A Barbaric Proposal Chapter 41
- 28 Mei
- 7 menit membaca
Diperbarui: 25 Agu
~Perjanjian 6 Keluarga~
[Fermos] "Berkat Putri, segalanya akan jauh lebih mudah sekarang. Membayangkan harus melihat para pendeta menanggalkan pakaian... Ugh, nafsu makan saya bisa hilang.”
Kini dengan petunjuk yang ada, mereka harus bergerak secepatnya.
Liene sudah memulai persiapan untuk mengumpulkan para dewan, sementara Black seharusnya pergi ke Kuil bersama Fermos. Tanpa membuang waktu, rombongan mereka bersiap menuju Kuil.
[Fermos] "Ah, ini kudanya.”
Beberapa prajurit bayaran muncul, menuntun kuda Fermos ke halaman.
[Fermos] "Hm? Hanya membawa satu?"
Kuda Black tak tampak bersama mereka. Sesaat, Fermos mengira anak buahnya tuli, namun ternyata bukan itu masalahnya.
[Black] "Kau pergi sendiri. Ada hal lain yang harus aku urus.”
[Fermos] "Oh, Anda tidak kembali kepada Putri untuk melanjutkan apa yang kalian lakukan sebelumnya… kan?"
Fermos bertanya dengan nada yang jelas menunjukkan kengerian. Namun, begitu melihat ekspresi Black, ia segera mengendalikan diri.
[Fermos] "Maafkan saya, Tuanku, saya sudah lancang."
Mengubah topik dengan cepat, Fermos mengalihkan pandangannya.
[Fermos] "Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Putri? Setelah kejadian pagi ini, pasti ia sangat terkejut."
[Black] "Dia bilang dia baik-baik saja, tapi aku akan tetap mengawasinya.”
[Fermos] "Memang sebaiknya begitu. Apa pun bisa menjadi ancaman di awal kehamilan, meski ia tampak baik-baik saja dari luar… Ah, omong-omong…"
Seolah teringat kejadian sebelumnya, Fermos tersenyum jenaka.
[Fermos] "Bukankah Putri terlihat sedikit… bagaimana ya… polos? Kadang ia lebih mirip gadis delapan belas tahun daripada wanita dua puluh lima tahun…”
[Fermos] “Anda baik-baik saja, Tuanku?"
[Black] "…Pilih tempatnya.”
[Fermos] "Maksud Anda?”
[Black] "Di mana kau ingin dipukul kali ini?"
[Fermos] "…Ah! Saya keceplosan lagi, Tuanku.”
Seketika itu juga, senyum di wajahnya lenyap tanpa jejak. Dari interaksi ini, terlihat jelas bahwa Black tidak sudi siapa pun membicarakan Putri Liene dengan nada seperti itu.
[Fermos] "Saya akan berpikir dua kali di masa depan sebelum membiarkan nama Putri terucap dari… mulut saya!"
Merasa terintimidasi oleh tatapan tajam tuannya. Ia menundukkan kepala dan bahu, bergumam pada dirinya sendiri sebelum tiba-tiba berteriak saat Black mencengkeram kerahnya.
[Black] "Diam." Black merendahkan suaranya, berbisik tepat di telinga Fermos. "Ada seorang pria tua sakit di dekat Kuil. Temukan dia lebih dulu. Jangan sampai ada yang tahu."
[Fermos] "…Siapa pun…?"
[Black] "Putri sudah mengirim pengasuhnya.”
[Fermos] "Dan Anda ingin saya menemukannya sebelum pengasuhnya. Saya mengerti," Fermos mengangguk menerima perintah. Lalu ia bertanya, "Bolehkah saya tahu alasannya?"
[Black] "Aku rasa dia mengenaliku.”
[Fermos] "Mengenali Anda, Tuanku? Kalau begitu…," seperti biasa, pikiran cerdas Fermos bergerak cepat. Dari satu kata saja, ia mampu menyimpulkan banyak informasi.
Masih ada orang yang mengetahui masa lalu Black yang diselimuti misteri.
Putri Liene pasti mengirim seseorang karena tahu keberadaannya dan kini, sebelum orang itu ditemukan, Black ingin menyingkirkannya. Artinya Black tidak ingin Putri Liene mengetahui masa lalunya.
[Fermos] "Apa yang Anda ingin saya lakukan? Haruskah saya membungkamnya?"
[Black] "…Belum. Sembunyikan saja dia dulu.”
[Fermos] "Baik, Tuanku." Black melepaskan Fermos. Fermos hanya mengangguk, mengusap lehernya yang terasa nyeri. "Saya akan segera kembali, Tuanku."
Tanpa menjawab, Black berbalik dan pergi, menghilang di kejauhan.
Tertinggal sendirian, Fermos bergumam pada dirinya sendiri dengan wajah cemberut.
[Fermos] "Apakah kepribadian Tuanku memang selalu seburuk ini…?"
Bagaimanapun juga, ia harus lebih berhati-hati dengan kata-katanya di kemudian hari.
Setelah itu, Fermos berangkat menuju Kuil bersama lima prajurit bayaran.
Langkah kaki bergema.
Di bawah tanah, suara langkah kaki terasa berbeda. Kelembapan yang menempel di lantai batu merayapi telapak kaki, menciptakan suara yang lebih suram dan menyedihkan.
[Prajurit] "Hah, Anda di sini!"
Semua penjaga yang ditempatkan di ruang bawah tanah adalah anggota prajurit bayaran Tiwakan. Prosesnya bertahap, di mana para pengawal kastil Nauk perlahan diganti dari posisi semula. Tak diragukan lagi, absennya mantan komandan pengawal, Weroz, membuat perubahan ini jauh lebih mudah.
Prajurit bayaran yang pertama kali menyadari kedatangan Black ke penjara bawah tanah dengan cepat menegakkan postur.
[Prajurit] "Saya tidak menerima pesan bahwa Anda akan datang hari ini. Apakah Anda datang untuk interogasi?"
[Black] "Diamlah”
Rupanya, Black tidak ingin kehadirannya diketahui. Prajurit bayaran mengetahuinya, lalu segera merendahkan suara.
[Prajurit] "Apakah Anda ingin saya mengantar ke sel pria yang dibawa hari ini?"
Black mengangguk tanpa menjawab.
[Prajurit] "Lewat sini, Tuan.”
Melihat kondisi penjara bawah tanah, setiap anggota Tiwakan akan sepakat bahwa tempat itu sungguh sesuai dengan reputasinya. Meski saat ini tak banyak tahanan, fasilitasnya besar—sebuah penjara raksasa yang dirancang dengan berlapis-lapis pengamanan. Betapa tangguhnya penjara ini jelas menunjukkan kekuatan besar keluarga kerajaan di masa lampau.
[Prajurit] "Struktur penjara ini dirancang agar tahanan sulit sekali melarikan diri, tetapi Tuan Fermos menyuruh kami untuk tidak mengambil risiko, jadi saya mengikat mereka.”
[Black] "Kerja bagus.”
[Prajurit] "Terima kasih, Tuan." Mendapat pujian tak terduga, prajurit bayaran itu menyeringai bodoh.
Akhirnya, mereka mencapai sepasang pintu ganda yang terkunci dari luar, di mana para tahanan disekap.
[Prajurit] "Saya menahan mereka di ruangan ini. Saya juga sudah mengawasi apa yang mereka bicarakan.”
[Black] "Apakah mereka ada membicarakan hal lain?"
[Prajurit] "Tidak setelah Tuan Fermos pergi. Ah, ini dia.”
Kling.
Prajurit bayaran membuka pintu dan Black masuk ke dalam ruangan.
Di sana, kedua Kleinfelter duduk di kursi kayu, terikat erat oleh tali. Mendengar seseorang masuk, keduanya mengangkat kepala.
[Black] "Pergi. Dan tutup pintunya.”
Prajurit bayaran itu pergi dan menutup pintu di belakangnya dengan tenang.
Kini, ruangan itu menjadi tempat di mana tak seorang pun bisa mengganggu Black. Kehadirannya di sana membuat penjaga Tiwakan lainnya seolah tidak dibutuhkan sama sekali, dan tak ada yang berani menyela kegiatannya.
Melihat mata biru Black, Lyndon Kleinfelter menatapnya dengan tajam.
[Lyndon] "Apa yang akan kau lakukan padaku?"
[Black] "Haah…"
Meskipun nada Black terdengar pelan dan lesu, hal itu tetap saja mengintimidasi musuh-musuhnya. Kali ini pun tidak berbeda.
[Lyndon] "Kau tidak bisa menyakitiku. Nauk tidak akan pernah mengizinkannya. Hari aku mati adalah hari…"
[Black] "Berisik sekali.”
Bruk!
Black menendang kaki kursi yang diduduki Lyndon dengan suara tabrakan keras.
Gedebuk!
[Lyndon] "Ugh!"
Lyndon jatuh ke lantai, wajah angkuhnya berjuang dan merintih saat Black menatapnya dari atas.
[Black] "Apa yang kau ketahui?"
[Lyndon] "A-apa… Apa yang kau… bicarakan…!?"
Black menendangnya menggunakan kaki untuk membalikkan tubuh Lyndon hingga tengkurap. Begitu tangan terikatnya terlihat, Black menginjak pergelangan tangannya.
[Lyndon] "ARGH!"
Jeritannya begitu memilukan. Dengan tekanan yang sangat besar, pergelangan tangannya pasti patah karena himpitan kaki Black.
[Black] "Diam!.”
Lalu Black memindahkan kaki dari pergelangan tangannya ke belakang kepala. Saat wajahnya menghantam lantai batu, ia mengeluarkan jeritan ketakutan yang diredam oleh lantai di bawahnya.
[Laffit] "Apa yang kau lakukan?! Hentikan!"
Meskipun tadinya ia hanya duduk diam, Laffit mulai memberontak di kursinya, berteriak-teriak.
[Black] "Jangan bergerak.”
Namun, alih-alih menghentikan Laffit, Black mengabaikannya, menekan lebih kuat pada bagian belakang kepala Lyndon.
[Black] "Ada dua orang di sini dengan mulut yang berfungsi.”
[Laffit] "..."
Laffit mendadak pucat dan tak lagi bergerak. Seolah telah menduga reaksinya, Black kembali menatap Lyndon, sedikit mengangkat kakinya.
[Black] "Aku akan bertanya lagi. Apa yang Putri Liene tidak ketahui?"
[Lyndon] "Kau… jelas… pasti…"
[Black] "Kenapa aku menginginkan Nauk?"
[Lyndon] "Kau, sudah jelas… kau… Ugh!"
[Black] "Pikirkan lagi apa yang kutanyakan dan coba jawab. Tidak sulit bagiku untuk mematahkan lehermu dalam sekejap.”
[Lyndon] "Gah…!"
Lyndon menarik napas dalam dengan terengah-engah. Kepalanya pusing, mencoba mencari tahu apakah ancaman Black serius atau ia hanya mengintimidasi.
Namun, ia teringat bagaimana Black menyebutkan ada dua orang dengan mulut yang berfungsi. Artinya, tidak masalah jika leher Lyndon patah, karena orang lain pun bisa menggantikannya berbicara.
[Lyndon] "…Agh… Gadis itu tidak tahu… gh… apa-apa.”
Walau Lyndon berupaya meyakinkan Black bahwa nyawanya tak bernilai apa pun jika diambil, tindakannya justru menunjukkan bahwa ia sesungguhnya menyimpan rahasia. Dan memang, itulah yang diharapkan Black.
[Black] "Kalau begitu katakan.”
[Lyndon] "I-itu…"
Baru menyadari kesalahannya, Lyndon memutar matanya. Tapi sudah terlambat untuk menarik kembali ucapannya.
[Black] “Aku bisa saja mematahkan lehermu namun tetap membuatnya bisa berbicara."
[Lyndon] "…Liene buta." Lyndon bergumam saat ia menerima situasinya.
[Black] "Ya?”
[Lyndon] “Dia sama sekali tidak tahu bagaimana ayahnya menjadi raja. Ia juga tak tahu proses di balik lahirnya Perjanjian Risebury.”
[Black] "Lalu?"
[Lyndon] "Keluarga Kleinfelter-lah yang memberi keluarga Arsak kesempatan menjadi bangsawan! Konyol sekali mengabaikan berkah itu… Augh!"
Saat Black kembali menekan bagian belakang kepala Lyndon, mulutnya terpaksa tertutup.
[Black] "Sebuah berkah," Black menyeringai sarkastis. "Namun, hidup Putri tidak pernah bisa dianggap sempurna."
[Lyndon] "Ia terlahir sebagai putri sulung dari keluarga rendahan! Tanpa campur tangan kami, dia pasti sudah dijual ke tangan orang lain, tetapi sekarang justru dipanggil Tuan Putri! Jika itu belum sempurna, lantas apa lagi?"
Seolah menunggu kesempatan, Black menendang bagian belakang kepala Lyndon.
[Black] "Kau harus memperbaiki cara bicaramu. Tunjukkan rasa hormat pada keluarga kerajaan.”
[Lyndon] "…dengan cara apa pun… kau pasti akan mengambil…"
Dengan kemarahan yang tak terkendali mengalir dalam dirinya, hawa dingin merayapi tubuh Lyndon.
[Black] "dengan cara apa pun? Itukah yang Putri tidak ketahui?"
[Lyndon] "…Benar.”
[Black] "Kau membohongiku," Black mengetuk bagian belakang kepala Lyndon dengan kakinya, mengejek. "Itu bukan alasan yang cukup bagiku untuk membunuh Putri. Mengapa aku harus membunuhnya hanya untuk mendapatkan Nauk?"
[Lyndon] "..."
[Black] "Jawab aku.”
Dan ucapan selanjutnya yang keluar dari mulut Lyndon adalah serangkaian kutukan.
[Lyndon] "Sialan…! Kau seharusnya sudah tahu jawabannya! Kenapa kau bertanya padaku padahal kaulah yang melakukannya!?"
[Black] "Aku baru saja melamar, tapi kaulah yang mengatakan ada alasan lain dibaliknya.”
[Lyndon] "A-apa… apa-apaan ini…! Baru melamar!? Bahkan anjing pun tidak akan sebodoh itu untuk percaya! Kau pasti melamar karena menginginkan hal lain!"
[Black] "Jadi, apa yang aku inginkan?"
[Lyndon] "Nauk…"
[Black] "Apa yang ada di Nauk?"
[Lyndon] "… tempat ini cukup bagus. Di mana lagi seorang barbar sepertimu bisa diperlakukan seperti bangsawan setelah berguling-guling di medan perang!?"
Meski hanya sesaat, Black tidak melewatkan getaran hebat di mata Lyndon.
[Black] "Jika aku membunuh Putri, keadaannya tidak akan seperti itu.”
[Lyndon] "K-kau akan menikah, lalu menguasai negara…"
[Black] "Aku diberitahu bahwa kedaulatan Nauk adalah milik keluarga Arsak. Jika aku membunuh Putri, takhta akan jatuh ke orang berikutnya dari darah Arsak, dan itu bukan aku. Jangan pura-pura tidak tahu.”
[Lyndon] "…Barbar sepertimu tidak akan pernah menghormati aturan keluarga kerajaan. Kau akan melakukan apa pun sesukamu.”
[Black] "Jadi, kau akan terus menyembunyikan kebenarannya?"
[Lyndon] "..." Lyndon hanya menelan ludah tanpa menjawab.
Jelas bagi Black bahwa bentuk penyiksaan yang lebih kejam dan rumit diperlukan untuk membuatnya bicara. Menghancurkan harga dirinya saja tidak akan cukup.
[Black] "Baiklah kalau begitu," kata Black. Lalu ia menarik kakinya. "Aku sudah tahu apa yang perlu aku ketahui. Cukup untuk hari ini."
[Lyndon] "…?"
Lyndon tampak bingung dan terkejut saat Black tiba-tiba berbalik untuk pergi.
[Black] "…Ah," Black berhenti sejenak. "Aku melakukannya di sebelah kiri."
Dia berucap sangat pelan, seolah ia berbicara pada diri sendiri, tetapi Lyndon bisa memahaminya dengan jelas.
[Lyndon] "Apa yang di sebelah kiri…?"
Black berbalik dan membungkuk, kemudian melonggarkan tali yang mengikat tangannya. Namun, tak seorang pun akan menganggap tindakannya sebagai kebaikan, apalagi Lyndon, yang pergelangan tangan kirinya telah Black patahkan.
[Lyndon] "Apa-apaan kau ini?! Lepaskan tanganmu dariku… ARGH!"
Dan begitu saja, Black mengambil pergelangan tangan kanannya dan mematahkannya di tempat yang sama, di mana Lyndon melukai pergelangan tangan Liene sampai meninggalkan bekas.
[Lyndon] "Ah, augh! Agh!"

Dan saat Lyndon menggeliat di lantai, harga dirinya terlempar jauh karena rasa sakit di pergelangan tangannya, ia pun menjerit kesakitan.
Black memberinya peringatan sederhana.
[Black] "Ketahuilah. Satu-satunya alasan Tiwakan akan berperang di masa depan adalah untuk Putri Liene."
[Lyndon] "Konyol… Jangan membuatku tertawa!" Lyndon berteriak sambil menangis dan ingus mengalir. "Putri sedang hamil… dan anak itu bukan anakmu! Kau melakukan semua ini untuk wanita sepertinya!? Siapa yang akan percaya!?"
Mata Black beralih ke Laffit, yang mulutnya terkatup rapat.
[Black] "Itu sama sekali bukan urusanmu.”
[Lyndon] "…!"
[Black] Anak itu anakku. Jika aku mendengar kalian mengatakan sebaliknya, maka terbukti bahwa lidah kalian bermasalah dan aku sendiri yang akan mencabutnya.”
Mereka tidak bisa berkata apa-apa.
Gedebuk!
Meninggalkan peringatan yang mengerikan, Black menutup pintu dan meninggalkan ruang bawah tanah.
Komentar