top of page

A Barbaric Proposal Chapter 38

~Semakin Aku Mengenalmu~

Pagi itu, seandainya saja bukan karena ulah Lyndon Kleinfelter, mungkin akan berlalu dengan indah. Hidangan di hadapannya sungguh memikat, dan alangkah lebih sempurna jika seseorang yang istimewa dapat melihatnya dalam balutan gaun favoritnya. Mungkin, pria itu akan kembali berujar bahwa ia tampak jelita. Ah… alangkah indahnya jika semua itu terjadi.

Liene mengiris daging panggang dengan hati-hati, lalu menyuapkan sepotong kecil ke dalam mulutnya. Ia mengunyah, namun tak sedikit pun rasa yang dapat ia kecap, meski ia yakin masakan di hadapannya pastilah hidangan yang luar biasa lezat. Namun, ia tak merasakan kelezatan apa pun.

Setiap kali ia berhadapan dengan pria itu, terlalu banyak hal yang harus ia hadapi, semua saling membelit dan terasa runyam. Perlahan, perasaan pahit merayapi hatinya, hingga mengaburkan yang lain.

Liene terdiam.

Aku tidak bisa makan apa pun.

Namun, saat Liene meletakkan garpunya, menelan dengan susah payah makanan yang terpaksa ia telan—

BRAK!

Dengan gerakan tergesa, pintu aula makan terbuka lebar.

Ternyata Black.

[Liene] "…Apa? …Apa yang kau lakukan di sini…?"

Liene tak menyangka pria itu akan datang. Liene memutar kepalanya ke arah Black, matanya mengerjap perlahan dalam kebingungan. Black bergegas mendekat, menarik kursi tempat Liene duduk, dan memutar kursi agar Liene menghadap ke arahnya. Gerakannya begitu kuat, terasa begitu bertenaga dan kasar.

[Black] "Mengapa kau ada di sini?"

[Liene] "…Maaf?"

Jadi, Black telah mendengar apa yang terjadi hari ini, dan kini ia marah. Yah, justru akan lebih aneh jika ia tidak marah.

Sekali lagi, Black mendengar bahwa Liene terlibat dalam insiden lain yang menyangkut Laffit Kleinfelter. Ia tahu sang Putri bernegosiasi dengan keluarga Kleinfelter demi pembebasan Laffit, dan gagasan untuk membunuh pria itu entah bagaimana ikut terlintas dalam pikiran.

Sekalipun Liene tidak memiliki niat nyata untuk membunuhnya, Black tak punya pilihan selain meragukannya. Hubungan mereka kembali memburuk. Black tak akan percaya padanya.

[Black] "Aku bertanya apa yang kau lakukan di sini. Mengapa? Mengapa kau bertingkah seolah tidak ada apa pun yang terjadi?"

[Liene] "Aku… aku tidak ingin mengingkari janjiku."

Namun, mungkin kali ini tidak akan terjadi.

[Black] "Apa kau pikir aku akan melakukan sesuatu padamu jika kau tidak menepati janji untuk makan bersamaku?"

[Liene] "Tidak, aku tidak mengatakan begitu…"

[Black] "Apa kau takut padaku?"

Liene pernah mendengar ucapan itu sebelumnya. Dulu, pertanyaan tersebut dilontarkan dalam keadaan yang berbeda. Namun, saat pertanyaan itu terulang di benaknya, maknanya mulai memudar. Seolah tidak ada gunanya untuk ditanyakan.

[Liene] "Tidak, aku tidak takut."

[Black] "Lalu mengapa kau ada di sini? Apa kau pikir akan menjadi masalah besar jika kau tidak menepati janji?"

[Liene] "Aku menepati janjiku karena aku ingin, tetapi aku tidak menyangka kau akan kembali, Lord Tiwakan. Aku hanya berharap dapat menyendiri untuk sementara waktu."

[Black] "Tapi mengapa di sini?" Pertanyaannya terasa aneh.

[Liene] "Di mana lagi aku harus pergi jika bukan di sini?"

[Black] "Bukan di tempat semacam ini…" Black menghentikan kalimatnya, tiba-tiba meraih lengan Liene. "Bukankah seharusnya kau berbaring?"

[Liene] "Apa? Mengapa aku harus berbaring?"

[Black] "Kau terluka."

Saat Black mengangkat pergelangan tangan Liene, terlihat jelas bekas tangan yang membiru pada kulitnya. Bengkak itu pun kini tampak sangat parah.

[Liene] "Bukan apa-apa.”

[Black] "Apa tidak sakit?"

[Liene] "Hanya sedikit, tapi bukan sesuatu yang tidak bisa kutangani…"

Black menyapu jarinya di sepanjang memar, bibirnya menegang. Tanpa melepaskan tangannya, ia bergumam, "Kau kesakitan."

Liene terdiam.

Apa pun yang dikatakan Liene, Black tahu ia sedang kesakitan, meskipun ia tidak secara spesifik menyebutkan apa yang menyebabkan rasa sakitnya yang begitu hebat.

[Liene] "Tapi sakitnya tidak cukup parah hingga aku perlu beristirahat."

[Black] "Aku tidak hanya membicarakan pergelangan tanganmu."

[Liene] "Jika… jika kau bertanya apakah aku terluka di tempat lain, tidak ada. Aku sungguh baik-baik saja."

[Black] "Pasti berat menjalani semuanya sendirian, Putri."

[Liene] "Tidak apa-apa…"

[Black] “Percuma saja berkata demikian jika kau tak bisa mengatakannya dengan sungguh-sungguh."

Liene terdiam.

Liene tak bisa membalas ucapannya—suaranya benar-benar hilang. Rasanya ada gumpalan udara panas di dalam dirinya, naik melalui tenggorokannya. Semua terjadi begitu cepat, ia tak tahu mengapa ia bereaksi seperti itu. Satu-satunya yang bisa ia rasakan adalah betapa Black mengkhawatirkannya.

[Liene] "…neh, bukan?"

Ketika Liene akhirnya bisa membuka mulutnya, suaranya serak dan tidak rata.

[Black] "Aku tidak mendengarnya?

[Liene] "Aneh, bukan?" Liene mengulang.

[Black] "Apa maksudmu?"

[Liene] "Kau mengkhawatirkanku, Lord Tiwakan. Rasanya hampir membuatku bahagia."

[Black] "…Mengapa aneh?" Black bertanya, suaranya sedikit melunak.

Liene menelan ludah dengan susah payah, berjuang menahan gelombang emosi yang seolah membeku di tenggorokannya.

[Liene] "Lord Fermos bersembunyi di Kantor Raja, jadi kau pasti sudah mendengarnya darinya. Aku diminta untuk membunuhmu, Lord Tiwakan."

[Black] "Dan aku juga mendengar kau tidak setuju."

Namun, bukan hanya itu yang ia khawatirkan.

[Liene] "Bukan itu saja. Mereka bilang kau akan membunuhku setelah kau menguasai Nauk."

[Black] "Aku juga terkejut mendengarnya.”

[Liene] "Apa artinya itu tidak benar?"

[Black] "Sudah kukatakan sebelumnya. Jika aku ingin mendapatkan Nauk, ada banyak cara yang bisa kulakukan. Semua cara itu lebih cepat daripada melamarmu."

[Liene] "Lalu bagaimana dengan balas dendam?”

[Black] "Balas dendam?"

[Liene] "Aku terus mendengar bahwa yang kau cari adalah balas dendam. Bahwa seseorang di Nauk bertanggung jawab atas tumpahnya darah keluargamu."

Dengan ucapannya yang menggantung di udara, kerutan terbentuk di dahi Black—ekspresinya berubah. Melihat wajahnya berubah begitu cepat, Liene merasakan jantungnya mencelos di dada, seperti ada sesuatu yang membeku di dalam dirinya.

Dia tidak menyangkalnya. Berarti… ada sedikit kebenaran di baliknya.

[Liene] "Karena itu sikapmu saat ini terasa aneh bagiku."

Bentuk dan suara Liene menjadi begitu kecil, nyaris tak terdengar. Ia menyusut saat mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Black.

[Liene] "Tolong lepaskan aku. Aku ingin pergi sekarang."

Namun Black tidak melepaskan. "Kurasa sikapku tidak aneh."

[Liene] "…Mengapa…?"

Saat Black dengan hati-hati memegang pergelangan tangan Liene, tangan yang lain meraih, menyelipkan helai rambut Liene yang acak-acakan ke belakang telinganya. Gerakannya lembut sekaligus ragu. Tak ubahnya kepakkan sayap kupu-kupu.

Baca Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 38 Semakin Aku Mengenalmu oleh Lee Yuna. Baca Novel Terjemahan Korea

[Black] "Segala yang kau katakan padaku sekarang, Putri, dikatakan oleh orang lain. Dan aku tidak tertarik pada orang lain."

Liene terdiam.

[Black] "Apa utangnya banyak?"

[Liene] "…?"

[Black] "Apa utang yang menjadi alasan mengapa kau harus melakukan banyak hal yang tidak masuk akal?"

Liene terdiam.

Liene tidak menjawab, tetapi ekspresi kaku di wajahnya menjelaskan segalanya.

[Black] "Sudah berapa lama terjadi?"

[Liene] "…Tolong jangan tanyakan pertanyaan seperti itu padaku."

Terlalu menyedihkan bagi seorang penguasa negara untuk menggunakan utang sebagai alasan. Dan lebih dari itu, Liene tidak ingin pria itu melihat betapa parahnya kemiskinan yang ia hadapi. Pria itu sudah mengetahuinya, tetapi mengetahui dan melihat adalah dua hal yang berbeda.

Liene mencoba memalingkan wajahnya, namun Black tetap menahan tangannya dengan erat di pipi Liene, menahannya tetap di tempat. Pria itu bertindak berbeda dari tadi malam. Black masih baik seperti sebelumnya, tetapi tindakannya tidak memaksa. Tangan yang memegang pipi Liene terasa kokoh dan kuat, namun entah bagaimana, tangannya juga terasa dipenuhi penyesalan.

[Black] "Jawab aku.”

[Liene] "…Tidak."

[Black] "Mengapa tidak?"

Karena aku malu. Aku tidak ingin mengakui padamu bahwa aku adalah orang yang lemah dan menyedihkan.

[Liene] "Aku hanya tidak mau. Kau sendiri juga belum menjawab pertanyaanku sebelumnya, Lord Tiwakan. Pertanyaan tentang balas dendam yang kau tuntut."

Entah mengapa, Black tersenyum lembut saat mulai membelai lembut pipi Liene dengan ibu jarinya.

[Black] "Dari mana kau mendengarnya?"

[Liene] "Jangan menatapku seperti itu… Kisah tentang balas dendamu telah beredar di seluruh benua dan merajalela di mana-mana kecuali Nauk."

[Black] "Aneh. Bagaimana bisa aku tidak mendengarnya?"

[Liene] "…Kau tidak tahu?"

[Black] "Meskipun benar bahwa darah keluargaku telah tumpah. Mereka terbunuh di tanah ini sudah sejak lama."

[Liene] "Kau…"

Ekspresi tenangnya mengkhianati betapa mengerikan ucapannya—begitu santai berbicara tentang kematian keluarganya. Wajahnya tidak cocok untuk seseorang yang dengan hati-hati mengasah pedangnya, menuntut balas dendam atas orang-orang terkasih yang telah tiada.

[Black] "Aku masih anak-anak ketika itu terjadi. Awalnya, aku dipenuhi dengan kemarahan yang begitu besar karena semua darah dan dagingku telah tiada, tetapi aku harus fokus untuk bertahan hidup. Akhirnya, aku melupakan semuanya saat aku tumbuh dewasa. Dan seperti yang kukatakan sebelumnya, alasan mengapa aku melamar adalah karena aku tidak ingin kau diambil orang lain."

Black menjawab dengan begitu jelas dan polos, rasa kebingungan mencengkeram Liene.

[Liene] "Jadi… keinginan balas dendam… hanyalah desas-desus?"

[Black] "Aku bahkan tidak tahu rumor semacam itu ada."

[Liene] "Tapi ini… ini tidak masuk akal. Kita tidak punya hubungan apa pun sebelumnya, jadi apa yang membuat kau mengatakan 'aku diambil'?"

[Black] "Apa kau benar-benar berpikir begitu?"

[Liene] "Apa… apa aku salah…?"

[Black] "Aku menyebut tanah ini sebagai rumahku sampai aku kehilangan keluarga. Kau mungkin tidak mengenalku, Putri, tapi aku mengenalmu."

[Liene] "Ah… tapi bagaimana kau bisa mengenalku…?"

Semua ini… terlalu aneh.

[Liene] "Sejak lama, kau bilang… Kapan tepatnya?"

[Black] "Sekitar dua puluh tahun yang lalu."

[Liene] "Dua puluh tahun?"

Tentu saja ia tidak akan ingat. Jika sekitar dua puluh tahun yang lalu, Liene pasti masih kecil—paling hanya lima atau enam tahun.

[Liene] "Apa aku mengenalmu waktu itu, Lord Tiwakan?"

[Black] "Mungkin tidak. Kurasa kau terlalu muda saat itu."

[Liene] "Lalu, bagaimana kau bisa mengenalku?"

[Black] "Aku hanya tahu namamu."

[Liene] "Namaku?"

[Black] "Ayahku ingin mengatur pernikahan untukku. Dengan keluarga Arsak."

[Liene] "Apa…" Mata Liene melebar.

Ia belum pernah mendengar apa pun tentang hal ini. Ayah Liene, mendiang raja Nauk, tidak pernah menyebutkan apa pun kepadanya tentang pertunangan masa kecil. Tidak sekali pun.

[Liene] "Kita bertunangan… saat itu?"

[Black] "Tidak secara resmi. Jika sudah, akan ada bukti atau akan ditulis di suatu tempat."

Dan tanpa apa pun untuk membuktikan pertunangan itu, maka hanya akan ada dalam ingatan seseorang.

[Liene] "Mengapa kau tidak memberitahuku sejak awal?"

[Black] "Karena aku tidak menganggapnya penting."

[Liene] "Bagaimana mungkin pertunangan kita di masa lalu tidak penting jika itulah alasan mengapa kau melamar sejak awal?"

[Black] "Pertunangannya dibicarakan ketika aku masih muda. Ada kemungkinan hanya keputusan yang ayahku buat sendiri. Pada akhirnya, hanya aku yang masih mengingatnya."

Yang berarti bahkan jika ia telah memberitahu, Liene akan kesulitan untuk mempercayainya atau menganggap ucapannya serius. Dan tidak ada hubungannya dengan dirinya yang saat itu sudah memiliki kekasih. Jika ada pria yang mendekatinya dengan maksud untuk melamar, membuat klaim aneh seperti itu, Liene kemungkinan akan menertawakannya atau menganggap kata-kata mereka sebagai lelucon yang tidak menyenangkan.

[Liene] "…Kau seharusnya tetap memberitahuku."

Namun, semuanya akan berbeda jika pria yang melamarnya saat itu bukanlah Black.

Liene mengulurkan tangan, dengan lembut menarik lengan Black.

[Liene] "Jika kau memberitahu, aku akan…"

Maka aku tidak akan merasa begitu bingung dan takut, hatiku hancur di bawah ketidakpastian, tidak memahami mengapa semuanya terjadi.

Kini, ia memiliki alasan nyata di balik lamaran mendadak Black. Tiba-tiba, semuanya terasa lebih nyata. Lebih bisa dipercaya.

[Liene] "Aku…"

[Black] "Putri.”

Andai saja pria itu memberitahunya lebih awal.

Ia tidak akan pernah berbohong sebanyak ini jika ia tahu.

[Liene] "Aku…"

[Black] "Aku mendengarkan.”

Aku akan jujur sejak awal.

[Liene] "Aku… akan… jauh lebih cepat…" Hanya itu yang bisa Liene katakan.

Ia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, kata-katanya memudar saat ia jatuh ke dalam keheningan total. Black tidak memaksanya untuk terus berbicara. Sebaliknya, ia memiliki sesuatu yang ingin ia katakan. Sentuhannya di pipi Liene sedikit menggoda, membuat tubuh Liene terasa meleleh.

[Black] "Kau takut orang macam apa aku ini. Kau pikir aku melamar untuk mengambil Nauk, dan aku akan membunuhmu suatu hari nanti. Semua untuk membalas dendam."

[Liene] "…Tidak juga…"

[Black] "Namun, kau tidak ingin menunda pernikahan, dan kau juga tidak ingin membunuhku."

[Liene] "…Sudah kubilang aku punya keraguan…"

[Black] "Kau membuatku melepas pakaian untuk merawat lukaku. Dan alih-alih mengusirku dari tempat tidurmu, kau mencari selimut cadangan untuk menutupi tubuhku dan membiarkanku tidur di sampingmu."

[Liene] "Itu… karena kau tunanganku…"

Tangan yang menyentuh lembut wajah Liene berhenti. Black membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Liene. Jarak yang tak terhindarkan— Liene tak bisa memalingkan pandangan kecuali dengan memejamkan mata.

[Black] "Apakah aman untuk mengatakan kalau kau menyukaiku? Walaupun hanya sedikit?"

Black bertanya tiba-tiba, mata Liene yang terpejam rapat terbuka lebar dan ia menelan ludah dengan susah payah.

[Black] "Tidak masalah apa pun itu. Jika ada sesuatu yang baik dariku yang kau suka, katakan saja."

Liene terdiam.

[Black] "Kau bisa menganggukkan kepalamu juga.”

Liene terdiam.

Mata Black dingin dan jernih. Liene menatapnya saat ia perlahan menganggukkan kepalanya. Tanpa berkedip, Black memperhatikan Liene yang dengan ragu menggerakkan kepalanya ke atas dan ke bawah.

[Black] "Aku mengerti.”

Meskipun kata-kata yang melayang di udara begitu sederhana, kedua sudut bibir Black terangkat membentuk senyuman.

[Black] "Aku tidak akan mendengarkan jika kau mengatakan sebaliknya nanti."

Liene terdiam.

Liene ingin mengatakan sesuatu, namun mulutnya tak mau terbuka. Seolah menggantikan kata-kata yang tak terucap, ia mencengkeram ujung pakaian Black sedikit lebih erat.

Jika aku tahu, aku akan menyukaimu jauh lebih awal.

Pikiran-pikiran hening—kata-kata yang tak bisa diucapkan Liene.

[Liene] "Aku baik-baik saja."

Setelah dipaksa beristirahat, Liene dibiarkan terbaring pasrah di tempat tidur, meskipun ia tidak banyak melawan. Padahal ia baru saja terbangun, namun ia dipaksa kembali berbaring—belum pernah secepat ini ia harus kembali ke tempat tidur setelah sekian lama.

[Liene] "Hanya pergelangan tangan memar. Itu saja."

Namun, bahkan saat ia terbaring tak berdaya, Liene terus berdebat. Black duduk di sampingnya di tepi tempat tidur, mengawasi setiap gerakannya. Setiap kali ia menyadari Liene mencoba menggeser tubuh, ia akan menggelengkan kepala.

[Black] "Itu menurutmu, tapi bisa saja nanti memburuk.”

[Liene] "Tidak pernah terjadi di masa lalu dan lukanya tidak terlalu buruk. Kleinfelter memang kadang seperti itu…"

[Black] "Kau bilang ini pernah terjadi sebelumnya.”

[Liene] "Memang sifat mereka suka melakukan hal semacam ini…"

[Black] "Jadi, ini bukan pertama kalinya terjadi, tapi tidak kau tidak masalah karena sudah terbiasa?"

[Liene] "Itu…"

Jika ia harus mengatakannya terus terang, maka ya… tapi mengapa Black terlihat sangat tidak senang?


Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

Join Our Mailing List

© Crystal Zee
bottom of page