top of page

A Barbaric Proposal Chapter 51

~Di Momen Ini~


Nyonya Flambard menahan Liene, wajah dan suaranya menunjukkan keseriusan luar biasa.

[Ny. Flambard] "Dan saya akan memberitahu ini karena Anda tidak punya pengalaman, Putri, tapi tidak baik berhubungan badan selama demam bulanan. Sekuat apa pun godaan untuk memanjakan tubuh satu sama lain, Anda harus menghindarinya. Anda paham, kan?"

Liene sangat terkejut mendengar kata 'berhubungan badan' secara blak-blakan, sehingga ia menggeleng seolah tertegun, matanya melirik kesana kemari, tidak yakin harus menatap ke mana.

[Liene] "Bukan itu alasannya kami tidur seranjang. Terlalu mendadak untuk hal seperti itu."

Sekarang Nyonya Flambard menunjukkan ekspresi aneh.

[Ny. Flambard] "Maaf? Lalu mengapa Anda berbagi ranjang malam ini?"

Baik anggota keluarga kerajaan yang sudah menikah atau pasangan bangsawan biasa, kecuali mereka berniat untuk melakukan hubungan fisik, tidak ada kebutuhan bagi mereka untuk berbagi ranjang.

Ada kasus di mana kamar tidur mereka berdampingan, tetapi sangat tidak umum bagi mereka untuk secara teratur berbagi ruangan. Hal seperti itu dipandang hanya untuk orang miskin yang tidak mampu memiliki kamar tidur terpisah.

Jadi, apa yang Liene katakan saat ini sangat aneh.

[Liene] "Karena… rasanya menyenangkan?"

[Ny. Flambard] "Siapa yang mengatakan itu? Apakah dia?"

[Liene] "…Ya."

Cih, wanita itu mendecakkan lidahnya.

[Ny. Flambard] "Astaga, Anda terlalu polos, Putri."

[Liene] "Apa maksudmu?"

[Ny. Flambard] "Apakah ia benar-benar akan puas hanya dengan tidur di ranjang yang sama?"

[Liene] "Mungkin saja…."

Setidaknya, begitulah menurut Liene.

[Ny. Flambard] "Yah, ada desas-desus mengatakan ia lebih menyukai pria, meskipun saya tidak tahu banyak tentang itu."

[Liene] "Itu hanya desas-desus."

[Ny. Flambard] "Saya tidak tahu, Putri. Dengan apa yang Anda katakan, mungkin ada benarnya"

[Liene] "..."

Bukan itu.

[Ny. Flambard] "Jika begitu, maka saya hanya mengkhawatirkan hal yang tidak perlu. Saya akan selesai berbicara di sini dan membiarkan Anda beristirahat. Silakan tidur dengan nyaman malam ini, Putri."

[Liene] "..."

Liene tetap diam sampai wanita itu meninggalkan kamarnya.

Merasa jika mencoba membuka mulut, ia hanya akan berakhir merasa sangat malu. Terutama jika mencoba membantah perkataan Nyonya mengenai Black yang lebih tertarik dengan pria dengan contoh kejadian di masa lalu.

Ia tidak dapat menemukan posisi terbaik untuk bantal-bantal mereka.

Liene membalik-balik bantal berkali-kali, mendengarkan suara samar air yang berasal dari kamar mandi.

Jika bantal mereka terlalu dekat, ia akan merasa sangat malu, tetapi jika ia meletakkannya terlalu jauh, maka Black mungkin akan mengira ia mengusirnya atau menolaknya.

Lalu pada suatu titik, ia merasa sangat aneh di dalam hatinya.

…Apa yang kulakukan? Ini hanya bantal.

Pluk. Pluk.

Liene dengan lembut menjatuhkan bantal kembali, yang kini sedikit kempes karena terlalu banyak ia pegang.

[Liene] "…Tapi bantalnya terlihat terlalu jauh."

Ia mengambil bantal-bantal itu dan mempersempit jarak di antara mereka.

[Liene] "Baiklah, cukup. Aku tidak akan mengotak-atiknya lagi."

Liene mengangkat ujung selimut dan menyelipkan diri. Tepat saat ia melakukannya, suara air berhenti. Tidak lama lagi Black akan masuk, berbau segar seperti air.

…Tiba-tiba, rasanya ia tidak cukup bernapas. Ia tidak memikirkan apa pun, tetapi pipinya masih memerah. Liene menarik selimut sampai menutupi kepala dan wajahnya.

Badum. Badum….

Waktu berjalan sangat lambat, dan ia bisa mendengar setiap detik diiringi oleh detak jantungnya. Saat waktu melambat, begitu pula matanya, perlahan-lahan menutup karena mengantuk.

Kriiet.

Dan jika bukan karena suara kecil pintu terbuka, ia mungkin sudah tertidur.

[Black] "….Ini sedikit…."

Sekarang aku memikirkan hal buruk.

Untuk sesaat, Liene berpikir ia mendengar Black menggumamkan itu pada dirinya sendiri. Tapi tepat saat ia membuka mata untuk bertanya ada apa—

[Liene] "…!"

Selimut yang menutupi wajahnya dengan cepat ditarik ke bawah, dan begitu wajahnya terbuka, ia merasakan Black menempelkan bibir ke bibirnya.

[Black] "Aku tahu kau tidak tidur."

Black menggumam, dengan lembut menarik bibir bawah Liene dengan cara yang membuatnya tergelitik.

[Black] "Buka matamu."

Lalu ia merasakan Black dengan manis membalutkan tangan di sisi wajahnya.

Ia menurut, perlahan membuka mata, tetapi ia tidak sadar betapa dekatnya Black. Ia sangat malu, ia ingin menutupi dirinya lagi.

[Liene] "Aku tidak pura-pura tidur…."

Suara Liene sangat pelan, seperti bisikan.

Meskipun pelan, itu tidak masalah. Mereka begitu dekat, jika salah satu dari mereka mengucapkan kata sekecil apa pun, napas mereka akan membakar kulit satu sama lain.

[Black] "Lalu ada apa ini? Kau menutupi wajah."

[Liene] "Ini… Hanya kebiasaanku."

Terdengar seperti alasan ketika Liene mengatakannya, tapi memang itu kebenarannya. Cuaca selalu tidak nyaman dan dingin selama musim ini, jadi ia sering tidur dengan selimut menutupi kepala.

[Black] "Kau tidak berencana mengusirku, kan?"

[Liene] "Jika aku berniat begitu, aku tidak akan membawa selimut cadangan..."

Akhirnya, perhatian Black teralihkan saat matanya mengikuti pandangan Liene ke arah selimut yang tergeletak diam di tempat kosong di sampingnya.

[Black] "Aku tadi tidak melihat selimut itu."

Black berbalik dan menciumnya lagi.

[Black] "Tapi aku tidak suka kalau kau sudah tidur."

[Liene] "Yah, hanya saja..."

[Black] "Aku di sini."

[Liene] "…Apa?"

[Black] "Apa kau akan langsung tidur?"

Kata-kata yang Black bisikkan tepat di depan hidungnya menggelitik cuping telinga Liene. Apakah karena ia terlalu dekat dengannya? Wajah Black tepat di hadapannya.

[Liene] "Apa lagi yang akan kita lakukan… kalau bukan tidur?"

[Black] "Aku tidak tahu."

Black menggerakkan tangannya ke wajah Liene, perlahan dan lembut mengusapkan jempolnya di bibir basah Liene.

Baca Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 51 Di Momen Ini. Baca Novel A Savage Proposal oleh Lee Yuna. Baca  Novel Terjemahan Korea

[Black] "Tapi aku ingin berbicara denganmu terlebih dulu."

[Liene] "Berbicara denganku? Tentang apa?"

[Black] "Apa saja."

Saat jari-jarinya bergerak di bibir Liene, ia tanpa sengaja membuka bibirnya seolah ingin berbicara, menyebabkan lidahnya menyentuh jari Black. Lalu Black mengerutkan kening, alisnya berkerut seolah kesakitan.

[Black] "Hal-hal yang kau sukai?"

Pertanyaan yang aneh untuk diajukan padanya saat Black menekan jari ke bibirnya seperti ini.

[Liene] "Apa yang aku suka? Tentang apa?"

[Black] "Apa saja."

Itu yang ia katakan sebelumnya.

[Liene] "Yah..."

Pertanyaan yang sangat sederhana, menanyakan hal-hal yang ia sukai atau ia anggap baik. Tapi entah bagaimana sulit bagi Liene untuk menjawabnya.

Apa yang aku suka….

Tapi semakin ia memikirkannya, semakin ia tidak bisa menemukan jawaban yang tepat, yang hanya memperparah rasa malunya.

[Liene] "Aku tidak terlalu menyukai dingin."

[Black] "…Aku bertanya tentang kesukaanmu."

…Ia masih tidak yakin harus berkata apa. Ia tidak tahu hal-hal yang ia sukai. Tapi setelah berpikir beberapa saat, pada saat suara Liene keluar, suaranya bergetar.

[Liene] "Aku ingin jika tidak punya apa pun untuk dikhawatirkan."

[Black] "….Kekhawatiran macam apa yang kau pikirkan akhir-akhir ini?"

Terlalu banyak untuk dihitung. Jika ia harus memilih satu secara khusus, itu adalah kebohongan yang saat ini sedang ia kumpulkan keberanian untuk mengakuinya.

[Liene] "Ada banyak. Penunjukan Kardinal berikutnya, keberadaan Klima si pelayan… Lalu ada juga masalah Dewan Aristokrat dan khawatir kapan tanggal pernikahan akan ditetapkan. Jika terus seperti ini, kemungkinan besar akan tertunda. Dan aku curiga Kleinfelter tidak akan menyetujui Kardinal baru."

[Black] "Aku tahu itu. Ada hal lain?"

[Liene] "Hal lain?"

[Black] "Ada kekhawatiran lain."

[Liene] "Yah… Ada kekeringan yang berakhir musim gugur lalu. Dan musim dingin ini mungkin akan sangat dingin, jadi aku berharap sumur tidak membeku. Musim dingin lalu membuat semua orang sangat menderita. Dan lalu ada—"

[Black] "Apakah kau tidak khawatir tentang malam ini?"

[Liene] "Hm? Malam ini…?"

Wajahnya tiba-tiba memucat, mencoba memikirkan apa yang Black maksud dengan 'khawatir tentang malam ini.'

[Black] "Apakah kau tidak khawatir dengan apa yang bisa kulakukan padamu?"

…Oh, jadi itu yang ia bicarakan, pikir Liene. Sebagai respons, ia mengambil tangannya, melingkarkan jari-jarinya di tangan Black yang masih berada di atas bibirnya.

[Liene] "Aku tidak khawatir. Aku sudah tahu."

[Black] "Kau tahu?"

[Liene] "Ya. Kau memberitahuku. Kita akan tidur bersama di ranjang yang sama seperti sebelumnya."

Black mengatakan ia ingin tidur bersama seperti yang mereka lakukan malam kemarin, dan bahwa ia ingin menciumnya saat mereka berdua terbangun di pagi hari. Ia dengan jelas menyuarakan niatnya untuk memeluknya erat-erat saat mereka tidur bersama, tanpa niat buruk apa pun.

Tapi kemudian Black tiba-tiba tersenyum.

[Black] "Kau benar-benar wanita yang tidak terduga, Putri."

Liene tidak terlalu mengerti apa maksud ucapannya.

[Liene] "Bagaimana bisa?"

[Black] “Ketika kemarin aku bilang ingin tidur seranjang denganmu, kau menolak karena menganggapku tidak akan bisa menjaga diri. Tapi lihat, malam ini...”

Black berhenti berbicara, mengambil tangan Liene dan membaliknya, memberikan ciuman di telapak tangannya.

[Black] "Hari ini kau bertingkah seolah kau tidak tahu apa-apa."

[Liene] "..."

Ia sudah mendengar tentang kepolosannya dari Nyonya Flambard.

Memang benar Liene tak punya pengalaman sedikit pun. Mendengar Black mengulang langsung komentar kikuk yang ia ucapkan tadi, semakin menyulitkan Liene untuk bicara.

[Liene] "Aku… ada yang perlu kuberi tahu padamu."

Liene kesulitan memilih kata-kata.

[Liene] "Aku agak kesulitan hari ini…."

[Black] "Aku tahu."

Black menundukkan kepalanya, menyatukan dahi mereka.

Saat Black melakukannya, ia merasa sangat dekat dengan Liene, tetapi perasaan itu sangat berbeda dari ciuman.

[Black] "Aku diberitahu kau masih harus berhati-hati."

[Liene] "…?"

Apa yang Black bicarakan saat ini?

[Black] "Dokter pergi pagi tadi, tapi aku belum lupa."

Dokter pergi…? Ah… Black berbicara tentang anaknya. Ia masih berpikir seperti itu.

[Black] "Aku sudah memutuskan akan menghargaimu, Putri… jadi aku akan melakukan yang terbaik untuk melindungimu. Jangan khawatir menghadapi ini sendirian."

[Liene] "..."

Black menjauhkan dahinya dari Liene, mengulurkan tangan dan menarik selimut kembali menutupi Liene. Ia menariknya sampai ke dagu Liene, menyelimutinya.

[Black] "Tapi kurasa bantalku terlalu jauh."

Black mengambil bantal yang Liene siapkan, yang terlalu jauh menurut standarnya, dan mendorongnya lebih dekat tanpa mengucapkan sepatah kata.

[Liene] "..."

Liene menahan napas saat ranjang bergeser, merasakan Black berbaring di sampingnya. Entah kapan, Black sudah membalikkan tubuhnya ke samping, tapi Liene bahkan tak menyadarinya. Mereka berdua tetap dalam posisi itu, saling berhadapan.

…Ada sesuatu yang perlu kuberi tahu.

Meskipun ia membuka mulutnya, tidak ada satu pun kata yang keluar, dan Liene jatuh ke dalam keheningan yang berkelanjutan karena rasa malu.

Tenggelam dalam rasa malunya sendiri, melihat wajah Black dari dekat seperti ini, ia terus-menerus menyadari betapa menakjubkannya Black dalam segala aspek. Bahkan memikirkannya membuat jantungnya yang pemalu berdebar kencang.

[Black] "Apa kau sedang mencari bekas luka lain di wajahku?"

Black bertanya saat ia menyadari tatapan Liene.

[Liene] "Tidak. Aku pikir hanya itu satu-satunya yang kutemukan."

Sebaliknya, Liene memiliki sesuatu yang sangat ingin ia katakan padanya.

[Liene] "Dan aku berharap tidak menemukan bekas luka tambahan padamu."

Ia perlu mengatakannya. Inilah kesempatannya… tapi mulutnya terus mengatakan hal lain.

Black mengambil tangan Liene dan menekan ujung jari kecilnya ke bibir.

[Black] "Tapi jika aku tidak punya bekas luka lagi, maka kau tidak akan punya alasan untuk menatapku seperti yang kau lakukan sekarang, Putri."

[Liene] "Kau salah."

[Black] "Apa maksudmu?"

[Liene] “Aku tidak menatapmu waktu itu karena sengaja mencari bekas luka. Aku menemukannya justru karena mataku sudah terlanjur menatapmu.”

Jadi, bahkan jika tidak ada bekas luka di tubuhnya, ia akan selalu menatapnya seperti yang ia lakukan sekarang. Selama Black ada tepat di hadapannya.

[Black] "Sama seperti bagaimana aku menemukan ini?"

Black bergumam, suaranya sangat rendah, ia bisa saja berbicara pada dirinya sendiri. Ia mengusap tangannya ke tahi lalat di bawah telinga Liene. Bagian dari dirinya yang belum pernah ia lihat dengan matanya sendiri.

[Liene] "Mungkin."

Liene juga mengangkat tangannya, mengusapkan jari-jarinya ke bekas luka yang ia temukan di alis Black. Merasakan sentuhannya, Black memejamkan salah satu mata saat tangan Liene menyentuh bulu matanya.

[Liene] "Apa aku membuatmu tidak nyaman?"

[Black] "….Tentu saja tidak."

Dengan hanya satu mata terbuka, Black mengambil tangan Liene dan menariknya ke bawah, menyebabkan tangan Liene berpindah dari matanya, dan berhenti di pipi.

[Black] "Aku berharap punya bekas luka lain di sini."

[Liene] "Aku tidak."

Seketika, ekspresi Liene masam.

Apa yang Black bicarakan? Ia ingin bekas luka… di wajahnya…? Mengapa?

[Liene] "Jika kau ingin aku menyentuhmu, maka minta saja. Jangan berpikir untuk melukai dirimu sendiri."

[Black] "..."

Black tiba-tiba mengerutkan kening, jarak di antara alisnya menyempit.

Yah, ekspresi Black saat ini jauh lebih rumit. Kadang-kadang terlihat seolah ia tersenyum, tetapi kadang-kadang terlihat sebaliknya.

[Black] "Kau bilang kau tidak suka ketika aku meminta izin, Putri."

Ya, Liene bisa mengingatnya.

[Black] "Jadi kau harus lebih berhati-hati saat mengatakan hal seperti itu."

[Liene] "Apa?"

Black berbicara begitu ramah dibandingkan dengan kata-katanya.

[Black] "Aku tidak berpikir kau akan bisa menangani apa yang akan terjadi selanjutnya."

Seolah kata-kata itu terasa berat keluar dari bibirnya, Black lalu menempelkan bibirnya pada bibir Liene.

Berbaring di ranjang yang sama seperti ini, melarikan diri sudah tidak mungkin karena betapa dekatnya mereka, tetapi saat ia merasakan tangan besar menangkup wajahnya, ia tahu tidak bisa menghindari ciumannya.

Black mendorong bibir Liene terbuka, memberinya ciuman yang meluluhkan tubuhnya, dengan tergesa-gesa dan penuh gairah.

Ah… Pikiranku… semua beterbangan.

Black menarik Liene ke atas, menguncinya dalam pelukan dan sensasi berat tubuh Black yang menekan dadanya terasa sangat tidak senonoh, namun mendebarkan.

Apa… Apa yang harus kulakukan sekarang…

Di bawah jubah yang ia kenakan, Black hanya mengenakan celana, jadi hal pertama yang Liene rasakan adalah sensasi dada telanjangnya. Terasa lebih jelas saat mereka bergerak dan menggeser tubuh mereka bersama, menyebabkan jubahnya terbuka dengan tidak sengaja.

Ia mengencangkan matanya yang tertutup, dan pikirannya sudah benar-benar hilang sekarang.

Dipandu oleh indranya, Liene perlahan mengusap tangannya di kulit dada Black. Suhu tubuhnya jauh lebih panas daripada Liene.

[Liene] "..."

Memutuskan ciuman mereka di tengah-tengah, Black menarik diri—suaranya lembut dan manis bergema saat bibir mereka terpisah.

Pada saat yang sama, Liene dengan lembut menarik napas, semua udara mengalir masuk sekaligus.

[Black] "Alih-alih berhati-hati, aku hanya akan membuatmu lelah dengan ciuman."

Gumamannya, dengan bibir Black yang masih begitu dekat seolah nyaris menyentuh bibir Liene, terasa membakar karena sarat godaan.

Liene tanpa sadar mengangkat kepalanya, mencarinya—seolah tanpa kata bertanya mengapa Black berhenti. Bahkan hampir mengundangnya untuk melanjutkan.

[Black] "Kita tidak bisa melakukan lebih dari ini."

Black memiringkan kepalanya ke belakang saat Liene mendekat.

[Black] "Kau terlalu berbahaya bagiku, Putri."

[Liene] "..."

Mendengarnya membuat wajah Liene memerah.

Bukan karena ia merasa malu. Ia sudah merasa malu ratusan kali sebelumnya, tetapi perasaan ini berbeda.

Melihat situasi yang begitu penuh gairah, Liene merasa curiga mengapa Black menarik diri darinya. Padahal, mata Black dipenuhi begitu banyak gairah, sampai-sampai Liene bisa melihat tatapannya bergetar.

Jadi Liene mengulurkan tangan, meletakkan tangannya di sisi kiri dada telanjang Black, tepat di atas jantungnya.

Black tersentak, seluruh tubuh bagian atasnya menegang, tetapi Liene sepenuhnya terfokus pada detak jantung Black di telapak tangannya, yang seolah terukir di kulitnya.

Liene pun bertanya-tanya.

Apakah detak jantungnya sendiri juga sama kerasnya bagi Black seperti detak jantung Black baginya? Bukan dirinya yang berbahaya. Black-lah yang selalu berbahaya. Black begitu buruk bagi jantungnya, tak ada kata lain yang bisa menggambarkannya.

[Liene] "Ada… sesuatu yang perlu kukatakan."

Berbaring dan terjebak dalam pelukannya, Liene menatap Black dengan tatapan yang dapat menembus dirinya.

[Black] "Apa itu?"

Saat ini, Liene yakin.

Bahkan jika Black mengetahui bahwa ia telah berbohong tentang kehamilan, pria ini tidak akan kecewa atau merasa dikhianati.

Faktanya… Black mungkin akan senang.

Perasaan kecewa atau dikhianati akan terbayangi oleh perasaan lega bahwa ia tidak hamil anak berdarah Kleinfelter.

[Liene] "Aku… Aku berdarah hari ini."

Ekspresi Black mengeras.

[Black] "Mengapa kau tidak memberitahuku lebih awal?"

Dari tatapan matanya, jelas bahwa ia sangat yakin Liene berdarah karena kehamilan.

Saat Black mulai bangkit, Liene dengan cepat meraih lengan Black, menghentikannya agar tidak terburu-buru pergi dan memanggil seseorang.

[Liene] "Tidak, itu hanya karena…."

Saat ini, di momen ini, adalah kesempatannya untuk berbicara.


Comentarios

Obtuvo 0 de 5 estrellas.
Aún no hay calificaciones

Agrega una calificación

Join Our Mailing List

bottom of page