top of page

A Barbaric Proposal Chapter 49

Diperbarui: 13 Jun

~Balas Dendam dan Lamaran Pernikahan~

[Liene] "..."

[Pria Tua] "..."

Keheningan pekat menyelimuti saat Liene berbicara dengan pria tua.

Ruang audiensi dan aula pertemuan terlalu tidak nyaman bagi pria tua dengan kaki yang cedera, karena tidak ada kursi selain yang diperuntukkan bagi bangsawan.

Namun seperti yang Black janjikan, ia membiarkan Liene bertemu pria tua itu, lalu menutup pintu di belakangnya saat ia pergi.

Liene menatap diam-diam ke satu mata pria tua hingga ia benar-benar yakin mereka sendirian.

...Pria tua tidak terluka.

Menyadari hal itu, setidaknya Liene bisa menyimpulkan bahwa Black tidak menyiksa pria tua agar tetap diam atau melakukan sesuatu di luar kehendaknya.

Bibir Liene menegang.

Aku tidak boleh terlalu mempercayai pria ini.

Namun, terlepas dari perasaan yang saling bertentangan, ia ingin memercayainya, jadi ia harus memperhatikan hal-hal terkecil sekalipun.

Ia ingin menyingkirkan setiap keraguan yang ada di hatinya.

[Liene] "Aku tahu ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku. Di Tempat ini, tidak akan ada yang bisa mendengarmu selain diriku, jadi kau bisa berbicara dengan bebas."

[Pria Tua] "Itu..."

Bibir pria tua itu menegang, hanya sedikit suara yang keluar.

[Liene] "Anak Perempuan Arsak adalah pendosa, dan karenanya ia akan berdarah. Ia akan membalas dendam. Bukankah itu yang kau katakan padaku?"

[Pria Tua] "..."

[Liene] "Katakan apa maksudnya. Apa yang kulakukan sampai disebut sebagai pendosa?"

[Pria Tua] "..."

Namun pria tua tidak ingin berbicara.

[Liene] "Aku tidak bisa membiarkanmu meninggalkan tempat ini hidup-hidup jika tidak menjawab. Kau akan tetap di sini sampai kematian menghampirimu—sampai hanya tulang yang tersisa."

Ancamannya kejam, mengatakan tidak akan mengizinkan pria tua memiliki kuburan, tetapi Liene tidak bisa mengalah sampai ia mendapatkan jawaban.

[Pria Tua] "Arsak… membawa kekeringan… ke Nauk… Adalah pendosa..."

Akhirnya, ia membuka bibirnya.

[Liene] "Lanjutkan."

[Pria Tua] "Begitu banyak… kematian… darah terhanyut… oleh dosa Arsak…"

[Liene] "Apa?"

Liene secara naluriah mengerutkan kening.

Itulah frasa yang pernah ia dengar dari beberapa orang.

Selama pemerintahan raja sebelumnya, kekeringan berlanjut dalam waktu yang sangat lama, dan ada beberapa yang percaya bahwa kekeringan disebabkan oleh dosa raja, atau kutukan dari Tuhan.

Selama dua puluh tahun terakhir, kalimat itu hampir tidak pernah diucapkan lagi, tetapi tidak berarti kalimat itu hilang sepenuhnya.

[Pria Tua] "Suatu hari… Tuhan… akan membalas dendam..."

[Liene] "Kau berani berbohong padaku."

Liene memelototinya.

[Liene] "Bukan itu yang kau katakan saat pertama kali berbicara padaku. Kau mengatakan bahwa anak perempuan Arsak akan berdarah karena balas dendam. Balas dendam yang dilakukan oleh dewa tidak akan menyebabkan hukuman seperti itu. Tapi itu balas dendam dari manusia."

[Pria Tua] "Kebohongan… Tuhan… membalas dendam terhadap… Arsak."

[Liene] "Kau mengenali Lord Tiwakan."

[Pria Tua] "..."

Liene sekilas melihat keterkejutan di mata pria tua yang gemetar.

[Liene] "Bagaimana kau mengenal Lord Tiwakan? Apa kau mengenalnya sejak ia masih kecil?"

[Pria Tua] "..."

[Liene] "Siapa nama Lord Tiwakan?"

[Pria Tua] "..."

Pria tua menatap Liene dengan mulut tertutup rapat. Meskipun ia tidak bisa yakin, tatapannya seolah bertanya apakah Liene bisa menerima kebenaran jika ia mengetahuinya.

[Liene] "Jawab aku."

Liene menahan kecemasan yang melilit perutnya.

Tolong katakan yang sebenarnya.

Apa pun itu, aku akan mendengarkannya.

Aku perlu tahu siapa pria itu.

[Pria Tua] "Henton."

Sebuah kata yang terlalu jelas kontras dengan sebelumnya bergema dari mulut pria tua itu. Sesaat, Liene bahkan berpikir orang lain yang sedang berbicara.

[Liene] "Henton?"

Nama yang belum pernah ia dengar.

[Pria Tua] "Ia… putra kedua… Henton..."

[Liene] "Apakah kau mengatakan Henton adalah Lord Tiwakan?"

[Pria Tua] "..."

Pria tua kembali diam.

Namun ia tampak seolah sudah mengatakan apa yang diperlukan, jadi Liene memutuskan untuk memercayai perkataannya.

[Liene] "Baiklah. Aku punya satu pertanyaan terakhir."

Dengan anggukan, pria tua tetap diam.

[Liene] "Mengapa kau memukul pelayan Klimah?"

Setelah pria tua mengungkapkan kebenaran yang ia ketahui, seolah ia memutuskan tidak ada gunanya lagi tetap diam.

[Pria Tua] "Saya..."

[Liene] "Ya?"

[Pria Tua] "Melihatnya… memasukkan jenazah… ke dalam peti mati."

[Liene] "Ah..."

Jadi Klimah memang pembunuhnya, yang kemungkinan besar berarti ia hanyalah antek lain dari keluarga Kleinfelter, melakukan segala perbuatan kotor yang mereka perintahkan, termasuk pembunuhan.

Menyadarinya, Liene teringat bagaimana Klimah terlihat pada hari itu, berdarah karena luka di tubuhnya.

Klimah mengatakan ia perlu berdoa untuk penebusan dosa.

Jadi… mungkin karena itulah penyebabnya.

Tapi pembunuhan sama sekali tidak cocok dengannya.

Klimah diliputi begitu banyak rasa bersalah atas apa yang ia lakukan sehingga ia ingin dipukuli dan dicambuk, jadi apa yang mendorongnya untuk bertindak sebagai pembunuh bayaran keluarga Kleinfelter?

[Liene] "Terima kasih atas jawabannya. Sekarang, kau boleh pergi ke mana pun yang kau inginkan. Jika membutuhkan tempat tinggal, aku bisa menyiapkan akomodasi untukmu di kastil. Atau ada tempat lain yang ingin kau tuju?"

[Pria Tua] "...Kuburan."

[Liene] "Maaf?"

Liene pikir ia salah dengar, tapi ternyata tidak.

[Pria Tua] "Saya akan… segera mati… Saya tidak perlu merasakan kenyamanan…"

Setelah mengatakannya, pria tua melangkah, menekan tongkatnya dan mengangkat tubuhnya dengan susah payah.

Tindakannnya yang lebih menceritakan keputusannya daripada seratus kata. Meskipun Liene bisa memberinya tempat tidur yang empuk untuk merebahkan kepala, tapi pria tua tidak akan pernah menerimanya.

[Liene] "Aku harap kau menemukan kedamaian yang kau cari di akhir perjalananmu."

Liene berdiri dari kursinya, meninggalkan pria tua.

Saat ia pergi, pintu tetap terbuka di belakangnya, dan ia berharap pemandangan itu akan memberikan sedikit kenyamanan bagi pria tua.

Meskipun Liene mendapatkan jawaban yang dicarinya, entah mengapa ia merasa sangat tidak puas—seolah ada sesuatu yang sangat tidak tenang di dalam dirinya.

Liene terus berjaga-jaga, berjalan menuju halaman belakang.

Tempat itu masih suram dan sunyi.

Liene mengingat kembali apa yang telah ia dengar, berjalan perlahan di taman tempat hanya semak duri runcing yang bisa tumbuh dengan nyaman.

[Liene] "Henton, Henton, Henton..."

Ia memikirkannya berulang kali, tapi tetap bukan nama yang pernah ia dengar.

Namun ia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa nama itu terasa familiar. Mereka tidak disebutkan dalam catatan, jadi kemungkinan besar Henton adalah keluarga kecil. Jadi, jika mereka menghilang sepenuhnya suatu hari nanti, tidak ada yang akan mengingat mereka.

[Liene] "Tidak… Pria tua itu mengingat mereka."

Ketika ia memikirkan pria tua dan tubuhnya yang cacat, ia tahu itu tidak ada hubungannya dengannya, tapi anehnya ia merasa bertanggung jawab. Hal yang sama berlaku untuk pelayan itu.

[Liene] "Seharusnya aku tidak membiarkannya pergi begitu saja."

Ia seharusnya memberikan sesuatu. Makanan, pakaian—apa saja.

Liene berbalik sepenuhnya.

...Dan saat itulah ia melihat seseorang mendekatinya. Itu adalah Black.

Begitu Liene melihatnya, seolah semua pikiran lain lenyap sepenuhnya. Jika seseorang melukiskan hal yang memenuhi pikirannya, Liene tidak akan pernah percaya.

Karena dalam benaknya, dibandingkan dengan Black, yang lain hanyalah titik kecil.

Baca Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 49  Balas Dendam dan Lamaran Pernikahan. Baca Novel A Savage Proposal oleh Lee Yuna. Baca  Novel Terjemahan Korea

[Liene] "Bagaimana… Bagaimana kau tahu aku di sini?"

Liene berdiri diam, dengan sabar menunggu hingga Black mendekat.

[Black] "Aku melihatmu."

[Liene] "Dari mana?"

[Black] "Dari menara timur."

Artinya ia telah mengawasi Liene sejak keluar dari ruang audiensi.

[Black] "Tempat ini masih berbahaya jadi aku ingin menghentikanmu datang ke sini, tapi kau tampak tenggelam dalam pikiran."

[Liene] "Jadi… kau menunggu di sini?"

[Black] "Ya."

Bagaimana bisa pria ini... begitu mudah mengatakan sesuatu demi kebaikannya seperti itu?

Tiba-tiba Liene merasa terlalu malu untuk melihat wajahnya karena suatu alasan, dengan gugup mengetukkan ujung kakinya ke tanah.

[Liene] "Tidak berbahaya di sini. Hanya taman."

[Black] "Di sinilah kau diserang dengan panah. Artinya ada jalan di halaman ini yang mengarah ke luar."

[Liene] "Yah… aku tidak terlalu tahu hal seperti itu… tentang Kastil Nauk."

Melihat wajah Liene yang terkejut, Black mengangkat tangannya dan menunjuk lurus ke depan.

[Black] "Aku menemukan satu di sini. Lebih baik berhati-hati daripada menyesal. Apakah kau sedang dalam perjalanan pulang?"

[Liene] "Ya. Aku merasa bersalah karena membiarkan pria tua pergi begitu saja."

[Black] "Kalau begitu, kau tidak perlu khawatir. Fermos akan mengurusnya."

[Liene] "Aku ingin memberinya sesuatu untuk dimakan."

[Black] "Baiklah."

Jawabanya singkat, mengatakan ia tidak perlu risau tentang apa pun karena Black akan mengurusnya.

Merasa lega, Liene menghela napas pelan.

[Liene] "Terima kasih. Kau bahkan melakukan hal seperti ini untukku."

[Black] "Aku hanya mengikuti arahanmu, Putri… Mau jalan-jalan?"

Liene menatap lengan yang diulurkan padanya.

Niatnya jelas. Yang harus ia lakukan hanyalah mengaitkan lengannya pada lengan Black, menempelkan bahu mereka berdampingan, dan berjalan bersamanya seperti sepasang kekasih—hanya berjalan-jalan di taman sambil membicarakan perihal sepele.

…Tapi mungkinkah itu?

Apakah ia siap menyingkirkan semua keraguan tentang pria ini?

[Liene] –'Buktikan padaku bahwa kau akan melakukan apa saja. Agar aku bisa memercayaimu.'

[Black] –‘ Kau tidak bisa melanggar janjimu, Putri.'

Itulah percakapan terakhir mereka.

Sejak Liene meminta untuk berbicara dengan pria tua, hasilnya sudah ditentukan. Bahkan jika hatinya masih berat dan tidak yakin, Liene harus menepati janjinya.

[Liene] "Aku mendengar nama aslimu, Lord Tiwakan."

Liene ragu, mengulurkan tangan dan meletakkan tangannya di lengan Black.

Setelah Black berbalik dan mulai berjalan, keduanya secara alami mulai berjalan bersampingan.

[Liene] "Pria tua itu tahu siapa dirmu."

[Black] "Dan apa yang ia katakan?"

[Liene] "Tolong katakan padaku, Lord Tiwakan."

Tolong katakan padaku namamu. Siapa dirimu sebenarnya.

Dan setelah keheningan panjang, ketika Black akhirnya berbicara, nama yang sama keluar dari bibirnya.

[Black] "….Henton."

Jadi, apakah Henton memang nyata? Black tidak berbohong padanya, kan?

[Black] "Itulah namaku tepat sebelum meninggalkan tanah ini."

[Liene] "Dan… Apakah kau mengubah namamu?"

[Black] "Tidak juga. Tapi setelah pergi, aku tidak peduli lagi apa nama yang kupakai."

[Liene] "..."

Liene tidak tahu seperti apa kehidupan prajurit bayaran, tetapi ia tahu bahwa anak-anak tidak bisa bergabung menjadi prajurit bayaran.

Black pasti telah melalui begitu banyak hal—banyak di antaranya tidak ia ceritakan pada Liene.

[Liene] "Tolong ceritakan lebih banyak. Ketika mengatakan keluargamu terbunuh, apakah kau membicarakan ayahmu?"

[Black] "Ya."

Tidak ada perasaan tertentu di balik respon biasanya.

Ia berbicara seolah sedang membicarakan masa lalu orang lain, atau seolah sudah terjadi sangat lama hingga menyebutkannya sekarang terasa tidak ada gunanya.

[Liene] "Apakah kau tahu… siapa yang membunuhnya?"

[Black] "Aku masih muda waktu itu, jadi tidak tahu detail spesifik mengapa bisa terjadi. Aku hanya mengingat pola pada sarung tangan mereka yang membunuh ayahku."

[Liene] "Seperti apa pola itu?"

[Black] "Pola daun."

[Liene] "…!"

Liene berhenti berjalan.

[Liene] "Jika itu daun maka..."

Daun laurel adalah simbol keluarga Kleinfelter.

Prajurit dan bendera mereka selalu dihiasi dengan pola daun laurel. Bahkan Laffit mengikat daun di bagian belakang panahnya untuk mengikuti tradisi keluarga.

[Liene] "Kalau begitu…"

Diliputi keterkejutan, tubuh Liene terhuyung.

Musuh Black adalah keluarga Kleinfelter.

Putra tertua keluarga Kleinfelter adalah kekasihnya walaupun hanya sementara waktu, dan untuk melarikan diri dari lamaran Black, ia mengatakan kepadanya bahwa ia hamil anak kekasihnya.

Tetapi keluarganya dibunuh oleh Kleinfelter… Dan Black percaya Liene mengandung anak berdarah Kleinfelter di dalam rahimnya.

Laffit memberitahunya bahwa Black datang untuk membalas dendam, dan kemudian Black melamar.

Balas dendam. Dan lamaran pernikahan.

Dua konsep yang tidak pernah bisa bersatu tiba-tiba melebur menjadi satu karena keluarga Kleinfelter—karena Black pikir ia mungkin benar-benar akan menjadi istri dan mengandung anak berdarah Kleinfelter, dan berpikir ia bisa membalaskan dendam dengan merebut Liene dan anaknya dari Kleinfelter.

[Black] "Inilah mengapa aku tidak mengatakan apa-apa. Aku takut kau akan bereaksi seperti ini."

Black mengulurkan tangan, menopang tubuh Liene yang goyah.

[Liene] "Kalau begitu mengapa… Ketika anak ini..."

[Black] "Tidak peduli anak siapa."

[Liene] "Tapi… mengapa!?"

[Black] "Apakah aku perlu mengulanginya?"

Black mengulurkan tangannya, menyisir rambut yang berantakan dari dahi Liene, nadanya menunjukkan bahwa ia sudah mengatakan ini lebih dari sekali.

[Black] "Aku menginginkanmu, Putri, lebih dari aku menginginkan balas dendam. Kau bilang tidak ingin aku membunuh Kleinfelter, jadi aku membiarkannya hidup. Apakah kau benar-benar merasa ucapanku sulit dipercaya?"

[Liene] "Itu tidak… masuk akal… Bagaimana… bisa mungkin…?"

[Black] "Sejak meninggalkan Nauk, aku tidak pernah tinggal di satu tempat untuk waktu yang lama. Dan menjadi lebih terasa setelah aku mengambil nama Tiwakan."

Menyisir rambutnya ke samping, Black mengusap jempolnya di dahi Liene yang terbuka saat ia memegang wajahnya.

[Black] "Setelah perang berakhir, aku membutuhkan rumah untuk kembali. Bukan hanya tempat di mana aku memiliki atap di atas kepala, tetapi tempat yang benar-benar bisa kusebut rumah."

Itulah hal yang paling aneh.

Liene adalah seorang wanita yang Black yakini mengandung anak dari darah musuhnya, namun sentuhannya terasa manis dan lembut.

[Black] "Bagiku, kau adalah hal terdekat yang kumiliki sebagai rumah. Bahkan jika kau bukan seorang putri, aku akan tetap mengingatmu sebagai tunanganku."

[Liene] "…Bagaimana kau bisa…"

[Black] "Aku tidak pandai menjelaskan banyak hal. Aku berharap namaku tidak akan pernah diketahui karena hanya akan mempersulit alasan-alasanku yang sudah janggal. Dan aku masih berpikir, jika memungkinkan, aku akan tetap menyembunyikan namaku. Aku ingin tinggal di momen itu selamanya."

[Liene] "..."

Liene mengangkat kepalanya, menatap Black dengan mata yang bertanya apa maksudnya dengan momen itu.

[Black] "Momen ketika aku membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah kau di sisiku, Putri. Di mana aku bisa menciummu tanpa izin—tanpa memikirkannya sama sekali."

[Liene] "..."

[Black] "Itulah rumah yang selalu kubayangkan."

[Liene] "..."


Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

Join Our Mailing List

bottom of page