A Barbaric Proposal Chapter 5
- Crystal Zee
- May 19
- 7 min read
Updated: 2 days ago
~Alasan Dibalik Hasrat~
Pertemuan telah usai. Seperti yang dikatakan, Fermos pergi bersama Weroz untuk mendiskusikan pergerakan dan penempatan ulang pasukan. Mashilow, harus menyelesaikan perjanjian pernikahan sebelum Tiwakan seenaknya menginvasi kastil, juga buru-buru meninggalkan ruang audiensi.
Keheningan yang mencekam, bagai zirah yang menindih, meliputi ruangan yang kini hanya menyisakan mereka berdua. Meskipun ada meja besar di antara Lord Tiwakan dan dirinya, yang cukup untuk diduduki tiga puluh orang lebih, Liene merasa dirinya seolah terhimpit oleh pria itu.
"Bagaimana jika kita berjalan-jalan di taman?" Liene berdiri, tidak tahan lagi dengan suasana yang mencekik.
"Boleh saja," Black bangkit dari kursinya, meniru gerakan Liene.
Saat Liene hendak memintanya menunggu sebentar, Black melangkah mendekat, mendahului perkataannya.
[Black] "Kita mau ke mana?"
[Liene] "Aku akan menunjukkan taman belakang Nauk."
...Pria ini terlalu besar. Itulah mengapa Liene terus merasa tercekik. Tidak ada cara lain untuk menjelaskan ketegangan ini.
Liene memalingkan wajah sedikit ke sisi lain, menghindari tatapan Black.
[Liene] "Tunggu sebentar. Aku akan memanggil Nyonya Flambard... ah, pengasuh untuk menemani."
[Black] "Tidak perlu ditemani."
[Liene] "Tidak. Ketika berjalan-jalan dengan orang asing..."
Black memotong perkataan Liene dengan kasar. "Aku bukan orang asing, aku tunanganmu, Tuan Putri."
...Benar. Liene menggigit bibirnya. Sebentar terpikir bagaimana mungkin orang biadab ini tahu tata krama, tetapi pikirannya buyar ketika Black mengulurkan lengannya.
[Liene] "......"
Liene menundukkan bulu matanya dengan pasrah dan menyisipkan tangannya ke lengan yang diulurkan Black.
[Liene] "Ah..."
Lengannya begitu kokoh, membuatnya terkejut. Saat Liene berhenti bergerak karena terkejut, Black menundukkan kepala, menyamakan pandangan mereka.
[Black] "Ada apa?"
[Liene] "Tidak... bukan apa-apa."
Liene menunjuk ke depan, seolah ingin melupakan kejadian itu. Tapi tangannya sudah lebih dulu digenggam oleh Black.
[Black] "Luka."
[Liene] "......?"
[Black] "Sepertinya kau tidak mengoleskan obat."
Telapak tangan Liene yang digenggam ujung jari Black masih memiliki luka yang kemarin. Dan di sampingnya, ada satu lagi luka baru. Luka berbentuk setengah lingkaran kecil tak bisa menyembunyikan bahwa itu adalah bekas kuku.
"Apa yang harus kau tahan kali ini?" Black bertanya dengan suara lambat, seolah tidak menuntut jawaban, lalu mengangkat tangan Liene.
Tangannya digenggam Black tidak menjadi masalah. Tapi menjadi masalah saat bibir Black menyentuh tangannya. Dan fakta bahwa bibir itu, seolah menghibur luka yang perih, menutupi dan dengan lembut menghisap kulitnya, sungguh tak tertahankan.
"......Hentikan!" Liene tidak tahan lagi dan menarik tangannya. Jika Black tidak melihatnya, dia pasti sudah mengepalkan tangan lagi hingga meninggalkan bekas kuku.
[Liene] "Aku baik-baik saja... Lebih baik kita berjalan-jalan..."
[Black] "Aku tidak baik-baik saja." Kalimat yang seharusnya terdengar manis berubah jadi ancaman di bibir pria bermata buas itu.
[Black] "Jaga dirimu. Semua lukamu sekarang akan menjadi tanggung jawabku."
Sungguh ironis bahwa pria paling mematikan dan berbahaya bagi tubuhnya mengucapkan kata-kata seperti itu. Sama seperti kemarin, Black hari ini juga menjadi kontradiksi yang melilit Liene.
[Liene] "......Ke arah sini."
Baru setelah Liene memutuskan untuk tidak pernah lagi bertatapan mata dengan sang pria, dia bisa kembali menggandeng lengannya.
Setelah memberi tahu penjaga di ruang audiensi tentang tujuan mereka, Liene menuju taman belakang bersama pria yang kini harus ia panggil tunangan.
Meskipun disebut taman belakang, tidak bisa dibilang indah, hanya luas. Sejak kekeringan melanda, bunga-bunga mekar sebentar kemudian layu. Semak-semak berduri dengan daun runcing, yang tidak membutuhkan banyak air, mendominasi sebagian besar taman belakang. Mungkin tidak pantas jika mengajak berjalan-jalan di tempat seperti ini.
Sambil berusaha menjaga agar tubuhnya yang bergandengan tangan tidak terlalu rapat, Liene tiba-tiba merasa malu melihat pemandangan yang tandus itu.
[Liene] "......"
Bagaimana jika dia berpikir aku sengaja membawanya ke sini untuk mengejeknya?
Tapi bukan itu alasannya. Dia bukan sengaja memilih tempat yang tidak indah, karena sebagian besar Nauk memang dalam kondisi seperti ini. Tandus dan kering. Air terjun megah yang terpecah menjadi sembilan aliran dan mengalir deras di tengah kastil telah lama mengering tanpa jejak.
Apa Black menyadarinya? Bahwa tanah ini tidak layak diperjuangkan.
-Baik sang Putri ataupun tanah ini, akan selalu ada yang menginginkannya.
Kata-kata Black yang diucapkan seolah mengejek pikirannya bergema.
"Tidak..." Liene tanpa sadar menggelengkan kepala dan mengucapkan penolakan.
"Apa yang tidak?" Black berhenti mendadak.
Liene yang mengangkat kepala karena terkejut adalah kesalahan. Mata mereka kembali terpaut.
"......" Liene menelan ludah.
Mata sang pria adalah masalahnya. Mata yang tidak bisa dihindari dan dihadapi. Menakutkan, tetapi dia harus mengakui bahwa matanya memesona. Mungkin karena tidak bisa ditolak, makanya terasa menakutkan.
[Liene] "......Bukan apa-apa. Hanya suara yang keluar karena aku menyesal mengajak Tuan berjalan-jalan di tempat yang tidak menarik."
"Ada sesuatu yang menarik." Jawaban Black perlahan masuk ke telinga Liene. "Karena Tuan Puteri ada di sini."
[Liene] "......"
Apa maksudnya? Apa karena aku nyaman dipandang, atau karena aku harus diawasi?
"Baiklah, aku menganggap Tuan tidak keberatan." Liene mulai melangkah. Tepat saat itulah....
"Jangan bergerak." Suara pelan Black menahan langkahnya lebih dulu.
Saat Liene mengangkat kepala dengan heran, Black tiba-tiba mendekat, menutupi Liene dengan tubuhnya untuk melindunginya.
Piing! Brak!
Liene melihat seutas garis hitam yang merobek udara dan menancap di bahu Black.
Garis hitam itu adalah anak panah.

"Ke sana!" Pasukan Tiwakan, yang menyadari adanya anak panah, bergerak cepat. "Jangan biarkan dia lolos! Dan tangkap dia hidup-hidup jika memungkinkan!"
Liene melihat pasukan bayaran yang bergerak begitu cepat hingga sulit diikuti mata, dan menyadari bahwa selama jalan-jalan ini, sebenarnya mereka tidak hanya berdua.
Bagaimanapun, itu adalah hal yang wajar. Seorang pemimpin pasukan bayaran yang telah berkeliaran di medan perang selama lebih dari sepuluh tahun tidak mungkin menganggap remeh bahaya yang mungkin mengintai di mana saja.
"Tuan baik-baik saja?" Liene memeriksa Black dengan wajah pucat pasi.
Anak panah yang tertancap di bahu Black bisa menjadi alasan yang akan merusak segalanya. Bisa terlihat seperti dia pura-pura menerima lamaran, tetapi diam-diam mempersiapkan pengkhianatan.
Pikirannya terasa seperti akan meledak. Siapa sebenarnya? Siapa yang melakukan perbuatan bodoh seperti ini? Ini bukan balas dendam atau penyelamatan tapi jalan menuju kehancuran Nauk.
Bahkan jika Black tewas karena anak panah, situasinya akan sama. Jika pemimpin mereka tewas karena pembunuhan licik, Tiwakan tidak akan pernah melepaskan Nauk begitu saja.
[Liene] "Pertama-tama bantu aku menopangmu... Lebih aman masuk ke dalam daripada menunggu di sini,"
Liene mengulurkan tangan untuk menopang Black. Tangannya gemetar halus. Liene menggertakkan gigi untuk menahan getaran itu, khawatir akan menimbulkan kesalahpahaman.
[Liene] "Peristiwa ini tidak ada hubungannya dengan Nauk. Kami tidak pernah memiliki niat untuk menyakiti Lord Tiwakan."
[Black] "......akan kita lihat nanti," kata Black, menatap tangan Liene.
[Black] "Aku rasa kau yang butuh ditopang." Kemudian Black melingkari pinggangnya dengan lengan yang kokoh.
[Liene] "Lord Tiwakan. Bukan aku yang terluka."
[Black] "Itulah yang membuatku terkejut. Mengapa orang yang tidak terluka gemetar seolah akan pingsan kapan saja?"
[Liene] "......"
[Black] "Kalau begitu kita jalan."
Pria yang terkena panah mulai berjalan, menopang orang yang tidak terluka. Liene hendak mengatakan bahwa dia tidak memerlukan topangan, tetapi bibirnya tidak bisa bergerak. Keberadaan bahu yang menopang punggungnya, lengan yang melingkari pinggangnya, terasa begitu jelas.
Mengapa...? Dan fakta bahwa dia gemetar. Mengapa sebenarnya...?
Kini bukan hanya tangannya, melainkan punggungnya juga gemetar. Bulu-bulu halus di kulitnya berdiri saat lengan pria itu menyentuh punggungnya. Dia teringat saat Black tiba-tiba menarik dan memeluknya tepat sebelum anak panah menancap. Sensasi tubuh kokoh yang membentur keras tubuh Liene, sensasi kuat yang menusuk kulitnya. Getaran ini dimulai sejak saat itu.
[Nyonya Flambard] "Astaga, Yang Mulia!"
Liene tersadar saat berhadapan dengan Nyonya Flambard yang wajahnya pucat pasi setelah dia membawa Black ke ruang audiensi.
[Nyonya Flambard] "Apa yang terjadi! Di mana Anda terluka?! Siapa...!"
[Liene] "Bukan diriku tapi Lord Tiwakan yang terkena panah. Segera panggil tabib dan bawakan air panas serta handuk. Cepat."
"Apa...? Siapa yang terluka?" Nyonya Flambard terlihat bingung, seolah tidak percaya sama sekali.
Liene merasa sedikit malu karena bisa menebak alasannya. Namun, ini bukan saatnya untuk menjelaskan keadaan, jadi Liene mendesak pengasuhnya.
[Liene] "Nyonya. Cepatlah."
"Ah, ya. Baik, Yang Mulia." Nyonya Flambard buru-buru berlari keluar dari ruang audiensi.
Liene menoleh ke arah Black dan berkata dengan suara rendah, "Tuan bisa melepasku sekarang. Aku baik-baik saja."
[Black] "Kalau begitu." Tangan yang melingkari punggung Liene menghilang.
Untungnya Liene tidak jatuh. Sebenarnya, tidak ada alasan baginya untuk berjalan sejauh ini ditopang oleh orang yang terkena panah di bahu.
Saat pikiran Liene kacau mencari alasannya, Black menarik sofa di depan perapian.
[Black] "Duduklah."
"......Ya?" Liene menatapnya terkejut.
[Black] "Seperti yang kukatakan, kau masih gemetar. Masih."
[Liene] "......"
Apakah karena dia masih merasa tangan pria itu menyentuh bagian tubuhnya? Liene berusaha keras untuk mengembalikan ketenangan.
[Liene] "Aku tidak terluka. Lebih penting merawat lukamu."
[Black] "Aku tahu. Tetapi duduklah."
Setelah mengucapkan itu, Black melihat sekilas anak panah yang tertancap di bahu kirinya. Melihatnya, sulit untuk berpikir bahwa dia orang yang terluka. Dia melihat lukanya tanpa emosi sedikit pun, seolah sudah terkena panah ratusan kali.
"Sepertinya bajuku akan tersangkut," gumam Black dengan suara rendah lalu berlutut di depan Liene.
Seketika tubuh Liene menegang, tetapi niat Black lebih sederhana dari yang Liene pikirkan.
[Black] "Aku butuh bantuan untuk membuka baju."
[Liene] "Baju... Ya."
Anak panah yang tertancap pasti membuatnya sulit membuka baju. Liene dengan cepat bangkit dari kursinya.
[Liene] "Aku akan mengambil gunting."
[Black] "Tidak perlu." Tapi Liene sudah berbalik.
[Liene] "Mohon tunggu sebentar."
Dia butuh alasan apa saja untuk tidak berduaan dengan sang pria. Dia harus melepaskan diri dari sensasi fantom ini, seolah Black masih memeluknya.
"Aku tidak berniat untuk terluka," gumam Black pelan setelah Liene menghilang dan dia tinggal sendirian.
"Fermos pasti akan mengomel."
Meskipun begitu, ekspresi Black tidak menunjukkan gejolak emosi. Dari wajahnya, sulit untuk berpikir bahwa dia baru saja terkena panah.
[Liene] "......"
Black, yang tadinya menutup mulut dan mata, tiba-tiba menoleh. Pandangannya tertuju pada kursi tempat Liene duduk barusan. Dia mengulurkan lengannya yang tidak terluka dan menyentuh kursi itu. Seolah ingin memastikan bahwa tadi ada orang yang duduk di sana melalui rasa panas yang tersisa.
--Aku mengandung seorang anak. Apakah Tuan masih ingin melanjutkan lamaran ini?
Kata-kata yang ia dengar kemarin menggelitik telinganya, seperti kehangatan yang menggelitik di ujung jarinya.
Seperti yang ia katakan, anak haram bukanlah masalah besar. Sejak awal, dia tidak mengharapkan sesuatu dari tempat ini. Dia hanya ingin mengambil apa yang menjadi miliknya.
Pikirannya tentang Nauk juga sama. Tanah tandus yang hampir hancur ini justru merugikan jika dimiliki. Mereka pasti sudah menjual aset kerajaan hanya untuk bertahan hidup. Menjadi penguasa tempat ini berarti, seperti Liene, bagai menuangkan kekayaan ke dalam gentong yang bocor.
Namun, pikiran bahwa orang lain akan mengambil Nauk dan sang putri membuatnya kesal. Dia tidak terlalu menginginkannya, tetapi kekesalan itulah yang membuatnya memutuskan untuk melamar.
Setelah berkelana di benua selama sepuluh tahun, dia menjadi peka terhadap situasi dan tren di berbagai negara. Ada banyak pria yang menginginkan Liene Arsak. Di antara mereka, pasti ada orang kaya yang menganggap Nauk hanya sebagai batu kecil yang sepaket dengan Liene.
Daripada memberikannya kepada orang lain, lebih baik dia yang memilikinya. Memiliki adalah tujuannya, jadi dia belum memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya. Apakah sang putri punya kekasih atau mengandung anak haram, tidak menjadi masalah baginya.
"Tapi...," Black menggerakkan bibirnya. "...Aku kesal."
Bahkan setelah mendapatkannya, dia masih merasa kesal.
Tangan sang putri yang selalu mengepal setiap kali menghadapinya, dan bekas luka berbentuk kuku di telapak tangannya. Bibirnya yang gemetar halus, bulu matanya yang bergetar, wajahnya yang ketakutan. Tapi, tubuh yang rapuh namun kuat itu tidak pernah mundur selangkah pun, melainkan bertahan.
Gerakan jari-jarinya berhenti. Rasa hangat yang dicari oleh ujung jarinya telah menghilang. Tiba-tiba dahaganya memuncak. Dia ingin tahu apa yang membuat sekesal ini.
תגובות