;
top of page

A Barbaric Proposal Chapter 66

  • 19 Agu
  • 8 menit membaca

Diperbarui: 25 Agu

※Pendekatan (2)※

Black baru menyadarinya, ini pertama kalinya Nyonya Flambard berbicara dengannya berdua saja. Pengalaman ini jauh berbeda dari dugaannya dulu, saat Nyonya Flambard hanya memandangnya sebagai tentara bayaran barbar yang menakutkan tanpa alasan jelas.

Cara Black memberi perintah kepada anak buahnya sangat jelas dan ringkas. Ia memang tidak terdengar sopan, tapi ia tidak membentak atau berbicara dengan kasar. Anehnya, aura yang ia pancarkan justru mirip dengan aura bangsawan tinggi.

[Nyonya Flambard] "Ini... tentang gaun pengantin." Saat Nyonya Flambard berbicara, ia merasa harus berhati-hati dalam memilih kata, agar tidak merasa ciut.

[Black] "Jika kau butuh yang baru, pesan saja. Kalau soal uang, bicaralah pada Fermos. Ia akan mengurusnya."

[Nyonya Flambard] "Oh, kalau begitu, bisakah Anda sampaikan langsung pada Putri? Ia terus saja mencoba menjual perhiasan yang begitu berharga—"

[Black] "Perhiasan?"

[Nyonya Flambard] "Ya. Saya tidak akan ikut campur jika hanya perhiasan biasa, tapi ia ingin menjual kalung kesayangan mendiang Ratu. Kalung itu ia simpan bahkan setelah menjual barang-barang seperti bak mandi marmer. Tapi sekarang ia bilang akan menjualnya, dan itu melukai hati saya. Kalung ini adalah satu dari sedikit benda yang ia simpan, bahkan saat semua barang lain perlahan-lahan dijual."

Black mengerutkan keningnya.

[Black] "Ia menjual barang pusaka demi gaun pernikahan?"

[Nyonya Flambard] "Ya."

[Black] "Tapi itu 'kan hanya pakaian..."

Nyonya Flambard dengan cepat memotongnya.

[Nyonya Flambard] "Itu bukan 'hanya' pakaian. Putri tidak punya banyak hal lain untuk dijadikan hadiah pernikahan untuk Anda, jadi ini dimaksudkan sebagai persembahannya. Ia menyuruh saya untuk tidak memikirkan biayanya dan menyiapkan sesuatu yang benar-benar istimewa. Tapi menjual kalung Yang Mulia Ratu rasanya keterlaluan. Sekali terjual, tidak ada uang yang bisa mengembalikannya."

Itulah mengapa ia berharap Black bisa menghentikan Putri. Dari pengamatannya, Black sangat tulus kepada Putri, dan jelas ia punya banyak uang. Jadi, Nyonya Flambard memutuskan kalau permintaannya yang akan mudah dikabulkan Black.

[Black] "...Itu akan membuat segalanya sulit."

Namun, Black hanya bergumam pelan pada dirinya sendiri.

[Nyonya Flambard] "Apa?"

Nyonya Flambard begitu gelisah sampai mencengkeram ujung gaunnya. Apa Black bilang ia tidak mau membuang-buang uang? Apa ia benar-benar mengatakan itu di hadapannya sekarang?

[Black] "Apa Putri sebenarnya membenci gagasan pernikahan ini...?"

Tapi ternyata maksud Black berbeda. Bernapas lega, Nyonya Flambard menepuk dadanya untuk menenangkan diri lagi.

[Nyonya Flambard] "Tentu saja tidak. Putri sudah siap menjadikan Anda suaminya, Lord Tiwakan. Saat kami pertama kali mulai mengubah pakaian, Putri sangat bersemangat dan melakukan sebagian besar perbaikannya sendiri. Ia menyiapkannya dengan hati dan jiwa, tapi saat saya pergi, wanita yang Anda bawa ke menara utara itu benar-benar merusaknya.... Ah, saya tidak seharusnya mengatakan itu."

Ia berpura-pura menarik kembali ucapannya, padahal sejujurnya, Nyonya Flambard sengaja mengatakannya. Ia merasa semua ini tidak adil. Bukan Liene yang merusak pakaian itu. Nyonya Flambard tidak yakin apa yang menyebabkan Liene menjadi begitu emosional dan menggunakan gunting, tapi kenyataannya sebagian besar kerusakan dimulai oleh wanita di menara utara.

Tidak adil jika Liene disalahkan sendirian. Nyonya Flambard tidak tahu apa hubungan antara Lord Tiwakan dan wanita dari menara itu, tapi Black perlu mendengar ini.

[Nyonya Flambard] "Putri meminta saya untuk tidak mengatakan apa-apa. Dosa besar merusak pakaian untuk pernikahan, jadi saya hanya bisa berasumsi Putri ingin menutupinya."

Ia mencoba mengatakan bahwa sang Putri adalah malaikat baik hati. Liene mencoba memahami tindakan wanita yang posisinya jauh di bawahnya. Dan sebagai pribadi yang baik dan menawan, Putri yang seperti itu terlalu baik untuk seorang pemimpin tentara bayaran, jadi wajar saja Black harus mengurus ini untuk menebusnya. Atau setidaknya itulah yang Nyonya Flambard coba isyaratkan.

[Black] "Kalau begitu..."

Dan untungnya, dorongannya yang halus berhasil. Black tenggelam dalam pikirannya sampai-sampai pelipisnya berkedut.

[Black] "...Baiklah. Aku mengerti."

Nyonya Flambard tersenyum, menyambut jawabannya seolah sudah menduganya.

[Nyonya Flambard] "Lalu apa yang harus saya katakan kepada tukang perhiasan? Putri bilang ia ingin bertemu dengan mereka hari ini."

Setelah pertanyaan itu meresap sejenak, Black mengangguk.

[Black] "Untuk sekarang, lakukan saja seperti yang Putri minta."

[Nyonya Flambard] "Saya minta maaf? Tapi, kalau begitu, kalung ini..."

[Black] "Kalung itu tidak akan pernah jatuh ke tangan orang lain."

[Nyonya Flambard] "Ah, ya. Kalau begitu, baiklah."

Black sepertinya punya ide lain.

[Nyonya Flambard] "Saya akan memanggil tukang perhiasan."

Black mengangguk sebagai tanggapan, lalu berbalik dan menghilang.

[Nyonya Flambard] "Hmm... Kalau dilihat lagi, bagaimana mungkin seseorang memiliki bahu yang begitu lebar?"

Dan tampaknya, bahu yang lebar disertai dengan pikiran terbuka dan kantong yang dermawan—sifat-sifat yang tidak biasa bagi seorang tentara bayaran.

[Nyonya Flambard] "...Hm. Yah, kalau soal pria, apa gunanya keturunan baik dan keluarga terpandang? Jauh lebih penting memiliki uang untuk memperlakukan wanitanya dengan baik. Oh, Tuhan."

Berpikir seperti itu, sedikit demi sedikit Nyonya Flambard berhasil mengesampingkan kekhawatiran bahwa pemimpin tentara bayaran bukanlah pasangan yang cocok bagi seorang Putri, karena dianggap kurang sebagai pasangan yang pantas untuk Liene.

Sementara itu, Liene sama sekali tidak tahu tentang percakapan mereka berdua.

Liene diam-diam menjual kalung ibunya kepada tukang perhiasan malam itu. Harga yang sangat murah hati berhasil meredakan rasa kehilangan yang mengganggu hatinya.

Hari sudah berakhir. Mendengarkan dengan tenang suara air mengalir yang samar. Itu suara Black sedang membersihkan diri setelah hari yang sibuk.

Mungkin sulit bagi Liene untuk tidur nyenyak jika tidak mendengar suara itu. Meskipun waktunya berbeda, suara air sesaat sebelum ia tertidur terasa menghibur, seolah-olah pertanda bahwa hari akhirnya telah usai. Dan berarti baik Black maupun Liene telah pulang, selamat dan sehat.

Liene memainkan bantal yang ia letakkan di sampingnya. Tapi ia tidak tahu apakah Black akan datang ke kamarnya atau tidak. Ia sudah menyiapkan selimut dan bantal, tapi tidak yakin apakah akan digunakan malam ini.

Black bilang akan menenangkan pikiran...

Apa ia berhasil? Ia masih terlihat sangat marah. Atau mungkin kecewa? Ia pikir aku mencoba menghindari pernikahan ini.

Aku harus memberitahunya bahwa bukan begitu maksudnya. Tapi bagaimana cara mengatakannya?

Tenggelam dalam pikirannya, suara air berhenti. Black sudah selesai mandi dan akan segera keluar.

[Liene] "...Tidak."

Liene melompat dari tempat tidur, mencari di laci di samping tempat tidurnya. Ia baru saja teringat alasan yang bagus untuk berbicara dengannya.

Tok, tok. Ketukan ragu-ragu dan hati-hati terdengar di pintu kamar mandi.

[Liene] "B, boleh... aku masuk?"

Tidak ada jawaban. Apa Black sudah selesai dan pergi melalui pintu lain? Liene mengetuk pintu lagi.

[Liene] "Apa kau sudah selesai membersihkan diri?"

. . . . . .

Hening lagi. Pintu tertutup rapat tanpa sepatah kata pun, membuatnya merasa seolah pintu itu menolaknya. Liene menggigit bibir.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku menunda berbaikan sampai besok?

Ada orang yang tidak suka ketika orang lain mencoba memaksa untuk bicara saat suasana hati sedang buruk.

Tapi jika Black orang seperti itu, bukankah ia akan langsung memberitahuku?

Ia tidak berpikir Black adalah orang yang akan mengabaikannya atau berpura-pura tidak mendengarnya memanggil hanya karena marah.

Kalau begitu mungkin ia benar-benar tidak bisa mendengarku...? Oh, atau ia pingsan seperti terakhir kali?

Dulu, Black terluka parah dan banyak berdarah. Sekarang Liene mulai merasa sedikit takut.

[Liene] "Lord Tiwakan."

Tok, tok. Suara ketukannya terasa lebih keras sekarang.

[Liene] "Aku khawatir karena kau tidak menjawab... Aku akan membuka pintunya sekarang."

Akhirnya, Liene membuka pintu.

[Liene] "...?..."

Tapi tidak ada hal buruk yang terjadi di kamar mandi. Black baik-baik saja, berdiri dengan kedua kakinya sambil mengacak-acak rambut, mengeringkannya. Satu-satunya perbedaan adalah ia tidak mengenakan pakaian apa pun, hanya sehelai handuk yang melilit pinggangnya.

[Liene] "Apa kau... baik-baik saja?"

[Black] "Aku baik-baik saja."

Jawabannya singkat.

Entah bagaimana, suasananya terasa tidak nyaman. Keheningan yang menindas seolah menyuruhnya pergi karena tidak ada gunanya berada di sana lebih lama. Seperti Liene adalah orang asing.

[Liene] "Hanya... Kau tidak menjawab saat aku memanggil..."

[Black] "Tidak ada yang perlu kukatakan."

[Liene] ". . ."

...Benar. Pria ini memiliki sisi yang tidak ia ketahui dengan baik. Ia mampu bersikap begitu baik padanya, tapi sikap baiknya hanya membuat sikap dinginnya terasa lebih membekukan...

[Liene] "A-aku hanya ingin bertanya apa kau terluka. Kalau tidak terlalu parah, mungkin aku bisa bantu oleskan obat..."

Semakin lama Liene berbicara, suaranya semakin pelan, seolah ada sesuatu di udara yang membuatnya ciut. Bahkan bahunya tampak tanpa sadar mundur.

[Black] "Aku baik-baik saja."

[Liene] "Ah... begitu... Syukurlah."

Liene mengatakan itu, tapi hatinya tidak merasa senang. Sekarang... ia tidak punya alasan lagi untuk bicara dengan Black.

Liene menyembunyikan tangannya yang memegang obat di belakang punggung.


Baca Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 66: Pendekatan (2). Baca Novel A Savage Proposal oleh Lee Yuna. Baca  Novel Terjemahan Korea

Rupanya, di dalam hatinya Liene menyimpan sedikit harapan.

Black pernah mengatakan ia suka saat Liene merawat dan menyentuhnya, jadi ia dengan bodohnya berpikir berbaikan akan mudah. Ia merasa bisa menjelaskan bahwa semua ini hanyalah kesalahpahaman—bahwa ia merusak pakaian itu bukan karena ia menolak pernikahan, dan Black akan mau mendengarkannya.

Bahwa ia hanya ingin bersamanya sampai-sampai ia ketakutan jika Black meninggalkannya.

[Liene] "Kau akan tidur di kamar mana malam ini?"

Saat Liene bertanya, suaranya dipenuhi dengan keraguan dan ketakutan.

[Liene] "Perlukah aku siapkan selimut?"

Padahal, ia sudah melakukannya.

[Black] "...Tidak perlu."

Black menjawab lebih lambat dari sebelumnya. Ia tidak menatap Liene, tapi  fokus mengusap tangannya pada rambut yang basah. Saat ia bergerak, handuk yang melilitnya juga bergeser, dan terlalu memalukan untuk Liene lihat. Black tahu Liene ada di sini, memperhatikannya.

Liene mengalihkan pandangannya ke lantai, mengatakan sesuatu yang membuatnya merasa sangat takut.

[Liene] "Kau bilang tidak perlu... tapi bolehkah aku bertanya alasannya?"

Mungkin ia masih kesal. Liene tahu Black bilang sedang menenangkan pikiran, tapi ia sangat sedih dengan sikap dingin yang tiba-tiba dari hati Black.

[Liene] "Aku ingin tahu apakah hanya berlaku untuk malam ini... atau kau tidak akan membutuhkannya selamanya."

[Black] "Aku baru sadar, selama ini aku memaksamu melakukan sesuatu yang tidak kau sukai. Konyol, ya? Mengingat akulah yang memaksakan pernikahan ini padamu."

Dengan rambut yang didorong ke belakang, wajah Black yang tanpa ekspresi lebih terlihat, tapi itu justru membuatnya semakin sulit dipercaya. Tanpa menutupi wajah, seharusnya ekspresi seseorang lebih mudah dipahami, tapi justru sebaliknya. Seolah-olah ia mengenakan topeng. Liene tidak tahu apa yang ada di pikirannya.

[Black] "Kita mulai tidur di ranjang yang sama karena aku memaksamu. Dan sekarang aku sadar kau tidak punya pilihan selain bersikap baik dengan melakukannya, bahkan jika kau membencinya. Jadi, itu tidak akan terjadi lagi."

[Liene] "Aku tidak pernah berpikir membencinya..."

[Black] "Ada sesuatu yang terjadi dan aku akhirnya bisa tidur di sampingmu sebagai imbalan. Sejujurnya, memang selalu seperti itu, sampai-sampai aku tidak ingat kapan itu dimulai."

[Liene] "Bahkan jika dimulai dengan hanya membayar harganya..."

Dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, Black menoleh ke Liene.

[Black] "Jujur, aku merasa sedikit menyedihkan harus mengambil langkah-langkah seperti itu dengan memaksamu setiap saat. Jadi jangan khawatir dan tidurlah. Aku tidak akan mengganggumu lagi."

[Liene] "Aku tidak pernah bilang kau mengganggu."

[Black] "Tapi kau juga tidak pernah bilang terasa menyenangkan."

Black membuka pintu di sisi lain—yang mengarah ke kamarnya sendiri.

[Black] "Mulai sekarang, lakukan saja apa pun yang membuatmu nyaman, Putri."

Klik.

Dan ia pun pergi, meninggalkan kata-kata yang sama dingin dan acuh tak acuhnya dengan ekspresinya.

Tap.

Wadah obat jatuh dari genggaman Liene, bergerincing ringan di lantai. Bahkan saat wadah itu menggelinding, Liene tidak bisa berpikir untuk mengambilnya. Ia tidak pernah memikirkan ini sebelumnya... tapi didorong menjauh ternyata sangat menyakitkan.

Liene mengerutkan kening seolah ia terluka secara fisik. Ia merasa sangat lelah dan lemah sepanjang waktu saat membersihkan diri, tapi sekarang ia bahkan tidak bisa memejamkan mata.

Pasti sudah sekitar dini hari sekarang, sesaat sebelum fajar.

Liene mendorong selimutnya dengan satu tangan, membuka pintu ke kamar mandi dengan langkah kaki yang sunyi. Hatinya terasa begitu berat, ia tidak bisa tidur sama sekali. Kalau begini terus, ia mungkin tidak akan pernah tidur lagi seumur hidupnya.

Krieeet—

Sejak kapan?

Melewati Galeri Raja dan berdiri di depan pintu kamar Black, Liene menggigit bibirnya.

Sejak kapan? Sejak kapan aku tidak bisa tidur tanpanya...?

Malam itu, pintu yang tertutup rapat terlihat begitu berat. Sedikit keberanian yang ia kumpulkan untuk membukanya pun seketika lenyap.

[Liene] ". . ."

Haruskah aku kembali saja?

Pria itu pasti sudah tidur sekarang. Ia orang yang hidup di medan perang untuk waktu yang lama. Bahkan jika sedang tidur, ia akan segera menyadari jika Liene membuka pintu ini.

Ia tidak bisa membangunkannya. Black sudah kesal padanya, dan mungkin memperburuk situasi jika Liene mengganggu istirahatnya juga.

Jadi, aku sebaiknya pergi saja.

Itulah yang ia pikirkan, tapi kakinya tidak mau bergerak.

Liene menelan ludah berulang kali, mengulurkan tangan dan dengan lembut memegang kenop pintu.

Ckiiit...

Tapi kemudian pintu terbuka terlalu mudah, terbuka seolah menunggu Liene menyentuh pegangannya. Bahu Liene mundur karena terkejut, tapi kemudian hatinya menjadi lebih berani.

Pintunya... terbuka sendiri... Aku tidak membukanya.

Ruangan itu sangat sunyi. Satu-satunya yang bisa terdengar adalah suara napas Black yang rendah. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda bergerak, jadi Liene dengan hati-hati berjalan ke tempat tidur.

Ia tertidur sangat pulas, terlihat hampir mati. Melihat matanya tertutup rapat, Liene merasa aneh. Ia senang melihat Black beristirahat dengan baik, tapi pada saat yang sama, ia merasa getir.

Kau tidur sangat nyenyak, tapi aku bahkan tidak bisa memejamkan mata. Seolah aku sudah lupa cara tidur sendirian.

Tapi aku senang kau tidak bangun.

Saat matanya terbiasa dengan kegelapan, Liene mengikuti garis wajah Black dengan matanya. Baru satu hari, tapi ia sudah sangat merindukannya.

...Tidurlah dengan nyenyak.

Dan besok... Aku harap aku bisa melihat dirimu yang dulu lagi.

Merasa gelisah, seolah-olah melanggar batas dengan tinggal di sini, Liene diam-diam berbalik. Ia akan pergi, tapi kemudian—

[Black] "Apa kau akan pergi begitu saja?"


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Donasi Pembelian Novel Raw untuk Diterjemahkan

Terima kasih banyak atas dukungannya 

bottom of page