A Barbaric Proposal Chapter 34
- Crystal Zee
- 2 days ago
- 8 min read
~Percikan Rasa (3)~
Tubuh Liene bergetar, lalu Black mengajukan pertanyaan.
[Black] "Kau takut?"
[Liene] "... "
Liene tak bisa menjawab, baik ya maupun tidak.
[Black] "Tahanlah."
Kemudian bibir Black menyentuhnya.
Liene tersentak, menarik napas pendek dan tiba-tiba. Perasaan saat seseorang yang tak terlihat mengecup tengkuknya sungguh aneh tak terkira. Apa karena lehernya belum pernah tersentuh ciuman siapa pun sebelumnya?
Rasanya Black sedang membuka bagian dirinya yang tersembunyi, lalu membubuhinya dengan sebuah tanda.
Namun, Liene tak bisa mengatakan bahwa ia membenci sensasi ciumannya.
...Ini gila.
Sensasi bibirnya yang perlahan menelusuri lehernya terasa membakar kulit. Bahunya yang tadi hanya satu-satunya bagian yang bergetar, kini dipenuhi getaran kuat yang menjalar ke seluruh tubuh.
Meskipun Liene menggigit bibirnya erat-erat, ia tak bisa menghapus sensasi yang ditinggalkan Black.
[Liene] "... "
Akhirnya, napas lembutnya terhenti, dan Black menarik bibirnya dari tubuh Liene. Namun, setelah ciuman, pria itu tak beranjak pergi, malah memeluk Liene erat-erat.
[Liene] "Mengapa...?" Liene bertanya kebingungan.
Black mengencangkan pelukannya, memaksa Liene berbaring. Liene merasakan berat selimut yang dikenalnya menyelimuti tubuhnya saat Black menjatuhkan diri tepat di sampingnya.
[Black] "Aku tidur di sini.”
Black juga tidak meminta izin untuk hal ini.
Namun, terlepas dari ucapannya yang menuntut, ia tidak terlalu mendekat pada Liene. Ia tetap di luar jangkauan selimut, di mana mereka takkan bersentuhan secara tak sengaja.
Black itu ramah namun memaksa. Memaksa namun ramah.
[Liene] "...Tanpa selimut?"
[Black] "Tidak perlu."
[Liene] "Tapi kau akan kedinginan."
[Black] "Tubuhku hangat. Aku akan baik-baik saja."
Black berbalik menyamping dan menatap Liene.
[Black] "Tidurlah."
Liene bisa merasakan sisi wajahnya terasa menyengat karena tatapan Black. Ia terus menatap langit-langit, tidak cukup percaya diri untuk menghadap pria itu secara langsung.
Ujung hidungnya mulai terasa dingin.
[Liene] "Kalau begitu... Kau harus mengambil selimut lain."
Liene tak bisa melihatnya dengan jelas dari posisinya, namun bahu Black tampak bergetar.
[Black] "Agar aku bisa tidur di sampingmu?"
[Liene] "Kau sudah memutuskan untuk melakukannya, terlepas dari apa pun yang kukatakan."
[Black] "Ada perbedaan antara desakan dariku dan persetujuanmu, Putri."
[Liene] "Apa ada? Hasilnya pada akhirnya sama saja, bahkan jika aku tidak mengatakan apa-apa."
[Black] "...Tidak bisakah sama saja?"
[Liene] "Sudah sama. Jika kau akan tidur di sini, maka kau tidak seharusnya tidur kedinginan."
[Black] "...Kau wanita yang aneh, Putri."
Suara Black sangat rendah, kata-katanya keluar seperti bisikan. Liene selalu ingin mengatakan hal serupa padanya.
Begitulah caramu terlihat bagiku. Seorang pria yang sangat tidak biasa.
Baik Black bertindak sopan atau kasar, penuh kasih sayang atau dingin—semua sifat itu dimiliki oleh satu orang, jadi Liene tak punya pilihan selain menerima semuanya.
[Liene] "Tetaplah di sini.”
Black sepertinya tidak akan bangun dan mengambil selimut lain sendiri, jadi Liene turun dari ranjang.
[Black] "Kau mau ke mana?”
[Liene] "Lemari."
Dari lemari di belakang ranjang, Liene mengeluarkan selimut tambahan yang disimpan di sana sebagai persiapan untuk bulan-bulan yang lebih dingin di musim dingin.
Entah mengapa, tubuh Black menegang saat Liene mendekat, membuka selimut dan menyampirkannya di atas pria itu.
Sekarang dia tidak akan kedinginan berbaring di sampingku.
Entah mengapa, Liene merasa lega, seolah ia telah menyelesaikan tugasnya.
[Liene] "Kau seharusnya bisa tidur dengan nyaman sekarang."
[Black] "... "
Liene mendengar Black bergumam pada dirinya sendiri, namun ia tidak bertanya apa yang dikatakan pria itu. Liene hanya berasumsi Black menganggapnya aneh, sama seperti sebelumnya.
[Liene] "Selamat malam, kalau begitu."
Keduanya memejamkan mata, berbaring di ranjang yang sama dengan dua selimut berbeda.
Akhirnya, malam yang aneh berganti menjadi pagi yang lebih aneh, saat Liene terlebih dulu terlelap.
Ketika Liene terbangun, hal pertama yang ia rasakan adalah segalanya terasa terlalu hangat.
Tidak masuk akal.
Jam-jam pagi selalu dingin. Hidungnya akan menggigil dan kepalanya masih dalam keadaan linglung karena kantuk, tetapi tubuhnya akan tetap terbangun.
Itulah musim di mana satu-satunya hal yang membuatnya bangun dari ranjang adalah dengan memaksakan diri untuk membuka mata setelah mendengar langkah kaki Nyonya Flambard mendekat.
[Liene] "... "
Namun kali ini, mata Liene terbuka perlahan.
Dan ia menyadari dirinya berada dalam pelukan Black.
Meskipun mereka tertidur dengan selimut terpisah, entah mengapa mereka kini hanya menggunakan satu selimut. Dan seperti yang Black katakan bahwa tubuhnya hangat meskipun musim dingin, pipi Liene yang menempel di dada pria itu dapat membuktikan kebenarannya.
[Liene] "Ah..."
Namun, tepat ketika Liene hendak mengeluarkan suara terkejut, ia menggigit bibirnya.
Black masih pulas tertidur.
Matanya terpejam rapat hingga membentuk kerutan kecil di antaranya. Liene tahu Black pasti kelelahan karena luka-lukanya, mengingat betapa seriusnya luka-luka tersebut. Jika ada waktu di mana ia sangat membutuhkan istirahat, saat ini lah waktu yang tepat.
...Aku tidak boleh membangunkannya.
Ia adalah seorang pasien, jadi wajar saja jika ia tidak merasa baik-baik saja. Penting bagi Liene untuk membiarkannya tidur selagi bisa.
...Tapi bagaimana aku bisa tidur seperti ini?
Tepat sebelum ia tertidur, Liene ingat dengan jelas menutupi dirinya dengan selimut dan berbaring setenang mungkin. Ia merasa sangat gugup hingga ia juga mendekap tangannya di dada.
Jadi, kapan ia...?
Liene terkejut ia tidak terbangun sama sekali saat seseorang tiba-tiba memeluknya.
Bahkan sekarang, sebuah pikiran absurd muncul, bahwa posisi yang mengejutkannya itu ternyata terasa nyaman dan hangat—seolah memang begitulah ia tertidur pada awalnya.
Tapi...
Namun yang lebih aneh... adalah bahwa Liene tidak membencinya.
Ia tidak membenci suara napas Black yang begitu dekat dengannya, pun tidak membenci suara rambutnya yang bergesekan lembut saat pria itu bergerak dalam tidurnya. Merasakan lengannya yang kuat memeluknya erat juga tidak buruk. Liene bahkan tidak peduli dengan detak jantungnya yang keras.
Dan Liene tidak membenci fakta bahwa hal pertama yang ia lihat saat terbangun adalah pemandangan mata Black yang terpejam, pulas dalam tidurnya.
Kini setelah ia melihatnya dari dekat, Liene menyadari betapa panjang bulu mata Black. Batang hidungnya lurus seperti penggaris, dan bibirnya yang pucat memiliki garis yang tegas.
Meskipun menatap bibir Black hanya mengingatkannya pada ciuman kemarin. Panas menyengat yang ia rasakan di lehernya dan menyebar ke seluruh tubuhnya, seolah kembali hanya dengan memikirkannya.
[Liene] "... "
Ketegangan yang mengikatnya di tempat atau yang berdenyut di tubuhnya—tak satu pun dari keduanya terasa buruk.
Aku tidak membenci semua ini.
Namun apa alasannya masih belum diketahui.
Aku... aku tidak tahu mengapa.
Mengapa Liene tidak membencinya? Dan mengapa ia ingin tetap seperti ini? Ia tak bisa menggerakkan tubuhnya sama sekali, namun ia juga tidak membencinya.
Semuanya terlalu aneh...
[Black] "Mm..."
Black bergerak dalam tidurnya.
Mengencangkan lengannya, ia menarik Liene semakin dekat ke dadanya.
Hidung yang baru saja Liene kagumi menyentuh dahinya, dan bibirnya hanya berjarak sehelai napas dari dahi Liene.

Apa ia sedang berusaha bangun?
Liene benar-benar lupa berkedip saat ia menatap mata Black yang terpejam.
Kuharap kau tidur sedikit lebih lama lagi.
Dan kuharap kita bisa tetap seperti ini lebih lama lagi juga....
Namun, tepat ketika harapan itu memasuki alam bawah sadar Liene, mata Black terbuka seolah tak pernah terpejam sama sekali.
[Liene] "...!"
[Black] "... "
Sementara mata Liene melebar, mata Black menyipit. Ia juga sepertinya menyadari posisi mereka saat ini sangat berbeda dari posisi tidur semalam.
[Black] "...Apa aku yang melakukan ini?"
[Liene] "Aku tidak yakin."
[Black] "Aku tidak tahu punya kebiasaan seperti ini."
Meskipun terkejut, tak satu pun dari mereka mencoba menjadi yang pertama merubah posisi itu.
Liene menganggap aneh cara Black menatapnya tanpa berkedip sedikit pun, namun ia bahkan tidak menyadari bahwa dirinya juga tidak berbeda.
[Black] "Aku belum pernah melihatmu sedekat ini sebelumnya."
[Liene] "...Begitu ya."
Saat mereka duduk terdiam, jarak mereka begitu dekat hingga mata mereka bisa saling bersentuhan.
[Liene] "Kau punya bekas luka di sini.”
Waktu terasa bergerak sangat lambat. Merasakan matanya mulai sakit, Liene akhirnya berkedip saat ia melihat sisa bekas luka kecil yang nyaris tidak terlihat di alis Black.
[Black] "Di mana?"
[Liene] "Di sini."
Liene mengulurkan tangan, menyentuhkan jari telunjuknya ke bekas lukanya yang sedikit lebih pucat dari kulit di sekitarnya.
[Black] "Memangnya ada?"
Black sepertinya benar-benar tidak tahu apa yang Liene bicarakan.
[Liene] "Sangat kecil. Bahkan aku tidak bisa melihatnya dengan jelas."
Liene sendiri tidak akan melihatnya jika ia tidak mengamati wajah Black dari jarak sedekat ini.
[Black] "Kau punya tahi lalat di sini, Putri.”
Liene merasakan Black mengetuk jarinya di sebuah titik tepat di bawah daun telinganya, dekat pangkal lehernya. Sama seperti bekas luka Black yang tidak ia ketahui, tahi lalat itu juga tidak Liene ketahui.
[Liene] "Aku tidak bisa melihatnya. Seperti apa bentuknya?"
[Black] "Kecil dan warnanya mirip dengan rambutku. Kurasa tidak banyak orang yang akan melihatnya."
[Liene] "Ya... aku tidak tahu punya tahi lalat di sana."
Black adalah orang pertama yang melihatnya... Atau mungkin hanya dia satu-satunya. Tidak ada orang lain yang pernah mengamati wajah Liene sedekat ini sebelumnya.
Di pagi hari yang seharusnya dingin, kamarnya terasa hangat dan di sampingnya yang selalu kosong, kini ada seseorang. Liene memandang wajahnya tanpa merasa lelah, begitu pula Black.
Keduanya mencari lebih banyak hal yang hanya bisa mereka berdua temukan.
Dan Liene sama sekali tidak membencinya.
[Liene] "Ada lagi?"
[Black] "Aku bisa mencarinya jika kau mau."
[Liene] "Ya, tolong lakukan."
Desir.
Black mendekatkan wajahnya.
Saat ia menyisihkan rambut Liene, genggamannya tidak sedikit pun mengendur. Akhirnya, sisi wajah Liene dan lehernya terlihat.
Black menjalankan jari telunjuknya di sepanjang garis rahang Liene.
[Black] "Tidak ada apa-apa di sini."
Black menggerakkan jarinya, menelusuri leher Liene hingga ke dekat dadanya, yang masih tertutup gaun tidur.
[Black] "Bolehkah aku terus mencari?"
[Liene] "... "
Ucapannya membuat napas Liene tertahan.
[Liene] "Baiklah... Kau harus menurunkan gaunku."
[Black] "Ya."
[Liene] "Jadi..."
[Black] "Bolehkah?"
[Liene] "... "
Sambil menunggu jawaban, Black terus menggesekkan jarinya perlahan di sepanjang garis leher gaun tidur Liene.
Black bahkan tidak berusaha menyembunyikan makna tersirat di balik gerakannya—mata birunya, yang lebih dekat dari sebelumnya, terlihat jujur.
[Liene] "Tidak, tidak di sini."
Dan saat itulah Liene menyadarinya.
Terlepas dari tujuannya—apa ia menginginkan balas dendam atau apa pun—faktanya adalah Black menginginkan Liene.
Dan pikiranku pun tidak jauh berbeda.
Meskipun Liene tahu Black menginginkannya, di luar apa pun yang ia rencanakan atas Nauk, bahkan lebih dari itu, Liene ingin Black menginginkannya.
Aku bertanya-tanya... apa pikiran seperti ini hanya akan berakhir menjadi racun?
Atau justru sebaliknya?
Liene ingin tahu. Lebih dari apa pun, ia sangat ingin tahu.
[Liene] "Sekarang... di luar sana terlalu terang."
[Black] "Aku tidak akan menemukan apa-apa jika tidak ada cahaya."
[Liene] "Kau tidak membutuhkannya... jika kau melihat dengan cermat, tidak harus ada banyak cahaya."
[Black] "Kalau begitu, bisakah aku melihat lebih dekat?"
[Liene] "Di tempat yang lebih gelap dari ini."
[Black] "... "
Jari-jari Black berhenti di garis leher Liene. Sentimen Liene yang tidak biasa membuat alis Black menegang. Black memegang wajah Liene dan mulai mengusap pipi Liene dengan ibu jarinya, sambil mengerutkan dahi.
[Black] "Kuharap kau tahu apa yang kau katakan, Putri."
[Liene] "Kau... mengira aku tidak tahu?"
[Black] "Tidak, aku tidak mengira."
Black menghela napas lembut.
[Black] "Itu sebabnya kau terus melakukan hal-hal seperti ini tanpa berkedip. Kau tidak tahu seperti apa rupamu bagiku sekarang."
[Liene] "Seperti apa rupaku?"
Gerakan tangannya berhenti.
[Black] "Kau tidak ingin mendengarnya."
[Liene] "Apa karena aku terlihat buruk?"
[Black] "Justru sebaliknya."
Terdengar sangat aneh bagi Liene.
[Liene] "Mengapa aku tidak ingin mendengarnya jika itu baik?"
[Black] "... "
Lagi-lagi, Black menghela napas alih-alih memberikan jawaban.
[Black] "Itu sebabnya aku bilang kau tidak tahu."
[Liene] "Kalau begitu kau bisa memberitahuku."
[Black] "Ini bukan sesuatu yang bisa kubicarakan."
[Liene] "Mengapa?"
Tiba-tiba, sorot mata Black berubah.
[Black] "Ini sebabnya."
Tangan yang tadinya bertumpu di pipi Liene kini menemukan tempat baru di atas seprai ranjang. Saat Black mengangkat dirinya, Liene mengira ia hanya akan turun dari ranjang.
[Liene] "...!"
Namun, bukan itu yang terjadi.
Black kini menjulang di atas Liene, yang terbaring telentang di ranjang—terkunci di antara lengannya.
[Black] "Kau mengerti sekarang?"
[Liene] "Aku... rasa... aku mengerti."
[Black] "Tidak. Kau masih belum mengerti."
[Liene] "Tidak, aku..."
Black menyeringai tidak percaya.
[Black] "Jika kau mengerti, kau pasti sudah mendorongku dan melarikan diri sekarang."
[Liene] "Apa?"
[Black] "Tapi sudah terlambat sekarang."
Dan kemudian, tanpa ragu sedikit pun, Black menundukkan kepalanya.
Saat mulut Liene sedikit terbuka, Black tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia menyelipkan bibir atasnya di antara celah bibir Liene. Bahkan sebelum Liene menyadarinya, bibirnya terbuka, memberi Black lebih banyak ruang saat ia memejamkan mata.
[Liene] "... "
Apa yang dimulai dengan ciuman perlahan, lembut, dan memikat, menjadi semakin mendesak—seperti gerimis yang tiba-tiba berubah menjadi hujan deras.
Liene melingkarkan kedua lengannya di leher Black, sementara Black menjaga satu tangannya menopang punggung Liene, menariknya mendekat.
Seiring waktu, posisi mereka berubah. Sambil mendekap Liene, Black berbaring telentang, dengan Liene mengikuti dan menindihnya saat tubuhnya menempel pada tubuh Black.
Namun, gerakannya sangat panik, lutut Liene secara canggung mendorong kaki Black saat kaki mereka berbelit.
[Black] "Tunggu..."
Dalam sekejap bibir mereka terpisah, napas Liene terengah-engah saat ia berbicara.
[Liene] "Tunggu, kakimu..."
[Black] "Kaki?"
[Liene] "Kukira kau terluka..."
[Black] "Tidak apa-apa."
Black menangkup bagian belakang kepala Liene dengan tangannya yang besar dan menariknya mendekat.
Comentários