepala untuk menjauh darinya. "Tidurlah dan istirahatlah. Jika kau merasa sangat tidak nyaman, sebaiknya minum obat pereda nyeri."

[Black] "…Demamku memang tinggi," Dia bergumam, tidak jelas apakah itu untuk dirinya sendiri, untuk didengar Liene, atau hanya omong kosong karena demam.

[Black] "Kalau begitu bagaimana dengan ini."

Liene menyadari Black entah sejak kapan telah bangkit dan duduk. Dan tangan yang demam itu menyentuh bibirnya. Dengan ibu jarinya, Black mengusap lembut bibir bawah Liene saat bertanya, "Ini juga bisa kau tahan?"

Memang benar dia demam. Tapi jari yang menyentuh bibirnya terasa berbeda. Berbeda juga dari kekasihnya. Sangat panas. Panas yang tidak bisa diusir dari benak Liene, tidak peduli sekuat apa pun dia berusaha.

[Black] "Ini juga bisa kau tahan?" Ibu jari yang tadinya mengusap bibirnya turun mengikuti dagunya. Perlahan membelai garis rahangnya sebelum menuju ke lehernya. Tangan yang panas menyapu kulit Liene, dan entah sejak kapan, mulai membelainya. 

Bukan hanya bulu matanya, tapi seluruh tubuhnya bergetar. Pria itu panas karena demam, tapi panas itu terus menerus menimbulkan sensasi aneh. Panas yang belum pernah dirasakannya bahkan saat berciuman dengan kekasihnya. 

Liene tidak tahan lagi. Jika terus seperti ini, dia akan membohongi dirinya sendiri. Bahwa dia menginginkan pria ini.

[Liene] "Cukup."

Liene menutup matanya rapat-rapat dan menekan tangan Black untuk menghentikan gerakannya. Bukan karena lehernya dicekik, tapi karena tangan yang mencekiknya terlalu panas sehingga membuatnya takut.

[Liene] "Apa… yang kau ingin aku tahan?" Liene dengan susah payah membuka mata dan menatap mata Black yang berwarna biru pucat. "Apa, sampai sejauh mana…"

[Black] "Aku juga tidak tahu...."

Jawaban pria yang demam itu terdengar samar. Black memandang sekilas tangan Liene yang menekan tangannya, lalu menggerakkan lidahnya dengan lambat.

[Black] "Sampai sejauh mana aku akan melakukannya."

[Liene] "Tapi…"

[Black "Kupikir, aku hanya ingin melihat bagaimana kau akan bereaksi dengan sentuhanku…,"

Black perlahan menarik tangannya. Akibatnya, tangan Liene pun mendekatinya. Dia meninggalkan ciuman singkat tanpa alasan di punggung tangan Liene yang berada di dekat mulutnya. "Mungkin aku hanya ingin menyentuhmu."

[Liene] "…"

[Black] "Apa kau keberatan"

[Liene] "…Ya," Liene menguatkan hati dan berkata dengan tegas. "Kau tentu tidak berpikir pertunangan ini adalah pertunangan yang biasa, bukan? Lord Tiwakan menuntut pertunangan dengan Nauk, dan aku dipaksa berpisah dengan kekasihku… bahkan saat aku mengandung anaknya."

Suaranya sedikit bergetar saat menambahkan kalimat terakhir. Tak bisa dihindari. Berbohong tidaklah mudah.

[Liene] "Mungkinkah kau berharap akan ada kasih sayang dan gairah dalam situasi seperti ini, seolah-olah kita bertunangan karena saling menginginkan?"

[Black] "…Seperti yang kukatakan, aku tidak tahu. Apa yang kuharapkan saat ini."

Mata yang biasanya garang kini terlihat kabur dan linglung karena demam. Perkataannya yang terdengar tulus. 

[Black] "Yang kutahu hanyalah....aku tidak ingin kau direbut oleh pria lain."


Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

Join Our Mailing List

© Crystal Zee
bottom of page