top of page

A Barbaric Proposal Chapter 28

Updated: 2 days ago

~Klimah, Sang Pelayan (1) ~

[Pelayan] "Saya tidak bisa…..menghindarinya."

Suara lemah berasal dari dekat kaki Lyndon.

Sejak muda, hidupnya telah dimiliki oleh Kleinfelter. Dengan nyawa yang seharusnya hilang, ia mengurus semua pekerjaan kotor yang keluarga itu perintahkan. Ia bahkan pernah membunuh Kardinal sebelumnya. Dulu, semua orang mengira Kardinal hanya tersandung tangga dan lehernya patah.

Lyndon berharap pekerjaan ini dapat diselesaikan dengan bersih pula.

[Klimah] "….Tidak ada cukup waktu…. Kesempatan yang ada terlalu sempit dan terlalu banyak orang yang melihat….."

Ia berbicara sangat pelan, mengenakan jubah panjang yang menutupi mata kakinya. Sepanjang waktu, matanya terpaku pada tanah.

[Lyndon] "Kau menyebutnya sebagai alasan?"

Thwack!

Pukulan lain mendarat.

Tanpa bergeming, pelayan muda menahan pukulan dari Lyndon, tak ada sedikit pun suara kesakitan yang keluar. Setelah menendangnya dari berbagai sisi, Lyndon berhenti dan menarik napas dalam.

[Lyndon] "Kau tak meninggalkan bukti, kan?"

[Klimah] "Ya."

[Lyndon] "Kau tak boleh ketahuan. Apa kau mengerti? Jangan biarkan mereka tahu akulah yang memberi perintah."

[Klimah] "Baik, Tuanku."

[Lyndon] "Mereka lawan yang sulit. Kita tak boleh …..tertangkap….."

Jika sampai ketahuan, hasil akhirnya jelas akan menjadi kehancuran Kleinfelter. Lyndon merinding hanya dengan memikirkannya.

[Lyndon] "Atau aku tak punya pilihan selain membuangmu."

[Klimah] "....Baik, Tuanku."

Pelayan muda itu mengangguk patuh. Melihatnya, Lyndon merasa sedikit lebih tenang. Pelayan itu luar biasa loyal, dan tak banyak bicara. Bahkan jika hal buruk terjadi dan identitasnya terungkap, Lyndon yakin namanya tak akan pernah keluar dari mulut sang pelayan.

[Lyndon] "Pergilah."

Ia mengangguk dan bangkit dari lantai, meletakkan telapak tangan di atas kepalanya yang berdarah. Ia tampak lebih khawatir tak ada darah yang menodai pakaiannya daripada fakta bahwa ia terluka. Dengan tangan yang bersih, ia mengambil tudung jubahnya dan dengan hati-hati menutupi wajahnya. Setelah meninggalkan ruangan Lyndon, ia diam-diam melangkah ke sudut gelap aula pelayan.

Tanpa cahaya yang membimbingnya, ia menuruni tangga panjang berliku menuju ruang bawah tanah. Akhirnya, ia keluar dari bangunan utama menuju rumah kecil terpisah di belakangnya. Begitu rumah itu terlihat, ia segera bersembunyi di balik pohon terdekat. Tepat di luar jangkauannya ada jendela, matanya terpaku pada jendela itu saat ia mengintip dari tempat persembunyiannya.

Melalui jendela kaca berwarna, terlihat siluet samar—seperti bayangan yang nyaris tak terlihat. Ada seorang wanita, kurus dan penuh kesedihan, memegang baskom air.

[Klimah] "…."

Mata sang pelayan mulai berkaca-kaca saat ia mengamati wanita itu. Dialah alasan mengapa seorang pelayan biasa seperti dirinya terpaksa melakukan hal-hal mengerikan untuk keluarga Kleinfelter.

Baca Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 28 Klimah, Sang Pelayan oleh Lee Yuna. Baca Novel Korea Terjemahan.

Setelah berdiam di sana beberapa saat, ia meninggalkan wilayah kekuasaan Kleinfelter, kembali ke tempat tinggalnya dengan menempuh jalan yang sama seperti biasa. Pelayan yang sedang menuju kuil, namanya adalah Klimah.

[Liene] "…."

Meskipun lelah, kurang tidur mulai menjadi kebiasaan baginya. Saat matahari pagi menembus jendela, mata Liene berkedip menyesuaikan diri dengan cahaya.

[Liene] "Sudah pagi."

Namun tubuhnya begitu letih, tak ingin bergerak. Membuka mata, Liene mulai menghitung.

[Liene] "Satu… Dua…. Tiga."

Akhirnya dapat mengumpulkan kekuatan, Liene segera menyingkirkan selimutnya.

[Liene] "Lebih dingin dari kemarin."

Saat Liene mulai menurunkan kaki telanjangnya dari tempat tidur ke lantai, ia merasakan udara dingin menusuk kulitnya. Tanpa membuang waktu, ia memakai sandal dan merapikan gaun tidurnya.

Aku benar-benar benci musim dingin. Rasanya semua menjadi lebih sulit karena cuaca semakin dingin.

Musim dingin bahkan belum benar-benar dimulai, namun, begitu suhu semakin dingin, ia mulai merindukan kehangatan selimutnya lagi.

[Liene] "Aku harus cepat."

Musim dingin seolah membawa perasaan lesu yang meliputi, namun ia tahu semakin kuat perasaan itu, semakin ia perlu mendorong dirinya untuk bergerak.

Ingin membersihkan diri dan berganti pakaian, Liene melepaskan selendang yang dikenakannya dan buru-buru masuk ke kamar mandi, hanya mengenakan gaun tidur tipisnya.

[Liene] "...Ah."

Namun saat ia membuka pintu, tubuhnya membeku. Sudah ada seseorang di dalamnya.

Tak jauh berbeda darinya, Black hanya mengenakan celana panjang, dan sepertinya ia hendak melepas celananya—seolah ia juga ingin mandi.

[Liene] "Mengapa…..kau di sini…..?"

Liene begitu malu hingga ia benar-benar lupa menutup pintu dan pergi. Yang ia pikirkan hanyalah pertanyaan membara tentang mengapa ia melepas pakaian di kamar mandinya.

[Black] "Apa kau ingin bersiap-siap lebih dulu?" Black bertanya dengan tangannya masih di pinggang celana.

[Liene] "Tidak, Aku…. Mengapa kau di sini…..?"

[Black] "Aku tidak tahu kalau kau sudah bangun."

[Liene] "Tapi mengapa….?"

[Black] "Ini kamar mandiku juga, sekarang."

[Liene] "Oh….."

Ia baru ingat.

Sekarang ia menggunakan kamar sebelah, yang berarti mereka harus berbagi kamar mandi mulai sekarang. Liene seharusnya hanya…..

…Thump!

Tersadar, Liene menutup pintu kamar mandi.

[Liene] "Maafkan aku… Banyak hal terjadi belakangan ini… jadi aku belum sepenuhnya sadar."

Liene mengatakannya dari balik pintu yang tertutup rapat. Ia masih terlalu terkejut hingga mulutnya pun tak berfungsi dengan baik.

Apa yang kulakukan…..Bagaimana bisa aku melupakannya?

Saat itu, ia bisa mendengar langkah kaki mendekat di sisi lain pintu. Liene dengan erat memegang kenop pintu kalau-kalau Black mencoba membukanya.

[Black] "Tidak apa-apa."

Namun, hanya itu yang ia katakan. Ia tak berusaha membuka pintu. Meski begitu, Liene tak bisa melepaskannya. Meskipun tak ada orang yang menyaksikan rasa malunya, ia bisa merasakan wajahnya memanas.

[Liene] "Aku akan lebih memperhatikannya di masa depan…. Jadi silakan, bersihkan dirimu."

[Black] "Tidak ada bak mandi di sini. Adakah alasannya?"

Sebelum Liene sempat pergi, tiba-tiba Black melontarkan pertanyaan.

[Liene] "Apa?"

[Black] "Aku bertanya mengapa kau tidak punya bak mandi."

[Liene] "Oh, bak mandi..."

Dulu pernah ada.

Pernah ada bak mandi marmer besar dan berwarna-warni di dalam ruangan itu. Karya yang indah, dihiasi dengan tepian emas, dan sangat menghidupkan kamar mandi yang kini besar dan kosong.

Namun seperti banyak hal lainnya, bak mandi itu dijual. Marmer halusnya dipotong menjadi beberapa bagian, dan sekarang berada di taman Kleinfelter sebagai hiasan.

[Liene] "…..Aku tidak membutuhkannya. Aku merasa terlalu banyak menggunakan air dengan bak mandi seperti itu."

Mengatakannya membuat hati Liene terasa perih. Kebohongan yang jauh lebih kecil, tetapi ia tak merasa nyaman harus melakukannya sesering ini.

[Liene] "Apa kau memerlukan bak mandi?"

[Black] "Tidak sekarang."

[Liene] "Lalu mengapa….?"

[Black] "Ada kemungkinan kita mungkin akan mandi bersama di masa depan."

[Liene] "A…apa?"

Liene mencoba mencari kata-kata untuk diucapkan, tetapi ketika ia membuka mulutnya, tak ada suara yang keluar.

Mandi...bersama? Tapi mengapa?

[Black] "Aku akan memberikanmu yang baru."

[Liene] "…."

Dan demikianlah percakapan itu berakhir.

Slip. Ketuk.

Di balik pintu, di dalam kamar mandi yang sunyi, terdengar suara kain bergesekan dengan kulit—suara Black melepas pakaiannya.

….Tapi… mengapa….?

Tanpa sadar, Liene menelan ludah kering di tenggorokannya.

Mengapa...kau ingin mandi denganku….?

Kemudian ia mendengar suara percikan air. Ia mungkin sedang mencuci wajahnya sekarang.

Tiba-tiba, Liene teringat saat ia menundukkan wajah ke arah Black, saat ia dengan hati-hati membersihkan wajahnya.

Ingatan itu membuatnya terlalu mudah membayangkan pemandangan bahu dan lengan Black yang basah, atau rambutnya yang basah kuyup menempel di dahinya.

Mengapa kita… bersama…?

Liene tak tahan dengan pikirannya dan segera berbalik.

Semua ini salahnya, mengatakan begitu banyak hal aneh saat ia bertelanjang dada.

Menutupi telinganya, Liene kembali ke kamar. Suara percikan air tak berarti apa-apa. Ia mendengarnya setiap kali ia mencuci wajahnya sendiri.

Namun, jantungnya tak berhenti berdebar.

Menutup pintu di belakangnya, Liene berdiri diam dan menunggu sampai detak jantungnya mereda.

…..Aku tak bisa terus seperti ini.

Bukan ide yang baik untuk memiliki perasaan pada pria itu, kewaspadaannya harus ditingkatkan.

Aku harus tahu apa motif sebenarnya—kebenaran di balik mengapa semua orang terus mengatakan tujuannya adalah balas dendam. Fokuslah pada hal itu dan jangan memikirkan hal-hal yang tidak berguna.

Liene menelan ludah. Ia perlu bertemu dengan pengemis tua itu lagi.

[Nyonya Flambard] "Apa? Ke mana katamu Anda akan pergi?"

[Liene] "Ke pintu masuk Kuil.”

[Nyonya Flambard] "Tapi mengapa begitu tiba-tiba? Apa ada urusan di sana—?"

[Liene] "Ya."

Saat Nyonya Flambard bertanya, bingung dan penasaran, Liene dengan cepat menyela. Tak ada gunanya menceritakan segalanya pada Nyonya Flambard. Tugas Liene adalah mengkhawatirkan apa yang sedang Black lakukan, dan ia tidak ingin menyebabkan wanita itu khawatir.

Lebih penting lagi, Nyonya Flambard adalah wanita yang jujur. Jika Liene menceritakan apa pun padanya, maka ia tidak akan bisa berdiri di depan Black dengan tenang jika ia tahu pria itu berpotensi membawa bahaya bagi mereka.

[Liene] "Aku hanya khawatir pada pria tua kemarin. Kuil biasanya membagikan makanan, tetapi tangga belum diperbaiki, jadi aku akan membawakannya sesuatu."

[Nyonya Flambard] "Kalau begitu, Anda harus memerintahkan penjaga untuk melakukannya. Bukankah Anda terlalu sibuk untuk menangani hal seperti itu?"

[Liene] "Aku ingin melakukannya sendiri. Aku yakin Nyonya juga punya banyak hal yang harus dilakukan, jadi aku tidak masalah pergi sendiri."

Nyonya Flambard terlonjak mendengarnya.

[Nyonya Flambard] "Apa? Tidak, Anda tidak bisa melakukannya! Terlalu jauh untuk pergi sendiri!"

[Liene] "Aku akan meminta seorang penjaga untuk mengawal."

Ia perlu bergerak secepat mungkin. Tiwakan sudah mulai menetap di Kastil Nauk.

Jika Liene ingin keluar, Black memberitahunya bahwa ia akan mengawalnya sendiri atau menyuruh salah satu anak buahnya untuk menemaninya. Artinya ia perlu berbicara dengan kepala penjaga Nauk secara terpisah dan kembali sebelum ada yang menyadari.

[Liene] "Jadi tolong siapkan makanan untuk dibawa. Sebaiknya sesuatu yang mudah dimakan dengan tangan."

[Nyonya Flambard] "Jika Anda tidak punya pilihan, maka tidak bisa dihindari, tetapi saya harus bersikeras untuk ikut dengan Anda."

[Liene] "Tidak, Nyonya. Kau perlu fokus pada perbaikan pakaian pernikahan. Apa kau lupa? Dengan pernikahan yang hanya delapan hari lagi, tak ada waktu yang boleh terbuang."

[Nyonya Flambard] "Ah, itu benar…. Kalau begitu saya akan mengurus makanan dan kembali bekerja…. Tapi….."

[Liene] "Ada apa?"

Nyonya Flambard membuang muka, terdiam.

[Liene] "Ada apa, Nyonya?"

[Nyonya Flambard] "Tentang upacara pernikahan."

[Liene] "Ya?"

[Nyonya Flambard] "Saya sudah berusaha untuk mengingat tanggalnya saat mengubah pakaian, tapi…..Kemarin, Kardinal….."

Nyonya Flambard ragu sejenak lalu melanjutkan.

[Nyonya Flambard] "Tidakkah kita perlu menunggu sampai Kardinal baru telah diangkat?"

[Liene] "Benar…."

[Nyonya Flambard] "Dari yang saya ingat, sembilan hari berlalu setelah Kardinal Motiya dikuburkan sebelum Kardinal Milode diberi posisi itu. Saya tahu ada alasan mengapa mereka perlu menunggu, tetapi sekarang pernikahan hanya delapan hari lagi, jadi saya tidak yakin bagaiaman mengatasi masalah pemimpin upacara. Saya harap Tuhan tidak akan menghukum saya karena mengerjakan pakaian pernikahan begitu cepat setelah kematian Kardinal."

[Liene] "Oh….."

Ekspresi Liene menegang.

Jadi karena itu mereka membunuhnya….untuk mencoba menunda pernikahan.

Itulah alasan mengapa Kleinfelter membunuh Kardinal. Setelah Kardinal baru terpilih, sesuai dengan hukum Kuil, ia akan berpuasa selama sembilan hari untuk mengabdikan dirinya kepada Tuhan dalam doa yang dianggap sebagai 'percakapan' pertamany dengan ilahi.

Mereka mengatakan jika Tuhan tidak mengakui legitimasi Kardinal baru, ia tidak akan mampu bertahan selama sembilan hari dan akan pingsan karena kelaparan. Proses ini dianggap sebagai ritual penting bagi Kardinal dan tidak bisa diabaikan bahkan sehari pun.

[Nyonya Flambard] "Anda terlihat tidak sehat, Putri. Apa Anda sakit?"

Wajahnya penuh kekhawatiran saat ia menatap Liene.

[Liene] "Tidak…. Aku tidak sakit."

Ia takut.

Apa yang Kleinfelter rencanakan setelah bersusah payah hanya untuk menunda pernikahan?

Mereka bukanlah tipe orang yang begitu saja menyerahkan kendali atas Nauk, tetapi mereka juga tahu bahwa mereka tidak akan pernah bisa mengalahkan Tiwakan dalam perang terbuka. Mereka akan mencoba menusuknya dari belakang dalam kegelapan jika memang harus.

[Nyonya Flambard] "Apa Anda yakin?"

[Liene] "Ya…..aku baik-baik saja."

[Nyonya Flambard] "Baiklah kalau begitu. Dengan semua yang terjadi, saya tahu Anda belum bisa tidur nyenyak, jadi saya akan mengerti jika Anda sedikit lelah.. Tapi saya senang setidaknya ada satu hal yang tidak perlu dikhawatirkan sekarang."

[Liene] "Apa?"

Nyonya Flambard dengan lembut menepuk lengan Liene, seolah memberitahunya bahwa ia bisa tenang.

[Nyonya Flambard] "Demam bulanan Anda, Putri. Jika pernikahan harus ditunda, maka malam pertama Anda juga harus ditunda, jadi setidaknya kita tidak perlu khawatir tentang itu sekarang."

[Liene] "Oh...ya, Nyonya benar."

[Nyonya Flambard] "Kalau begitu saya akan pergi dan menyiapkan makanan. Saya akan melakukan yang terbaik, tetapi mohon maaf sebelumnya jika tidak banyak makanan yang bisa dibawa."

[Liene] "Aku mengerti. Tolong, cepatlah."

[Nyonya Flambard] "Ya, Putri."

Setelah Nyonya Flambard pergi, Liene mulai bersiap untuk keluar. Sepanjang waktu, kebingungan berkecamuk di kepalanya.

Jika mereka menunda pernikahan, ia akan bisa dengan aman menyembunyikan demam bulanannya. Namun pada saat yang sama, ia akan memberi Kleinfelter kesempatan untuk mempersiapkan langkah selanjutnya.

Jadi apa yang bisa kulakukan sekarang?

Kerumitan masalah ini terikat seperti simpul yang tak bisa ia lepaskan sendiri.


Comentarios

Obtuvo 0 de 5 estrellas.
Aún no hay calificaciones

Agrega una calificación

Join Our Mailing List

© Crystal Zee
bottom of page