top of page

A Barbaric Proposal Chapter 26

Diperbarui: 2 Jun

~Keraguan~

Laffit menatap pamannya dengan ekspresi tidak senang.

[Laffit] "Sejak…. Sejak kapan keluarga kita menjadi seperti ini?"

Lyndon mendecakkan lidah pada keponakannya, yang memasang wajah bingung dan terperangah.

[Lyndon] "Apa kau benar-benar sebegitu naifnya selama ini?"

[Laffit] "Bahkan tanpa melakukan hal seperti itu, Kleinfelter akan tetap menjadi keluarga paling berkuasa di Nauk."

[Lyndon] "Itu karena kita melakukan hal-hal seperti ini makanya kau bisa hidup dengan nyaman, jadi sebenarnya kau harus berterima kasih padaku. Dan yang paling berkuasa, katamu? Sementara takhta berada di tangan keluarga yang salah?"

[Laffit] "Apa kau sebegitu putus asanya ingin mengendalikan Nauk? Posisi itu milik Putri Liene! Apa kau tahu penderitaan dan penghinaan apa yang sudah ia alami karenanya?"

[Lyndon] "Tidak berarti kekuasaan itu miliknya. Ia hanya anak kecil yang bahkan tidak tahu bagaimana menggunakan kekuasaan dengan benar."

Keluarga Kleinfelter-lah yang mengendalikan banyak hal, dengan tangan mereka tertanam kuat di leher Kardinal.

[Lyndon] "Ingatlah bahwa Kardinal harus diganti."

[Laffit] "…."

Wajah Laffit tampak lelah.

[Laffit] "Apa yang sebenarnya kau rencanakan?"

[Lyndon] "Jika ia tidak bisa memperbaiki masalah ini….."

Keluarga Kleinfelter memiliki semua cara yang mereka butuhkan untuk menyingkirkan seseorang. Bagian sulitnya adalah target mereka seorang Kardinal.

[Lyndon] "…..Maka kita hanya perlu menemukan seseorang yang bisa."

Namun sejujurnya, itu bukan masalah bagi Lyndon. Baginya, mengganti Kardinal dengan orang yang tepat jauh lebih penting—sebuah tugas paling utama.

[Laffit] "Aku bilang, kau tidak bisa melakukannya. Apa yang akan kau lakukan jika terbongkar? Bagaimana kau akan menghadapi konsekuensi dari menyakiti seorang Kardinal?"

[Lyndon] "Inilah kelemahan terbesarmu."

Lyndon menatap keponakannya, desahan jengkel keluar darinya.

[Lyndon] "Kau terlalu lembut dan lemah. Itu sebabnya wanitamu dengan mudah direbut darimu."

Kata-katanya terlalu menusuk, menembus Laffit dengan presisi seperti ujung tombak tajam.

[Laffit] "Paman!"

Seketika, Laffit tentu saja hilang kendali, menunjukkan kemarahannya.

[Laffit] "Ia tidak direbut dariku. Aku tahu Liene masih mencintaiku."

Laffit hampir kehilangan akal sehat karenanya. Di mata Lyndon, keponakannya tampak menyedihkan.

[Lyndon] "Kau tidak bisa mengendalikan satu wanita dan sekarang inilah yang terjadi. Sekarang setelah Kardinal berada di pihak mereka, tidak ada kemungkinan pernikahan bisa ditunda."

[Lyndon] "Aku bisa memperbaikinya."

[Laffit] "Bagaimana caranya?"

[Lyndon] "…."

Setelah hening sejenak, Lyndon mendapat ide. Pikiran yang langsung ia pegang erat dengan kelicikan seekor ular.

[Lyndon] "Jika Kardinal meninggal dunia, harus ada pengganti yang dipilih. Sementara itu, perlu ada pemakaman. Tanpa ada Kardinal yang memimpin upacara, tentu saja tidak ada pernikahan yang bisa diadakan. Apa kau mengerti maksudku?”

Rencananya akan memberi mereka banyak waktu. Wajah Laffit menegang.

[Lyndon] "Hari ini adalah hari yang baik, kurasa. Jalan menuju tempat makam akan cukup gelap."

Dan kegelapan adalah penutup yang sempurna untuk perbuatan keji.

[Lyndon] "Ingat saja. Pikirkan apa yang benar untuk dilakukan. Atau lebih tepatnya… apa yang paling menguntungkan bagimu."

[Laffit] "…."

Seperti pemandangan bulan di pagi buta, rencana gelap tersusun saat dini hari.


Hancurnya tangga Kuil meninggalkan dampak yang signifikan pada rakyat. Di antara mereka adalah seorang pria tua—pengemis yang dulunya setiap hari pergi ke Kuil untuk mendapatkan roti dan air dari para pendeta.

[Pria Tua] "…."

Pengemis tua itu berdiri diam, menatap tangga yang runtuh. Satu matanya tampak sangat keruh, tertutup oleh rambutnya yang kotor dan menjuntai. Meskipun ia memiliki dua lengan, pengemis itu tidak bisa menggunakan satu tangannya. Kakinya pun tak lebih baik. Kaki kirinya yang hancur goyah jatuh ke tanah setiap kali ia menggunakan tongkatnya untuk membantunya berjalan. Fakta bahwa ia menggunakan tubuh seperti itu untuk menaiki tangga adalah sebuah keajaiban.

[Prajurit] "Kau yang di sana! Berbahaya, kau harus minggir!"

Suara seseorang berteriak keras ke arah pria tua itu. Itu adalah prajurit bayaran Tiwakan. Ia adalah bagian dari kelompok yang dikirim untuk mengambil peti mati dari Kuil. Biasanya, orang seperti mereka akan menarik banyak perhatian, tetapi anehnya bagian depan Kuil benar-benar kosong.

Rakyat Nauk masih takut pada Tiwakan. Banyak dari mereka percaya kalau mempertahankan kontak mata dengan salah satu dari mereka adalah cara tercepat membuat kepala mereka terlepas.

Namun pengemis tua itu menatap mereka tanpa ragu, berdiri di tengah jalan sepanjang waktu. Membuat mereka bertanya-tanya apa ia tidak mendengar rumor tentang mereka atau apa ia sudah kehilangan akal.

Pada awalnya para prajurit bayaran tidak memedulikannya, tetapi saat peti mati mulai diturunkan, dan pria tua itu mulai menghalangi jalan.

[Pria Tua] "Dia…"

Alih-alih pergi seperti yang diperintahkan, pengemis itu mendekati prajurit bayaran, berusaha berbicara. Suaranya berat karena dahak, seolah mendidih di tenggorokannya, membuatnya sulit dimengerti.

[Prajurit] "Apa?"

Pengemis itu berusaha mengangkat tangannya yang gemetar, menunjuk ke suatu tempat. Dan yang tertangkap di ujung jari pengemis tua itu adalah Black yang duduk di atas kuda berwarna gelap.

Baca Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 26 Keraguan oleh Lee Yuna. Baca Novel Korea Terjemahan.

[Pria Tua] "Siapa….."

[Prajurit] "Hah? Apa…?"

[Pria Tua] "Si…siapa….."

Meskipun pria tua tidak bisa menggunakan mulutnya sebaik tangan dan kakinya, prajurit bayaran samar-samar bisa memahami apa yang ia coba katakan. Ia melihat bolak-balik antara jari yang menunjuk dari pria tua itu dan Black.

Tiwakan dikenal sebagai kekuatan tempur yang lebih kejam dari siapa pun di medan perang. Namun di balik kebrutalan mereka, mereka tetap memiliki aturan yang mereka jaga. Salah satu aturannya adalah mereka tidak pernah diizinkan membunuh orang yang tidak bersenjata tanpa sebab atau izin.

Pria tua tampaknya tidak mengenali Black, dan meskipun prajurit bayaran berpikir pertanyaan pria tua sedikit aneh, ia memutuskan untuk menjawab. Ia hanya berasumsi mata pengemis tua itu tidak berfungsi dengan baik.

[Prajurit] "Pria itu adalah pemimpin Tiwakan, tetapi bagi kami yang menggunakan nama itu, adalah Tuhan kami."

[Pria Tua] "…."

[Prajurit] "Sekarang setelah kau tahu, kau harus pergi dari sini. Kau menghalangi jalan."

Namun pria tua itu tidak bergerak. Matanya terpaku pada Black, seolah ia berada dalam trans.

[Prajurit] "Hei, kau harus bergerak."

Ia bahkan tidak bisa mendengar kata-kata prajurit bayaran. Bibirnya, tertutup rambut janggutnya yang abu-abu, gemetar. Diam-diam, ia membisikkan sesuatu yang sama sekali tak terdengar.

Apa kau akhirnya kembali?

Dosa Nauk.

Darah yang tidak tertumpah hari itu.

Apa kau datang untuk menyelesaikannya….?

Dua puluh satu tahun yang lalu pengemis tua itu pertama kali tiba di Nauk.

Dan dua puluh satu tahun yang lalu sembilan air terjun mengering, membawa tanda-tanda kekeringan yang tak berujung.

Waktunya tiba untuk berangkat menuju kapel.

Liene, mengenakan pakaian berkabungnya, mengganti hiasan di rambutnya dengan mawar hitam. Nyonya Flambard berpikir dandanan Liene terlihat, tetapi tidak mengatakan apa-apa sebagai bentuk hormat untuk pemakaman.

Hari itu, gerbang kastil dibuka. Pemakaman yang awalnya akan diadakan di Kuil sekarang berada di kapel kerajaan, memberi lebih banyak orang kesempatan untuk hadir.

Jumlah orang yang menuju kapel tidak luput dari perhatian Liene juga.

[Liene] "Kurasa akan lebih ramai dari sebelumnya."

Mendengar bisikan Liene, Nyonya Flambard mengangguk.

[Nyonya Flambard] "Tidak akan mengejutkan. Semua orang penasaran."

[Liene] "Apa… oh…"

Di tengah kalimatnya, Liene dengan pahit menutup mulut. Semua orang akan penasaran dengan reaksinya, itulah yang akan ia katakan. Mereka semua masih mengira Laffit sudah mati, dan sekarang mereka penasaran melihat Liene datang ke pemakaman kekasihnya yang sudah meninggal dalam pelukan tunangan barunya.

Seluruh situasinya berantakan. Mereka bahkan mungkin akan mengatakan hal-hal buruk tentang Black dan Tiwakan, dan ia tidak bisa mengabaikan kemungkinan Kleinfelter mencoba melakukan sesuatu, mengobarkan api dan membisikkan fitnah.

[Liene] "Aku harus memperingatkan Lord Tiwakan."

[Nyonya Flambard] "Jika Anda tidak bisa menghentikan mereka, sebaiknya Anda memberitahu Lord Tiwakan terlebih dahulu. Supaya Ia tidak terlalu marah."

[Liene] "…..Benarkah?"

Meskipun entah mengapa, Liene tidak bisa membayangkan saat Black marah, bahkan jika seseorang melontarkan kutukan paling kasar sekalipun padanya.

Setelah kupikir-pikir, kurasa aku belum pernah melihatnya marah sekali pun.

Namun, setiap kali ia memikirkannya, rasa takut yang paling menonjol di antara banyak emosi lainnya.

…..Aku bertindak sangat aneh belakangan ini.

Ia tidak membencinya, meskipun ia tidak takut padanya, tetapi sesekali ia masih merasa takut.

[Nyonya Flambard] "Apa yang Anda pikirkan begitu dalam, Putri?"

Setelah memikirkan orang itu untuk waktu yang lama, Nyonya Flambard menarik kain gaun Liene.

[Nyonya Flambard] "Hati-hati dengan langkah Anda. Jalan di sini tidak rata. Anda akan jatuh jika tidak berhati-hati."

[Liene] "….Ah."

Sebelum ia menyadarinya, Liene sudah mendekati kapel. Ia kira ia hanya berpikir sejenak, tetapi waktu menghilang, seperti biasa ketika pria itu terlibat.

[Liene] "Aku tahu. Aku perlu mengendalikan diri…..oh."

Ketuk.

Sesuatu menghentikan kakinya. Jika ia tidak menyadarinya, ia mungkin akan tersandung. Liene, berhenti sesaat sebelumnya, lalu melihat ke bawah.

Ujung tongkat seseorang menonjol dari sisi jalan. Seolah mencoba menarik perhatiannya.

[Liene] "…."

Menggerakkan matanya ke samping, ia melihat seorang pria tua mengulurkan tongkatnya. Seorang pengemis dari kuil.

[Liene] "Tunggu di sini sebentar, Nyonya."

Liene tahu pria tua itu. Pada kesempatan ia mengunjungi Kuil, ia akan membawa makanan untuk diberikan kepadanya. Ia tidak tampak seperti orang jahat, hanya seseorang yang dilanda kehidupan sulit.

[Liene] "Aku harus menghadiri pemakaman hari ini jadi aku tidak punya apa-apa untuk dibagikan. Jika kau mau, bisakah kau menunggu sampai upacara selesai?"

[Pria Tua] "…."

Tanpa sepatah kata pun, pria tua itu menatap Liene.

[Liene] "Peti mati akan segera dibawa lewat sini. Hati-hati dan bawalah tongkatmu agar kakimu tidak terlalu sakit."

[Pria Tua] "…..anak..dari…ak.... pe..dosa..."

[Liene] "Apa?"

Saat ia bergumam janggut menutupi bibirnya, jadi Liene tidak begitu menangkap apa yang ia katakan.

[Liene] "Apa yang kau katakan?"

Liene condong ke arah pria tua itu, mendesaknya untuk berbicara lagi.

[Pria Tua] "Dosa masa lalu…..harus dibayar...dengan darah…. Dan sekarang….. anak.... dari Arsak.... akan berdarah…."

[Liene] "Apa yang kau...?"

Melihat ekspresi Liene yang berubah, Nyonya Flambard melangkah mendekat dan meraih lengannya.

[Nyonya Flambard] "Putri! Anda tidak boleh terlalu dekat dengan orang asing. Bagaimana bisa Anda mempercayai seseorang yang bahkan tidak Anda kenal?"

[Liene] "Tunggu—kurasa ia mencoba memberitahuku sesuatu."

Setelah ditugaskan untuk mengawasi pemakaman, Tiwakan dalam keadaan siaga. Menyadari keributan, sepasang prajurit bayaran bergegas dari pos mereka di kejauhan.

[Prajurit] "Putri! Apa Anda baik-baik saja?!"

Mereka dengan cepat meraih pengemis tua itu, dengan kasar menyeretnya hingga berada di jarak aman dari Liene.

[Liene] "Ya, aku baik-baik saja tapi aku belum selesai berbicara dengannya. Bisakah kau memberi kami sedikit ruang, kumohon?"

[Prajurit] "Oh, benarkah?"

Keduanya segera menyingkir, tetapi mata mereka masih tertuju pada pria tua yang lusuh. Meskipun niat mereka adalah untuk melindunginya dan tidak ada yang lain, mereka tetap sangat mengintimidasi.

Liene berbalik menghadap pria tua.

[Liene] "Bisakah kau mengulanginya? Apa yang coba kau katakan?"

Bibir pria tua itu gemetar.

[Pria Tua] "…..lih..at…"

[Liene] "…..?"

Berpikir ia salah dengar, Liene menggelengkan kepalanya.

[Liene] "Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Begitu Liene membalikkan badannya untuk melihat sumber suara, Black berdiri tepat di belakangnya. Liene bahkan tidak mendengarnya datang.

[Prajurit] " Ada hal penting yang perlu dibicarakan oleh Tuan Putri dengan pria ini."

Para prajurit bayaran tidak ragu menjawab saat Black mendekat. Meskipun postur tubuhnya santai dan rileks seperti sebelumnya, entah mengapa Liene merasa udara di depannya memiliki ketajaman seperti pisau. Menunjukkan padanya sekilas mengapa Tiwakan menganggap Black sebagai pemimpin mereka.

[Black] "…."

Black melirik pengemis itu.

Seketika, Liene memperhatikan mata pengemis tua gemetar saat ia menyusut karena tatapan Black. Tiba-tiba ia menyadari apa yang ia coba katakan.

[Black] "Begitu. Apa kau butuh lebih banyak waktu?"

Ia bertanya apa ia ingin lanjut berbicara dengan pria tua.

[Liene] "Tidak."

Dengan cepat, Liene berbalik dan memegang lengan Black, sebagian dari dirinya takut tangannya akan mulai gemetar.

[Liene] "Kurasa kau tidak bisa bicara dengan benar saat ini. Jika kita menghabiskan terlalu banyak waktu di sini, kita akan terlambat ke pemakaman, tetapi jika kau punya sesuatu yang ingin kau katakan padaku, tolong datang menemuiku nanti."

Kata-kata terakhirnya ditujukan kepada pria tua itu. Matanya masih gemetar saat ia tetap diam.

[Liene] "Mari kita pergi."

[Black] "….Jika kau mau."

Black mengambil tangannya yang berlawanan dan meletakkannya di atas tangan Liene, yang masih memegang lengannya. Kemudian, saat tubuhnya goyah dan ia sedikit bersandar padanya, Black berhenti dan menatapnya.

[Black] "Apa kau baik-baik saja?"

[Liene] "…..Ya."

[Black] "Kau tidak terlihat baik-baik saja."

Ia tidak baik…. sama sekali tidak. Pria tua itu…. Ia berkata…..

—Anak perempuan Arsak akan berdarah.

Suaranya tenang, tumpul, dan terputus…. Tiba-tiba kata-katanya terhubung dengan begitu jelas hingga membuat kepalanya berputar.

—Balas dendam.

Siapa pria tua itu? Bagaimana ia bisa mengenal Black?

Ketika semua orang mengatakan kepadanya bahwa Black merebut Nauk demi balas dendam, apa ini yang mereka bicarakan? Apa artinya target balas dendam Black adalah dirinya?

[Liene] "…."

Bong! Bong!

Suara lonceng kapel mengguncang gagasan di benaknya.

Kepalanya benar-benar berantakan, pikirannya kacau balau.


Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

Join Our Mailing List

bottom of page