top of page

A Barbaric Proposal Chapter 22

Diperbarui: 25 Mei

~Nyanyian Duka (2)~

Angin berembus kencang dan dari posisinya yang rapuh di ambang jendela, embusan itu terasa amat berbahaya baginya.

Namun, angin berbahaya itu membawa bisikan yang jauh lebih mengancam. Ia bisa mendengar suara Liene.

‘—Ayo kita ke ruangan lain dulu.’

Berdiri di sana, ia tak bisa melihat ke dalam ruangan, namun dapat mendengar suaranya, telinganya menajam.

‘—Ruangan… di sebelah sana.’

Sang putri tidak berbicara kepada pria mengerikan itu. Pesan itu ditujukan untuk Laffit.

Seolah ia mencoba memberitahu Laffit bahwa ia akan mempertaruhkan nyawanya agar membuat si barbar meninggalkan ruangan. Semua agar Laffit bisa melarikan diri dengan aman.

Kini Laffit yakin cinta mereka belum mati.

Liene melakukan semua ini hanya karena terpaksa.

Sebagai putri Keluarga Arsak, Liene adalah wanita yang terhormat. Ia takkan pernah membiarkan dirinya mengaku masih mencintai pria lain saat ia sudah bertunangan. Bahkan jika pernikahan itu tak diinginkannya, hati Liene tetaplah mulia.

Artinya, Laffit punya kewajiban untuk merebutnya kembali.

[Lyndon] "Kau selalu buta ketika berkaitan wanita itu, dan sekarang semakin parah," kata Lyndon kepada keponakannya. Laffit menggelengkan kepala.

[Laffit] "Aku tidak buta. Aku bisa melihatnya dengan sangat jelas."

Sampai kini, Laffit tak tahu seperti apa perasaan Liene yang sebenarnya.

Sang putri tak pernah menyatakan keinginan untuk tidur dengannya, jadi ia berpikir Liene tidak terlalu peduli padanya. Ia selalu merasa cintanya kepada sang putri jauh lebih dalam daripada cinta sang putri kepadanya.

Namun, ia tahu lebih baik sekarang. Ia takkan membiarkan dirinya meragukan sang putri lagi.

[Laffit] "Jadi ingat, paman. Kau tak boleh mengambil tindakan langsung pada Putri Liene."

[Lyndon] "Apa?"

[Laffit] "Yakinlah pria itu takkan pernah menguasai Nauk."

Bibir Lyndon berkerut. "Kau tak menyadari posisi kita sekarang? Bagaimana jika sang putri benar-benar menikahi si biadab itu? Bukankah akan membuat keluarga kita tampak seperti sepasang orang bodoh?"

[Laffit] "Aku takkan membiarkannya terjadi." Laffit berbicara dengan tekad yang jelas dan teguh di matanya. "Kupastikan, aku merebutnya kembali sebelum pernikahan terjadi."

[Lyndon] "…." Lyndon mendecak, namun tak berkata apa-apa lagi. Meski seandainya ia bicara, Laffit pasti mengabaikannya.

Sejujurnya, Laffit sama sekali tak peduli apa pun yang orang lain katakan.

Pernikahan Liene tinggal sepuluh hari lagi.

Sebelum hari itu tiba, ia harus menemukan cara untuk merebut sang putri kembali.


[Black] "Apa yang terjadi pada tanganmu?"

Saat kembali ke kastil dari Kuil, perjalanan mereka sama dengan saat berangkat. Satu-satunya perbedaan adalah raut wajah Liene yang muram dan tubuhnya yang terasa lemah.

Ketika mereka melewati orang-orang di jalanan, semua tampak bingung. Mereka tidak mengerti mengapa Liene berkuda kembali ke kastil padahal seharusnya ia berada di pemakaman.

Namun, Liene tak mungkin memberitahu mereka bahwa ia tak punya pilihan selain pergi demi menghindari tipuan Lyndon Kleinfelter.

[Liene] "…Hah? Oh… tidak apa-apa. Aku hanya melamun sejenak dan tak sengaja melukai diri jariku dengan gunting."

Dengan kepala yang dipenuhi badai pikiran, Liene menjawab terlambat beberapa detik. Ia benar-benar lupa dirinya terluka sampai Black mengungkitnya.

Menyadari tatapan Black tertuju pada tangannya, ia tersentak dan mencoba menyembunyikan lukanya.

[Liene] "Aku baik-baik saja sekarang."

Setelah diobati untuk menghentikan pendarahan, lukanya hampir tak terlihat. Black pasti memiliki mata yang tajam jika ia bisa melihatnya.

[Black] "Kalau begitu, kau harus membeli gunting baru."

Kata-kata Black membuat Liene terkekeh tanpa sadar. Tak mungkin ia bisa membeli yang baru. Jauh lebih cepat jika ia meminta Nyonya Flambard untuk tidak menajamkan pisau guntingnya lain kali.

[Liene] "Hanya kecelakaan kecil. Bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Aku akan lebih berhati-hati di masa depan."

Liene mengulurkan tangan dan meraih tangan Black saat pria itu kembali membantunya turun. Terlalu mudah untuk melupakan bahwa ia harus berhati-hati di sekitar pria itu setiap kali mereka bersentuhan.

[Liene] "Aku akan masuk sekarang. Terima kasih telah mengizinkanku berkuda bersamamu."

Liene berbalik untuk masuk ke dalam kastil, menundukkan kepala untuk menghindari kontak mata.

Namun Black jauh lebih cepat darinya.

Saat ia mulai berjalan menjauh, ia bersumpah pria itu ada di belakangnya. Namun, entah bagaimana, ia tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Liene.

[Liene] "…?"

Pria ini bisa bergerak lebih cepat dari siapa pun sesuai keinginannya.

[Liene] "Ada sesuatu yang ingin kau katakan?"

[Black] "Ada."

[Liene] "Kalau begitu, katakanlah."

Mata birunya yang pucat berkilau sesaat sebelum ia berbicara.

[Black] "Apakah begitu buruk kau tak bisa menghadiri pemakaman?"

[Liene] "…Aku tidak tahu. Mungkin."

Liene tidak menyadarinya, tapi ia memiliki ekspresi khawatir di wajahnya selama perjalanan kembali ke kastil. Ekspresi Liene yang sangat gelisah tak luput dari perhatian Black.

[Liene] "Aku belum pernah menghadapi hal seperti ini sebelumnya. Aku tidak tahu persis apa akibatnya nanti, tapi aku tahu hasilnya takkan baik, mengingat siapa Lyndon Kleinfelter…."

Liene ragu. Ia tak yakin apakah ide bagus untuk berbicara tentang rakyat Nauk seolah mereka musuh bagi orang luar.

[Liene] "…Ia bukan tipe orang yang akan membiarkan hal semacam ini berlalu."

[Black] "Kalau begitu, aku yang akan mengurus pemakaman."

[Liene] "Apa?" Mata zamrud Liene melebar.

Tapi bagaimana…? Tidak… lebih penting lagi, mengapa?

[Black] "Kita akan mengubah tanggal atau lokasinya jika perlu."

[Liene] "Andai saja itu mungkin… tapi jika Tiwakan melakukan sesuatu…."

Maka mereka akan menggunakan kekuatan barbar. Mengingat betapa rumit situasinya, jelas bukan ide yang baik.

Namun Black sudah menyadari kekhawatiran Liene.

[Black] "Aku tidak berencana menggunakan kekuatan."

[Liene] "Lalu apa yang akan kau lakukan?"

[Black] "Aku tidak tahu, tapi aku akan mencari cara. Beri aku waktu sampai besok."

[Liene] "…."

Bisakah aku mempercayainya? Bisakah aku mempercayai perkataannya?

Semua orang mengatakan ia punya motif tersembunyi. Mereka terus mencoba memberitahunya bahwa bagaimanapun juga ia akan mencoba membalas dendam.

Jadi, mengapa?

Mengapa ia bertindak seolah akan melakukan sesuatu untuknya dengan tulus? Seolah ia khawatir?

Mengapa?

[Liene] "Mengapa kau melakukan ini?" Pada akhirnya, pertanyaan itu terlalu mendesak dan ia bertanya tanpa jeda.

[Black] "Apa maksudmu?"

[Liene] "Aku ingin tahu mengapa kau peduli dengan pemakaman, Lord Tiwakan."

[Black] "Apa ada alasan mengapa aku tidak boleh peduli?"

[Liene] "Pemakaman ini…."

…Terjadi karena kau. Untuk memberikan kedamaian bagi mereka yang kau bunuh.

[Black] "Aku tunanganmu sekarang, Putri."

[Liene] "Lord Tiwakan—"

[Black] "Pertunangan ini membuat semua tanggung jawabmu menjadi tanggung jawabku. Sudah menjadi tugasku untuk memastikan kau aman."

[Liene] "…."

Aku tidak mengerti… Apa sebenarnya yang diinginkan pria ini dariku?

[Liene] "Hanya itu saja?"

[Black] "Kau pikir ada hal lain?"

Itu yang anggapan semua orang.

[Liene] "Apa kau benar-benar melakukan ini hanya untuk memenuhi kewajibanmu sebagai tunanganku? Tidak ada alasan lain?"

[Black] "Mengapa kau—"

Mendengar ucapan Liene, Black hendak menjawab sebelum perlahan mengerutkan kening.

[Black] "Kurasa aku masih belum cukup dekat denganmu, Putri."

Ia tak bisa membantah.

Sejak ia mendengar pesan misterius Weroz, keraguan yang tak henti-hentinya semakin kuat setiap menitnya. Setiap kali Black mengatakan atau melakukan sesuatu, Liene tak bisa melepaskan gagasan bahwa ada makna tersembunyi di baliknya.

[Black] "Apakah akan lebih mudah jika aku mengatakan ada alasannya?"

[Liene] "Lord Tiwakan—"

Black memotong kata-kata Liene, wajahnya kembali ke ekspresi netralnya yang biasa.

[Black] "Kalau begitu, ya, aku punya alasan lain melakukan ini. Jika aku dapat menyelesaikan masalah pemakaman, maka aku ingin kau memberiku sesuatu, Putri."

[Liene] "Sesuatu… dariku?"

[Black] "Apa yang bisa kau tawarkan padaku?"

Itu…

Liene menampilkan ekspresi gelisah. Apa pun yang pria itu inginkan darinya, ia tak bisa memikirkan apa pun yang berharga yang bisa ia berikan.

[Liene] "…Mengingat situasi di Nauk, tak banyak yang bisa kuberikan padamu, Lord Tiwakan. Tapi ketahuilah, keinginanku untuk membalasmu tulus adanya."

[Black] "Kalau begitu, aku ingin apa yang kau tawarkan padaku sebelumnya. Aku ingin pindah kamar."

[Liene] "Kamar…? Maksudmu kamar tidur tempatmu menginap?"

[Black] "Aku ingin kamar di sebelah kamarmu, Putri. Sebagai tunanganmu."

[Liene] "…."

Begitu Liene mendengar kata-katanya, wajahnya memucat.

Kamar yang ia gunakan saat ini adalah tempat tidur penguasa Nauk selama beberapa generasi. Tempat yang tak bisa diakses langsung dari lorong, melainkan dari kamar tidur di sebelahnya.

Mengingat mereka akan memiliki kamar mandi bersama, kedua kamar tidur itu lebih seperti satu kesatuan.

Secara alami, kamar yang telah lama kosong itu selalu ditujukan untuk digunakan oleh suami masa depannya.

[Liene] "Tapi…."

[Black] "Apakah itu masalah?"

[Liene] "…."

Niatnya jelas.

Jika ia pindah ke kamar tidur itu, mereka pada dasarnya akan berbagi satu ruangan. Apa pun yang dilakukan Liene, siapa pun yang ia temui—Black akan menjadi yang pertama mengetahui segalanya.

[Liene] "Begitu kita menikah, kamar itu akan jadi milikmu, tapi untuk saat ini…."

[Black] "Jika kita menunggu sampai pernikahan, maka tidak akan berfungsi sebagai pembayaran."

[Liene] "…."

[Black] "Maukah kau mengizinkannya?"

Liene memejamkan mata sejenak sebelum membukanya lagi.

Baiklah. Jika itu yang ia inginkan.

Ada alasan mengapa kamar-kamar itu dibangun seolah-olah menjadi satu. Untuk menjaga pasangan penguasa Nauk dari tindakan pengkhianatan apa pun.

Jika pria ini berencana menggunakannya sebagai kesempatan untuk mengawasi, artinya Liene juga bisa mengawasinya.

Apa pun niat sejati Black, ia akan mengetahuinya.

[Liene] "Baiklah." Liene mengangguk. "Aku mengizinkannya, selama kau bisa menangani masalah pemakaman. Tapi tolong ingat, aku tidak ingin kau membunuh siapa pun. Aku tidak berharap melihat lebih banyak pertumpahan darah di Nauk."

[Black] "Kalau begitu, aku akan pindah kamar besok."

Black meraih tangan Liene.

Awalnya ia berpikir Black hanya akan memperkuat kesepakatan mereka dengan menggenggam tangannya, namun bibirnya justru menyentuh jari Liene yang terluka.

Baca Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 22 Nyanyian Duka (2) oleh Lee Yuna. Baca Novel Korea Terjemahan.

[Black] "Sampai jumpa besok."

Saat ia merasakan sesuatu menyentuh jarinya, ia merasakan sensasi api menjalari tubuhnya. Ketika Black menyadari Liene menjauh darinya, ia menatap Liene.

[Black] "Jaga tanganmu."

[Liene] "…."

[Black] "Kalau begitu aku undur diri."

Black melepaskan tangannya, mengucapkan selamat tinggal dengan tatapannya alih-alih kata-kata saat ia berbalik dan mulai berjalan pergi.

Apa yang akan ia lakukan…?

Liene hanya bisa berdiri di sana, menatap punggung Black yang menghilang di kejauhan.

Mungkin ini bukan ide bagus.

Bisakah ia benar-benar menyerahkan sesuatu yang begitu penting bagi Nauk padanya? Namun, pada saat yang sama, ia tak bisa menahan rasa antisipasi yang ia rasakan di hatinya.

Seolah gagasan bahwa Black akan gagal sama sekali tak terbayangkan.


[Mashilow] "Ah, Putri?"

Mashilow berada di kantor Raja.

Duduk di meja, ia tampak sibuk dengan sesuatu, namun menjatuhkan pena dengan malu begitu menyadari kehadiran Liene.

[Liene] "Ada apa, Mashilow?"

[Liene] "Bukankah Anda seharusnya berada di pemakaman?"

Jadi kau datang ke sini karena mengira aku masih di luar.

Liene dengan santai melirik ke arah apa yang ditulis Mashilow.

[Liene] "Kleinfelter tidak mengizinkanku masuk karena aku dianggap terlalu tidak sopan. Aku bahkan tidak sempat menginjakkan kaki di Kuil. Tapi yang lebih penting, apa yang sedang kau lakukan di sini?"

[Mashilow] "Oh… yah… aku hanya berpikir kita akan membutuhkan… surat penunjukan ksatria segera…."

[Liene] "Surat penunjukan?"

[Mashilow] "Itu…"

Setiap kali ia mencoba berbicara, Mashilow terus mengalihkan pandangannya dari sang putri. Jelas sekali apa pun yang ia lakukan adalah hal yang tak jujur.

[Liene] "Kau berencana melakukan hal seperti itu tanpa persetujuanku?"

[Mashilow] "Itu… yang diinginkan Lord Kleinfelter…."

[Liene] "…."

Tentu saja. Tak ada seorang pun selain Lord Kleinfelter yang cukup sombong untuk melakukan sesuatu yang begitu lancang.

[Liene] "Berikan padaku."

Saat Liene mengulurkan tangannya, Mashilow dengan malu-malu menggelengkan kepala.

[Mashilow] "Aku berencana menunjukkannya pada Anda setelah selesai karena membutuhkan segelmu, Putri…."

[Liene] "Kalau begitu, aku akan melihatnya sekarang."

[Mashilow] "Tidak, Anda tidak perlu melakukannya…."

[Liene] "Begitukah?"

[Mashilow] "…."

[Liene] "Aku yakin kau pasti mengotori tintanya saat menjatuhkan pena tadi. Kau harus mulai dari awal lagi, jadi sebaiknya kau tunjukkan padaku, sekarang."

Menggigit bibirnya, Mashilow akhirnya menyerah dan menyerahkan surat yang sedang ia tulis.

[Liene] "….Hah."

Setelah membaca dua baris pertama, Liene segera menghela napas.

[Liene] "Lopez Kleinfelter…. Itu nama barunya sekarang?"

[Mashilow] "Putri!" Mata Mashilow dengan cepat melirik kaget. "Apa yang akan Anda lakukan jika ada yang mendengar Anda?"

[Liene] "Ha…"

Liene menghela napas lagi dengan kesal saat Mashilow menyatakan keyakinan bahwa Tiwakan masih tidak tahu Laffit masih hidup.

[Mashilow] "Tolak saja."

[Mashilow] "Putri." Meskipun beberapa saat lalu ia tampak bingung dan kesal, tiba-tiba ekspresi Mashilow berubah serius. "Anda tahu apa yang Anda katakan, bukan?"

[Liene] "Mereka ingin memberinya gelar ksatria, yang pada gilirannya akan memungkinkan Laffit menjadi bangsawan. Apakah aku mengerti dengan benar sejauh ini? Keluarga kerajaan pasti terlihat seperti lelucon bagi Kleinfelter."

Bukan hanya lelucon, tapi juga duri dalam daging yang harus mereka singkirkan.

[Mashilow] "…Tidak bijaksana untuk menolak, Putri." Mashilow sekali lagi mencoba menasihati Liene. "Anda mengatakan sebelumnya kalau Anda bahkan tidak bisa memasuki Kuil untuk pemakaman. Jika Lord Kleinfelter mendengar Anda menolaknya, keadaan akan semakin memburuk."

Ini adalah kenyataan yang terlalu akrab bagi Liene. Ia tanpa sadar mengerutkan kening.

[Liene] “’Memburuk' bagaimana?"

[Mashilow] "Putri."

[Liene] "Apakah ia mengatakan sesuatu yang spesifik? Bagaimana cara dia membuatku membayarnya, jika aku tidak mengakui putra tidak sahnya sebagai anggota keluarganya?"


Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

Join Our Mailing List

bottom of page