A Barbaric Proposal Chapter 33
- Crystal Zee
- 2 days ago
- 8 min read
~Percikan Rasa (2)~
Liene menanti dalam diam, menunggu setiap kata yang akan terucap dari bibir pria itu.
[Black] "Entah kau terlalu licik demi keuntunganmu sendiri, ataukah kau memang polos hingga rasanya menggelikan.”
[Liene] "...Tak satu pun dari ucapanmu yang terdengar seperti pujian.”
[Black] "Apa karena kau tahu aku takkan mampu menolak setiap keinginanmu, Putri?"
[Liene] "A-Apa... itu yang kau pikirkan?"
[Black] "Kau memahami apa yang terjadi hari ini."
[Liene] "... "
Liene amat memahami muslihat pria itu. Black terus membicarakan harga yang harus dibayar atas apa yang telah terjadi, namun sorot matanya menunjukkan seolah ia tak punya niat sedikit pun untuk menagihnya.
[Black] "Namun, keadaan seperti ini takkan bertahan selamanya..." desis Black.
Black mengulurkan tangan, mengambil kain basah yang Liene pegang.
[Black] "Kau harus pergi. Selagi aku masih berpura-pura menjadi pria terhormat."
Tangan Liene kini kosong. Ia menatap telapak tangannya sendiri saat pria itu mengangkat kain dari genggamannya dan mengambilnya kembali.
Jika Liene pergi begitu saja, takkan ada yang berubah.
Pria ini akan terus salah paham atas apa yang telah terjadi, dan hatinya akan terus terbelenggu dalam penderitaan. Ia tak ingin semua berakhir seperti itu.
[Liene] "Aku tahu kau lebih dari sekadar 'pria terhormat', Lord Tiwakan," ucap Liene.
Aku tidak takut. Bukan pada pria ini.
[Liene] "Maka, izinkan aku tetap di sini. Aku ingin merawat tunanganku, apa pun caranya."
[Black] "... "
Liene bisa melihat otot-otot di wajah Black berkedut, namun kali ini seolah pria itu tidak merasa terganggu dengan ucapannya.
Membersihkan seluruh lukanya memakan waktu cukup lama. Namun, setelah Liene bersikeras untuk membantunya mencuci rambut, malam pun berlalu dengan cepat.
Black berusaha menarik batas dengan mengatakan bahwa Liene tak perlu repot-repot. Namun, wanita itu tak bisa percaya ia akan mencuci rambutnya dengan benar, apalagi setelah pria itu mencoba mengabaikan lukanya.
Saat semua selesai, Liene merasa sangat lelah begitu ia keluar dari kamar mandi.
Akan tetapi, entah mengapa, Black tampak jauh lebih lelah dibandingkan Liene, dan rasanya sedikit aneh.
Setelah meminta beberapa kali agar salah satu bawahannya membantu mengoleskan obat, Liene kembali ke kamarnya. Lengannya terasa begitu berat hingga ia membutuhkan bantuan Nyonya Flambard untuk berganti gaun tidur.
Begitu akhirnya Liene berhasil meyakinkan Nyonya Flambard untuk pergi dan makan malam, ia segera menjatuhkan diri ke atas ranjang.
Hari ini terasa begitu panjang.
Yang ia inginkan hanyalah memejamkan mata dan tertidur. Namun, begitu ia merebahkan diri, punggungnya terasa nyeri luar biasa.
[Liene]"Oh... mengapa... harus sekarang terasa sakit...?"
Ia memaksakan diri untuk berbaring. Satu-satunya yang dapat meredakan rasa sakitnya adalah berbaring telungkup, dan itu pun hanya dapat meredakan sebentar.
[Liene]"Apa punggungku juga terluka...? Kukira lebamku hanya di samping."
Liene merasakan sakit luar biasa hanya karena beberapa lebam, namun bagaimana dengan pria itu? Pria itu nyaris tak pernah lepas dari bahaya sejak kedatangannya.
Semua berawal dari Laffit, yang pertama kali melesatkan panah.
Semua ini kesalahan Laffit. Semua karena tabiatnya yang lebih buruk dari anak berusia lima tahun. Mengapa ia tak bisa memahami bahwa semua telah berakhir sejak lama?
Meski begitu, aku tak pernah bertanya apa yang terjadi pada Laffit.
Pria itu mengatakan untuk mengurung Laffit di suatu tempat, jadi kemungkinan besar di sanalah ia berada sekarang.
Keesokan hari pasti akan sangat kacau.
Lyndon Kleinfelder kemungkinan besar akan mencoba menghancurkan Liene karena kejadian ini. Ia mungkin akan mengirimkan Mashilow untuk mencoba memeras sesuatu darinya. Dan apa rencana Liene untuk menghadapinya jika itu terjadi?
...Hah... Mari berhenti memikirkannya sekarang.
Ia akan memikirkannya nanti, ketika esok menjelang.
Bukanlah ide yang baik untuk memikirkan orang dari keluarga itu sesaat sebelum ia tidur. Jika ia memikirkannya, ia hanya akan mendapatkan mimpi buruk.
Fokus saja untuk merasa lebih baik. Lupakan saja seberapa sakit punggungmu.
Apa yang harus ia lakukan...
Namun, yang tiba-tiba terlintas di benaknya adalah suara Black yang rendah dan dalam saat beberapa waktu lalu.
—'Kau harus pergi. Selagi aku masih berpura-pura menjadi pria terhormat.'—
Tiba-tiba, bulu kuduknya merinding, dan hawa dingin menjalar di sepanjang lehernya.
Mengapa ia merasa begitu aneh? Kata-katanya lugas, namun emosi di balik ucapannya yang membuatnya bingung.
Suara Black terdengar ramah seperti biasa, namun entah mengapa, setiap kali mendengar suaranya, Liene merasa dalam bahaya. Rasanya seperti berdiri telanjang di depan binatang buas, tanpa senjata, namun sekaligus tahu bahwa binatang itu takkan pernah menyakitinya.
...Kegilaan macam apa ini?
Dengan wajah tertunduk, Liene menggelengkan kepalanya.
Liene tak mengerti. Sejak pertama kali bertemu pria itu, ia menemukan bahwa Black adalah sosok yang penuh kontradiksi.
Tidurlah.
Liene memejamkan matanya dengan paksa.
Setidaknya malam ini aku takkan bermimpi buruk.
Punggungnya masih terasa sakit, namun jika ia tertidur, Liene takkan merasakan nyeri itu. Akan lebih baik jika ia terlelap dalam kelelahan.
[Liene] "...?"
Namun, hari belum berakhir.
Derit, gedebuk.
Ia mengira salah dengar, namun ternyata tidak. Seseorang sedang membuka pintu kamarnya.
[Liene] "Siapa...?"
Saat Liene berusaha keras untuk duduk, ia melihat Black berdiri di ambang pintu, menatap ke arahnya.
Mengapa... mengapa ia ada di sini?
Tidak... dia tidak mungkin...
[Black] "Aku di sini untuk menagih bayaranku.”
[Liene] "... "
Liene mendengar suara kain bergesekan—suara gaun tidurnya yang tak sadar ia remas.

[Liene] "Tapi kukira... kukira kau bilang..." Tenggorokannya tercekat, seolah ia berusaha berbicara dengan suara yang bukan miliknya.
Black melangkah perlahan mendekatinya. Di tengah keheningan ruangan gelap, mata biru terangnya yang menatap Liene, seolah berteriak di sekelilingnya.
[Black] "Kau melakukannya sesukamu, Putri."
[Liene] "Aku..."
[Black] "Aku juga punya sesuatu yang ingin kulakukan. Jadi, bersikaplah seperti seorang putri dan tahan saja."
[Liene] "Apa... yang kau inginkan...?"
[Black] "Aku takkan membiarkanmu berkata tidak."
[Liene] "... "
Namun, apa yang pria itu inginkan darinya tampaknya bukan seperti yang Liene takuti.
Menatapnya lekat-lekat, Liene menyadari Black memegang sesuatu di tangannya.
[Liene] "Apa... itu?"
[Black] "Ini obat. Berbaliklah."
[Liene] "... "
Liene ragu sesaat, namun kemudian melakukan seperti yang diminta, tetap duduk dan memunggungi pria itu. Ia merasakan berat ranjang bergeser saat Black duduk.
Black tidak duduk terlalu dekat, namun juga tidak terlalu jauh—suaranya yang rendah terasa menyentuh punggung Liene.
[Black] "Aku tidak akan memintamu melepaskan pakaian."
...Apa yang sedang ia rencanakan?
[Black] "Jadi, tahan saja. Bahkan jika terasa geli."
[Liene] "....?"
Sret.
Lagi-lagi, ia mendengar suara kain pakaiannya bergesekan.
[Liene] "Ada apa...?"
Liene memalingkan wajahnya karena malu. Saat itu, pandangan mereka bertemu, namun tangan Black terus merayap di bawah gaun tidurnya.
[Liene] "Tunggu, sebentar."
Liene segera berbalik dan meraih pergelangan tangan Black, namun rasa sakit menghantamnya secepat kilat. Liene meringis, suaranya pelan dan tertahan.
[Black] "Kau harus duduk tegak. Kau hanya akan memperparah rasa sakitnya jika posisi dudukmu salah."
[Liene] "Apa yang akan kau lakukan?"
[Black] "Aku akan merawat tunanganku. Ia takkan merawat dirinya sendiri, namun justru mengomel pada orang lain karena melakukan hal yang sama."
[Liene] "Tidak, aku bisa... Aku bisa menjangkaunya sendiri. Aku sangat mampu mengoleskan obat sendiri."
[Black] "Bukankah itu juga yang tadi kukatakan padamu?"
[Liene] "Tapi..."
[Black] "Berbaliklah. Atau kau bisa terus menatapku."
[Liene] "... "
Black seolah tak berminat untuk mendengarkan atau berhenti. Bahkan jika Liene mencengkeram pergelangan tangannya sekuat mungkin, pria itu tetap bisa bergerak dengan mudah.
[Liene] "Bukankah kau bilang datang ke sini untuk menagih bayaranmu?" Suara Liene terdengar pelan.
[Black] "Akankah lebih baik jika kubilang aku menggantinya dengan ini?"
...Aku tidak bisa mengatakan itu.
Black memberinya pilihan, namun seolah tak ada pilihan.
Ia tak mungkin mengatakan bahwa ia lebih suka tidur bersama daripada Black mengoleskan obat untuknya. Malahan, ia merasa lebih nyaman jika Black berubah pikiran.
Namun, ini... Ini sedikit aneh.
Alih-alih mendapatkan bayaran, ia malah melakukan sesuatu untuk Liene.
[Liene] "Apa yang membuatmu berubah pikiran?"
Akhirnya, Liene memalingkan wajahnya. Ia merasakan wajahnya memerah setiap detik, jadi ia menarik lututnya ke dada dan memeluknya, menyembunyikan wajahnya.
[Black] "Apa maksudmu?"
[Liene] "Obatnya."
[Black] “Aku tidak berpikir kau dapat mengoleskannya sendiri.”
[Liene] "Jika kau memberikannya padaku, maka..."
[Black] "Maka aku tidak akan bisa menyentuhmu."
[Liene] "... "
[Black] "Dan lebamnya berada di tempat yang tak bisa kau raih."
Bagaimana pria itu tahu...? Ah, pasti ia melihatnya.
Rasa malu menyelimutinya. Ia tak yakin seberapa banyak bagian tubuhnya yang telah Black lihat.
Hal ini tidak masuk akal... Liene pernah melihat pria itu bertelanjang dada sebelumnya, namun entah mengapa, ia merasa ingin mati karena malu saat ini.
[Liene] "A.... apa ada lebam di punggungku juga?" Liene bertanya, sia-sia mencoba menutupi rasa malunya dengan batuk.
Sementara itu, tangan Black kini bebas menjelajahi bagian bawah gaun tidurnya.
[Black] "Ya."
Ia merasakan jari Black menekan obat di bagian tengah punggungnya.
Sentuhannya begitu kecil, namun terasa sangat tajam hingga Liene harus menahan diri untuk tidak menjerit.
[Black] "Apa sakit di sini?"
[Liene] "S... sedikit..."
Ia berbohong. Ia takut sentuhan pria itu hanya akan semakin intens jika ia mengatakan baik-baik saja.
Namun, mencurigakan. Sungguh aneh betapa sedikitnya rasa sakit yang ia rasakan. Sensasinya terasa kebas, bahkan sedikit menggelitik.
Meski bukan geli yang perlu digaruk. Ada sensasi aneh, adakeinginan untuk berbalik dan memeluk orang yang merawat lukanya dengan begitu lembut.
[Black] "Aku melakukannya selembut mungkin."
Liene tahu itu.
Masalahnya, pria itu melakukannya terlalu lambat.
[Liene] "Tolong... cepatlah."
Sensasi geli aneh itu hanya akan hilang setelah Black menarik tangannya dari tubuh Liene.
[Black] "Aku tidak mau."
[Liene] "...Apa?"
Namun Black tak menggubris ucapannya.
[Black] "Aku ingin menyentuhmu selama mungkin, jadi aku akan melakukannya perlahan."
Melepaskan gigi yang terkatup rapat, Liene angkat bicara.
[Liene] "Itu... tidak pantas bagi seseorang yang mengoleskan obat pada orang yang terluka."
[Black] "Aku tahu. Namun, aku tidak peduli untuk terlihat 'pantas' saat ini."
Tangannya bergerak lambat, mulai menelusuri tulang belakang Liene, mencapai suatu tempat yang Liene tahu—tempat yang jauh lebih sensitif dari punggungnya.
Tak sanggup menahannya lebih lama, Liene memutar tubuh.
[Liene] "H-Hentikan..."
[Black] "Tahan saja. Sama seperti yang kulakukan tadi."
Black mulai mengoleskan obat ke sisi tubuhnya.
Hari ini, ada sesuatu yang berbeda dari pria itu. Dibandingkan dirinya yang biasa, Black tampak penuh kasih sayang namun sekaligus sangat tegas.
Apa ini yang ia maksud ketika mengatakan tak peduli untuk bersikap pantas?
Namun, mengapa?
[Liene] "Mengapa kau tidak peduli untuk terlihat terhormat?"
[Black] "Kurasa tidak ada gunanya."
[Liene] "Tidak ada gunanya?"
[Black] "Aku sudah memilikimu, Putri."
[Liene] "...Bukan begitu caranya. Tidak ada wanita di dunia ini yang menyukai pria yang tidak bersikap sopan."
Setelah memikirkannya sejenak, Liene mengungkapkan isi hatinya. Namun, setelah respons Black, ia tak bisa menemukan kata-kata untuk diucapkan.
[Black]"Aku mungkin akan bertindak dan tetap menjadi pria terhormat jika kau tidak memiliki pria lain."
[Liene]"... "
[Black] "Kupikir aku akan dengan sabar menunggu sampai kau melupakan dirinya, Putri... Namun setelah hari ini, kurasa itu takkan terjadi, jadi aku berubah pikiran."
Saat Black mengoleskan obat, tangannya berhenti bergerak namun tetap di tempatnya, di bawah gaun tidur Liene—melingkari lembut pinggangnya yang memar.
[Liene] "A... Aku sudah bilang sebelumnya, aku tidak pernah selingkuh."
[Black] "Dan seperti yang kukatakan, aku tidak memercayaimu."
[Liene] "Untuknya... Tak sedetik pun aku..."
Pernahkah aku mencintainya?
Secara teknis mereka 'bersama', namun Liene tak pernah bisa menganggap hubungan mereka nyata. Bertindak sebagai kekasih Laffit, hidupnya terasa berada di atas tali yang tipis.
Namun, kata-katanya tercekat di tenggorokan.
Liene seharusnya memiliki anak dari Laffit. Bahkan jika ia mengatakan pada Black bahwa ia tidak mencintainya, pria itu hanya akan berpikir Liene memberinya kebohongan murahan lain untuk melarikan diri dari situasi.
[Liene] "...Aku sudah menerima semuanya apa adanya. Aku hanya mengatakan padanya bahwa aku akan menikahimu dan bahwa kau akan menjadi ayah dari anakku kelak, Lord Tiwakan. Tidak ada hal lain yang terjadi."
[Black] "Melihatmu, Putri, aku menyadari ada perbedaan antara menerima keadaan dan mencabut sesuatu sepenuhnya dari hatimu."
[Liene] "... "
Black tidak berbicara tentang ketidaksetiaan fisik.
Ia percaya Liene masih belum melupakan mantan kekasihnya.
[Liene] "Aku... akan melakukan... yang terbaik."
Liene tidak bisa mengatakan hal lain.
[Black] "Ya. Lakukan semua yang kau bisa."
Jari-jari Black mengetuk kulit telanjang Liene, namun tidak terasa sakit.
Bukan berarti ia berusaha menyakitinya. Tangan yang memegangnya terasa dipenuhi ketidaksabaran dan kecemasan.
[Black] "Sampai aku bisa memercayaimu, Putri."
Black memiringkan kepalanya ke arah Liene. Pria itu sangat dekat hingga Liene bisa merasakan napasnya di atas kepala.
[Black] "Aku akan menciummu."
Kali ini, ia tidak meminta izin.
[Black] "Di sini."
Black mengangkat tangan lainnya, mengusap tengkuk Liene yang tertutup rambut panjangnya. Sambil menjaga satu tangan tetap di pinggangnya yang telanjang, ia mengambil seluruh rambut Liene dan mengumpulkannya ke satu sisi di atas bahunya, memperlihatkan lehernya yang pucat.
Liene tidak yakin seberapa pucat tengkuknya, atau bagaimana penampakannya dari sudut pandang Black.
[Liene] "... "
Jari-jarinya menyentuh Liene lebih dulu daripada bibirnya. Bahu Liene menggigil karena sentuhan kecilnya, membuat bulu kuduknya berdiri.
Comments