A Barbaric Proposal Chapter 25
- 21 Mei
- 7 menit membaca
Diperbarui: 18 Sep
~Nyanyian Duka (5)~
[Liene] "Apa?"
Ia ingin aku menunda pernikahan? Apa ia tahu apa yang dikatakannya? Bagaimana ia berpikir aku akan bisa menundanya?
[Kardinal] "Pernikahan tak diizinkan sampai Putri Nauk membebaskan diri dari dosa-dosanya. Jika Anda mengabaikan kehendak Tuhan, tak diragukan lagi tragedi besar akan terjadi."
[Liene] "Apa kau tahu apa yang kau minta dariku?"
Liene mengepalkan tangan dan menahan diri. Tindakannya tak luput dari perhatian Kardinal, tetapi ia tetap mendesak.
[Kardinal] "Kehendak Tuhan tak terlukiskan, Putri. Anda harus memenuhinya."
[Liene] "Dan kau, Kardinal Milode, harus tahu bahwa kau mempermalukan keluarga kerajaan dengan mengklaim mengetahui kehendak Tuhan."
Kardinal menghela napas mendengar kata-kata Liene yang tenang namun sarkastis.
[Kardinal] "Saya adalah hamba Tuhan. Karena itu, saya mewakili cita-cita Tuhan, Putri Arsak."
[Liene] "Dan apa sebenarnya yang Tuhan katakan kepadamu? Apa kau mungkin menerima penglihatan dalam mimpi yang memberitahumu untuk mencegah pernikahan?"
[Kardinal] "Kau... bagaimana bisa kau begitu meremehkan Tuhan? Semakin jelas bahwa cobaan yang diletakkan di hadapan rakyat Nauk adalah untuk menghukummu, Putri Arsak!"
Kardinal takkan pernah berani mengatakan hal seperti ini kepadanya di masa lalu. Rasanya aneh. Seolah ia berusaha menyudutkan Liene.
Meskipun ia tidak tahu pasti, Liene memiliki firasat kuat bahwa Kardinal dikirim oleh Kleinfelter untuk mencoba menghentikan pernikahan dengan cara apa pun. Bukan tentang memperbaiki tangga, tapi selalu tentang pernikahan.
[Liene] "Hati-hati, Kardinal. Ini bukan Kuil. Kau ada di kastilku sekarang."
Liene pandai menjaga wajahnya tetap tenang, bahkan saat ia menahan amarah dengan tangan terkepal. Tapi kali ini, ia tak bisa menahannya lagi.
[Liene] "Kastil kerajaan tak terikat oleh hukum agama. Aku punya hak untuk menghukum mereka yang berani menggunakan lidah mereka untuk menghina keluarga kerajaan."
[Kardinal] "Sayangnya, Anda tidak bisa menikah tanpa izin Tuhan—"
Tepat saat Kardinal mulai berbicara—
[Black] "Aku terlambat."
Bum!
Suara pintu ruang audiensi menggema di udara saat Black mendorongnya terbuka dengan kedua tangan.

[Kardinal] "A-a-apa….."
Wajah Kardinal cepat berubah pucat kekuningan.
[Kardinal] "M…mengapa….mengapa seorang prajurit bayaran….ada di sini...…"
Seketika Liene hampir secara refleks menghela napas.
Dipikir-pikir, Kardinal mungkin tidak menyangka hal seperti ini akan terjadi. Ia mungkin hanya mengikuti kemauan Kleinfelter, membiarkan mereka mendorongnya ke kastil—bersikeras Black takkan bisa menginterupsi pertemuan.
[Liene] "Selamat datang, Lord Tiwakan. Silakan duduk."
Namun alih-alih mengoreksi Kardinal, Liene mengundang Black ke sisinya. Tindakan yang mengukuhkan posisinya sebagai tunangan Putri serta pemimpin Ksatria Pelindung Keluarga Arsak.
Black cepat menyadari niat Liene. Tanpa sepatah kata pun, ia mengambil tempat duduk tepat di samping Liene. Ia begitu hening ketika melakukannya hingga terasa seperti hal yang paling wajar di dunia. Seolah memang seharusnya Black pantas berada di sisi Liene.
[Liene] "Sampai di mana tadi kita? Ah, benar. Kau bilang Tuhan ingin aku menyabotase pernikahan. Apa ia kebetulan memberitahumu berapa lama kita harus menundanya?"
[Black] "S-saya….."
Kardinal berhenti sejenak dan mengalihkan pandangannya. Ia bahkan tak bisa mulai melihat ke arah Black, yang hanya duduk di samping Liene.
…Berhasil.
Meskipun ia tidak menyadarinya, Liene tersenyum pahit. Ia senang melihat Kardinal begitu bingung dan kesal, tetapi ia tak bisa menahan diri untuk merasa sedikit terganggu dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba dan jelas. Membuktikan betapa Kardinal meremehkannya—bahwa ia melihatnya sebagai seseorang yang mudah dipengaruhi.
[Kardinal] "Pernikahan akan terjadi….setelah Tuhan mengizinkannya….."
[Liene] "Dan bagaimana kami akan tahu kapan itu?"
[Kardinal] "S-sebagai hamba Tuhan, kata-kata mereka akan berbicara melalui saya..."
[Black] "Jadi pada akhirnya, ternyata kaulah masalahnya."
[Kardinal] "A…apa?"
Kardinal menelan ludah. Black dengan santai mengetuk sandaran lengan kursinya dengan jari, suara itu membuat Kardinal dengan gemetar mengangkat kepalanya ke arahnya. Lalu begitu ia bertemu tatapan dinginnya, tubuhnya menjadi seperti patung.
[Black] "Aku akan memberimu pilihan. Entah kau menggunakan mulutmu untuk memberi kami izin, atau aku akan memaksanya keluar darimu."
[Kardinal] "…."
Rahang Kardinal menegang. Tidak jelas apa ia memahami implikasi dari kata-katanya ataukah ia hanya terkejut bahwa ia, sebagai Kardinal, tidak dihormati.
[Black] "Aku pasti mengatakannya terlalu baik. Kalau begitu aku akan mengatakannya lagi. Buka mulutmu sendiri atau aku akan mencabik-cabikmu."
[Kardinal] "A-apa….. Beraninya kau!"
Akhirnya Kardinal menemukan suaranya, cukup keras untuk membuat seluruh ruang audiensi bergetar. Namun pada akhirnya, itu semua hanyalah kata-kata.
Black menatapnya, jari-jarinya masih mengetuk sandaran lengan.
[Black] "Diam."
[Kardinal] "…?"
[Black] "Jangan mengeraskan suaramu di hadapan bangsawan."
[Kardinal] "…."
[Black] "Buat pilihanmu. Kehendakmu sendiri atau dicabik-cabik."
[Kardinal] "…."
Bukan karena rahang Kardinal menegang. Ia hanya tak bisa berbicara. Ia ketakutan untuk membiarkan suaranya bergema lagi di ruangan.
[Black] "Jika kau tidak memilih, maka aku akan memilihnya."
Ketuk.
Black memukul sandaran lengan dengan pola ritmis.
Ketuk.
Ketuk.
Ketuk.
Begitu ia mendengar suara ketiga, Kardinal memaksakan suaranya keluar.
[Kardinal] "Kau tidak bisa melakukan ini! Kau tidak bisa melakukan hal seperti ini kepada hamba Tuhan...!"
Namun hanya itu yang bisa ia katakan. Seolah suara-suara ritmis itu adalah sinyal, pintu-pintu ruang audiensi terbanting tertutup.
[Kardinal] "Tunggu!"
Dengan cepat, Kardinal dan para pendeta yang dibawanya membalikkan badan ke arah pintu, tetapi pintu yang tertutup rapat tetap terkunci.
[Kardinal] "Tuan Putri, buka pintunya!"
Di tengah semua itu, Liene adalah satu-satunya orang yang bisa dipegang oleh Kardinal. Seorang biadab mungkin tak mampu berkomunikasi secara normal, tetapi Liene tidak. Bahkan keluarga kerajaan Nauk pun tak punya hak untuk mempermainkan hamba Tuhan seperti ini.
[Kardinal] "Putri!"
[Black] "Jika ia ingin aku membukanya, maka aku akan membukanya."
Black berbicara perlahan dengan suaranya yang biasa tanpa emosi. Membuatnya sangat sulit dimengerti, tetapi meskipun demikian, satu hal sangat jelas. Liene adalah satu-satunya orang yang mampu mengendalikan pemimpin Tiwakan.
[Liene] "….Terima kasih atas tawarannya, tetapi kita masih di tengah percakapan. Sebaiknya kita tetap menutup pintu sampai kita menyelesaikan masalah ini."
Liene juga menyadarinya. Lebih khusus lagi, ia menyadari apa yang Black coba jelaskan kepada Kardinal.
Selama Tiwakan hadir, Kardinal takkan pernah bisa berbicara dengan rasa tidak hormat pada Liene seperti sebelumnya. Tidak, bukan hanya itu. Jika ia ingin pergi dengan aman, maka ia membutuhkan Liene untuk membantunya, karena pemimpin Tiwakan takkan pernah membuka pintu kecuali Liene yang memintanya.
[Liene] "Baiklah, mari kita bicara dengan benar. Mengapa kami harus menunda pernikahan?"
[Kardinal] "…."
Seperti besi, wajah Kardinal benar-benar mengeras. Takkan pernah lagi ia mengatakan bahwa pernikahan perlu ditunda karena Tuhan tak bisa menoleransi keberadaan Tiwakan yang tercemar.
Setelah itu, percakapan berakhir tanpa masalah besar. Pada akhir pembicaraan mereka, Kardinal menjadi seperti orang yang berbeda. Ia hanya mengangguk patuh sebelum pergi degan tergesa-gesa.
Tentu saja, ada harganya. Black setuju untuk membayar penuh biaya perbaikan tangga Kuil. Hanya dengan begitu Kardinal dapat meresmikan sumpah pernikahan mereka, sesuai dengan tugas yang diberikan padanya.
Pemakaman yang sempat terhenti akan diselesaikan malam itu di kapel Kastil Nauk, dengan sekelompok tentara bayaran Tiwakan ditugaskan untuk memindahkan peti mati. Membuat siapa pun, apalagi Kardinal, mustahil mengklaim bahwa Tuhan tak bisa menoleransi Tiwakan yang 'kotor'. Jika yang 'kotor' tidak membawa peti mati, maka jenazah akan dibiarkan membusuk di Kuil sampai tangga diperbaiki.
Liene sedikit terkejut dengan hasilnya. Pertama kalinya ia menegosiasikan sesuatu secara sepihak, tanpa membuat satu pun konsesi.
[Liene] "Ini sedikit tak terduga."
Begitu Kardinal dan rombongannya kabur dengan ekor di antara kedua kaki mereka, hanya Liene dan Black yang tersisa di ruang audiensi.
[Liene] "Aku tidak menyadari Kardinal sangat penakut."
Senyum pahit di wajah Liene mengungkapkan begitu banyak kejadian yang telah ia lalui.
[Black] "Aku senang kau puas dengan hasilnya."
Kata 'puas' sepertinya bukan kata yang tepat. Terlalu lemah untuk menggambarkan perasaan Liene saat ini.
[Liene] "Tapi kurasa kau setuju untuk menanggung terlalu banyak beban finansial."
Liene menambahkan, menatap Black. Itulah sesuatu yang ada di pikirannya sepanjang waktu.
[Liene] "Kau seharusnya tidak perlu membayar semua itu, meskipun Kardinal bersikeras menunda pernikahan."
[Black] "Tidak apa-apa. Aku punya cukup uang untuk membelanjakan apa pun yang kuinginkan."
[Liene] "Tapi tetap saja….."
Biayanya terlalu besar untuk dibicarakan dengan santai.
[Black] "Apa tidak sopan bagiku untuk memberitahumu agar jangan mengkhawatirkan uang di masa depan?"
Liene berpikir sejenak sebelum menjawab.
[Liene] "…Tidak."
Kesulitan finansial Nauk sudah terlalu lama terjadi untuk merasa bangga karenanya. Liene bahkan tak yakin berapa lama lagi mereka bisa bertahan. Selama setahun terakhir, yang bisa ia lakukan hanyalah mencoba bertahan, hari demi hari—berdoa agar lebih banyak hujan.
[Liene] "Kurasa tidak."
[Black] "Kalau begitu jangan khawatir."
Sungguh menakjubkan mendengarkan Black mengatakannya dengan begitu mudah.
Membuat Liene mulai salah paham dengannya. Ia benar-benar mulai berpikir pria itu adalah orang baik. Bahwa ia benar-benar berada di sisinya dan melakukan apa yang ia bisa untuk membantunya.
Tapi apa yang akan ia dapatkan dengan mempertaruhkan begitu banyak demi memastikan pernikahan ini terjadi?
[Black] "…Jika kau bisa, tentu saja."
Liene menekan perasaannya dan hanya mengangguk.
Jika Weroz kembali, apa pun yang Black coba sembunyikan akan terungkap.
Kalau begitu… sampai itu terjadi… kurasa tidak apa-apa untuk terus merasa tenang bersamanya.
Setidaknya, untuk sedikit lebih lama.
[Liene] "Terima kasih, Lord Tiwakan. Karena kaulah segala sesuatu terkait pemakaman dan pernikahan berjalan begitu lancar."
[Black] "…."
Rasa terima kasih Liene pada Black tulus adanya. Ia sungguh-sungguh dengan setiap perkataannya. Namun alih-alih membalasnya dengan baik, Black tetap diam dan menatap Liene dengan intens.
[Liene] "Apa…..semuanya baik-baik saja?"
[Black] "Menarik."
[Liene] "Apa maksudmu?"
[Black] "Aku ingin mendengar kau mengatakannya lagi. Aku ingin tahu apa kau serius."
…Apa ucapan terima kasihku tidak cukup?
[Liene] "Kau memiliki rasa terima kasihku yang tulus. Aku sungguh-sungguh mengatakannya."
[Black] "Bukan itu. Aku berbicara tentang pernikahan."
[Liene] "Apa ada yang salah?"
[Black] "Benarkah kau tidak ingin menundanya?"
[Liene] "Tentu saja aku…. Ah."
Terlambat sedetik, Liene menyadari makna di balik kata-katanya. Pada suatu titik, ia telah mulai memperlakukan pernikahan sebagai sesuatu pasti akan terjadi.
Saat ucapan Liene terhenti, bibirnya sedikit terbuka, mata Black meneliti wajahnya. Seolah ia mencari tanda kebohongan yang tersembunyi di wajahnya.
[Black] "Tentu saja?"
[Liene] "Tentu saja…..aku tidak ingin menundanya."
[Black] "…."
Mendengar jawaban Liene, Black berpikir sejenak sebelum sudut bibirnya mulai tertarik ke atas.
Oh…
Kini Liene yang menatap.
Ia tersenyum.
Perubahan yang begitu kecil tetapi perbedaannya terlalu besar bagi Liene.
Aku belum pernah melihatnya menunjukkan wajah tersenyum.
[Black] "Kalau begitu, ini bukan pemborosan uang." Black berkata sambil senyumnya masih tersisa.
Pria ini bisa mengatakannya dengan santai… dengan wajah seperti itu. Membuatnya terlihat seolah ia benar-benar senang menikahinya. Gagasan itu membuatnya merasa… aneh.
Jika selalu begini, Liene benar-benar akan mulai salah paham dengannya.
Berpikir ia orang baik adalah satu hal…
…Tapi berpikir ia mungkin benar-benar menyukaiku?
Kini, pernikahan hanya tinggal beberapa hari lagi.
[Lyndon] "Dasar Idiot!"
Banting!
Lyndon tak bisa menahan amarahnya dan membanting tinjunya ke meja, mengguncang botol tinta dan menumpahkan tinta ke mana-mana. Laffit melirik meja yang kotor, tetapi tetap diam.
Akhirnya Lyndon menggertakkan gigi dan menegakkan botol tinta yang jatuh.
[Lyndon] "Ia tidak bisa menyelesaikan masalah sesederhana menunda pernikahan? Seharusnya mudah saja bagi seorang Kardinal!"
Langkah.
Lyndon bangkit, mengitari meja yang bernoda tinta dan mondar-mandir di ruangan.
[Lyndon] "Tak bisa dihindari. Kita harus mencari orang lain yang bisa melakukannya dengan benar."
Ia mengemukakan gagasan konyol untuk mengganti Kardinal hingga Laffit mengerutkan kening dan segera menatapnya.
[Laffit] "Apa maksudmu, paman?"
[Lyndon] "Urusanku dengannya sudah selesai. Ia tak ada gunanya lagi bagiku."
[Laffit] "Dan bagaimana kau berencana mengganti Kardinal?"
[Lyndon] "Apa yang kau bicarakan? Menggantinya merupakan urusan yang mudah bagi keluarga kita."
Kardinal Nauk adalah posisi permanen. Hanya ketika Kardinal yang menjabat meninggal, barulah penggantinya dapat dipilih.
Apa yang ingin dikatakan Lyndon Kleinfelter adalah bahwa ia ingin membunuh Kardinal yang menjabat saat ini… dan ia juga pernah melakukannya di masa lalu.
Komentar