A Barbaric Proposal Chapter 68
- 19 Agu
- 8 menit membaca
Diperbarui: 25 Agu
※Pendekatan (4)※
Kesedihan yang tadinya mulai reda, kini kembali membanjiri hati Liene. Melihat Liene berbicara di antara isak tangis, mata Black menunjukkan ketidakpastian.
[Black] "Aku merasa sedikit putus asa."
[Liene] "Putus asa...? "
Putus asa? Untuk apa? Apa yang Black bicarakan? Terutama karena dialah yang bersikap begitu dingin hingga membuat Liene menangis.
Black membawa Liene yang terisak kembali ke tempat tidur. Ia mendudukkan Liene di atas bantal terbesar, lalu duduk bersamanya seolah mengunci Liene di antara kakinya.
[Black] "Kau selalu terlihat seperti ingin meninggalkanku, Putri."
[Liene] "Mana mungkin..."
Kata-kata Black sangat mengejutkan Liene. Bukankah justru sebaliknya? Liene merasa ketakutan karena selalu merasa Black yang akan pergi meninggalkannya.
[Black] "Aku ingin tahu ketulusanmu. Rasanya aku selalu mencoba mempersempit jarak di antara kita, tapi dalam beberapa hari, kau selalu berhasil melebarkannya lagi."
[Liene] "Kapan aku..."
[Black] "Selalu begitu."
Black bergumam pelan sambil menyapu tangannya di pipi Liene.
[Black] "Jadi aku ingin melihat apakah kau akan merasa lega jika aku yang menjauh sesekali, atau apa kau akan merasa gugup sepertiku."
Air mata Liene semakin deras mengalir. Jadi Black sengaja melakukannya, persis seperti yang Liene pikirkan.
[Liene] "Tolong... jangan pernah lakukan lagi. Aku sangat... sangat tidak suka."
[Black] "Aku salah."
[Liene] "Aku sangat membencinya."
Kata-kata terakhir Liene hilang di antara isak tangisnya, sehingga tidak ada yang bisa mendengarnya dengan jelas.
Dengan hati yang dipenuhi campuran kesedihan dan kebencian, Liene duduk dan memeluk Black erat-erat. Black mengusap air mata Liene dan mencium pipinya yang basah.
[Black] "Menangislah lebih banyak."
[Liene] "Jangan... menyuruhku menangis."
[Black] "Tapi aku ingin melihatnya."
Dengan bibirnya masih menempel di pipi Liene, suara Black terdengar rendah seperti bisikan, dan membuat seluruh bulu kuduk Liene berdiri dan gemetar.
[Liene] "Apa...?"
[Black] "Kau menangis karena diriku, Putri."
Apa yang Black katakan sekarang...?
[Liene] "Tadi kau bilang jangan menangis."
[Black] "Itu karena aku tidak tahu alasan mengapa kau menangis sebelumnya."
[Liene] "Apakah alasannya membuat perbedaan?"
[Black] "Apakah itu akan membuat perbedaan bagimu?"
[Liene] "Itu..."
Liene tidak tahu. Namun, saat membayangkan Black dengan mata berkaca-kaca memohon agar Liene tidak bersikap dingin kepadanya, hatinya mati rasa. Dan bercampur dengan mati rasa itu adalah keinginan aneh untuk melihatnya lebih banyak.
...Tetapi apa yang Black lakukan tetaplah keterlaluan. Tindakannya sangat disengaja dan terasa terlalu kejam bagi Liene, bahkan jika ia sendiri terkadang melakukan hal yang sama secara tidak sengaja.
[Liene] "Aku tidak akan melakukannya lagi..."
Liene bergumam lembut, menyembunyikan wajahnya di bahu Black saat ia memeluknya.
[Liene] "Aku melakukannya karena tidak mengerti isi pikiranmu saat itu, Sayangku. Dan aku harus melindungi hatiku, jadi akhirnya aku—"
Tiba-tiba, Black mendorong Liene menjauh dari tubuhnya.
[Black] "Tunggu, apa yang baru saja kau katakan?"
[Liene] "Kau... pasti mendengarku?"
Liene menelan ludah dengan kasar melihat tatapan aneh Black. Matanya terlihat agak kaku, tapi juga tampak linglung.
Black jelas bertingkah aneh. Kadang-kadang perilakunya berpotensi berubah seperti pasang surut air laut.
[Black] "Ulangi lagi. Kurasa aku salah dengar."
[Liene] "Kenapa aku harus mengulanginya..."
[Black] "Kalau begitu lain kali."
[Liene] "Lain kali...?"
[Black] "Panggil aku seperti itu lagi." [Liene] "....?"
Tapi Liene mengatakannya begitu saja sehingga ia tidak bisa mengingat apa panggilan yang ia ucapkan
[Black] "Kau memanggilku 'Sayangku', kan?"
[Liene] "Hah...? Benarkah?"
[Black] "Terdengar bagus."
Suara Black terdengar seperti erangan. Memegang Liene, Black mulai merebahkan mereka berdua. Gerakannya lambat dan manis, tapi ada kekuatan yang tak terbantahkan di dalamnya.
Black menarik Liene ke depan, jatuh kembali ke bantal, dan sebelum Liene menyadarinya, ia sudah berada di atas tubuh Black.
[Black] "Sekarang giliranku."
Suaranya rendah dan serak, seperti baru bangun tidur. Black berbisik ke arah Liene, mengulurkan tangannya di belakang lehernya sekali lagi.
Srett—
Satu kancing lagi terlepas. Setelah kancing itu lepas, kain gaun tidur Liene secara alami mengendur, dan Black dengan lembut menariknya saat gaun itu melorot ke dadanya. Sensasi kerah gaun tidur yang menggelitik tulang selangkanya terasa sangat aneh.
[Black] "Sekarang giliranmu."
[Liene] ". . ."
Bibir Liene terasa kering, jadi ia terus menjulurkan lidahnya.
[Black] "Apa yang ingin kau lakukan?"
[Liene] "Aku... ingin melihatmu juga."
Liene menarik ujung jubah Black. Dengan itu, Black tersenyum singkat, lalu dengan tenang dan hati-hati menyesuaikan posisinya agar lebih mudah untuk membuka jubahnya.
[Black] "Giliranku, lagi."
Srett—
Kancing ketiga terlepas, dan gaun tidurnya menjadi semakin longgar. Liene merasa keinginan Black untuk melihatnya 'tak berdaya' mulai menjadi kenyataan.
[Black] "Sekarang kau, Putri."
[Liene] "Aku... ingin menyentuhmu."
Liene menyapu tangannya di dada Black, mendekati luka yang belum pernah ia sadari sebelumnya.
Setelah berjuang begitu lama, tubuh Black penuh dengan bekas luka dari berbagai sumber, tetapi yang ada di sisi kanan tubuhnya terlihat berbeda dari yang lain. Tampak seperti luka lama, dan warnanya pucat menonjol di antara kulitnya yang lain, tetapi masih terlihat menyakitkan.

[Liene] "Bolehkah aku menyentuhnya? Tidak sakit, kan?"
Mendengar suara Liene, tatapan Black teralihkan, mengikuti jari-jari Liene yang menyentuh kulitnya.
[Black] "Itu luka tertua yang kumiliki. Sudah lama tidak sakit."
[Liene] "Kapan kau mendapatkannya?"
[Black] "Saat aku berusia delapan tahun."
[Liene] "Ah..."
Ujung jari Liene gemetar saat berhenti di tempatnya, menyentuh luka tak terhapuskan yang terukir di tubuh Black. Luka yang tidak akan pernah bisa dihapus.
Apakah Kleinfelter yang melakukan ini padanya? Atau mungkin ayah Liene?
[Black] "Karena luka ini, aku tidak hanya bisa lolos dari kematian, tetapi aku juga mendapat kesempatan untuk hidup."
[Liene] "Apa... maksudmu?"
[Black] "Ceritanya panjang. Tapi yang penting adalah..."
Saat jari-jari Liene menyentuh lukanya, Black berhenti bicara, mengangkat tangannya ke tangan Liene dan menekan telapak tangan Liene ke tubuhnya.
[Black] "...Kau menyentuh lukaku, Putri. Aku tidak lagi kesakitan."
Black tidak menyadarinya, tapi dengan mengatakan itu, ia melepaskan Liene dari penderitaan paling hebat yang dialami hatinya. Seolah Black berkata bahwa dulu memang sakit, tapi sekarang sudah baik-baik saja.
Meskipun seseorang dari keluarga Arsak mengkhianati ayahnya, mengusir ayahnya dari rumah, sekarang seorang putri dari keluarga Arsak yang menyembuhkan lukanya.
[Liene] "...Jika aku ingin menangis sekarang... apakah kau masih bisa mengatakan bahwa diriku yang menangis adalah pemandangan yang ingin kau lihat?"
Alih-alih jawaban sederhana 'ya', Black mengatakan sesuatu yang lain.
[Black] "Sebelum itu, ada sesuatu yang harus kau tahu, Putri."
[Liene] "Apa itu?"
[Black] "Bagiku kau selalu terlihat secantik makhluk dari dunia lain, terutama ketika menangis."
[Liene] "...Oh... ya?"
[Black] "Jadi jika kau ingin menangis kapan pun di masa depan, datanglah padaku. Jangan pergi dan bersedih sendirian."
[Liene] ". . ."
Ketika Black mengatakan hal-hal seperti itu, bagaimana Liene bisa menahan emosinya? Bahkan tanpa mengetahui alasan spesifiknya saat ini, Liene dibanjiri air mata.
Sekarang Black tidak bersikap dingin, Liene tidak lagi kesal, tetapi air mata tetap mengalir. Seperti ada sesuatu di dalam dirinya yang rusak.
Liene terus menangis, air mata terus mengalir tanpa henti seolah ia baru belajar cara menangis untuk pertama kalinya. Sepanjang waktu itu, Black terus menepuk punggungnya dengan penuh kasih sayang untuk menghiburnya, dan semakin banyak kebaikan yang ia tunjukkan, semakin banyak air mata yang jatuh.
Dan setelah menangis untuk waktu yang terasa seperti selamanya, mereka berciuman lagi untuk waktu yang sama lamanya.
Namun kemudian Liene mulai menangis lagi, dan ketika ia melakukannya, Black memeluknya erat-erat sambil dengan lembut dan penuh kasih mengusap air matanya, mendorongnya untuk menangis lebih banyak, sampai ia kelelahan.
Keesokan Pagi
[Nyonya Flambard] "Oh...? Apa Anda tidur di kamar ini semalam?"
Untungnya ketika Nyonya Flambard datang, Black sudah pergi untuk bersiap-siap. Ini bukan pertama kalinya Liene ketahuan menghabiskan malam bersama Black, tetapi jika memungkinkan, ia lebih nyaman jika tidak ketahuan sama sekali.
[Liene] "Begitulah akhirnya."
[Nyonya Flambard] "Astaga."
Melihat Liene menyingkirkan selimut, Nyonya Flambard menutup mulutnya dengan syok.
[Nyonya Flambard] "Anda tidak... melakukan malam pertama, kan?"
[Liene] "Apa? Tidak, tentu saja tidak. Demam bulananku belum berakhir."
Gaun tidurnya sekarang kehilangan tiga kancing, tetapi tidak ada hal lain yang terjadi. Liene melihat ke bawah, menghindari tatapan Nyonya Flambard saat ia tiba-tiba sadar betapa longgar pakaiannya sekarang.
Tapi itu tidak ada gunanya.
[Nyonya Flambard] "Anda tidak berbohong, kan?"
Nyonya Flambard menatap Liene dengan mata menyipit, menatap seolah mencoba melihat menembus dirinya. Liene bisa saja dengan mudah menyuruhnya untuk tidak menatapnya seperti itu, tetapi ia sangat lemah ketika berhadapan dengan pengasuhnya.
[Liene] "Jujur saja... Aku tahu aku tidak bisa berbohong padamu, Nyonya. Dan aku tidak punya alasan untuk melakukannya."
Sorot mata Nyonya Flambard semakin dalam, tetapi berdasarkan kondisi pakaian Liene dan seprai tempat tidur, ia tidak bisa memastikan apakah Liene mengatakan yang sebenarnya saat ini.
[Nyonya Flambard] "Kalau begitu, kenapa suaramu serak?"
[Liene] "Maaf?"
[Nyonya Flambard] "Matamu juga bengkak. Dan bibirmu sedikit..."
[Liene] ". . ."
Merasa malu, Liene dengan cepat mengusap wajahnya.
[Liene] "A-apa aku terlihat aneh?"
[Nyonya Flambard] "Bukankah lebih baik melihatnya sendiri?"
Liene dengan cepat bangkit berdiri. Ketika Black terus mengatakan bahwa Liene terlihat cantik, ia percaya pada kata-katanya bahkan saat menangis dan mengusap hidungnya. Lalu, begitu mereka bangun pagi ini, mereka berciuman lagi sampai puas.
Black bahkan belum mencuci muka, tetapi melihat Black pagi ini, ia terlihat setampan biasanya, jadi Liene tidak terlalu memikirkan penampilannya sendiri. Ia pikir ia juga terlihat sama seperti biasanya. Tapi ternyata tidak?
Liene bergegas ke kamarnya. Nyonya Flambard mengikuti, ia sangat khawatir Liene akan terjatuh, terutama mengingat matanya yang bengkak saat ini.
[Liene] "Ah..."
Berdiri di depan cermin, Liene mengeluarkan suara aneh yang bukan jeritan maupun desahan.
[Liene] "Apakah ini... diriku?"
Mata dan pipinya benar-benar bengkak, begitu juga bibirnya. Pipinya ternoda bekas air mata, dan rambutnya yang berantakan jelas menunjukkan ia tidur tidak nyenyak.
[Liene] "Hah...! Dasar pembohong."
Liene merasa sangat malu dan terhina, ia duduk di kursi di depan cermin.
[Nyonya Flambard] "Putri? Kapan saya berbohong pada Anda?"
Nyonya Flambard melebarkan mata, melambaikan tangannya di depan dirinya.
[Liene] "Tidak, aku tidak membicarakanmu, Nyonya... Tapi dia bilang aku baik-baik saja."
Tidak, ia tidak mengatakan Liene 'baik-baik saja'. Ia mengatakan lebih dari itu. Ia terus mengatakan bahwa Liene terlihat sangat cantik, ia seperti keluar dari dongeng... Sungguh pembohong ulung.
[Liene] "Aku bertanya padanya beberapa kali, dan setiap kali, ia mengatakan aku sangat cantik... Ia berbohong dengan sangat mudah."
Dan Black mencium wajahnya yang terlihat lusuh. Tidak hanya di bibirnya, tetapi di dahinya, hidungnya, dagunya, pipinya—di mana-mana. Liene menggenggam ujung rambutnya yang berantakan, cemberut.
[Nyonya Flambard] "...Pft."
Kemudian ia mendengarnya. Suara Nyonya Flambard mencoba menahan tawanya.
[Liene] "Nyonya?"
Liene menoleh ke belakang.
[Liene] "Apa Anda menertawakan penderitaanku?"
[Nyonya Flambard] "Tidak, saya mencoba menahannya, tapi saya... tidak bisa...pft."
[Liene] "Nyonya..."
Menatap wajah Liene yang bengkak hanya membuat Nyonya Flambard ingin tertawa lebih banyak, tetapi sayangnya, Liene sepertinya tidak menyadarinya.
[Nyonya Flambard] "Saya tidak bermaksud menertawakan Anda. Sungguh."
Setelah mencoba dan gagal menahan tawa, wanita itu berhasil mengendalikan dirinya.
[Nyonya Flambard] "Tapi wajah Anda cantik alami, jadi tidak terlihat begitu buruk."
[Liene] "Itu tidak membuatku merasa lebih baik."
[Nyonya Flambard] "Karena bagus Anda menemukan pasangan yang luar biasa."
[Liene] "Tapi ia berbohong padaku. Bukankah artinya ia menggodaku?"
[Nyonya Flambard] "Tapi menurutnya itu benar, kan? Baginya, bahkan wajah ini cantik."
[Liene] "...Mana mungkin."
[Nyonya Flambard] "Mungkin saja?"
Nyonya Flambard tersenyum manis sambil mengusap rambut pirang Liene yang kusut dan berantakan.
[Nyonya Flambard] "Sungguh sentimen yang indah, bukan? Cukup untuk membuat hati tua ini berdebar, Putri."
[Liene] "Ah..."
Bibir Liene sedikit terbuka tanpa ia sadari saat melihat ke cermin. Wajahnya, yang terlihat sangat jelek saat ini, sangat berbeda dari penampilannya yang biasa, dan itu penampilan yang tidak pernah dilihat Black sebelumnya.
Saat ia melihat ke cermin, kata-kata yang Black ucapkan kepadanya pagi ini seolah tumpang tindih dengan gambaran yang ia lihat.
[Black] —'Aku ingin melihat lebih banyak.'
Saat Liene mencoba menggali lebih dalam ke dalam pelukan Black untuk menyembunyikan matanya yang bengkak, itulah yang Black katakan untuk membuatnya berhenti mencoba bersembunyi.
[Liene] —'Aku belum mencuci muka.' [
Black] —'Tidak apa-apa.'
[Liene] —'.....Apa?'
[Black] —'Ini pertama kalinya aku melihatmu seperti ini.'
Dan ketika Black melihatnya, ia sama sekali tidak tertawa. Sebaliknya, ia memeluk Liene dan mengusap wajahnya dengan sentuhan hati-hati dan lembut, seolah menyentuh sesuatu yang benar-benar berharga dan indah.
Dan kemudian, ketika mata mereka bertemu, ia tidak ragu untuk mencium Liene.
[Nyonya Flambard] "Betapa indahnya. Tampaknya surga di atas Nauk benar-benar tersenyum pada Anda, Putri, dengan mengizinkan Anda memiliki hubungan dengan orang sepertinya."
[Liene] "...Sepertinya begitu."
Liene menyandarkan pipinya ke tangan Nyonya Flambard saat ia dengan lembut menyisir rambut Liene dengan jari-jarinya.
[Liene] "Aku sangat bersyukur, aku tidak tahu harus berbuat apa."
Aku sudah tahu aku tidak pantas dicintai olehnya. Tapi apa yang harus aku lakukan? Aku sangat bahagia, namun juga khawatir. Bagaimana jika sesuatu terjadi? Bagaimana jika sesuatu berjalan salah...?
[Nyonya Flambard] "Anda maksud di masa depan? Yang perlu Anda lakukan hanyalah mengucapkan terima kasih dengan tulus. Surga akan mendengar kata-katamu."
Menepuk bahu Liene, berbicara dengan kata-kata menghibur dengan nada lembut, Nyonya Flambard mendesak Liene untuk menyelesaikan cuci muka.
[Nyonya Flambard] "Tapi Anda harus segera membersihkan diri sekarang. Saya tahu Anda terlihat cantik di mata Lord Tiwakan, tapi saya tidak yakin ide yang bagus berjalan-jalan seperti itu di depan orang lain."
[Liene] "Y-ya, kau benar..."
Saat rasa malu kembali membanjiri Liene, ia dengan cepat selesai mencuci mukanya. Nyonya Flambard, seperti biasa, bahkan memberinya handuk yang direndam air dingin untuk membantu mengurangi bengkak di wajahnya.
Komentar