A Barbaric Proposal Chapter 52
- 16 Jun
- 8 menit membaca
Diperbarui: 25 Agu
~ 14 Mayat ~
Liene baru saja ingin mengungkapkan rahasianya.
Tok, tok—!
Seandainya saja tidak ada suara mendesak yang memanggil mereka dari balik pintu.
[Prajurit] "Tuanku! Apakah Anda di dalam?! Maaf mengganggu, tapi ada masalah serius!"
[Black] "..."
Black terdiam sesaat, menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri sebelum bangkit. Liene tak bisa mendengar apa yang Black katakan, tapi berdasarkan ekspresi kesalnya, mungkin saja sumpah serapah.
[Black] "Tunggu di sini."
Black melangkah menuju pintu dengan jubahnya yang masih terbuka. Jika seseorang datang untuk mengganggu mereka pada waktu selarut ini, pasti ada sesuatu yang terjadi.
Tak mampu duduk diam, Liene menyingkirkan selimut dan bangkit berdiri.
[Black] "Ada apa?"
Saat Black membuka pintu dengan kasar, suara pintu yang membentur dinding bergema keras. Sebuah suara yang akan membuat siapa pun merasa gugup.
Menghadapi Black, prajurit itu menelan ludah dengan susah payah, tapi cepat menguasai diri untuk mengulang laporan yang ia terima.
[Prajurit] "Ada kebakaran."
[Black] ".....Apa?"
[Liene] "Maaf?"
Namun Liene lebih terkejut dari siapa pun. Wajahnya memucat sepenuhnya.
[Liene] "Kebakaran… Kalau begitu…"
Ketakutan yang menyelimuti Nauk karena kekeringan tidak pernah hilang, jadi kebakaran dianggap sebagai salah satu bencana paling mengerikan yang bisa mereka alami.
[Liene] "Di mana? Bawa aku ke sana."
Segala yang terjadi beberapa saat lalu langsung lenyap dari benak Liene. Ia bergerak melewati Black, mencoba meninggalkan ruangan.
[Black] "Putri."
Namun sebelum Liene sempat melangkah, Black memegang bahu Liene, menariknya kembali.
[Black] "Kau tetap di sini. Aku yang akan pergi."
[Liene] "Tidak, aku harus pergi… Atau kita bisa pergi bersama. Jika ada kebakaran di musim seperti ini, maka….."
Saat Liene panik, Black mengangkat tangannya dan dengan hati-hati menyentuh wajah Liene yang sepucat rembulan. Entah mengapa, sentuhannya terasa sedih.
[Black] "Kau tidak bisa melakukannya saat hamil. Tunggulah di sini."
[Liene] "Tapi kau butuh satu orang lagi, untuk membangunkan semua orang di kastil….."
[Black] "Kita belum melihat asap dan belum mencium apa-apa. Tidak ada cara untuk mengetahui seberapa serius kebakaran itu. Aku akan pergi dan melihatnya sendiri, lalu aku akan kembali dan memberitahumu keadaannya. Kau tidak perlu khawatir—"
Namun tepat saat Black mengatakan itu, suara langkah kaki yang keras mulai menggema di aula, mengenai telinga Liene saat semakin dekat.
[Prajurit] "Tuanku! Saya baru saja kembali setelah memeriksanya…..! Apinya sangat aneh."
Prajurit yang baru tiba terengah-engah, seolah ia berlari sepanjang waktu, mengembuskan napas sesak.
[Prajurit] "Tidak terpusat di satu lokasi. Api bermunculan di mana-mana, seperti ada yang sengaja menyalakannya."
[Liene] "Ah!"
Liene harus menahan diri agar tidak berteriak.
Kebakaran sudah cukup mengerikan, tapi pembakaran? Seseorang sengaja melakukannya? Di negara mereka, mengingat masa lalu mereka, menyalakan api dengan sengaja tak berbeda dengan mencoba mengutuk seseorang.
[Liene] "Tolong lepaskan aku."
Liene mencoba menepis tangan Black.
[Liene] "Apakah penjaga kastil sudah diberitahu tentang kebakaran ini? Berapa banyak air yang tersisa di kastil?"
[Prajurit] "Para penjaga sedang mencari pelaku pembakaran sambil memadamkan api. Kami sedang menyebarkan berita sekarang."
[Liene] "Di mana kebakaran paling parah?"
[Prajurit] "Sepertinya di dapur. Jadi ada kemungkinan kebakaran pertama benar-benar kecelakaan. Mungkin ada yang lupa membiarkan oven bata menyala, tapi—"
[Black] "Cukup. Putri."
Saat situasi berubah karena prajurit yang memberikan laporan, Black mengulurkan tangannya, menyuruhnya berhenti. Lalu, ia kembali menatap Liene.
[Black] "Kembalilah ke dalam."
[Liene] "Apa maksudmu? Aku….."
[Black] "Dengan situasi seperti ini, aku tidak bisa menjamin keselamatanmu jika kau pergi, Putri. Bahkan aku tidak bisa menghentikan asap jika terlalu banyak."
[Liene] "Jelas aku tahu itu. Tapi konyol kalau berpikir—"
[Black] "Dengan kondisimu yang sekarang, kau tidak bisa melakukan apa-apa."
Black memotong perkataannya, nadanya sangat dingin dan blak-blakan, dan sebelum Liene menyadarinya, Black sudah mendorong tubuh Liene kembali ke kamar tidur.
[Liene] "Tunggu, jangan lakukan ini..."
Tubuhnya lemas dan tak berdaya menghadapi kekuatan Black, hingga perlawanan sama sekali tak berguna. Begitu Liene sepenuhnya kembali ke dalam kamar, ia mendengar Black membanting pintu tanpa sepatah kata pun.
[Black] "Salah satu dari kalian, tetap di sini dan lindungi Putri. Dan kau, pimpin jalannya. Apakah ada tempat di mana aku bisa melihat seluruh kastil?"
[Prajurit] "Sir Fermos mengatakan menara utara. Ia menunggu di sana sekarang."
Sebelum prajurit itu menyelesaikan jawabannya, Black berbalik, berjalan pergi.
Buk! Buk!
[Liene] "Tolong, buka pintunya!"
Liene menggedor pintu dengan tinjunya sekuat tenaga. Namun, seberapa pun kuatnya ia menggedor, tubuh yang menghalangi pintu lebih kuat darinya.
[Liene] "Apa gunanya mengunciku seperti ini?! Minggir!"
[Prajurit] "Tidak… Tuanku benar. Akan buruk jika Anda tidak sengaja menghirup asap. Demi bayi, itu akan…"
[Liene] "Bukan itu masalahnya!"
Buk! Buk!
Merasakan emosinya memuncak, tangannya terasa kesemutan setelah kembali memukul pintu. Liene memegang tangannya yang memerah dengan tangan yang lain, mengembuskan napas panjang dan menenangkan dirinya.
[Liene] "Adakah yang bisa kulakukan agar kau mau membuka pintu ini?"
[Prajurit] "Bermimpilah. Sampai Tuan secara eksplisit menyatakan, saya tidak bisa membiarkan Anda pergi."
[Liene] "..."
Ia seharusnya sudah tahu. Pada akhirnya, orang-orang ini adalah anak buah Black.
Lalu pilihan apa yang tersisa baginya? Haruskah ia mencoba melarikan diri melalui jendela? Jika ia berhati-hati, ia bisa bergerak di sepanjang bingkai dan mencapai balkon pintu berikutnya…
[Liene] "…Tapi apakah itu akan berhasil?"
Hanya membayangkan prosesnya membuat Liene dengan putus asa ambruk ke lantai, dipenuhi dengan rasa hampa.
Ini terasa aneh.
[Liene] "Bisakah aku benar-benar tidak melakukan apa-apa…?"
Apakah itu mungkin?
Semua yang ada di Kastil Nauk adalah tanggung jawab Liene.
Bahkan hal-hal terkecil pun berada di bawah wewenangnya. Mulai dari tikus yang menyerbu gudang makanan, hingga tali yang membusuk dan karung gandum yang rusak—adalah tugas Liene untuk menangani dan memperbaikinya.
Untuk kastil sebesar ini, tidak ada cukup banyak orang yang bekerja dan terlalu sedikit orang yang tinggal sebagai penduduk tetap. Daripada mendelegasikan pekerjaan kepada orang-orang yang sudah kewalahan dengan tugas mereka sendiri, sudah menjadi kebiasaannya untuk turun tangan dan menanganinya sendiri.
Karena itu, Liene segera menjadi orang yang bertanggung jawab.
Bukan seseorang yang hanya duduk diam dan membiarkan dirinya dilindungi.
[Liene] "Tapi ini aneh. Aku mulai merasa….."
…Terbiasa.
Sejak Black datang ke Nauk, Liene selalu dihantui perasaan itu. Setiap kali ada sesuatu yang sulit muncul, seperti hadiah dari surga, Black akan datang dan membereskannya.
[Liene] "Tapi, rasanya sedikit…"
Apakah ini tidak berbahaya?
Aku rasa aku bukan tipe orang yang menyerahkan semuanya pada orang lain… Atau mungkin aku memang tidak pernah punya kemampuan untuk melakukannya.
Ini salah Black. Seolah ia datang, lalu menemukan bagian yang kosong dalam diri Liene, dan tanpa pikir panjang langsung mengisi kekosongan itu.
Duduk di lantai, Liene dengan lembut menekan tangan ke dadanya. Tepat di tempat di mana keberadaan Black terjalin dengan dirinya.
[Liene] "Setiap kali kita berpisah…"
Ia berpikir sejenak bahwa perpisahan mereka meninggalkan rasa sakit yang samar di dadanya. Seolah ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya.
Namun, hal itu justru menunjukkan bahwa Black entah bagaimana sudah menetap kokoh di hati Liene, menemukan tempatnya untuk bersemayam.
Perasaan ini adalah…
Seorang penyair mungkin akan lebih mudah menggambarkan emosi ini daripada dirinya.
[Liene] "..."
Sambil duduk di lantai, Liene memikirkan Black, lalu melepaskan semua keinginan kuatnya untuk pergi ke luar.
Ia akan percaya pada Black. Selama Black ada di kastil, tidak ada yang perlu ditakuti—tidak ada bahaya yang bisa menyentuhnya.
[Liene] "Aku harus kembali tidur."
Semuanya akan baik-baik saja.
Bahkan jika situasi memburuk, Black akan kembali dan memberitahunya.
Melepaskan kekhawatirannya, tepat saat Liene menoleh, hendak berdiri—
[Liene] "…?"
Ia melihat sesuatu mencurigakan.
Seseorang berdiri di ambang pintu kamar Black. Di tempat yang seharusnya tidak ada siapa pun, dengan semua lampu padam, ia berdiri di sana—memperhatikan Liene.

[Liene] "Siapa—!"
Sosok itu muncul entah dari mana, langsung memeluk Liene dan membekap mulutnya dengan kecepatan luar biasa begitu Liene menyadarinya
[Liene] "…..!"
Liene secara naluriah mendorong balik, seluruh tubuhnya melawan kekuatan orang itu, tapi pria itu terlalu cepat, terlalu besar, dan terlalu terampil dibandingkan dirinya.
Ia menarik tangannya, menekan jari-jarinya dalam-dalam ke arteri di leher Liene, menekan dan menekan sampai Liene mulai merasa pingsan.
[Liene] "..."
Sebanyak apa pun ia mencoba berteriak, tidak ada yang bisa mendengar teriakannya. Dengan semua udara terputus dan seseorang menekan lehernya, pikirannya melayang dan tubuhnya lemas.
[Liene] "..."
Hingga akhirnya, matanya tertutup.
Sosok pendiam itu mengangkat tubuh Liene yang tak sadarkan diri, melempar Liene ke bahunya. Pakaian hitam yang ia kenakan berbau belerang dan abu.
Kemudian, ia memasuki ruangan di antara kamar Black dan Liene—ruangan yang entah sejak kapan telah kehilangan nama. Di salah satu sudut, ada perapian besi berbentuk silinder, terbengkalai tak tersentuh. Bentuknya menyerupai pilar raksasa, dengan ukuran sangat masif, tingginya menjulang hingga langit-langit.
Dengan tenang, sosok itu membuka pintu perapian, melangkah masuk.
Klik.
Setelah masuk, ia menutup pintu, nyaris tanpa suara. Kemudian, ia menarik seutas tali yang sudah disiapkan, yang menarik kait pintu kembali ke tempatnya.
Namun, saat diperiksa lebih dekat, 'tali' itu ternyata sehelai rambut tipis. Ia menyalakan batu api, menurunkan nyala api ke ujung rambut, lalu membakarnya. Karena begitu tipis, rambut itu cepat sekali habis terbakar. Saat menjadi abu, tak ada sisa sama sekali, hanya menyisakan aroma samar.
Namun, bahkan aroma itu pun tak lama kemudian lenyap.
Dan setelah keduanya tak terlihat, tak ada satu pun jejak yang tersisa di ruangan. Seolah-olah baik ia maupun Liene memang tak pernah ada di sana sejak awal.
[Liene] "…..Ugh…."
Ia merasa pusing, seolah ada kabut tebal di dalam kepalanya, meringis saat mencoba sadar. Namun, meskipun pikirannya mengancam untuk kembali tenggelam dalam ketidaksadaran, Liene memaksakan matanya terbuka, menarik dirinya kembali.
Aku… Bagaimana… Apa yang terjadi….
[???] "Anda tidak perlu memaksakan diri untuk bangun."
[Liene] "…?"
[???] "Kita punya banyak waktu."
[Liene] "…!"
Ia mengenali suara itu.
[Liene] "Kau—!"
Liene mencoba melompat berdiri, tetapi ia menyadari pergelangan tangan dan pergelangan kakinya terikat.
[Liene] "Klimah!"
Selama ini, ia membuat Tiwakan kesulitan melacaknya atas kasus pembunuhan Kardinal. Namun, setelah segala kekacauan itu, Klimah kini duduk di depan Liene seolah tak ada yang terjadi.
[Liene] "Apa yang kau lakukan? Mengapa kau—!"
[Klimah] "Maafkan saya."
Namun, suara Klimah tidak memicu rasa takut atau keputusasaan dalam situasi mencekam itu. Sebaliknya, suaranya justru terdengar sedih, menyerupai syahdunya rintik hujan yang menenangkan sekaligus sunyi.
[Klimah] "Saya hanya menjalankan perintah."
[Liene] "Perintah? Apakah… Lyndon Kleinfelter menyuruhmu melakukan ini….? Bagaimana? Ia berada di penjara….."
[Klimah] "Maafkan saya. Saya tidak bisa melawan perintahnya."
[Liene] “Apa-apaan ini… Tidak! Kau harus melepaskanku! Tak ada satu pun perintah yang bisa membenarkan perbuatan seperti ini di Nauk!”
[Klimah] "Maaf, tapi saya tidak bisa. Saya tidak punya pilihan."
Meskipun gelap, Liene bisa melihat Klimah menggelengkan kepalanya. Liene bisa melihat air mata jernih yang mengalir di wajah Klimah, terpantul dalam cahaya rembulan yang samar.
[Liene] "..."
Klimah menangis.
Aneh memang, mengingat perbuatannya, tapi Klimah terisak-isak, bahunya gemetar hebat. Siapa pun yang melihatnya saat ini tak akan menyangka ia seorang pembunuh.
Liene perlahan mengembuskan napas, memaksakan dirinya untuk tetap tenang.
Klimah… sepertinya bukan orang jahat.
Klimah mungkin menangis karena rasa bersalah, persis seperti yang ia lakukan saat doa penebusan. Ia adalah seseorang yang merasa bersalah atas kerugian yang ditimbulkannya pada orang lain hingga ingin melukai dirinya sendiri.
Liene hanya perlu tetap tenang dan berbicara dengannya. Jika berhasil, Klimah mungkin akan sadar dan bahkan bisa mengubah keputusannya.
Pasti ada alasan mengapa keluarga Kleinfelter bisa memanfaatkannya. Liene hanya perlu mencari tahu apa itu.
[Liene] "Apakah kau juga membunuh Kardinal atas perintah Lyndon Kleinfelter?"
[Klimah] "…Ya."
Ketika Liene mengajukan pertanyaan itu, ia berpikir Klimah mungkin akan mencoba menyangkalnya, tetapi secara mengejutkan, Klimah hanya menganggukkan kepalanya tanpa ragu.
Setelah berdoa kepada Tuhan yang tidak memberinya jawaban, mungkin ia hanya ingin mengakui dosa-dosanya kepada siapa pun yang mau mendengarkan.
[Liene] "Apa lagi yang ia perintahkan padamu?"
[Klimah] "…Kardinal…."
[Liene] "Kau sudah bilang kau membunuh Kardinal Milode."
[Klimah] "Kardinal Motiya juga…."
[Liene] "Apa—! …Hah."
Menarik kembali seruannya, Liene hanya menghela napas.
Apa gerangan yang mendorong pria ini melakukan semua pembunuhan itu demi Kleinfelter? Dan jika dua Kardinal sudah terbunuh di masa lalu, selalu ada kemungkinan lebih banyak lagi yang menjadi korban sebelumnya.
Kini Liene mulai memahami asal-muasal kesombongan serta sikap tak peduli keluarga Kleinfelter pada hierarki kerajaan. Jika mereka punya kuasa membunuh seorang Kardinal tanpa berkedip, apa lagi yang perlu mereka takuti?
Di mata keluarga Kleinfelter, mahkota yang Liene warisi tak lebih dari sekadar perhiasan belaka.
[Liene] "Dan? Apakah kau juga membunuh orang lain?"
[Klimah] "…Ya."
[Liene] "Berapa banyak?"
[Klimah] "…Tiga belas."
Klimah menelan kembali air matanya, melafalkan angka yang tepat seolah ia telah menghitung dengan cermat. Seolah ia mengukir setiap nyawa sebagai dosa di kulitnya.
[Klimah] "Dan jika saya menambahkan Anda, Putri, akan menjadi empat belas."
[Liene] "..."
Ucapannya membuat merinding lengan Liene yang terikat.
[Liene] "Apakah… ia menyuruhmu untuk membunuhku?"
[Klimah] "Tidak."
[Liene] "Lyndon Kleinfelter… tidak memerintahkan untuk membunuhku?"
[Klimah] "Tidak."
Klimah menyeka air mata dari pipinya, tetapi percuma saja. Tak lama kemudian, kedua matanya kembali basah.
[Klimah] "Saya diperintahkan untuk menangkap dan memperkosa Anda. Lalu, setelah dicemari, saya harus memamerkan Anda… Di suatu tempat di mana semua orang bisa melihatnya."
[Liene] "Gila sekali…"
Gagasan itu saja sudah membuat Liene mual.
Sulit dipercaya Lyndon Kleinfelter memerintahkan tindakan sekeji dan serendah itu terhadap penguasa negeri yang seharusnya ia layani. Namun, alasan Kleinfelter melakukannya justru begitu menjijikkan dan mengerikan, sampai membuat Liene muak hingga ke ulu hati.
Ia… Ia tidak ingin membunuhku. Ia ingin menghancurkanku. Menghancurkan jiwaku.
Hanya untuk sesuatu sesederhana… memisahkanku dari Black?
Sungguh menjijikkan dan bejat. Memikirkan hal semacam itu saja sudah sulit dipercaya, rasanya Lyndon Kleinfelter tak pantas disebut manusia.
[Liene] "Klimah."
Dengan tangan terikat, Liene mengepalkan tinjunya—menahan amarah yang bergejolak di hatinya.
Ia akan punya banyak waktu untuk mengatasi kemarahannya nanti.
Setelah ia berhasil kembali ke rumah dengan selamat.
Komentar