A Barbaric Proposal Chapter 30
- Crystal Zee
- 4 days ago
- 7 min read
Updated: 16 hours ago
~Pertemuan Rahasia~
[Black] "Awas!"
Black mendorong Liene menjauh, menempatkan dirinya sebagai tameng untuk menahan sebagian besar hantaman berat. Liene pun berhasil menghindar ke samping.
[Liene] "Lord Tiwakan!"
Dalam sekejap, jalanan diliputi kekacauan. Tong-tong kayu berputar, meninggalkan kabut debu di belakangnya. Orang-orang berteriak, berupaya keras menghindari tong-tong yang sanggup menghancurkan mereka jika terjebak.
[Liene] "Lord Tiwa...…..hmph!"
Di tengah kekacauan itu, seseorang menangkap Liene dari belakang dan membekap mulutnya.
[Laffit] "Diamlah."
[Liene] "…!"
Liene segera mengenali suara itu.
[Laffit] "Aku tak ingin kita ketahuan."
Seseorang dengan suara familier yang menahan erat tubuhnya dan menyeretnya pergi secara paksa. Dan begitu saja, Liene menghilang.
[Liene] "…Uhuk! Kau gila!?"
Tangan yang membekap mulutnya akhirnya lepas. Begitu Liene terbatuk karena udara tiba-tiba memenuhi paru-parunya, ia melampiaskan kemarahannya. Sejujurnya, ia ingin mengatakan sesuatu yang jauh lebih kasar.
[Liene] "Ada apa denganmu…. Apa kau sadar apa yang kau lakukan…!?"
[Liene] "Laffit."
Sosok yang bertanggung jawab atas kekacauan itu adalah Laffit.
Laffit mengambil tangan Liene dan meletakkan di wajahnya. Tindakan itu terlalu sopan dan santun di tengah kegilaan yang telah ia lakukan di muka umum.
[Laffit] "Aku perlu bicara denganmu. Di suatu tempat, hanya kita berdua saja. Di mana kita tak perlu khawatir akan ada yang mendengar."
[Liene] "…..Kau benar-benar sudah gila."
Wajah Liene menunjukkan ekspresi jijik dan kelelahan yang nyata. Mereka berada di dalam kereta tanpa jendela. Jelas ada upaya untuk menculiknya dengan efisien.
[Liene] "Hentikan kereta ini."
Merasa dinginnya tangan Liene, Laffit mengeratkan genggamannya.
[Laffit] "Liene, tak bisakah kau melupakan pria itu sejenak?"
[Black] "Apa yang kau bicarakan?"
[Laffit] "Ia pasti sudah mati sekarang, jadi…."
[Liene] "Hentikan, lepaskan aku!"
Tiba-tiba, campuran ketakutan dan kepanikan menyerbu batinnya. Saat semua tong kayu besar berjatuhan ke arah mereka, hal terakhir yang Liene ingat adalah suara Black yang menyuruhnya menyingkir. Sekarang ia… Tangan pucatnya mulai bergetar tanpa henti.
Ia mati?
Tidak… tidak mungkin.
Ia tidak mati.
Setelah menghabiskan sepuluh tahun di medan perang, ia tak akan mati begitu saja. Seorang pria yang telah melewati begitu banyak hal tak akan menemui kematian semudah itu di jalanan.
Ia tidak mati. Ia tak bisa mati.
[Liene] "Ia…tidak…mati…"
Pandangannya mulai kabur, tetapi ia tak menangis. Ia akan bisa melihat air matanya saat mengalir bebas. Namun dalam pandangannya yang memudar, melihat Laffit yang memegang tangannya, ia mulai terlihat seperti orang lain. Seperti Black. Dan saat itulah ia menyadarinya. Apa yang ia rasakan adalah keputusasaan… karena ia tak ingin pria itu mati.
[Liene] "Ia tidak mati."
Liene mengambil napas gemetar. Saat air mata mulai membasahi wajahnya, akhirnya Laffit mulai terlihat seperti dirinya lagi.
[Liene] "Jangan sentuh aku. Dan menyingkirlah."
Liene menarik tangannya dan mencoba melepaskan diri dari genggaman Laffit.
[Liene] "Tinggalkan Nauk dan jangan pernah kembali. Aku tak akan mengatakannya lagi."
[Laffit] "Apa kau benar-benar berpikir aku tak tahu isi hatimu yang sebenarnya saat kau mengatakannya padaku?"
Laffit masih tak mengerti apa yang Liene coba katakan kepadanya.
[Laffit] "Tak ada gunanya mencoba menyingkirkanku dengan mengucapkan kata-kata kejam. Aku tak akan mendengarkannya. Tak apa, Liene…. Kau bisa jujur sekarang. Pria itu sudah mati! Mati! Dan kalaupun jika tidak, ia akan segera mati. Aku tak akan pernah melakukan sesuatu setengah-setengah."
[Liene] "Apa….apa yang kau bicarakan?"
[Laffit] "Aku tak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini selagi kau sendirian. Awalnya aku hanya berencana untuk membawamu, tetapi rencana berubah begitu ia muncul. Jadi aku memerintahkan ksatria keluarga Kleinfelter untuk menyerangnya setelah ia terluka—"
Thump!
Kereta yang membawa mereka melaju cepat tiba-tiba menabrak sesuatu—berguncang dengan intensitas tinggi dan memotong kata-kata Laffit yang mengambag diri udara. Namun, tak ada cara untuk mengetahui apa yang terjadi. Tak ada jendela dan pintu tertutup serta terkunci dari luar.
"Apa yang terjadi?" teriak Laffit, memukul sekat yang menuju ke kusir.
Namun, yang terdengar adalah jeritan.
"Argh!"
Boom!
Jeritan itu bergema di kejauhan. Kedengarannya seperti seseorang meraih kusir, menariknya paksa dari tempat duduknya di kereta yang sedang bergerak, lalu melemparkannya ke tanah. Dan itu bukan hanya imajinasi Liene. Laffit melompat dari tempat duduknya dan berdiri.
Thump!
Sebelum ia menyadarinya, sesuatu menghentikan kereta. Kereta berguncang hebat sebelum berhenti mendadak, memaksa Laffit, yang sedang berdiri, kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat di atas Liene.
Boom!
Dan saat posisi Laffit sedang menindih Liene, pintu kereta terbuka.

[Black] "…."
Saat cahaya tiba-tiba membanjiri kereta yang gelap, Liene mengedipkan mata. Sosok gelap membayangi silau matahari, dan Liene bisa melihat dirinya tercermin di mata dingin sosok itu.
Melihat sosok itu muncul, benar-benar diselimuti kegelapan dan berlatar belakang cahaya matahari, sebuah pikiran memasuki benak Liene.
Seekor binatang buas yang sangat besar dan kejam.
[Black] "…."
Mata biru muda menyerupai mata binatang buas menatapnya. Seolah ia akan mencabik leher seseorang dalam hitungan detik.
[Black] "Bangun." Suaranya rendah dan serak seperti geraman binatang.
Baru setelah Black meraih tubuh Laffit dan menariknya menjauh dari Liene, ia menyadari bahwa Black sedang berbicara padanya.
Thump!
Mencengkeram pergelangan kaki Laffit, ia dilemparkan sekuat tenaga ke jalan dan menabrak tanah dengan keras.
[Liene] "…!"
Liene membekap mulutnya, bahkan tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun karena terkejut.
[Black] "Bangun." Ia mengulanginya.
[Liene] "…."
Akhirnya, Liene tersadar. Orang yang berdiri di depannya adalah Black. Emosi pertama yang ia rasakan adalah kelegaan yang luar biasa.
Lihatlah… Ia tidak mati…
Mengapa Laffit mengatakan ia mati padahal tidak? Melegakan sekali…. Aku sangat senang…
[Liene] "Lord—"
Namun kelegaan itu dengan cepat menghilang.
[Black] "Atau aku akan menyeretmu keluar sendiri."
Tak ada sedikit pun kehangatan yang tersisa dalam suaranya, maupun di wajah atau matanya.
[Black] "Apakah itu yang kau inginkan?"
[Liene] "Tidak…. tidak bukan itu…."
Liene mengangkat roknya dan berdiri. Baru sekarang ia menyadari di tengah kegaduhan dan guncangan kereta, tubuhnya sangat nyeri.
[Liene] "Bagaimana bisa—"
Tanpa perlu bertanya, situasi menjadi jelas saat ia melangkah keluar dari kereta. Para prajurit bayaran Tiwakan telah mengepung seluruh tempat dengan menunggang kuda. Kusir yang ia dengar tidak terlihat di mana pun, dan Laffit, yang telah dilemparkan ke tanah, sudah berada di tangan para prajurit bayaran.
Rencana Laffit gagal total. Liene tak yakin bagaimana mereka bisa melacak kereta begitu cepat, tetapi setidaknya sekarang ia bisa melihat betapa tangkasnya mereka bergerak. Namun, kemudian ia melihat pakaian Black berlumuran darah.
[Liene] "Apa lukamu sangat parah?"
Liene tanpa sadar mengulurkan tangan kepadanya, tetapi Black mundur selangkah dan menghindari tangannya yang cemas.
[Black] "Jangan sentuh aku. Aku bukan satu-satunya yang akan berdarah hari ini, jika itu yang kau tanyakan."
[Liene] "Baguslah….. Tunggu, Apa?"
[Black] "Kau ingin tahu apakah lukaku cukup parah untuk membunuhku?"
[Liene] "Aku….tidak mengerti….."
[Black] "Sudah kubilang sebelumnya. Hanya hari itu aku akan mengabaikan putra tidak sah Kleinfelter."
[Liene] "…."
Liene menyadari mengapa kebaikan yang pernah ditunjukkan Black padanya dengan cepat menghilang.
Saat mereka bersama, sebuah kecelakaan mendadak terjadi yang mengakibatkan hilangnya Liene. Black mengejarnya, hanya untuk menemukan Liene melarikan diri ke suatu tempat di dalam kereta bersama mantan kekasihnya. Dan ketika ia membuka pintu, Laffit sedang menindih Liene, seolah-olah mereka sedang berpelukan…
Dari sudut pandang Black, akan terlihat seolah dirinya adalah bagian dari rencana ini sejak awal. Dipenuhi keputusasaan, Liene menggelengkan kepalanya.
[Liene] "Bukan itu yang...….Apa yang terjadi hari ini adalah….."
[Black] "Kau tidak tahu tentang ini?"
[Liene] "Aku tidak datang ke sini atas kemauanku sendiri. Aku baru menyadari apa yang terjadi bukanlah kecelakaan ketika aku dipaksa masuk ke dalam kereta."
[Liene] ".....Begitu."
Namun, meskipun ia mengucapkan kata 'begitu', jelas tak ada sedikit pun pemahaman atau penerimaan dalam kata-katanya. Black tak percaya sepatah kata pun yang Liene katakan.
[Black] "Kalau begitu, putra tidak sah Kleinfelter pasti merancang rencana pengkhianatan ini sendiri. Kau, tangkap dia. Kita akan memenggal kepalanya di sini. Singkirkan tubuhnya dan kirim kepalanya kembali ke keluarganya."
[Prajurit] "Baik, Tuanku."
Perintah itu jelas dan ringkas, dan diterima secepatnya. Tapi tidak oleh Liene.
[Liene] "Lord Tiwakan!"
Liene bergegas menarik Black. Kain pakaiannya berlumuran lumpur dan ia bisa merasakan darah menodai ujung jarinya, membuatnya menyadari betapa parahnya luka Black.
[Black] "Sudah kubilang jangan sentuh aku."
[Liene] "Kau tidak bisa."
[Black] "Tidak bisa, apa?"
Liene menutup matanya rapat-rapat sebelum membukanya. Tak ada orang yang lebih muak dan lelah dengan situasi ini daripada dirinya. Keluarga Kleinfelter hanyalah wabah, dan Laffit, yang terobsesi dengan hubungan mereka yang sudah berakhir, sungguh membuat frustrasi.
Namun, meskipun demikian, Laffit tak bisa dibunuh. Melakukannya akan memicu perang. Perang di kerajaan yang begitu lemah dan sakit-sakitan akan menghancurkannya, mengisinya dengan siklus pembantaian tanpa akhir. Liene tak sanggup menghadapi jumlah korban jiwa di kedua belah pihak.
[Liene] "Tolong....Kau tidak bisa membunuhnya…."
[Black] "Apa Nauk adalah tempat yang membiarkan pengkhianat tetap hidup?"
[Liene] "Jika Kleinfelter yang dibunuh…" Liene menelan ludah. Seolah-olah ia memaksakan duri masuk ke tenggorokannya. "Harganya tak akan sanggup kita bayar. Keluarga Kleinfelter tak akan tinggal diam—kita tak akan bisa menahan akibatnya."
[Black] "Aku akan mengurusnya."
[Liene] "Tidak, Kau tidak bisa."
Tetes. Tetes.
Saat Liene memegang erat pakaian Black, darah merembes melalui jari-jarinya dan menetes ke punggung kakinya.
[Liene] "Nauk-lah yang akan menanggung akibatnya. Membunuh Kleinfelter sama saja dengan membunuh separuh penduduk Nauk."
Jika mereka berperang melawan keluarga kerajaan, semua keluarga di dewan aristokrat akan memihak Kleinfelter. Ketika perang datang dan Tiwakan memusnahkan mereka, mereka tak akan menumpas sekelompok kecil pemberontak. Mereka akan menghancurkan kerajaan yang sudah kecil menjadi kepingan-kepingan yang lebih kecil lagi, meluluhlantakkannya dan meninggalkan hanya puing-puing yang hancur.
[Liene] "Nauk sudah terlalu banyak mengalami kerugian. Penyesalan terbesar adalah aku yang tidak menerima lamaran Lord Tiwakan lebih cepat. Seandainya aku….maka tidak akan pernah sampai pada titik ini."
Seandainya saja ia menghentikan Laffit pergi ke Kerajaan Sharka untuk mencari bala bantuan. Seandainya saja ia segera mengakhiri hubungan setengah hati dengan Laffit dan segera menerima lamaran Black.
Jika ia melakukannya, ratusan orang yang meninggal itu masih hidup, dan ia tidak perlu membuat begitu banyak kebohongan berbahaya hanya untuk menyelamatkan Laffit. Ia juga tidak perlu berbohong tentang memiliki anak. Ia tidak perlu panik tentang tanggal demam bulanannya, atau perlu mencari cara untuk menyembunyikan ketidakberpengalamannya.
Dan begitu ia mendapatkan apa pun yang diinginkan Black darinya…. Balas dendam atau apa pun itu…
Setidaknya aku tak perlu merasa kepalaku akan meledak… terus-menerus harus mempertanyakan apa yang sebenarnya ada di hatimu.
[Liene] "Tolong...tolong jangan bunuh dia. Aku hanya ingin...melindungi Nauk."
Mata Black yang luar biasa tajam meneliti ekspresi Liene. Setiap kali ia melakukannya, Liene merasa seolah ia tak akan pernah bisa berbohong pada Black.
[Liene] "Bukan dia, tapi Nauk."
[Black] "…..Aku tidak percaya padamu."
Namun ketika jawaban Black akhirnya keluar, membuat hatinya terdorong ke dalam keputusasaan.
[Black] "Kau terus-menerus membuat alasan yang tak bisa dipercaya dan janji yang tak bisa kau tepati, Putri… Aku tak bisa percaya padamu sekarang."
[Liene] "Tolong....Tolong percaya padaku. Semua yang aku katakan sekarang adalah kebenaran."
[Black] "Tidak mungkin." Mulut Black menegang. "Mungkinsaja ada kebohongan lain yang bahkan tidak aku sadari. Mengapa aku harus mulai memercayaimu sekarang?"
[Liene] "…."
Liene tak bisa menemukan kata-kata untuk diucapkan. Black benar sekali. Setiap kali Liene berbohong untuk menghindari krisis, Black akan bertindak seolah tidak tahu, tetapi ia selalu tahu ada sesuatu yang terjadi, walaupun ia tidak tahu secara spesifik.
[Liene] "Apa pun.... Aku akan melakukan apa pun….untuk membuktikan aku tidak berbohong…."
Liene bisa merasakan keputusasaan merasukinya, tetapi Black tampaknya tak melihatnya. Ia menatapnya dengan senyum miring dan terdistorsi di wajahnya.
[Black] "Sepertinya aku telah memberikan kebiasaan buruk padamu, Putri."
[Liene] "Apa yang kau bicarakan...?"
[Black] "Apa kau pikir segala sesuatunya akan berjalan sesuai keinginanmu setiap kali kau menggunakan tubuhmu untuk menenangkanku?"
Comments