A Barbaric Proposal Chapter 44
- 2 Jun
- 8 menit membaca
Diperbarui: 25 Agu
~Hari Ini, Seperti Kemarin~
Black memang pernah menyebutkan hal serupa. Ia tahu dirinya bertunangan, tapi mungkin baru sekedar inisiatif ayahnya.
[Liene] "Kalau begitu, tidak akan tercatat di arsip kerajaan, kan?"
[Ny. Flambard] "Saya tidak yakin."
[Liene] "Aku akan mencarinya, untuk berjaga-jaga."
Liene berbalik terburu-buru. Arsip kerajaan tersimpan di Kantor Raja.
Kumohon, semoga ada sesuatu yang tersisa di sana.
[Ny. Flambard] "Anda mau ke mana, Putri? Mengapa tiba-tiba Anda berbicara tentang pertunangan masa lalu? Saat kita sedang membicarakan Lord Tiwakan?"
[Liene] "Kami dulu pernah bertunangan."
[Ny. Flambard] "Maaf?"
Wanita itu mengerjapkan mata bingung, seolah kata-kata yang baru saja didengarnya tak bisa ia pahami.
[Ny. Flambard] "Anda dengan siapa? Tuan Kleinfelter tidak pernah bertunangan dengan Anda, setahu saya."
[Liene] "Lord Tiwakan."
[Ny. Flambard] "Apa?"
Terkejut mendengar jawaban Liene, ia cepat-cepat menutup mulutnya.
[Ny. Flambard] "Dan um... kapan... dua puluh tahun lalu?"
[Liene] "Aku tidak yakin, sudah terlalu lama untuk memastikan tanggalnya. Tapi Lord Tiwakan mengingatnya seperti itu. Itulah mengapa ia melamar sejak awal."
[Ny. Flambard] "Kalau begitu... apakah ia berasal dari Nauk?"
[Liene] "Ya. Dia meninggalkan Nauk setelah keluarganya dibunuh."
[Ny. Flambard] "Aneh sekali..."
Liene menyibakkan rambutnya dengan tangan, wajahnya tampak cemas.
[Liene] "Ia bilang telah melupakan segalanya karena sudah sangat lama terjadi, dan itulah alasannya ia melamarku. Tapi aku hanya..."
Kata-kata Liene tertahan di tenggorokannya, saat ia menghela napas panjang.
[Liene] "Aku terus... memikirkan hal-hal buruk. Mungkinkah... Raja yang membunuh keluarganya? Apakah itu sebabnya si pria tua terus mengatakan aku akan 'berdarah' di tangan Lord Tiwakan?"
[Ny. Flambard] "Apa yang Anda bicarakan, Putri?"
Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan tegas, seolah mengungkapkan betapa mengerikannya perkataan Liene.
[Ny. Flambard] "Raja adalah pria baik. Ia bijaksana, penuh perhatian, dan berpikiran terbuka. Tidak terbayangkan ia akan melakukan hal seperti... membunuh keluarga seseorang. Pemikiran Anda tidak masuk akal."
[Liene] "Lalu mengapa si pria tua mengatakan demikian?"
[Ny. Flambard] "Itu..."
Dengan hati terjerumus dalam kebingungan, Liene mencengkeram bahunya sendiri dengan erat. Nyonya Flambard menatapnya dengan ekspresi sedih, berusaha sekuat tenaga menghiburnya.
[Ny. Flambard] "Pikirkan baik-baik, Putri. Adakah orang yang benar-benar mengerti siapa pria tua? Kita bahkan tidak bisa memastikan apakah ia waras atau tidak. Bagi seseorang yang memukul pelayan yang hanya ingin membawakan makanan, ia tidak mungkin waras. Bagaimana mungkin orang sepertinya tahu sesuatu yang Anda maupun saya tidak ketahui, Putri? Tidak masuk akal."
[Liene] "Mungkin... Tapi ia sudah sangat tua. Ia pasti pernah mengalami peristiwa yang tidak bisa kita ingat sama sekali."
[Ny. Flambard] "Tapi siapa dia sebenarnya?"
[Liene] "..."
Nyonya Flambard tidak salah.
Liene saat itu memprioritaskan hal yang salah. Sebelum ia mengkhawatirkan apa yang dikatakan pria tua itu, harusnya ia perlu mencari tahu terlebih dahulu siapa sebenarnya si pria tua.
[Liene] "Aku yakin pelayan itu pasti tahu."
[Ny. Flambard] "Maksud Anda, yang dipukuli dengan tongkat? Melihat kejadiannya, pasti ada cerita yang tak terucapkan. Tapi bukankah pelayan itu melarikan diri...? Tidak, bagaimana jika Tiwakan sekarang menganiaya si pelayan?"
[Liene] "Bukan begitu. Kita tidak tahu pasti sekarang, tapi mereka mengejarnya karena ia mungkin bertanggung jawab atas kematian Kardinal."
[Ny. Flambard] "Apa? Tidak, apakah itu benar?"
Dengan ekspresi terkejut, Nyonya Flambard menyatukan tangannya seolah sedang berdoa.
[Ny. Flambard] "Bagaimana bisa... Pria muda yang terlihat begitu lembut dan murni. Mungkinkah Tiwakan salah orang?"
[Liene] "Tidak, kami punya petunjuk yang menyiratkan kesalahannya. Tapi, apakah Nyonya kebetulan melihat wajah si pelayan?"
[Ny. Flambard] "Ya, terjadi secara kebetulan. Ia menutupi wajahnya, seperti yang mungkin Anda sendiri lihat, Putri, tapi pria tua memukulnya dengan sangat keras, hingga tudungnya terlepas."
Pelayan yang terlihat baik hati itu memiliki ekspresi wajah yang sangat sedih.
Belum lagi bekas luka di punggung tangannya.
[Liene] "Apakah karena dia berdoa lagi...?"
[Ny. Flambard] "Doa?"
[Liene] "Doa penebusan dosa. Aku pernah dengar, doa itu mengharuskan seseorang mencambuk tubuh sebagai bentuk pertobatan."
[Ny. Flambard] "Ah... Bahkan Tuhan pun tidak akan senang mendengar doa semacam itu."
[Liene] "Aku juga merasakan hal yang sama. Apa yang mungkin ia sedang menebus dosanya?"
[Ny. Flambard] "Ia mungkin telah melakukan kejahatan... jadi setelah semua penjelasan Anda, saya kira ia mungkin bukan pemuda yang baik."
Jika si pelayan Klimah memang bertanggung jawab atas pembunuhan Kardinal dan pria tua mengetahuinya, mungkin itulah alasan ia memukulnya. Mungkin juga Klimah bersedia menerima pukulan sebagai penebusan atas apa yang telah ia lakukan.
Jika pria tua cukup waras untuk memahaminya, mungkin ia tidak mengatakan sesuatu karena ia gila.
Rasanya si pria tua tahu lebih banyak dari yang ingin ia katakan.
[Liene] "Aku ingin tahu ke mana Tiwakan membawanya. Sepertinya, aku tidak punya pilihan selain bertanya."
[Ny. Flambard] "Benar, tapi... jika mereka menahannya dengan sengaja, apakah mereka akan memberitahu Anda begitu saja? Terlalu mudah bagi mereka untuk menyembunyikannya dan membuat berbagai alasan."
[Liene] "Mungkin... Meskipun mereka setidaknya harus memberitahuku tentang si pelayan."
[Ny. Flambard] "Saya setuju. Haruskah saya kembali ke Kuil?"
[Liene] "Tidak, sudah larut. Mari kita pergi besok, bersama."
[Ny. Flambard] "Apakah Anda punya waktu?"
[Liene] "Jika tidak, aku akan meluangkan waktu. Kebetulan, seorang penasihat baru datang untuk membantu mengurangi beban kerjaku."
[Liene] meremas tangan Nyonya Flambard.
[Liene] "Kau sudah bekerja sangat keras, Nyonya. Kau satu-satunya orang yang bisa aku percaya sepenuhnya."
[Ny. Flambard] "Suatu kehormatan bagi saya, Putri."
Wanita itu dengan lembut menyapu tangannya di rambut Liene yang acak-acakan, gerakannya penuh kasih sayang.
[Ny. Flambard] "Sekarang, tidurlah. Besok akan menjadi hari yang sibuk."
[Liene] "Aku tahu."
Kemudian, Liene dan Nyonya Flambard berpisah dari ruang audiensi, kembali ke kamar tidur masing-masing.
Untungnya, Liene tidak bertemu siapa pun dalam perjalanan pulang. Semua prajurit Tiwakan yang biasanya ada di sekitar sedang sibuk mencari Klimah si pelayan.
Tok. Tok.
Tepat saat Liene hendak meraih gagang pintuā
[Black] "Dari mana saja kau?"
Seolah Black sudah menunggunya, pintu terbuka dari dalam. Terkejut, Liene mundur begitu melihat wajah yang muncul dari balik pintu yang terbukaāBlack.
[Liene] "...Aku pergi bicara sebentar dengan pengasuhku."
Menelan ludah, suara Liene tenang secara mengejutkan.
Liene sudah tahu percuma berbohong di hadapan Black. Ia mungkin sudah menyadari mereka berbicara dan pergi saat ia di kamar mandi.
[Liene] "Aku sudah mengatakan padamu kalau aku menyuruhnya melakukan sesuatu. Ia bertemu Fermos saat di luar, dan ia meminta maaf karena tidak bisa melakukan semua permintaanku. Lalu aku mengantarnya ke kamar dan mengatakan kalau permintaanku tidak lagi dibutuhkan."
[Black] "Baiklah," Black mengangguk, tampaknya yakin tidak ada yang salah. Lalu ia mengulurkan tangan.
[Black] "Kau tidak masuk?"
[Liene] "Oh..."
Liene menatap tangan Black sebelum akhirnya meraihnya.
Tangannya sama seperti biasa. Menggenggam tangannya terasa begitu hangat, kadang terlalu hangat, dan tangannya begitu besar seolah bisa menggenggam apa saja.
Meskipun mereka sudah masuk kamar, Black masih tak mau melepaskannya.
Melewati ranjang di tengah ruangan, Liene melontarkan lelucon.
[Liene] "Apa kau berencana mengantarku ke kamar?"
[Black] "Tidak."
Untuk menuju kamar Liene, mereka harus melewati kamar Black terlebih dahulu.
Dari seberang ranjang, ada dua pintuāsatu menuju kamar mandi dan satu lagi menuju ruangan kecil di antara kamar tidur.
Ruangan kecil tersebut bernama Galeri Raja.
Dulu, tempat itu dipenuhi pernak-pernik dan lukisan eksotis nan tak ternilai, diperuntukkan bagi Raja dan istrinya. Namun, sudah begitu lama kosong, Liene kadang lupa untuk apa fungsinya.
Membuka pintu Galeri Raja, Black berbicara.
[Black] "Aku ikut denganmu."
[Liene] "...Apa?"
[Black] "Aku ingin tidur denganmu lagi. Seperti kemarin."
[Liene] "..."
Perasaan itu muncul lagi. Rasanya, jantungnya seolah diremas tanpa henti dari bawah ke atas.
Setiap kali perasaan ini membuncah dalam dirinya, Liene selalu merasa sedikit tertekan. Membuat tenggorokannya terbakar dan terus menelan ludah hampa.
[Black] "Kukira kita sudah sedikit lebih dekat... Bukankah begitu?"
[Liene] "..."
Ya. Ia mungkin benar.
Itulah mengapa keraguan terasa lebih menyakitkan. Bahkan setelah pengasuhnya menceritakan hal buruk tentang Black, Liene tidak ingin membencinya.
Ia ingin membuat alasan untuknya.
Jika memang benar bahwa Raja sebelumnya bertanggung jawab atas kematian keluarganya, dan membuat Black terpaksa melarikan diri pada usia yang begitu muda, maka itulah dosa yang harus ditanggung garis keturunan Arsak.
Mungkin benar ia sudah melupakan masa lalu dan tulus ingin melamar. Seperti katanya, sudah dua puluh tahun berlalu.
Tapi sekalipun aku hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa saat itu, jika kau ingin aku menebus apa yang telah dilakukan Raja sebelumnya, aku akan melakukan segala yang kubisa untuk melakukannya.
Karena aku begitu menyukaimu.
Dan... Mungkin ia juga merasakan hal yang sama. Kemungkinan itu ada.
[Liene] "Meskipun, ada sesuatu yang sedikit mengkhawatirkanku."
Namun Liene tak bisa mengatakan apa yang ada di benaknya.
Mungkin, jika Liene adalah putri dari keluarga biasa, ia bisa mengutarakan perasaannya. Namun, sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas Nauk, ia tidak bisa membuat janji seperti itu (TN: misalnya, janji untuk sepenuhnya memikul dosa Raja sebelumnya tanpa konsekuensi bagi Nauk, atau menerima Black sepenuhnya tanpa mempertimbangkan motifnya).
[Black] "Apa maksudmu?"
[Liene] "Kau bilang kau tidak punya banyak pengalaman."
[Black] "...Apa?"
[Liene] "Apa artinya kau canggung?"
[Black] "..."
[Liene] "Aku jadi sedikit khawatir bersama orang seperti itu."
[Black] "..."
Meskipun sebenarnya, kebalikannya yang benar.
Ia sebenarnya khawatir Black mungkin terlalu terampil dalam hal ini dibandingkan dirinya, yang jelas-jelas canggung. Memikirkannya, membuat ia tanpa sadar mengingat segala hal yang mungkin terjadi di masa lalu.
Tapi Liene bahkan tidak bisa mengatakannya dengan lantang.
Ia bahkan belum memberitahunya kalau ia tidak hamil.
[Black] "...Ha, gila."
Ia tampak kaku pada awalnya, tetapi akhirnya ekspresi Black melunak menjadi seringai.
[Black] "Apa yang kau pikirkan?"
[Liene] "Apa?"
[Black] "Saat aku bilang ingin tidur denganmu lagi, apa yang kau pikir akan kulakukan padamu?"
[Liene] "..."
Ia tidak bisa menemukan kata-kata untuk diucapkan, jadi Liene hanya diam, tetapi pipinya yang memerah menawan berfungsi sebagai jawaban.
[Black] "Jika aku tidak terlalu mahir, apa akan jadi masalah?"
[Liene] "...Aku, aku mengerti jawabanmu. Selamat malam, kalau begitu."
Liene dengan cepat berbalik, panik karena ingin melarikan diri darinya, dan pergi membuka pintu kamar tidur.
Brak!
Tapi secepat pintu terbuka, secepat itu pula tertutup lagi. Black telah meraih dari belakangnya, mendorong pintu kembali tertutup.
Terjebak, Liene terkunci di antara pintu dan tubuh Black.
[Black] "Seberapa mahir agar aku bisa memuaskanmu?"
Dengan Liene terperangkap dalam pelukannya, Black berbisik lembut, menundukkan kepalanya ke leher Liene.
[Black] "Apa yang harus kulakukan agar dianggap kompeten olehmu?"
[Liene] "Hal seperti ini... Tidak... tidak sekarang..."
[Black] "Aneh. Kukira kau menginginkannya sekarang."
Perlahan, Black melingkarkan lengan di pinggangnya, melewati rambutnya dan menekan bibir ke belakang lehernya. Lalu, ia dengan lembut mulai menyapukan bibir di kulitnya yang lembut dan pucat.

Menggerakkan tangannya yang bebas ke atas, Black menyapu rambutnya, menggelitik daun telinganya dan membiarkan jari-jari berkeliaran di lehernya.
[Liene] "Tidak... Aku tidak..."
[Black] "Tidak. Kau tadi berkata seolah menginginkannya hari ini."
Jari-jari yang menyusuri lehernya berhenti di tepi baju tidurnya. Black mengangkat kain tipis itu, mempermainkan tepiannya seolah dilema untuk merobeknya.
Merasakannya, Liene menggigit bibirnya hingga hampir menangis.
[Black] "Untungnya, berdasarkan reaksimu, kurasa aku tidak terlalu canggung untuk membuatmu membenci ini, Putri."
Jari-jari Black jatuh dari tepi baju tidurnya, bergerak naik ke leher dan melintasi rahang hingga mencapai bibirnya, dan dengan desakan lembut, Liene merasakan bibirnya didorong terbuka.
[Black] "Bibirmu akan meninggalkan bekas luka. Aku sudah bilang padamu siang tadi. Kecuali luka yang kusebabkan, aku tidak ingin melihat luka baru di tubuhmu."
[Liene] "Itu..."
Tubuhnya gemetar begitu hebat, ia bahkan tidak bisa berbicara dengan benar.
[Black] "Jangan lakukan ini lagi. Berjanjilah padaku."
Dengan bibir terbuka, Black meraih dagu Liene dan menariknya mendekat, perlahan Black mengelus bibirnya yang terluka karena gigitannya sendiri.
Rasanya vulgar dan membara, seolah sebentar lagi ia akan meleleh. Jika ini terus berlanjut, semua pikirannya akan benar-benar lenyap.
Mengapa ia bertindak begitu menggoda? Mengapa ia melakukan ini padanya? Rencana macam apa yang ia sembunyikan dalam dirinya...? Liene tidak boleh melupakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ia harus mencari tahu jawabannya sebelum Nauk menanggung akibat dari dendam Black.
[Liene] "H, hentikan!"
Apa yang terjadi? Aku tidak menginginkan semua ini.
Dorongā!
Dengan gelombang pikiran yang tiba-tiba, Liene mendorong Black menjauh dengan sekuat tenaga.
[Liene] "Tolong hentikan."
[Black] "..."
Seolah bisa merasakan keseriusannya, Black terdiam dan menatap Liene.
Komentar