A Barbaric Proposal Chapter 32
- 22 Mei
- 7 menit membaca
Diperbarui: 25 Agu
~Percikan Rasa (1)~
Saat itu, benak Liene mendadak kosong, untung tangannya dengan sigap bergerak sendiri. Ia segera meraih handuk yang terhampar di dekatnya dan menyelimuti tubuhnya yang tanpa busana.
[Liene] "A-apa yang k-kau lakukan…..?"
Namun, tak seperti tangannya yang cekatan, bibirnya kelu, tak mampu berucap sempurna.
[Liene] "A-aku, aku kira…. sudah aku kunci….."
Di saat itulah Black mengalihkan pandangannya, lalu berucap perlahan.
[Black] "...Jadi karena itu rupanya."
[Liene] "…?"
[Black] "Kukira pintunya macet, ternyata karena kuncinya saja."
[Liene] "…."
Jadi begitu maksudnya. Ia tak tahu pintu terkunci rapat sehingga tak sengaja mendobraknya.
Hati Liene mendadak lega mendengar penjelasannya. Ada kebahagiaan tersendiri mengetahui Black tak melakukannya dengan sengaja, bukan karena ia tidak sabar menunggu malam nanti.
Namun, melihatnya kini, Liene menyadari Black pasti ingin membersihkan diri. Pakaiannya masih berlumuran darah dan lumpur akibat insiden tadi.
[Liene] "Aku ingin kau pergi sekarang. Aku sudah hampir selesai, jadi aku akan keluar sebentar lagi."
[Black] "Apa kau terluka?"
[Liene] "…..Maaf?"
Seolah tak mendengar, Black tetap berdiri tegak, terus melontarkan pertanyaannya.
[Black] "Lenganmu dan sisi tubuhmu."
[Liene] "Oh….."
Ingin menyembunyikan tubuhnya dari pandangan Black, Liene memalingkan diri dan mengulangi perkataannya.
[Liene] "Ya, tapi tolong pergilah…."
[Black] "Kapan dirimu terluka? Saat gerobak hancur?"
Bukan saat itu.
Ketika gerobak terguncang dan tong-tong mulai menggelinding, Black mendorong Liene begitu cepat hingga tak meninggalkan goresan apa pun pada dirinya.
[Liene] "Tidak, aku rasa kejadiannya saat aku berada di dalam kereta. Dan tolong jangan menatapku seperti itu…. Meskipun kau tunanganku, rasanya tetap tidak sopan."
[Black] "Ah….."
Terlambat sudah, Black akhirnya memalingkan kepalanya.
[Black] "Maafkan aku."
Mengalihkan pandangannya, ia memunggungi Liene. Saat ia mulai melangkah keluar melalui ambang pintu dengan kunci yang rusak, ia sedikit menoleh ke belakang, menggumamkan sesuatu pelan.
[Black] "Kalau begitu…. Bukan…."
[Liene] "Apa?"
Mungkin karena ia membelakangi, Liene tak bisa mendengar dengan jelas perkataannya.
[Liene] "Apa kau mengatakan sesuatu?"
[Black] "Bukan apa-apa. Lupakan saja."
Dan kemudian Black pergi begitu saja tanpa menoleh kembali.
Klik.
Pintu tertutup di belakangnya, hampir tak bersuara dibandingkan dengan debuman keras saat pintu didobrak.
[Liene] "Hah..." Akhirnya, Liene bisa bernapas lega.
[Liene] "Apa yang terjadi?"
Di lantai kamar mandi yang luas, tergeletak sisa-sisa kunci besi yang semestinya kokoh. Meskipun tak sebesar kunci gerbang utama, kunci itu cukup berat dan kuat. Sungguh tak masuk akal membayangkan Black bisa membukanya dengan mudah, hanya karena mengira pintunya macet.
Liene kembali diingatkan akan perbedaan kekuatan mereka yang mencolok. Jika Black ingin memaksanya melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan, Liene takkan punya cara untuk menolaknya.
[Liene] "...Tapi ia pergi."
Ia tak menatapnya saat Liene meminta Black untuk tidak menatapnya, dan ia diam-diam pergi saat Liene memintanya. Saat itulah sebuah pikiran tiba-tiba menyusup ke benak Liene tentang pria bernama Black.
"Pria itu… Ia tak akan melakukan sesuatu yang tak kusukai. Begitulah karakternya."
Liene tak punya pilihan selain menaruh keyakinan pada pikirannya.
Liene sudah hampir selesai membersihkan diri. Setelah itu, yang perlu ia lakukan hanyalah mengeringkan tubuh dan berganti dengan pakaian yang telah ditinggalkan Nyonya Flambard untuknya.
Kemudian, ia kembali ke kamar mandi dan mengosongkan baskom air, lalu mengisinya sendiri dengan air bersih. Ia merasa akan terlalu kejam meminta orang yang terluka melakukannya sendirian.
Tok, tok.
Setelah semua pekerjaannya selesai, Liene keluar melalui pintu lain menuju kamar sebelah mengetuk pintu kamar tidur Black.
[Liene] "Kau bisa menggunakan kamar mandi sekarang."
Namun tak ada sahutan.
[Liene] "...Lord Tiwakan?"
Liene memiringkan kepalanya dan akhirnya berbalik untuk pergi. Jika Black tak menjawab, mungkin ia sudah pergi lagi. Namun kemudian perasaan aneh merasukinya dan ia segera berbalik, lalu membuka pintu.
Thump.
[Liene] "...Lord Tiwakan!"
Ketika Liene membuka pintu, tubuh Black tergeletak tak berdaya di lantai. Dengan wajah pucat pasi, Liene berlari ke arahnya.
[Liene] "Lord Tiwakan! Tolong bangun!"
Saat Liene mengangkat kepala Black ke dalam pelukannya dan dengan lembut menepuk pipinya, matanya mulai terbuka perlahan.

[Liene] "Lord Tiwakan!"
[Black] "...Ah”
Meskipun tergeletak di lantai, ia berbicara dengan cukup jelas. Perlahan, mata birunya mulai fokus.
[Black] "Apa yang terjadi?"
Black tergeletak di lantai dengan kepalanya bersandar di pangkuan Liene, matanya memindai Liene yang memegang wajahnya. Ia benar-benar tak tahu apa yang sedang terjadi.
[Liene] "Aku memanggilmu, tetapi kau tidak menjawab…..lalu aku masuk dan menemukanmu tergeletak di lantai."
Sementara itu, Liene sangat terkejut hingga ia benar-benar kehabisan napas.
[Black] "…..Aku pasti tertidur."
[Liene] "Tertidur? Di lantai?"
[Black] "Terkadang aku melakukannya ketika terluka."
[Liene] "…."
Dengan ekspresi tak percaya di wajahnya, Liene menatap Black yang hanya membalas tatapannya.
[Liene] "Apa kau sudah gila? Kau terluka."
[Black] "Aku sudah bangun, jadi tak apa."
[Liene] "…."
Saat itu, mengapa tubuh Liene yang penuh bekas luka terlintas di benaknya? Black bahkan tak menyadari dirinya terluka. Ia tak memperhatikan rasa sakit atau penyakitnya sendiri sehingga ia lupa merawat diri. Lantas, mengapa ia menatap Liene khawatir saat melihat memar-memarnya?
[Liene] "Mohon berdirilah."
Liene melepaskan kepalanya saat Black perlahan berdiri dari lantai. Ia membuat ekspresi aneh saat melakukannya, namun akhirnya ia bisa berdiri tegak.
[Black] "Apa kau akan tetap di sini?"
Black bertanya sambil menghadap pintu kamar mandi. Black mengatakan bahwa ia ingin menanggalkan pakaiannya sebelum masuk.
[Liene] "…..Tidak, tidak di sini."
Liene menggelengkan kepalanya dan berdiri.
[Liene] "Ikuti aku."
[Black] "…?"
Saat Black bertanya-tanya, Liene berjalan melewatinya dan masuk ke kamar mandi.
[Liene] "Lepaskan pakaianmu. Seperti biasa saat kau membersihkan diri."
[Black] "…."
Black menatap lurus ke arah Liene. Mungkin terpana hingga tak bisa berkata-kata, bibirnya sedikit terbuka.
[Liene] "Aku akan membantumu. Tidak pantas meninggalkan seseorang yang bisa pingsan kapan saja sendirian."
[Black] "Aku baik-baik."
[Liene] "Tidak. Lepaskan pakaianmu."
[Black] "Aku tidak terluka parah."
[Liene] "Aku percaya lukamu tidak parah."
[Black] "…."
Kembali terdiam, Black mengerutkan kening.
[Black] "Mengapa kau melakukan ini?"
[Liene] "Sudah kukatakan sebelumnya. Kau terluka, jadi aku harus memperlakukanmu seperti pasien."
[Black] "Luka ini bukan masalah besar."
[Liene] "Dan kau bertanya mengapa aku melakukan ini? Bukan pertama kalinya aku harus merawat lukamu. Mengapa hari ini harus berbeda?"
Saat kerutan di keningnya semakin dalam, demikian pula lipatan di antara alisnya.
[Black] "Bukan…..Jika kau melakukan ini karena ingin membayar harga atas keselamatan Kleinfelter, maka kau tidak perlu melakukannya. Merawatku adalah urusan yang berbeda, Putri."
[Liene] "Itu…."
Mendengar kata-katanya, wajah Liene menjadi pucat, tetapi hanya sesaat. Tak lama setelahnya, ia mampu menenangkan ekspresinya kembali.
[Liene] "Ini tidak ada hubungannya dengan perjanjian kita. Kau terluka, Lord Tiwakan, tetapi sayangnya kau tampaknya tidak terlalu peduli untuk menyembuhkan diri. Jadi serahkan padaku."
[Black] "Dan mengapa kau melakukannya untukku, Putri?"
[Liene] "Karena kau tunanganku."
[Black] "…."
Liene sempat melihat Black mengangkat salah satu alisnya. Liene tak tahu persis apa artinya, tetapi jelas tak berarti ia senang.
Padahal jika aku jadi dia, aku akan merasakan hal yang sama.
Terutama setelah apa yang terjadi hari ini.
[Liene] "….Aku tahu ini terdengar konyol keluar dari mulutku, tetapi perasaanku tidak berubah sejak hari kita pertama kali mengucapkan janji untuk menikah. Baik secara raga maupun jiwa, aku tidak berniat mengkhianati tunanganku. Begitulah yang akan selalu terjadi selama aku menyandang nama Arsak."
Aku tak bisa memaksanya memercayaiku. Perasaan itu milik hatinya sendiri, bukan hatiku.
Ia tak bisa meninggalkannya, sendirian dan terluka, hanya karena kesalahpahaman.
[Liene] "Jika kau tak bisa memercayaiku, maka tolong, setidaknya panggil orang lain untuk merawatmu."
[Black] "…."
Black berdiri diam, menyisir rambutnya yang kotor dengan tangan. Ketika ia menggerakkan tangannya menjauh, ekspresinya terlihat dan tampak berbeda dari biasanya.
[Black] "Aku biasanya menanggalkan semua pakaianku saat membersihkan diri."
Saat ia mengatakan itu, wajah Liene sedikit memerah.
[Black] "Berapa banyak yang ingin kau biarkan tetap terpasang?"
Mereka memutuskan untuk hanya menyisakan yang paling minim. Di kamar mandi tempat Liene menunggu, Black masuk hanya dengan mengenakan celana pendek di atas lutut.
Liene harus menahan teriakannya. Dengan luka-luka seperti itu, pria lain pasti sudah terbaring sakit di ranjang, merintih kesakitan. Namun Black, di luar dugaan, duduk dengan tenang dan tatapan kosong.
[Liene] "Lukanya ada di mana-mana."
Liene menghela napas, mengamati tempat-tempat di mana kulitnya membengkak atau tergores. Ia beruntung Black memunggunginya sehingga ia tak bisa melihat ekspresinya.
[Black] "Aku cenderung tidak merasakan sakit kecuali tulangku patah, jadi....."
Kata-katanya terhenti seolah ia terburu-buru mencari alasan. Sejujurnya, sepanjang hidupnya, ia membuat begitu sedikit alasan hingga ia bahkan tak menyadarinya. Ia hanya merasa aneh, mengapa sesuatu yang biasanya begitu jelas sulit diucapkan saat di hadapan Liene.
[Liene] "Tapi yang ini sembuh begitu cepat. Aku rasa mungkin sudah sembuh total sekarang."
Saat ia membersihkan semua noda darah dan kotoran dari tubuh Black, ia dengan hati-hati menyentuh tempat bahunya tertusuk panah belum lama ini.
[Black] "...Hng," Black bergumam.
Menggerakkan bahunya, Black mengerang pelan. Liene seketika terkejut, menarik tangannya menjauh.
[Liene] "Maafkan aku. Aku tidak tahu ternyata masih menyakitkanmu."
[Black] "Tidak sakit."
[Liene] "...? Lalu….?"
[Black] "Tanganmu lembut."
[Liene] "…?"
Jika tanganku lembut, lalu mengapa ia menghindarinya…..? Oh, pasti karena mengganggunya.
Memahami reaksinya, Liene mengangguk pada dirinya sendiri. Luka itu mungkin sudah sembuh, tetapi kulitnya sensitif karena masih dalam proses pembentukan kulit baru.
Aku harus lebih berhati-hati.
[Liene] "Bagaimana kau berencana membersihkan punggungmu dengan begitu banyak luka?"
Berpikir akan menimbulkan terlalu banyak rasa sakit, Liene dengan lembut menepuk luka-lukanya dengan kain basah. Dengan tubuhnya yang terluka parah, tak terpikirkan untuk membayangkan Black merawat lukanya sendiri.
[Black] "Aku tidak memikirkannya. Mungkin aku hanya akan menuangkan air."
[Liene] "Hah….."
Tepat seperti yang Liene duga. Pria itu sangat tidak peka terhadap rasa sakitnya sendiri.
…Tapi aku tidak.
Dari sudut pandang Liene, Black tampak sangat kesakitan sehingga sulit bahkan untuk menyentuh lukanya.
[Liene] "Aku hampir selesai. Tahan sebentar lagi."
[Black] "Tak apa. Kau tidak perlu terburu-buru."
[Liene] "Tidak masalah."
Jika Liene menghabiskan lebih banyak waktu menatap luka-lukanya, ia tak akan bisa tidur di malam hari. Melihatnya begitu terluka membuatnya merasa mual.
[Liene] "Punggungmu sudah selesai. Kau kemungkinan besar bisa menjangkau bagian lainnya sendiri....."
Mengumpulkan keberaniannya, Liene berbicara lagi.
[Liene] "Namun, aku ingin melakukannya untukmu jika memungkinkan."
Black menoleh ke belakang untuk menatapnya.
[Black] "Apa karena aku tunanganmu?"
[Liene] "Tidak, tapi karena aku tahu kau tidak akan merawat lukamu dengan benar, Lord Tiwakan."
[Black] "…."
Entah mengapa, Black tak menjawab. Ia tetap menutup mulutnya sambil menatap Liene. Liene berpikir, mungkin akan menyakiti lehernya jika Black menengadah terlalu lama.
[Liene] "Aku akan menganggapmu setuju."
Jadi ia memindahkan dirinya ke depan Black. Karena duduk di kursi kamar mandi, postur Black menjadi jauh lebih kecil dari biasanya dan lebih mudah bagi Liene untuk berdiri sejajar dengan matanya. Tapi ia selalu mendapat masalah ketika tatapan mereka bertemu.
Mungkin seharusnya aku tidak menawarkan diri.
Liene tak pernah bisa tenang saat melihat wajah Black.
[Black] "....aku tidak setuju."
Ketika Liene mengulurkan tangan untuk meletakkan kain basah di tulang selangka Black, ia mendorong kepalanya ke belakang untuk menghindari sentuhan Liene. Tangan Liene yang terulur melayang canggung di udara, menegang sebagai respons.
[Black] "Karena akhirnya aku hanya akan menginginkan pembayaran atas apa yang terjadi hari ini."
[Liene] "Itu......Oh."
Liene memahami Black sesaat kemudian. Bukan kata-katanya yang membuatnya mengerti, melainkan tatapan matanya. Ada api di sana yang lebih intens daripada saat ia terkena panah dan demamnya naik, meskipun Liene tak segera menyadarinya.
[Liene] "Hal seperti itu...tidak akan terjadi."
Mengatakannya membuat tenggorokan Liene terasa kering dan suaranya bergetar. Tanpa berkedip, Black mengawasinya saat ia membekap mulutnya dan terbatuk canggung.
[Black] "Apa maksudmu, tidak akan?"
[Liene] "Kau bukan tipe pria yang akan memaksakan hal mengerikan padaku, Lord Tiwakan."
Mulut Black menegang hanya sesaat.
[Black] "Apa gagasan tidur denganku benar-benar 'mengerikan'?"
[Liene] "Tidak, bukan itu yang kukatakan...Aku hanya bermaksud kau tidak akan memaksaku jika aku belum siap."
[Black] "Bagaimana kau tahu itu?"
[Liene] "Kau telah menunjukkannya padaku dengan tindakanmu. Aku tahu karena kau selalu sangat menghormatiku."
Saat itu, Black tersenyum pahit.
[Black] "Hormat..... Bahkan jika aku menghormatimu, lain halnya dengan kita tidur bersama."
[Liene] "Tidak. Aku tidak dalam posisi untuk menolak lamaranmu, namun kau tetap menghormati dan mempertimbangkanku. Aku yakin artinya kau tidak akan memaksaku melakukan hal seperti itu jika aku tidak menginginkannya."
[Black] "…."
Dari situ, senyum pahit Black hanya semakin lebar. Namun setelah senyumnya memudar, Black menatap Liene.
[Black] "Aku tidak tahu."
Komentar