;
top of page

A Barbaric Proposal Chapter 67

  • 19 Agu
  • 9 menit membaca

Diperbarui: 25 Agu

※Pendekatan (3)※

[Liene] "....!"

Liene terkesiap begitu keras hingga nyaris menyakiti dirinya sendiri.

[Liene] "Kau... tidak tidur?"

[Black] "Tadinya begitu."

Dalam kegelapan pekat, mata pucat Black terlihat semakin jelas saat menatap Liene. Tatapan pria itu tak tergoyahkan dan tak berkedip, persis seperti tatapan hewan buas yang mengincar mangsanya.

[Black] "Ternyata kau juga belum tidur, Putri."

[Liene] "Aku... tidak bisa tidur."

[Black] "Aku mengerti."

...Dan karena ia tidak bisa tidur, Liene datang ke kamar Black pada jam aneh seperti ini, hanya untuk melihat wajahnya. Ya, itu sangat masuk akal.

Liene menyembunyikan ekspresi gelisah, melirik ke arah pintu dan mengukur jaraknya. Ia harus segera pergi sebelum Black mulai bertanya. Jika itu terjadi, Liene hanya bisa panik karena tidak punya jawaban bagus.

[Liene] "Kalau begitu, permisi."

Dengan suara dibuat santai, seolah semuanya baik-baik saja, Liene berbalik untuk meninggalkan ruangan. Tapi percuma saja.

[Black] "Kenapa kau membawa selimut?"

[Liene] "a-apa?"

Liene terdiam kebingungan. Ia benar-benar lupa dengan selimut yang ada di tangannya. Seolah ia secara tidak sadar berniat tidur di samping Black tanpa menyadarinya.

[Liene] "Oh, bukan apa-apa. Hanya saja... aku takut kau kedinginan dan tidak punya selimut."

...Apa yang aku katakan? Tentu saja Black punya selimut. Benda yang menutupi tubuhnya saat ini, apa sebutannya kalau bukan selimut?

[Liene] "Aku khawatir, tapi ternyata aku malah membangunkanmu. Aku akan kembali sekarang."

[Black] "Itukah yang ada di benakmu, Putri?"

Black duduk dari tempat tidur, menyingkirkan selimut yang menutupinya. Saat selimut melorot, terlihat pakaian tidur yang ia kenakan, namun bagian depan jubahnya tidak diikat.

Liene menahan napas, takut Black akan mendengar ia menelan ludah dengan gugup.

[Liene] "Aku hanya khawatir."

[Black] "Dan, apakah kekhawatiranmu sudah hilang?"

[Liene] "A-aku... tidak begitu yakin."

[Black] "Baiklah. Lakukan saja sesukamu."

Seolah tidak terjadi apa-apa, Black hanya duduk di sana, mengawasi Liene.

...Apa yang aku inginkan?

Jika Liene kembali seperti ini, ia mungkin tidak akan bisa tidur. Ia akan terus terjaga, bertanya-tanya apakah Black sudah kembali tidur sendirian. Besok pagi pasti akan sangat canggung, dan Liene tidak akan bisa menatap mata Black. Dan ia mungkin akan semakin merindukannya.

[Liene] "...Kalau begitu, jika kau tidak keberatan, tolong geser sedikit."

Dengan mudah, Black menggeser tubuhnya ke samping, dan di tempatnya, ada cukup ruang untuk Liene di ranjang. Seolah Black mengundang Liene untuk berbaring bersamanya.

[Liene] "Bukan begitu. Geser ke sini."

[Black] "Kau yakin?"

[Liene] "Ya."

Meskipun sudah bergerak ke pinggir, atas permintaan Liene, Black kembali ke tengah. Melihat ruang yang tersisa, Liene mengangguk.

[Liene] "Aku akan tidur di sini juga. Aku tidak mau tidur sendirian."

[Black] "...Terserah kau saja."

Liene mengangkat selimut, memanjat ke tempat tidur di samping Black. Tubuh pria itu yang besar berada tepat di tengah, jadi terasa sedikit sempit. Tapi itu membuatnya senang, memberinya alasan untuk berada di dekat Black.

Saat Liene berbaring di sampingnya, Black memiringkan kepala untuk menatap matanya.

[Black] "Kau mau tidur seperti ini?"

Ketika mereka tidur di ranjang yang sama seperti ini, berbaring berdampingan sambil saling menatap mata, itu menciptakan percikan seperti sihir yang bisa menghentikan waktu.

Liene menatapnya, tanpa sadar menggigit bibirnya.

[Liene] "Ya."

[Black] "Terlalu dekat."

[Liene] "Lebih baik daripada tidak cukup dekat."

[Black] ". . ."

Mungkin ini hanya imajinasi Liene, tapi sesaat, terdengar napas Black menjadi lebih berat.

[Black] "Ada hal lain yang ingin kau lakukan?"

[Liene] "Jika aku bilang ya, apakah boleh melakukannya?"

[Black] "Bagaimana kalau kita bergantian?"

Mata Liene gemetar.

[Liene] "Kau... punya sesuatu yang ingin kau lakukan juga?"

Apa yang diinginkan pria ini darinya setelah semua ini?

[Black] "Bukan hal yang buruk, kurasa... Kau tidak mau?"

Yah, jika menyangkut Black, ia bisa dengan mudah melakukan sesuatu 'buruk' yang bisa membuat Liene kesal. Seperti yang Black lakukan di kamar mandi tadi.

[Liene] "Kalau begitu, mari kita sepakat untuk tidak melakukan hal buruk satu sama lain."

[Black] "...Baiklah."

Entah mengapa, Black butuh waktu sejenak untuk menjawab. Ketika ia akhirnya menjawab, ia mengerutkan keningnya.

[Black] "Kau duluan, Putri."

[Liene] "Baiklah..."

Tapi apa yang harus ia pilih? Berbaring di sampingnya seperti ini, ada banyak sekali pikiran yang terlintas di benaknya.

Memutuskan satu hal, Liene mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Black. Ia dengan lembut mengusap jari-jarinya di sepanjang pipi Black seolah Liene memainkan alat musik, merasakan kulitnya bersentuhan dengan kulit Liene.

[Black] "Kau yakin ini yang kau mau?"

Saat ia mengatakannya, Black menundukkan kepala, membawa wajahnya lebih dekat pada sentuhan Liene.

[Liene] "Ya, ini yang pertama kali terlintas di pikiranku. Bagaimana denganmu, Lord Tiwakan?"

[Black] "Kurang lebih seperti ini."

Black mengulurkan tangan, menyisir rambut Liene ke belakang. Saat rambutnya tersingkap, leher dan bahu Liene yang telanjang terlihat.

[Black] "Aku ingin melihatmu benar-benar tak berdaya di depanku, Putri."

[Liene] ". . ."

Komentar itu sangat jelas bernada sensual, bahkan sebelum Liene mengerti apa maksudnya, ia secara naluriah menelan ludah dengan kasar.

[Black] "Apa selanjutnya?"

Tapi sebelum Liene bisa bertanya apa pun, Black melanjutkan percakapan, meletakkan tangannya di bahu Liene.

[Liene] "Kalau begitu... ini."

Saat Black menekan bahu Liene dengan tangannya, Liene memegang tangan itu, mengangkatnya. Namun ia melakukannya bukan untuk mendorong Black menjauh, melainkan agar pria itu mengangkat lengannya. Lalu, Liene memeluk Black, menyelipkan tubuhnya di bawah lengannya.

Black menunduk menatap Liene, yang kini begitu dekat dengannya dalam pelukan. Liene memeluknya begitu erat seperti kucing yang ingin bermanja-manja, sehingga yang bisa Black lihat hanyalah puncak kepalanya. Bahkan Liene, yang wajahnya terbenam di dada Black, tidak bisa melihat ekspresi apa yang Black tunjukkan.

Tetapi tanpa Liene ketahui, di luar pandangannya, Black menggertakkan gigi dengan erat untuk menahan senyum yang akan meledak.

[Black] "Kau tidak boleh melakukan ini."

[Liene] "...Kenapa?"

[Black] "Karena ini hal buruk. Dan kita sudah sepakat untuk tidak melakukannya."

[Liene] "Kau tidak suka?"

[Black] "Tidak. Kita terlalu dekat."

[Liene] "Ah..."

...Aku sangat menyukainya, tapi dia sepertinya membencinya. Ia tidak seperti itu sebelumnya...

Perlahan, Liene menarik tubuh, tapi saat ia menjauh, terlihat keraguan.

[Black] "Sekarang giliranku."

Black mengulurkan tangannya, melewati leher Liene dari sudut yang tidak bisa Liene lihat.

Srett—

Salah satu kancing yang ada di belakang gaun tidurnya terlepas. Setelah kulit sensitif Liene terbuka, ia bisa merasakan sensasi udara dingin mengalir di tengkuk lehernya.


Baca Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 67: Pendekatan (3). Baca Novel A Savage Proposal oleh Lee Yuna. Baca  Novel Terjemahan Korea

[Liene] "Ah, tunggu... Kenapa kau... Ini..."

[Black] "Kita sepakat untuk melakukan apa yang kita mau."

[Liene] "Tapi kau akan membukanya..."

[Black] "Jadi aku tidak boleh?"

[Liene] ". . ."

Jika Liene harus menjawab, ia tidak begitu yakin. Yang ia tahu hanyalah ia sudah bisa merasakan tenggorokannya kembali kering. Apakah ini termasuk 'hal buruk'?

[Liene] "Sekarang giliranku lagi."

Liene tidak melarangnya melakukan hal itu, sebaliknya, Liene punya hal lain yang ingin ia lakukan juga.

[Black] "Lakukan. Tapi jangan terlalu dekat."

[Liene] "Itu tidak adil."

[Black] "Aku tidak bisa melakukan apa-apa kalau kau terlalu dekat denganku seperti tadi, Putri."

[Liene] "Tapi kalau kita terlalu jauh, aku tidak bisa melakukannya."

[Black] "Melakukan apa?"

[Liene] "Aku..."

...Ingin menciummu.

Ia ingin menciumnya, tapi untuk itu, bibir mereka harus bersentuhan. Mengabaikan peringatan yang menyuruhnya untuk tidak terlalu dekat, Liene menarik leher Black.

[Liene] "Kalau ini hal buruk, katakan padaku untuk berhenti."

Dan dalam sekejap, bibir mereka bersentuhan.

Saat bibir mereka bertemu, Black melingkarkan lengannya di pinggang Liene dan mendorong Liene ke bawah. Begitu Liene terperangkap di antara tempat tidur dan tubuhnya, Black tidak menyia-nyiakan sedetik pun, menelan bibir Liene sepenuhnya.

Dengan lengannya melingkari tubuh Liene, ia bisa merasakan Black menegang. Dan begitu ia merasakan lidah Black, ia menarik napas dalam-dalam dari udara manis yang mereka bagi. Bahkan suara Black yang dengan rakus menyesap bibirnya terasa sangat manis.

Namun entah mengapa, Liene merasa ingin menangis. Mengapa? Tadi, Black baru saja meninggalkannya seolah hal seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi. Tapi, yang terjadi sekarang tidak ada bedanya dengan sebelumnya.

Ciumannya seperti gelombang, menyapu dan membawanya pergi. Tubuhnya terasa basah, terseret oleh arus.

[Liene] ". . ."

[Black] ". . ."

Ciuman penuh gairah itu berlangsung lama.

Ketika bibir mereka berpisah dan Liene diberi waktu untuk mengambil napas, ia terkejut. Air mata yang tidak ia sadari sudah menggenang dan mulai mengalir di pipinya.

[Black] "...Kenapa kau menangis?"

Black sama terkejutnya dengan Liene. Dengan bingung, ia menarik Liene ke dalam pelukannya, memeluknya sambil menempelkan bibirnya di telinga Liene, berusaha menenangkannya.

[Black] "Jangan menangis. Apa yang salah dari tindakanku?"

[Liene] "Bukan, bukan tindakanmu..."

Tapi saat ia mencoba bicara, isakan lembut lainnya lolos dari bibir.

Black benar-benar panik. Senyum yang ia miliki saat Liene memeluknya atas kemauannya sendiri menghilang seketika.

[Black] "Kau tidak menginginkan ini?"

[Liene] "...?"

[Black] "Atau kau hanya menahan sesuatu yang tidak kau sukai hanya untuk membuatku senang?"

...Apa maksudnya?

[Black] "Sudah kubilang jangan begitu. Lakukan saja apa yang membuatmu nyaman, Putri."

Black mengendurkan cengkeramannya, diam-diam melepaskan Liene.

[Black] "Bangun. Aku akan mengantarmu kembali ke kamarmu."

[Liene] "A-apa yang kau... "

[Black] "Kau juga tidak suka tidur bersamaku?"

Liene tidak tahu harus berkata apa, dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang.

[Liene] "Tidak, aku tidak mau."

[Black] "Lalu aku harus bagaimana?"

[Liene] "Katakan kau tidak akan melakukannya lagi."

[Black] "Apa?"

[Liene] "Yang kau lakukan tadi."

Ia tahu Black bukan orang yang dingin. Ciuman mereka terasa sama seperti biasanya, jadi Liene tahu ia tidak membencinya. Bahwa api, betapa pun redupnya, masih membara.

Jadi tolong jangan bersikap sedingin itu padaku. Setidaknya sampai kau tahu siapa aku. Sebagai putri dari orang yang mengambil segalanya darimu.

[Black] "Apa yang kulakukan?"

Suara Black terdengar kasar, seolah kata-katanya menggores Liene saat keluar.

[Black] "Aku tidak menyentuhmu selain kancing bajumu."

Dan bagian terburuknya adalah Black bahkan tidak menyadari apa yang ia lakukan sehingga sangat menyakiti Liene.

[Liene] "Bukan itu. Aku maksudkan yang kau lakukan tadi. Saat aku mengetuk pintu dan memanggilmu, kau pura-pura aku tidak ada."

[Black] "...Apa?"

Lalu, rahangnya yang tadinya lurus menegang dan berkerut.

[Black] "Apa yang kau tidak ingin aku lakukan?"

[Liene] "Kau sengaja mengabaikanku... seolah kau membenciku."

Bahkan memikirkannya membuat Liene sedih.

[Liene] "Tolong... jangan pura-pura membenciku kecuali jika kau benar-benar membenciku... Jika tidak, rasanya terlalu menyedihkan."

Sekarang ia tahu mengapa ia tidak bisa tidur. Itu bukan hanya karena Black tidak ada di sisinya. Itu karena Liene masih sangat terluka dan sedih karena apa yang Black lakukan.

Ia masih bisa mengingat pemandangan Black berjalan menjauhinya, dengan acuh tak acuh menutup pintu di belakang tanpa menatapnya. Seolah Black tidak pernah berniat untuk melihatnya lagi, ia memunggunginya dan pergi. Itu... sangat menyakitkan.

[Black] "Putri."

[Liene] "...Hah..."

Merasa emosinya akan meluap, Liene menarik emosinya kembali dan mendorongnya jauh ke dalam dirinya, hanya menghela napas sebagai gantinya.

Liene tidak pandai bergantung pada orang lain secara emosional. Ia masih memiliki banyak air mata yang ingin ia tumpahkan dan begitu banyak kata yang tak terucapkan, tapi tubuhnya secara kebiasaan memutus perasaan itu, menyimpannya.

[Liene] "Aku ingin kau tahu bahwa aku terluka oleh apa yang terjadi di kamar mandi, Lord Tiwakan. Tidak ada yang lain. Aku hanya tidak suka perasaan diabaikan oleh tunanganku."

Berpura-pura menata rambut, Liene mengusap lengan baju ke wajahnya, menyeka air matanya.

[Liene] "Aku rasa aku juga tidak akan bisa tidur di sini. Aku akan kembali ke kamarku sekarang. Tidur yang nyenyak—ah."

Saat Liene berdiri, ia kira ia tersandung kakinya sendiri, tapi itu bukan tersandung. Itu Black yang menariknya kembali.

Menopang tubuh Liene saat ia bersandar padanya, Black membungkuk untuk melingkarkan lengannya di bawah kaki Liene, mengangkatnya ke dalam pelukan.

[Liene] "Tolong turunkan aku."

Berada dalam pelukan Black, Liene menyentuh bahunya.

[Liene] "Kenapa kau melakukan ini?"

[Black] "Kalau aku membiarkan kakimu menyentuh tanah, aku takut kau akan pergi."

[Liene] "...Aku harus tidur... Kau juga, Lord Tiwakan."

[Black] "Aku tahu kau tidak akan bisa tidur."

[Liene] "Apa yang kau coba..."

[Black] "Jadi, selesaikan tangisanmu."

[Liene] "...Apa?"

[Black] "Aku rasa kau belum selesai menangis. Kau bisa tidur setelah kau selesai."

...Apa yang ia katakan sekarang? Kedengarannya Black ingin Liene menangis.

[Liene] "Aku baik-baik saja."

[Black] "Tidak, kau tidak baik-baik saja."

[Liene] "Tidak, sungguh, aku baik-baik saja..."

[Black] "Dan kau juga pernah melakukan itu padaku, Putri."

[Liene] "...? Melakukan apa?"

[Black] "Mengabaikanku."

[Liene] "...Tidak, aku tidak pernah?"

[Black] "Jangan menyangkalnya. Itu benar."

[Liene] "Tapi kapan aku..."

[Black] "Ingat saat kau mendorongku karena kau bilang tidak suka? Saat kau bilang aku tidak cukup terampil?"

[Liene] "Sudah kubilang, aku punya alasan untuk itu..."

[Black] "Dan kau bilang aku tidak punya alasan?"

...Ya. Itulah masalahnya. Masalahnya Liene tidak tahu mengapa Black mengabaikannya dengan begitu dingin.

[Liene] "Kalau begitu, kenapa kau melakukannya?"

[Black] "Karena aku ingin tahu sesuatu."

Memegang Liene dalam pelukannya, Black mendekatkan kepalanya sejajar dengan mata Liene, dengan lembut mencium dan menggigit bibir bawahnya.

[Liene] "Jika kau ingin tahu sesuatu, kenapa tidak bertanya saja?"

[Black] "Aku sudah bertanya padamu sebelumnya, tapi kau tidak menjawab, Putri."

[Liene] "Apa yang kau tanyakan? Kapan?"

Saat ia bicara, Liene masih bisa merasakan sedikit sensasi cubitan dan gigitan nakal Black di bibirnya. Liene menekan telapak tangannya di bahu Black.

[Black] "Apa kau benar-benar berharap aku percaya kalau kau merusak pakaian itu hanya karena tidak cocok untukku?"

[Liene] ". . ."

Ketika Liene tidak menjawab, Black menggigit bibirnya lebih keras kali ini.

[Black] "Kalau kau tidak mau bicara, tidak apa-apa. Aku akan mengalah kali ini. Tapi aku tidak akan menyerah dengan hal lain."

[Liene] "Hal... lain?"

[Black] "Menangislah lebih banyak."

Terukir di bibir Liene bekas gigitan yang disengaja. Black mengusapkan bibirnya, seolah untuk menenangkan gigitan itu.

[Black] "Aku serius soal ini. Setelah melihatmu menangis, Putri, aku menyadari sesuatu. Kurasa kau tidak pernah menangis dengan benar sebelumnya."

[Liene] "Apa gunanya menangis? Menangis sama sekali bukan hal yang baik."

[Black] "Kau bilang kau tidak suka saat aku pura-pura menganggap dirimu tak ada, kan?"

[Liene] ". . ."

Saat itu, Black mengangkat kembali hal yang membuat Liene sangat kesal. Seolah memancing bagian sensitif di hatinya yang baru saja tenang. Air mata yang ia pikir sudah habis mulai mengalir di pipinya lagi seolah tidak pernah berhenti.

...Kenapa ia mengatakan ini?

[Liene] "Jika tahu... seharusnya kau tidak melakukannya..."


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Donasi Pembelian Novel Raw untuk Diterjemahkan

Terima kasih banyak atas dukungannya 

bottom of page