A Barbaric Proposal Chapter 29
- Crystal Zee
- 5 days ago
- 9 min read
Updated: 2 days ago
~Klimah, Sang Pelayan (2)~
[Prajurit] "Tuan Putri telah pergi meninggalkan kasti."
[Black] "Apa?"
[Fermos] "Ke mana ia pergi?"
Black dan Fermos serentak mengangkat kepala mereka, keduanya sedang tenggelam dalam tumpukan pekerjaan dan jadwal yang padat. Bukan hanya satu hal yang perlu diselesaikan.
Pertama dan utama, mereka harus menentukan bagaimana menata ulang keuangan keluarga kerajaan, sekaligus menghitung besarnya utang saat ini. Awalnya tampak tak seberapa, tetapi tetap saja banyak karena keuangan bertahun-tahun yang harus mereka tangani.
Kemudian ada pula urusan perbaikan tangga kuil, mencari tahu siapa pembunuh Kardinal, dan mengawasi ketat keluarga Kleinfelter—semuanya tak boleh diabaikan sedikit pun.
Sepanjang waktu, Fermos merasa ingin menangis, mengatakan bahwa masa-masanya di medan perang jauh lebih mudah daripada saat ini.
Namun, kini ada masalah tak menyenangkan lain yang harus mereka hadapi.
[Prajurit] "Setelah saya bertanya-tanya, mereka bilang ia pergi membantu mendistribusikan ransum di dekat kuil."
[Fermos] "Betapa tulusnya Sang Putri. Apa ada yang menemaninya?"
[Prajurit] "Para penjaga mengatakan ia membawa salah satu dari mereka."
Fermos memijat pangkal hidungnya.
[Fermos] "Apa…. Hanya satu penjaga? Dan kau membiarkannya pergi begitu saja?"
Prajurit bayaran yang datang untuk melaporkan situasi, memilih kata-katanya dengan hati-hati setelah melakukan kontak mata dengan Black.
[Prajurit] "Apa lagi yang bisa saya lakukan, Tuanku? Saya tak mungkin menahannya dan mencegahnya pergi secara paksa. Tuanku sendiri memerintahkan kami untuk bersikap baik padanya."
[Fermos] "Seharusnya kau mengirim lebih banyak orang bersamanya."
[Prajurit] "Sudah ada satu orang. Haruskah saya mengirim lebih banyak?"
[Fermos] "Satu tak akan cukup. Jika tahu hal seperti ini akan terjadi, saya—"
Tiba-tiba, tubuh Black tersentak, menghentikan perintah Fermos.
[Black] "Aku pergi."
[Fermos] "…..Apa, sekarang? Anda tak perlu melakukannya, bukan?"
[Black] "Pekerjaan ini membosankan."
Black melemparkan dokumen berstempel kerajaan yang sebelumnya ia lihat ke atas meja.
[Black] "Selesaikan pekerjaan selagi aku pergi."
[Fermos] "Tunggu...apa?"
Saat mata Fermos terbelalak tak percaya, Black sudah pergi sebelum ia sempat melontarkan pertanyaan.
[Fermos] "Tunggu, sebentar….."
[Prajurit] "Kalau begitu, saya akan mengikuti Anda untuk melihat-lihat keadaan."
Dan begitu saja, Fermos ditinggalkan sendirian dengan tumpukan berkas. Ia terjerembap kembali ke kursinya dan mengusap bagian belakang kepalanya.
[Fermos] "Banyak sekali ….. Aku tak sanggup…."
Sejak pertama kali mereka mencoba menangani semua pekerjaan, Fermos merasa terlalu banyak. Kemarin, Black meninggalkannya sendirian dan sekarang ia melakukannya lagi, kali ini meninggalkan Fermos dengan setumpuk berkas.
[Fermos] "Aku tak menyangka Tuanku tega melakukan ini….."
Perubahan yang mulai terlalu sulit untuk ditangani.
[Fermos] "Aku sama sekali tak pernah menyangka ia akan mengambil seorang wanita, apalagi menikahinya...…..Dengan begini, aku akan sendirian."
Entah mengapa, Fermos merasa dikhianati dan sedikit tertekan.
[Liene] "Tunggu sebentar, silakan."
Setibanya di pintu masuk kuil, Liene harus berpisah dengan kapten pengawal yang menemaninya.
[Pengawal] "Apa Anda akan memberikannya sendiri, Putri? Mohon, akan lebih baik jika Anda menyerahkannya pada saya. Biar saya saja yang melakukannya."
[Liene] "Tidak, aku ingin melakukannya sendiri."
Apa yang Liene ingin tanyakan pada pria tua itu tak boleh diketahui orang lain.
[Liene] "Aku ingin kau mengamati area sekitar dan melihat apa ada sesuatu yang mencurigakan. Dan berhati-hatilah kalau kau bertemu prajurit Kleinfelter."
[Pengawal] "Baiklah kalau begitu, saya mengerti….."
Kemudian Liene memasuki gang terdekat tempat ia melihat seorang pengemis tua duduk dengan lengannya bersandar pada sebuah tongkat. Meskipun gangnya kecil, ia masih terhubung dengan jalan utama, sehingga kapten bisa dengan mudah melihatnya di sana. Setelah upaya pernikahan paksa oleh keluarga Kleinfelter, Liene menjadi lebih berhati-hati.
[Liene] "Halo….."
Saat ia membisikkan salam, Liene berhenti berjalan. Ada seseorang bersama pengemis itu. Ia mengenakan jubah tebal yang mencapai mata kaki, diikat dengan tali di pinggang alih-alih sabuk. Artinya seseorang dari Kuil, tetapi kainnya berbeda dari pakaian pendeta biasa. Ia pastilah seorang pelayan.
Pria tua itu mendongak dan melirik santai pada pelayan itu. Namun, terlepas dari tatapan pria tua itu, sang pelayan meletakkan sepotong roti di pangkuannya. Namun apa yang terjadi selanjutnya tak terduga.
Lempar!
Pria tua mengambil roti itu dengan tangan gemetarnya lalu melemparkannya ke jalan.
[Liene] "…..?"
Lalu ia mengangkat tongkatnya dan mulai memukuli pelayan itu.
Thwack! Thwack!
Melihat betapa marahnya wajah pria tua, jelas ia menggunakan seluruh kekuatannya untuk memukuli sang pelayan. Dengan usaha seperti itu, tak peduli betapa lemah dan rapuhnya sang pria tua, akan terasa sakit bagi siapa pun yang dipukuli dengan tongkat kayu.
[Liene] "Hentikan!"
Namun, pelayan tak merespons atau bertanya mengapa ia dipukuli. Ia hanya menerima pukulan. Liene segera menempatkan tubuhnya di antara pelayan dan pria tua.
[Liene] "Apa yang kau lakukan?"
[Pelayan] "…!"
Ketika pelayan itu melihat Liene, seluruh bagian di atas ujung hidungnya tertutup oleh tudung jubahnya, hanya memperlihatkan bibirnya yang sedikit terbuka karena terkejut melihat sang Putri.
[Liene] "Mengapa kau membiarkan dirimu dipukuli seperti ini? Apa terjadi sesuatu di antara kalian berdua?"
[Pelayan] "…."
Mata Liene dan pelayan itu bertemu sesaat sebelum mulut pelayan itu tiba-tiba mengatup rapat, dan ia berbalik pergi.
[Liene] "Jangan pergi! Ini perintah."
[Pelayan] "…."
Langkah kakinya berhenti dan Liene juga berhenti. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya dan mencoba bergerak lagi.
[Liene] "Apa kau mengabaikan perintahku?"
Liene tak ragu menjangkau dan meraih kain jubahnya. Genggamannya pada pakaian longgar itu menyebabkan sang pelayan sedikit limbung ke belakang, memperlihatkan kemejanya yang berlumuran darah dan dahinya yang terluka.

[Liene] "Ah…. Kau terluka!"
Baik pelayan yang tertangkap maupun wanita yang menyadari lukanya, keduanya sama-sama terkejut. Sementara itu, pria tua mengerutkan kening di belakang mereka. Terlalu banyak darah kalau hanya berasal dari tongkat.
[Liene] "Bagaimana ini bisa terjadi?"
Ia terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab.
[Pelayan] "....Saya sedang berdoa untuk penebusan."
[Liene] "Penebusan? Penebusan macam apa yang membuatmu berdarah seperti ini?"
[Pelayan] "Doa yang membutuhkan darah."
Liene tak tahu hal itu, tetapi pernah ada masanya, jauh di masa lalu, ketika para pendeta yang fanatik akan mencambuk diri mereka sendiri atas nama doa. Namun saat ini, doa semacam itu tidak lagi digunakan oleh pendeta mana pun, apalagi oleh seorang pelayan.
[Liene] "Dewa macam apa yang ingin anak-anak-Nya berdarah?"
[Pelayan] "…."
Pelayan itu tak mengatakan apa pun sebagai balasan.
[Liene] "Apa kau diperlakukan dengan baik?"
[Pelayan] "…."
[Liene] "Aku akan menganggapnya sebagai tidak."
Liene menahan napas dengan ekspresi gelisah di wajahnya. Normal bagi keluarga kerajaan untuk menutup mata terhadap urusan Kuil, tetapi setelah melihat hal seperti ini, sulit untuk mengabaikannya.
[Liene] "Pastikan kau mengobatinya dengan benar. Aku akan segera mengunjungi kuil, jadi mohon lakukan sebelum itu. Siapa namamu?"
Pelayan itu menggigit bibirnya cukup lama. Akhirnya, ia menjawab dengan suara rendah, sedikit gugup.
[Pelayan] "....Klimah."
[Liene] "Kalau begitu, Klimah. Aku tidak mengatakan ini hanya sebagai basa-basi, jadi tolong rawat lukamu. Jika tidak, aku akan berbicara dengan pejabat kuil jika perlu."
Klimah mengangguk dengan bahunya.
[Liene] "Kau bebas pergi sekarang. Sebagai anggota keluarga kerajaan, aku akan selalu melakukan apa yang aku bisa untuk membantu kehidupan seseorang yang melayani Nauk sebagai hamba Tuhan."
Ragu-ragu, Klimah berdiri di sana sebentar sebelum menundukkan kepalanya, lalu segera menghilang ke dalam gang.
"Sedangkan kau," Liene berbalik kepada pria tua itu. Ia tetap diam sepanjang waktu, tubuhnya kaku seperti batu.
[Liene] "Pertama, aku ingin tahu mengapa kau memukuli pelayan itu. Apa kau mengenalnya dengan baik?"
Wajah pengemis tua itu hanya berupa janggut yang tak terawat.
[Liene] "Kau harus tahu aku sudah mempersiapkan diri untuk mendapatkan semua jawaban yang kubutuhkan hari ini. Aku mendesakmu untuk berbicara jujur sekarang, kecuali kau lebih suka berbicara denganku dari dalam sel penjara."
[Pria Tua] "…."
Ia mengangkat kepalanya. Tatapan matanya yang mengarah pada Liene memperjelas bahwa ada sesuatu yang ingin ia katakan.
[Liene] "Jika kau tidak ingin bicara tentang pelayan itu, mari kita bicara tentang hal lain saja."
[Pria Tua] "…."
[Liene] "Siapa target balas dendam Lord Tiwakan?"
[Pria Tua] "Putri Arsak….."
Tepat saat pria tua itu mencoba berbicara—
"Putri!" Kapten penjaga Kastil Nauk memanggil Liene. "Pemimpin Tiwakan sedang dalam perjalanan."
[Liene] "Apa?"
Mengikuti isyarat tangan kapten, Liene menoleh. Hanya dengan melihat sosok kekar yang berjalan ke arahnya, jelas bahwa orang di ujung jalan itu tak lain adalah Black.
Sangat disayangkan, tetapi mendapatkan jawaban harus ditunda. Terlalu berbahaya membiarkan Black mengetahui identitas pria tua. Sampai Liene sendiri mengungkapkan alasannya berada di Nauk, Black kemungkinan besar tidak akan menoleransi orang lain yang mengetahuinya.
[Liene] "Tolong, bawa dia pergi. Ke suatu tempat yang tidak bisa ditemukan."
Liene menyerahkan keranjang makanan yang ia bawa kepada pria tua itu dan meninggalkannya dalam perlindungan kapten. Kemudian, mereka meninggalkan gang tanpa membuang waktu sedikit pun.
[Liene] "Lord Tiwakan."
Memanggil Black, Liene melakukan kontak mata dengannya.
Berbeda dengan udara dingin musim itu, matahari terasa menyengat kulitnya, begitu terang. Di bawah sinar matahari yang membakar, semuanya seperti terungkap. Black tak terkecuali.
….Ia tampak seperti patung.
Ia tak terlihat seperti orang sungguhan. Lebih seperti sebuah karya seni yang dibuat hanya untuk dilihat. Liene bukan satu-satunya yang berpikir demikian. Bahkan orang-orang yang lewat di jalan tak bisa menahan diri untuk tidak meliriknya saat mereka lewat. Mereka akan menatap seolah tak bisa mengalihkan pandangan sebelum dengan cepat menundukkan kepala seolah tak melihat apa pun.
Saat mata Black bertemu dengan Liene, ia berdiri diam seperti patung, sama sekali tak berkedip. Liene merasa seolah ia dibutakan oleh Black. Apa karena matahari ataukah ia memang secerah itu? Bagaimanapun, ia tampak sangat bersinar di matanya.
Berulang kali mengedipkan mata dengan cepat, Black melangkah maju dan mendekati Liene.
[Black] "Kurasa aku salah."
[Liene] "Maaf?"
[Black] "Kau tidak terlihat seperti seorang putri."
[Liene] "...Benarkah?"
Liene segera menunduk melihat dirinya sendiri.
[Liene] "Tidak berbeda dari penampilanku biasanya."
Mungkin ia bermaksud bahwa ia tidak mengenalinya karena Liene berpakaian begitu sederhana. Meskipun Liene adalah seorang bangsawan, ia tidak terlihat begitu berbeda dari orang biasa mana pun. Pakaiannya tidak memiliki hiasan mewah dan dirancang untuk kesederhanaan. Bahkan jika warna rambut paling umum di Nauk adalah cokelat, sementara rambut Liene keemasan, ia tidak berpikir warna rambunya sesuatu yang istimewa.
[Black] "Kau seperti patung."
[Liene] "Ah…."
Ia mengatakan hal yang sama seperti yang Liene pikirkan tentangnya. Itu aneh. Begitu aneh mendengarnya secara langsung sehingga Liene merasa jantungnya berhenti berdetak.
Mengapa kau mengatakannya padaku?
Pria ini tak punya alasan untuk mengatakan hal-hal manis padanya… terutama jika ia ingin balas dendam.
Mengapa kau melakukannya padaku?
[Liene] "….. pujianmu berlebihan."
Liene berusaha keras untuk mengabaikan kata-kata Black, berusaha tidak terlalu memikirkannya. Pasti ada alasannya. Alasan mengapa ia bersikap begitu manis padanya.
[Black] "Meskipun kau mengatakannya, tidak akan mengubah kebenaran dari apa yang kukatakan."
[Liene] "…..Mengapa kau datang ke sini?"
Merasa tak nyaman dengan pujiannya, Liene mengubah topik pembicaraan.
[Black] "Aku dengar kau keluar, jadi aku datang menjemputmu. Apa urusanmu sudah selesai?"
[Liene] "Sudah."
Mengatakan ia datang hanya untuk menjemputnya, perlakuannya terlalu baik. Bahkan setelah pria tua misterius itu mengatakan padanya bahwa Black mencoba membalas dendam, ia terkejut dengan keyakinannya sendiri bahwa tindakan Black adalah bentuk kebaikan.
Apa aku menyukai pria ini?
Apa itu sebabnya ia ingin percaya di atas segala keyakinan bahwa pria itu tak punya niat balas dendam dalam benaknya?
…..Mengapa aku seperti ini?
[Liene] "Kita harus kembali ke kastil. Aku menyerahkan semua jahitan kepada Nyonya Flambard, jadi ia pasti lelah bekerja tanpa diriku."
Liene kembali mengubah topik pembicaraan dan berbalik. Tanpa sepatah kata pun, Black mengulurkan tangan ke arahnya. Setelah sedikit terbiasa berjalan bersama Black, ia meletakkan tangannya di lengan kekar pria itu.
[Black] "Apa kau terbiasa keluar sendirian?"
Tanpa terburu-buru, keduanya berjalan bersama. Ketika Black pertama kali tiba, ia menunggang kuda. Prajurit bayaran yang mengikuti mereka membawa dua kuda, namun tak ada yang menyarankan untuk menunggangi mereka dalam perjalanan kembali ke kastil.
Pasangan itu menarik banyak perhatian, semua orang melirik ke belakang mereka saat mereka berjalan. Mereka bergandengan tangan, berjalan bersama seperti itu membuat mereka tampak seperti pasangan yang sempurna—begitu indah hingga membuat mata orang yang melirik mejadi pusing.
[Liene] "Aku tidak sendirian. Ada kapten penjaga bersamaku."
[Black] "Satu orang tidak akan cukup."
[Liene] "Tidak perlu lebih banyak. Nauk tidak terlalu besar, jadi rombongan pengawal tidak diperlukan."
[Black] "Aku tidak setuju."
Sentimennya bisa dimengerti jika mempertimbangkan apa yang terjadi dengan Kleinfelter belum lama ini. Liene mencoba menahan rasa malunya.
[Liene] "Kau mungkin sulit percaya, tapi memang begitulah Nauk selalu berjalan."
[Black] "Panggil aku mulai sekarang."
[Liene] "Maaf?" Liene membisikkan pertanyaannya. "Aku tidak bisa melakukannya. Kau punya terlalu banyak hal yang harus diurus, Lord Tiwakan."
[Black] "Tugasku adalah menemanimu, Putri."
[Liene] "…."
...Ini adalah kebaikan yang sama sekali tidak perlu.
Merasa hatinya pedih di dada, Liene memalingkan kepala dan melihat ke kejauhan.
[Liene] "Kapan pembangunan tangga kuil akan dimulai?"
[Black] "Kita akan mulai setelah Kardinal baru diputuskan."
[Liene] "Oh….. Apa Kardinal baru dibutuhkan untuk pembangunan?"
[Black] "Mungkin tidak, tapi akan sulit melakukan perjanjian tanpa seseorang untuk bernegosiasi."
[Liene] "Ah."
Perbaikan Kuil dijanjikan sebagai bagian dari jaminan upacara pernikahan. Ia akan membayar pembangunan hanya setelah ia mendapatkan jawaban pasti bahwa pernikahan akan diadakan dengan aman.
Ia sangat teliti.
Siapa pun Kardinal berikutnya akan memiliki banyak pekerjaan yang berurusan dengan pria ini. Tentu saja, Kardinal baru akan menjadi boneka keluarga Kleinfelter, tetapi entah bagaimana Liene tak khawatir. Ia tak bisa membayangkan Black akan terpengaruh oleh Kardinal atau siapa pun.
Jika pria ini hanya tunangan biasa, bertunangan dalam keadaan normal....
Jika ia jelas-jelas berada di pihaknya, tanpa pertanyaan…..
Maka aku akan sangat berterima kasih.
[Liene] "…?"
Berpikir demikian, Liene tanpa sadar mengencangkan cengkeramannya pada lengan Black.
[Black] "Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan?"
Black berhenti dan menatap Liene. Bertemu pandang dengannya, ia merasa dirinya menegang. Liene berkedip, berpikir matahari yang memantul darinya terlalu terang.
[Liene] "Tidak, tidak ada yang istimewa..."
Tepat saat itu—
Di tengah keramaian orang yang datang dan pergi di jalan utama, seseorang mengangkut tong kayu aneh dalam sebuah gerobak tua berhenti tepat di belakang Black.
[Prajurit] "Lord Tiwakan, hati-hati!"
Prajurit Tiwakan yang mengikuti mereka dari jauh berteriak, tetapi Black belum sempat bereaksi.
Duk, Duk!
Gubrak!
Tali yang menahan wadah putus, dan tong kayu jatuh dari gerobak ke arah Black dan Liene.
Comments