A Barbaric Proposal Chapter 39
- 27 Mei
- 8 menit membaca
Diperbarui: 25 Agu
~Awal Mula~
Begitulah adanya. Meski tak banyak cerita yang berhasil ia dengar dari Fermos, Black tetap mampu membayangkan dengan jelas apa yang sesungguhnya terjadi di Kantor Raja. Mengatakan bahwa kejadiannya 'sulit' bagi Liene akan menjadi pernyataan yang tak adil dan kejam.
Liene baru berusia sembilan belas tahun ketika ia mewarisi takhta, nyaris belum dewasa. Seorang putri muda berusia sembilan belas tahun tak ubahnya mangsa empuk bagi siapa pun yang ingin mengambil keuntungan—terutama keluarga Kleinfelter.
Demi memenuhi kepentingan mereka, keluarga itu menerkam Liene bagai sekawanan anjing liar, merenggut apa pun yang bisa mereka ambil dari sebuah kerajaan yang telah jatuh ke dalam kehancuran.
Setelah Liene menanggung semuanya, pundak yang terlihat lemah itu tak punya pilihan selain berdiri kokoh. Itulah mengapa, setiap kali Black melihatnya, Liene selalu tampak di ambang tangis, namun tak sekalipun ia melihat sang Putri meneteskan air mata.
Begitu ia memahami segalanya, seolah ada sesuatu yang meledak di dalam hatinya. Melalui celah di dadanya, keberadaan Liene Arsak mengalir melewati retakan yang baru terbentuk tanpa henti. Namun setidaknya kini ia tahu, hubungan Liene dengan Laffit Kleinfelter benar-benar telah berakhir.
Liene adalah wanita yang cerdas, jadi ia pasti telah memikirkan apa artinya menikah dengan keluarga Kleinfelter. Setelah mempertimbangkan konsekuensinya dengan mendalam, ia pasti berkata jujur saat ia mengatakan tentang hubungan mereka. Liene tak pernah mengkhianati Black, pun tak ada niat untuk melakukannya. Pada akhirnya, Liene pasti akan sampai pada kesimpulan bahwa ia tak akan pernah mampu mengikat dirinya dengan Laffit Kleinfelter. Sekalipun ia mencintai pria itu. Sekalipun ia memiliki anak dengannya.
Sebab, satu-satunya yang akan dinikahi oleh Liene Arsak adalah dirinya.
Black menyapu tangannya ke dahi Liene, mendesaknya untuk merebahkan kepalanya di bantal.
[Black] "Meskipun kau berkata baik-baik saja, anak di dalam rahimmu mungkin tidak."
[Liene] "Anak? Mengapa… Ah." Liene memasang ekspresi bersalah saat wajahnya menegang.
[Black] "Tidak ada salahnya berhati-hati. Kau terlihat tidak sehat, jadi sebaiknya beristirahat saja."
Mendengarnya membuat mata Liene bergetar. Baginya, memiliki anak masih terasa sebagai gagasan yang begitu jauh di benaknya. Black sendiri pun merasakan hal yang serupa. Apakah karena Liene belum cukup lama mengandung sehingga belum merasakan ketidaknyamanan pada tubuhnya?
Namun, bukan masalah. Sepanjang Liene mengandung anak ini, yang berada di sisi sang Putri adalah dirinya. Fakta bahwa ayah biologis sang anak adalah pria lain tak akan pernah diketahui, dan pada akhirnya akan memudar seiring waktu.
[Black] "Apa tidak ada dokter tetap di kastil?"
[Liene] "Aku tidak sering membutuhkannya, jadi tidak ada."
Keluarga kerajaan tanpa dokter pribadi? Aku belum pernah mendengarnya.
Tanpa alasan, Black mengangkat tangan Liene dan dengan lembut menggigit ujung jarinya—seolah menahan kata-kata agar tidak terucap.
[Liene] "Um… Ada apa?"
[Black] "Apa sakit?"
[Liene] "Tidak juga… Aku hanya ingin tahu mengapa kau melakukannya…"
Sebenarnya, tak ada penjelasan nyata. Entah sejak kapan, setiap kali melihat Liene, ia hanya ingin menyentuhnya. Tangan, bibir—apa pun. Akan rumit jika ia harus mencari alasan setiap kali dorongan itu datang.
[Black] "Karena kau cantik.”
[Liene] "…Apa?"
Aku mengatakannya begitu saja.
Karena setiap kali ia melihat Liene, sang Putri tampak sangat menawan. Tidak salah, mungkin itulah cara terbaik untuk menjelaskan perasaannya untuk saat ini.
[Black] "Aku akan memanggil Fermos.”
[Liene] "Tidak, tidak perlu dia datang sejauh ini… Ngomong-ngomong, apa dia seorang dokter?"
[Black] "Dia sangat berpengetahuan dalam bidang kedokteran, jadi menurutku dia bahkan lebih baik dari seorang dokter.”
[Liene] "Benarkah?"
[Black] "Istirahatlah di sini sebentar. Aku akan segera kembali."
[Liene] "Tidak, tunggu.”.
Tepat saat Black hendak berdiri, Liene bergegas menahannya. Gerakan sepele, namun membuat perasaan yang Black simpan di dalam dirinya menjadi kacau balau. Campuran kelegaan dan kepuasan yang memabukkan muncul di dadanya, disertai dengan hasrat yang bahkan lebih kuat. Namun yang terkuat di antara semua emosi yang bergejolak adalah dorongan untuk menarik Liene ke dalam pelukan dan menciumnya.
"Lord Fermos adalah… dia pria… Meskipun dia seperti dokter… aku akan merasa sedikit tidak nyaman."
Melihat wajah Liene yang kebingungan, Black berpikir pasti ada alasan lain.
Tapi aku tidak ingin mendesak jika membuatnya tidak nyaman. Semakin Liene tidak nyaman, semakin lama waktu yang dibutuhkannya untuk membuka hati padaku.
[Black] "Bukankah dokter yang mengonfirmasi kehamilanmu juga seorang pria?”
[Liene] "Yah… memang, tapi pengasuh yang biasanya merawatku."
[Black] "Kalau begitu aku akan memanggilnya.”
[Liene] "Dia tidak ada di kastil sekarang."
[Black] "Kapan dia akan kembali?"
[Liene] "Aku… aku tidak tahu pasti. Dia mungkin tidak akan kembali sampai akhir hari."
[Black] "Bisakah aku memanggilnya kembali?"
[Liene] "Itu…"
Liene tampak merenungkan sesuatu. Setelahnya, ia mengangguk seolah telah mengambil keputusan.
Ia menepuk area di sampingnya, mempersilakan Black untuk duduk kembali. Artinya ada cerita yang akan membutuhkan waktu untuk dijelaskan.
[Liene] "Aku memintanya melakukan sesuatu untukku.”
[Black] "Apa dia pergi jauh?"
[Liene] "Tidak, bukan… Tapi ada sesuatu yang perlu aku ketahui, jadi aku memintanya untuk bertemu seseorang. Tapi aku rasa tidak perlu lagi sekarang."
[Black] "Dan kau ingin memberitahuku ke mana dia pergi?"
[Liene] "Ya. Tidak ada lagi alasan bagiku untuk menyembunyikannya."
Black memperhatikan Liene saat ekspresinya sedikit berubah. Terlihat lebih ringan dan segar.
[Liene] "Beberapa hari yang lalu, aku bertemu seseorang yang sepertinya mengenalmu, Lord Tiwakan."
Tidak butuh waktu lama untuk bercerita tentang bagaimana ia berbicara dengan pengemis tua di luar kuil, bahkan dalam waktu singkat, Liene merasa hatinya menjadi jauh lebih ringan.
[Liene] "…Aku mendengar tentangmu saat dia pertama kali datang menemuiku. Aku tidak mengatakan apa-apa karena tidak yakin apa ide yang bagus kalau kau mengetahui identitasnya."
Bahkan saat berbicara, Liene bisa merasakan ekspresinya menjadi aneh. Ia membocorkan sesuatu yang selama ini ia sembunyikan dari Black, dan ia tak bisa menahan senyumnya. Seolah hati yang lebih ringan secara alami menuntun pada bibir yang lebih ringan pula.
[Liene] "Aku mengira mungkin dia mendengar rumor tentangmu dari suatu tempat…? Atau mungkin dia mengingatmu. Mungkin dia melihatmu saat kau masih tinggal di Nauk."
[Black] "Kurasa tidak.”
Seolah menyadari senyum mengembang di bibir Liene, Black mengulurkan tangan dan menyentuh bibirnya dengan jarinya. Gerakan sederhana. Sesuatu yang tak berarti dalam skema besar. Namun, rasanya mengikat mereka berdua, seolah meletakkan dasar bagi pertunangan yang sesungguhnya.
[Black] "Wajahku terlihat berbeda dari dua puluh tahun yang lalu."
[Liene] "Benarkah?"
[Black] "Aku masih muda, jadi tubuhku jauh lebih kecil."
[Liene] "Mungkin… Tapi jika aku, kurasa aku akan mengingatmu."
Berpikir keras, Liene mencoba membayangkan sosok Black muda dalam benaknya. Sejujurnya, agak sulit membayangkan, tapi meskipun begitu, ia yakin akan mengingat jika pernah melihat seseorang seperti Black.
[Liene] "Matamu akan tetap terlihat sama."
[Black] "Meskipun mataku tidak biasa, tapi tidak ada yang unik.”
[Liene] "Begitukah…?"
Liene belum pernah bertemu seseorang dengan mata seperti Black, tapi mungkin karena ia belum pernah berkesempatan bepergian ke luar Nauk.
[Liene] "Bagaimanapun, aku perlu memberitahu Nyonya Flambard untuk kembali. Dia mungkin mengalami masalah.”
[Black] "Aku akan mengirim seseorang.”
[Liene] "Terima kasih.”
Liene berujar dengan senyum tipis, matanya sedikit terpejam. Melihatnya, Black tiba-tiba memiringkan kepalanya.
[Black] "Masih ada waktu sampai dia kembali, jadi kita harus meminta Fermos untuk memeriksamu.”
Dan begitulah, masalah sebelumnya kembali muncul. Liene berjuang menjaga wajahnya tetap tenang saat ia menatap Black, dengan jarak yang begitu dekat di antara mereka.
[Liene] "Tidak, sungguh… Aku benar-benar baik-baik saja. Aku tidak membutuhkan dokter."
[Black] "Apa kau yakin?"
Jika seorang dokter datang untuk memeriksanya, peristiwa besar akan terjadi.
Liene tahu ia harus mengatakannya. Ia ingin memberitahu Black bahwa ia tidak hamil.
Namun… ia amat membutuhkan waktu lebih. Andai semua berjalan lancar, lambat laun ia pasti akan sanggup mengakui seluruh kebohongan. Ia hanya perlu sedikit waktu lagi untuk mengumpulkan segenap keberaniannya. Hanya sedikit lagi.
[Liene] "Ya… Jadi tolong jangan khawatir, Lord Tiwakan. Tidak perlu ada kekhawatiran. Aku sama seperti biasanya."
[Black] "Jangan katakan itu. Kau tidak sama lagi."
Black membantah, mengambil pergelangan tangan Liene yang penuh memar.
[Liene] "…Aku tetap sama, kecuali memar di pergelangan tangan ini."
[Black] "Kalau begitu, jika tidak ada masalah, bisakah aku menciummu?"
[Liene] "Apa? Mengapa begitu mendadak?"
Sementara Liene terdiam sepenuhnya, Black menatapnya dan berbicara dengan gumaman rendah.
[Black] "Bagiku, tidak mendadak."
[Liene] "…Bukankah kau baru saja memperlakukanku seperti pasien?"
[Black] "Aku bertanya karena kau seorang pasien."
Liene terdiam.
[Black] "Aku tidak ingin mempersulit orang yang terluka hanya untuk memuaskan keserakahanku sendiri."
Kedengarannya Black mengucapkannya karena ia sangat menyayangi Liene.
[Liene] "Kau… Kau tidak perlu bertanya."
Liene terdiam sejenak saat ia menelan ludah dengan susah payah. Ia kira ia bisa mengucapkannya dengan percaya diri, karena sekarang ia tahu persis apa arti dirinya bagi pria itu.
[Black] "Apa kau tidak menyukainya?"
Tidak, itu tidak sepenuhnya benar.
[Liene] "Tidak.”
Ia mengulurkan tangan dan menyentuh bibir Black dengan ujung jarinya. Begitu jawabannya sampai ke telinga Black, ia merasa tubuh pria itu menegang.
[Liene] "Maksudku, kau tidak perlu bertanya setiap kali kau ingin melakukannya."
Black terdiam.
Black menatap jari-jari Liene yang menyentuhnya, membuat mulutnya mengering.
[Black] "…Kau mungkin akan menyesal mengatakannya." Black akhirnya berkata setelah sekian lama.
Dengan setiap kata, Lienne bisa merasakan gerakan bibir Black melalui ujung jarinya.
[Liene] "Tidak… aku rasa tidak."
[Black] "Sudah terlambat untuk menarik ucapanmu kembali."
[Liene] "Aku tetap tidak berpikir itu adalah kesalahan."
[Black] "Kalau begitu…"
Saat Black mendekat, Liene bisa merasakan pria itu dengan lembut membuka bibirnya saat bibir atasnya menyentuh mulut Liene. Sekali lagi, ada sensasi asing yang membuat dadanya bergejolak.
…Mungkin adalah kesalahan menerima ciumannya, tapi pria ini memang sangat terampil.
Meskipun tidak seintens pagi itu, ciumannya terasa gigih dan penuh kerinduan. Rasanya seperti menggali lebih dalam, seolah Black ingin mencicipi setiap bagian dari dirinya.
Tanpa sadar, ia melingkarkan lengannya di bahu Black untuk menopang dirinya saat pria itu menariknya lebih dekat ke pinggangnya. Bulu matanya yang keemasan bergetar merasakan kedekatan tubuh mereka yang tiba-tiba.
Liene terdiam.
Saat mereka menjauh, Black membungkukkan tubuhnya di atas Liene, masih memeganginya dengan satu tangan. Ia terbaring telentang di tempat tidur saat Black menatapnya dari atas, tubuhnya yang besar menjulang di atasnya.
[Black] "Aku suka wajah ini."
Black bergumam, ibu jarinya menyapu bibir Liene yang masih basah. Sensasinya sangat berbeda dari sebuah ciuman.

Merasa malu, Liene memalingkan matanya. "Aku biasanya terlihat tidak menarik… dari sudut pandang ini."
[Black] "Kau bicara seperti seseorang yang tinggal di negara tanpa cermin.”
Sesaat, Liene merasa sedikit canggung. Ia mengira Black menyadari betapa sedikitnya cermin di kastil setelah ia menjual begitu banyak barang berharga dan berkilauan.
[Liene] "Apa… Apa maksudmu?"
[Black] "Aku hanya berpikir kau belum pernah melihat wajahmu sendiri dengan benar.”
[Liene] "Jadi, kau mengatakan....?"
Apa dia mencoba mengatakan aku cantik? Apa artinya aku terlihat menawan di matanya? Sama seperti dia terlihat tampan di mataku?
[Black] "Aku berharap ada sebuah ruangan tempat aku bisa mengurungmu, Putri. Sebuah tempat di mana waktu berhenti dan hanya ada kita berdua." Black perlahan menarik tangannya dari Liene.
Kata-kata yang mengisyaratkan pengurungan terdengar menakutkan dan mengganggu jika diucapkan oleh orang lain, namun entah mengapa, kalimat itu membawa perasaan yang berbeda saat keluar dari bibir Black. Terutama ketika ia mengucapkannya perlahan dengan api di matanya, membuat Liene merasa seperti ada angin panas yang berembus di kulitnya.
[Liene] "Aku rasa tempat seperti itu tidak ada… Tapi aku akan memberitahumu jika menemukannya."
Black tersenyum tipis, melepaskan napas yang tak Liene sadari telah ia tahan.
[Black] "Aku harus berhati-hati."
[Liene] "Eh…?"
[Black] "Terhadapmu, Putri."
Black menundukkan kepalanya lagi, melayang berbahaya di dekat bibir Liene. Secara naluriah, Liene menutup matanya.
Apa ini sebuah kesalahan?
Sejatinya, mereka telah berada di sebuah ruangan tempat waktu seolah berhenti berputar. Sebuah tempat di mana konsep siang dan malam menjadi tak berarti, tak perlu lagi dipedulikan.
Tapi… itu bukan kesalahan.
Rupanya, Liene mulai mencintai apa yang ia rasakan di dalam ruangan itu. Meski awalnya ia menganggap datang ke sini bersamanya adalah sebuah pilihan yang keliru, kebahagiaan kini menyelimutinya karena telah mengambil keputusan itu. Karena sesungguhnya, tak ada kekeliruan dalam pilihannya.
"Kurasa aku tidak akan bisa menghentikan diriku di sini…" Black mengusap bibir Liene, berhenti saat suaranya yang serak dan rendah berbisik padanya. "Aku tidak perlu meminta izin untuk melakukan ini juga, kan?"
Kata-katanya membuat napas Liene tertahan di tenggorokan. Sesaat, ia kira akan tercekik sebelum ia mendengar ketukan hati-hati dan ragu di pintu.
[Fermos] "Ini saya, Tuanku… Dan juga Anda, Putri.” Itu adalah Fermos. "Bolehkah saya masuk?"
Liene tak mampu menolak. Suara Black yang berbisik bahwa ia tak bisa menahan diri, terlalu kuat dan melumpuhkan segala sanggahan. Liene benar-benar kehilangan kata, tak tahu harus berbuat atau berkata apa, sehingga ketukan Fermos di pintu seolah menjadi penyelamat—alasan yang sempurna.
Sungguh ironis, ia yang sebelumnya menolak siapa pun memanggil Fermos, kini mendadak bersyukur atas kedatangan pria itu.
[Liene] "Aku punya beberapa pertanyaan yang ingin kuajukan. Apa yang terjadi pada Lord Kleinfelter?"
Liene menyambutnya sebagai cara untuk menghalangi Black, namun memang banyak hal penting yang ingin ia diskusikan.
Penahanan Lyndon Kleinfelter bukanlah perkara kecil di Nauk. Lebih dari sekadar mengurungnya di balik jeruji besi, tapi permulaan dari babak yang sangat penting.
Komentar