A Barbaric Proposal Chapter 57
- 4 Jul
- 8 menit membaca
Diperbarui: 25 Agu
~ Sosok Tak Nyata~
Ada begitu banyak hal yang ingin Liene katakan pada Black, tapi entah mengapa, ia merasa kehabisan waktu.
Jadi, dari semua hal yang bisa ia ucapkan, Liene mengatakan hal yang paling ingin ia sampaikan.
Tidak ada anak.
Tak seorang pun pernah menjauhkanku darimu, jadi kau boleh mengambilku kembali seutuhnya.
Tapi ia tak bisa mengingat apa yang Black katakan sebagai balasannya—jika memang ia mengatakan sesuatu. Liene yakin itu hanya mimpi, tapi ternyata tidak. Black benar-benar menemukannya.
[Liene] "Bagaimana ia bisa tahu.....?"
Liene merasa gugup.
Apakah ia menemukan Klimah yang seharusnya bersembunyi? Lalu, apakah ia menanyai Klimah di mana Liene berada? Kalau begitu, bagaimana kabar Klimah sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Mungkinkah ia sudah mati.....
[Ny. Flambard] "Anda menghilang begitu lama, Putri. Dan semua orang salah paham karena ada darah di gaun Anda. Anda masih belum mengatakan apa-apa, kan? Jadi saya juga tidak mengatakan apa-apa."
[Liene] "Apa?"
Suara wanita itu menarik perhatian Liene, memenuhi benaknya dengan pikiran aneh. Liene mendongak, menatapnya.
[Ny. Flambard] "....Ada banyak darah, Putri. Semua orang melihatnya. Dan sekarang, Lord Tiwakan sepertinya berpikir Anda telah keguguran."
[Liene] "Maaf?"
Ini sesuatu yang tidak pernah ia pertimbangkan.
[Ny. Flambard] "Jadi..."
Nyonya Flambard menganggukkan kepalanya dengan malu.
[Ny. Flambard] "Saya memutuskan untuk tetap diam karena saya pikir itu yang terbaik. Dan dokter akhirnya mengkonfirmasi keguguran Anda karena semua darah itu."
[Liene] "Tidak, tapi aku...."
Ia sudah memberitahunya. Ia berkata, 'tidak ada anak'. Tidak pernah ada sejak awal.
Jangan bilang ia tidak mendengarku.
[Liene] "Apa yang dikatakan Lord Tiwakan?"
[Ny. Flambard] "Apa yang ia katakan? Tentang keguguran, maksud Anda?"
[Liene] "Ya."
[Ny. Flambard] "Yah, itu..."
Wanita itu tiba-tiba meraih tangan Liene. Sentuhannya sangat lembut dan menenangkan, hampir seperti seorang ibu sesaat sebelum hari pernikahan putrinya.
[Ny. Flambard] "Ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menyuruh dokter untuk menyelamatkan Anda, Putri."
[Liene] "Begitu ya..."
[Ny. Flambard] "Tapi saya sempat melihat wajahnya, Putri, dan saya bisa melihat begitu banyak emosi di wajahnya. Ia terlihat sangat khawatir pada Anda—seolah hatinya hancur karena apa yang terjadi."
[Liene] "Itu…."
Apakah itu….benar-benar kenyataan?
[Ny. Flambard] "Saya pikir Anda telah bertemu pasangan hidup yang sangat baik, Putri. Memberitahunya kebenaran atau tidak, menurut saya, sekarang tidak akan ada banyak perbedaan. Saya yakin jika Anda benar-benar memiliki anak, ia pasti akan menyayangi mereka seperti anaknya sendiri."
[Liene] "..."
Ia tak bisa melakukannya.
Sudah sangat aneh Black bersedia menerima anak berdarah Kleinfelter sebagai anaknya sendiri, tapi tidak masuk akal jika ia bisa merasakan kasih sayang terhadap anak itu.
Sosok seperti itu tidak ada di dunia ini.
[Liene] "Nyonya."
Saat wanita itu memegang tangannya, dengan lembut dan wajah ramah, ia menoleh ke arah Liene yang memanggilnya.
[Ny. Flambard] "Ya, Putri?"
[Liene] "Apakah Nyonya ingat mendiang raja?"
[Ny. Flambard] "Maksudnya, ayah Anda?"
[Liene] "Bukan, sebelumnya. Raja dari keluarga Gainers."
[Ny. Flambard] "Oh, ya saya rasa saya mengingatnya, meskipun saya tidak pernah bertemu dengannya. Bukankah ia raja yang meninggal karena kutukan saat berburu dengan para ksatria?"
[Liene] "Nyonya bilang, kutukan?"
[Ny. Flambard] "Ya, benar."
Nyonya Flambard merendahkan suaranya, melihat sekeliling seolah apa yang ia katakan adalah rahasia.
[Ny. Flambard] "Nah, rumornya agak rahasia, tapi mereka bilang raja dihukum karena melakukan sesuatu yang membuat Tuhan murka. Ia masih muda saat meninggal, dan meninggal di tempat yang tidak bisa ditemukan siapa pun, jadi banyak yang percaya itu benar. Mereka bahkan bilang hanya menyebut namanya sudah cukup untuk mendatangkan murka Tuhan, Putri. Jadi Anda tidak boleh menyebut namanya semudah itu."
Jauh di dalam dadanya, Liene bisa merasakan kemarahan berdenyut.
Kutukan? Jadi mereka membunuhnya lalu menyebarkan cerita omong kosong tentang kutukan sebagai kebenaran? Semua agar bisa menghapus dosa pengkhianatan mereka.
[Liene] "Jangan katakan itu, Nyonya. Tidak ada kutukan. Dan mengulang kata-kata seperti itu hanya—"
Bam—!
Pintu kamar tidur terbuka dengan kekuatan sedemikian rupa, terdengar seperti akan rusak, menyebabkan Liene dan pengasuhnya tersentak kaget.
Berdiri di kusen pintu adalah Black, yang telah membanting pintu terbuka seolah ia berniat menghancurkannya.
[Black] "Kau sudah bangun."
Melihat wajahnya, diterangi oleh cahaya lilin yang berkedip-kedip, Black terlihat sangat pucat.
[Liene] "Ya...."
Dan bertemu dengannya sekarang tidak semudah yang ia kira. Ia merasa sangat tidak nyaman.
Liene memejamkan mata, menghela napas pelan. Tapi dalam sekejap matanya terpejam, Black mendekat tanpa ia sadari.
[Ny. Flambard] "Saya permisi dulu."
Wanita itu dengan cepat berdiri dari tempat duduknya, membungkuk ke arah mereka.
[Liene] "Anda tidak perlu pergi."
Tapi saat Liene mengulurkan tangan untuk menghentikan Nyonya Flambard, Black meraih tangannya, dengan lembut menariknya kembali.
[Ny. Flambard] "Panggil saya jika Anda butuh sesuatu, Putri."
Dan dengan itu, Nyonya Flambard cepat-cepat permisi. Sepertinya ia tidak berniat berdiam diri degan canggung di antara mereka.
[Black] "Kau baru bangun sekarang."
Mendengar suara pintu tertutup rapat, Black duduk di kursi yang ditinggalkan pengasuhnya, tapi itu tidak cukup, jadi ia menariknya lebih dekat ke tepi ranjang Liene.
Ia mengambil tangan Liene dan menyatukan jari-jari mereka. Setelah tangan mereka terjalin erat, ia mengangkat tangan Liene ke bibirnya, memberikan ciuman manis.
[Black] "Kau tidur sangat lama, aku hampir membangunkanmu."
[Liene] "..."
Mendengar keheningan Liene yang bergema, Black memiringkan kepalanya.
[Black] "Kau ingin tidur lagi?"
[Liene] "....Tidak."
Sebenarnya, ia masih sangat lelah, tapi ia tidak ingin tidur. Jika tidur, ia hanya akan merasa khawatir di esok hari. Tertidur pada waktu yang aneh hanya berarti bangun pada waktu yang aneh juga.
[Black] "Kau lapar?"
[Liene] "Tidak juga."
[Black] "Lalu apa yang kau butuhkan?"
[Liene] "..."
Memikirkannya, lucunya, hanya ada satu hal yang benar-benar ia inginkan.
Ia ingin menghapus ingatannya. Khususnya, semua ingatan tentang apa yang ia bicarakan dengan pelayan itu. Melupakan pernah bertemu dengan si pelayan sejak awal.
Dibandingkan dengan sekarang, kekhawatiran masa lalunya terasa begitu sederhana. Ketika yang harus ia lakukan hanyalah menunggu waktu dan tempat yang tepat untuk memberitahu Black kebenaran tentang kehamilannya.
Memikirkannya sekarang, rasanya begitu bodoh.
Kebohongannya bukan apa-apa dibandingkan dengan apa yang kini mengganggu pikirannya.
[Black] "Kau bisa mengatakan apa pun yang kau inginkan. Seperti apa pun yang kau ingat tentang orang yang menculikmu."
[Liene] "....Aku tidak melihatnya."
Ragu sejenak, begitulah Liene memutuskan untuk menjawab.
Jika diketahui bahwa Klimah menculiknya, akan semakin sulit untuk membantunya seperti yang Liene janjikan. Tentu saja, Black sudah tahu tentang Klimah dan apa yang telah ia lakukan, tapi Liene belum bisa memastikan.
[Liene] "Setelah kehilangan kesadaran, aku hanya sendirian saat kembali sadar."
[Black] "Apa kau ingat melihatku?"
[Liene] "Ya..."
[Black] "Baiklah kalau begitu. Hanya itu yang penting. Pasti tidak ada hal buruk yang terjadi karena kau bisa mengingat semuanya dengan jelas."
Black mengusap rambut Liene yang pucat, sentuhannya begitu lembut hingga ia nyaris tak merasakannya. Ketika ia bersikap seperti ini, tak seorang pun akan menyangka ia berhadapan dengan anak musuhnya.
Apakah itu karena...Liene masih terlalu muda saat itu untuk tahu apa yang dilakukan keluarga Arsak? Mungkinkah Black hanya mengingat peran Kleinfelter dalam semua ini?
Apakah itu sebabnya Black bisa memperlakukannya seperti ini?
[Liene] "..."
Semakin pikiran Liene berkecamuk, semakin pucat wajahnya.
Black bilang ia berusia delapan tahun saat itu, jadi ia mungkin tidak mengingat nama ketujuh keluarga.
Tapi Black bukan satu-satunya yang tidak tahu apa-apa. Liene pikir ia adalah bangsawan Nauk sejak ia lahir, hidup dalam ketidaktahuan yang membahagiakan selama ini.
Jadi mungkin begitulah adanya.
Black masih tidak tahu persis siapa Liene sebenarnya. Baginya, Liene hanyalah orang yang ia ingat sebagai orang yang hampir dijodohkan dengannya saat ia muda.
[Black] "Apa yang ada di pikiranmu?"
Black perlahan mengusap wajah Liene dengan tangannya. Sentuhannya ramah dan lembut seperti nyala api yang menari, namun, pada saat yang sama, menyengatnya seperti semburan air dingin yang tiba-iba.
[Liene] "...Ada sesuatu yang harus kuberitahukan padamu."
Hatinya tersengat.
Liene mengumpulkan sedikit keberanian yang ia miliki, menarik lengan baju Black. Ia bilang ia suka ketika Liene menyentuhnya, dan Liene berdoa itu masih berlaku.
[Liene] "Tapi tolong janjikan aku sesuatu terlebih dahulu."
[Black] "Katakan."
Black menunduk melihat tangan Liene yang memegangnya. Dari sudut pandang Liene, ada rasa lapar yang jelas di matanya.
...Kurasa aku tahu mengapa ia melakukan ini padaku.
Black bilang ia menginginkan rumah. Sebuah tempat ia bisa kembali tanpa ada yang mengancamnya. Sebuah tempat di mana ia bisa menenangkan pikiran dan menurunkan pertahanannya tanpa rasa takut.
Bagi Black, Liene adalah rumahnya.
Bahkan jika Liene tidak pantas mendapatkan apa pun, Black pantas mendapatkannya.
…..Jadi aku tidak bisa.
Ia tidak bisa mengatakannya.
Ayahku membunuh ayahmu dan merebut takhtamu.
Aku bukan rumahmu. Aku bukan orang yang ditakdirkan untuk bersamamu, berbagi ranjang hingga kita tua. Aku anak dari orang yang menghancurkan hidupmu.
Ia tidak bisa mengatakan semua itu.
Jika ia melakukannya, pria ini akan kehilangan rumahnya lagi.
Liene tidak yakin apakah ini hanya alasan untuk melindungi dirinya dari kebenaran, tapi kenyataannya adalah Liene tahu ia tidak bisa mengambil rumah itu darinya.
Liene tidak bisa mengambil apa pun lagi darinya.
Keluarga Arsak yang melucuti rumahnya sejak awal. Akan terlalu kejam dan mengerikan, merebutnya untuk kedua kalinya.
[Black] "Mengapa kau tidak mengatakan apa pun?"
Melihat Liene membuka dan menutup mulutnya beberapa kali, Black mulai khawatir, mengambil sehelai rambutnya dan menggosoknya di antara jari-jari, membawanya ke bibir. Seolah ia mencoba menghangatkan tangannya.
[Liene] "Ini…."
[Black] "Ya?"
[Liene] "Kau mungkin akan marah setelah mendengarnya…."
[Black] "Itu keputusanku. Jadi, apa itu?"
[Liene] "Tapi tolong, jangan lampiaskan kemarahanmu pada orang lain. Tolong jangan marah pada pengasuhku."
[Black] "Apakah pengasuhmu melakukan kesalahan?"
[Liene] "Ia tidak melakukan apa pun karena keinginannya sendiri. Ia hanya mengikuti perintahku, jadi itu bukan salahnya."
[Black] "Aku akan melakukannya. Jadi, bicaralah."
Apakah ini hal yang benar? Apakah kesombongannya sendiri yang membuatnya percaya bahwa ia memiliki kekuatan untuk melindungi rumah pria ini?
Ia tidak tahu apa pilihan yang tepat.
Tapi bahkan jika hatiku sangat menderita karenanya...Aku tidak ingin kau merasakan semua itu lagi. Aku tidak ingin kau kehilangan apa pun lagi. Aku hanya ingin kau menemukan semua yang telah hilang darimu.
Semua yang ingin kau ambil kembali.
Semua yang seharusnya kau miliki.
[Liene] "Aku tidak keguguran."
Liene tidak menyadarinya, tetapi jari-jarinya yang mencengkeram lengan baju Black menegang, hampir sampai pada titik di mana terasa seperti akan patah. Tapi Black melihatnya.
Black memegang tangannya, perlahan melonggarkan ketegangan di jari-jarinya.
[Black] "Kau ingin membicarakan itu?"
Ia sepertinya tidak mengerti apa yang ingin Liene katakan.
[Liene] "Aku memberitahumu bahwa aku tidak keguguran."
[Black] "Kau belum banyak minum air hari ini, jadi kau pasti haus. Tunggu di sini."
Jadi Black mencoba menghindari percakapan, mengalihkan pembicaraan. Ia berpikir Liene sedang menyangkal, mencoba melarikan diri dari kenyataan karena ia tidak tahan dengan rasa sakit setelah kehilangan bayinya.
Saat Black menjauh, Liene mengulurkan tangan dan meraih lengan bajunya lagi.

[Liene] "Aku tidak pernah punya anak. Sejak awal, aku tidak pernah hamil."
[Black] "....? Apa yang baru saja kau katakan?"
Black, yang baru saja akan berdiri dari kursinya, menatap Liene—seluruh tubuhnya benar-benar kaku saat ia perlahan merosot kembali ke tempat duduknya.
[Liene] "Aku berbohong. Untuk menolak lamaranmu."
[Black] "..."
[Liene] "Dan aku tahu, aku punya beberapa kesempatan untuk mengatakan yang sebenarnya, tapi aku terus menyembunyikannya. Aku takut kendali atas Nauk akan direbut dari keluarga Arsak."
[Black] "..."
[Liene] "Tapi aku tahu, seharusnya aku tidak melakukan itu. Jika kau marah, aku bisa mengerti."
[Black] "..."
Selama Liene berbicara, ia tetap diam. Itulah bukti bahwa Black tidak pernah sekalipun meragukannya ketika Liene memberitahunya bahwa ia hamil.
Pria ini benar-benar jujur.
Kecuali ketika ia mencoba merahasiakan namanya.
[Liene] "...Aku sangat menyesal. Aku akan memberitahumu sebelumnya, tapi kemudian kebakaran terjadi."
[Black] "Tapi kau berdarah….."
Setelah beberapa saat, Black mengerutkan kening, bergumam dengan suara rendah kepada dirinya sendiri.
[Black] "Jika bukan karena keguguran, lalu mengapa...Ah. Itu mungkin karena…"
[Liene] "….Ya."
Lalu hening lagi.
Apakah hanya Liene yang merasakan tekanan dari keheningan di ruangan itu? Black terlihat gelisah….atau mungkin merasa dikhianati?
Saat kegelisahan mencengkeramnya, Liene melepaskan cengkeramannya pada lengan pria itu, sebagai gantinya, jari-jarinya jatuh untuk memegang tangan Black.
[Liene] "Pengasuhku tidak bersalah. Aku satu-satunya yang patut disalahkan."
[Black] "Ya, tidak….aku mengerti."
[Liene] "K, Kau baik-baik saja?"
Black mengerutkan kening, kerutan jelas terbentuk di antara alisnya.
Black sama sekali tidak terlihat baik-baik saja.
[Black] "Aku tidak tahu."
...Seharusnya aku sudah menduga ini.
Memegang tangan Black, Liene melonggarkan cengkeramannya, jari-jarinya jatuh tak berdaya.
[Liene] "Aku sangat menyesal."
Liene tidak yakin apa lagi yang bisa ia katakan.
Black tetap seperti itu untuk sementara, perlahan memiringkan kepalanya saat ia menatap Liene. Matanya, tatapannya setajam cermin, menembus dirinya.
[Black] "Aku tidak tahu bagaimana akan menggambarkan perasaan ini....Tapi kurasa 'baik-baik saja' bukanlah cara yang tepat untuk mengungkapkannya."
Komentar