top of page

A Barbaric Proposal Chapter 21

Updated: 2 days ago

~Nyanyian Duka (1)~

Saat Liene usai bersiap dan melangkah keluar, Black telah menunggu bersama kudanya, siap bertolak menuju pemakaman.

[Liene]  "Ah…."

Melihatnya berdiri di sana, Liene terpaku.

Mungkin karena sengaja bersiap untuk menemaninya, Black mengenakan busana serba hitam. Tak hanya dia, para prajurit Tiwakan di belakangnya pun demikian. Setiap helai pakaiannya yang hitam pekat seolah menjelaskan mengapa desas-desus mengenai dirinya—bahwa ia telah diabaikan Dewa Kematian dan ditolak bumi—tersebar begitu mudah.

Namun, ketika Black tiba-tiba menoleh dan pandangan mereka berserobok, Liene tanpa sadar mengernyit.

Sungguh tidak adil betapa serasi warna gelap melekat di tubuhnya.

Pikiran semacam itu tidak pantas memenuhi benak sesaat sebelum berangkat ke pemakaman, tetapi Liene tak kuasa menampiknya. Gagasan itu merasuk dalam benaknya.

Pria itu pasti mengenakan zirah hitam saat pertama kali kami bertemu… Mengapa aku tidak pernah menyadarinya sebelumnya?

[Black] "Kau sudah tiba."

Ketika Liene masih berdiri terpaku, Black menghampirinya lebih dulu. Matanya menelusuri leher dan pundak sang putri.

[Black] "Pakaianmu berbeda."

[Liene]  "Nyonya Flambard telah mengecilkan gaunku agar lebih pas di tubuh."

[Black] "…Apakah menjadi lebih yang baik?"

Liene tampaknya tak menyadari reaksinya, namun dalam hati Black pun berpikir betapa serasi warna hitam membalut tubuh sang putri.

Di tengah pikiran yang mengganggu keduanya, seorang tentara bayaran melangkah mendekat, menarik kendali kuda Black. Seekor kuda hitam legam, jauh lebih gagah dari bayangan Liene. Hanya dengan memandangnya, Liene tahu betul siapa pemiliknya.

[Black] "Naiklah." Black mengulurkan tangannya kepada Liene.

[Liene]  "Di kuda ini?"

[Black] "Kau akan berkuda bersamaku."

Liene menggelengkan kepala tipis. "Terima kasih, tapi aku punya kuda sendiri."

Liene tidak yakin sanggup menunggang kuda bersamanya lagi. Ia masih mengingat jelas kejadian terakhir kali. Perasaan itu terlalu membebani. Bukanlah ide baik jika ia sengaja menempatkan diri dalam situasi serupa, terlebih setelah ia mengingatkan diri untuk selalu waspada di sekitar pria itu.

[Liene]  "Aku bisa berkuda sendiri."

[Black] "Kau tidak bisa," jawabnya tegas. "Kita tidak tahu kapan panah akan menyerang lagi. Jika kita terpisah terlalu jauh, aku tak bisa bereaksi dengan cepat."

[Liene]  "…."

Meskipun Liene tahu Laffit adalah pelakunya, penembak panah itu belum diidentifikasi secara resmi. Ia tahu Black takkan pernah menembak panah ke arahnya, namun ia tak bisa mengungkapkan hal itu.

[Liene]  "…Baiklah, jika kau bersikeras." Akhirnya, Liene dengan enggan mengangguk, menyetujui.

[Black] "Aku akan membantumu naik."

Tanpa menunggu Liene mengulurkan tangan, Black merengkuh dan mengangkat sang putri ke atas pelana kuda.

Bahu pria itu masih terluka, mustahil pulih secepatnya. Namun, cara ia mengangkat Liene begitu mudah, seolah sang putri tak berbobot sama sekali. Semakin banyak hal yang Liene ketahui tentang pria ini, semakin ia merasa kebingungan.

[Black] "Ayo berangkat."

Setelah memastikan Liene duduk dengan aman, Black menempatkan diri di pelana kuda dengan gerakan terlatih, semudah bernapas.

Baca Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 21 Nyanyian Duka (1) oleh Lee Yuna. Baca Novel Korea Terjemahan.

Pria yang aneh, batin Liene saat derap tapak kuda menyapu udara.

Pria itu adalah pribadi yang misterius dalam banyak hal. Apa pun yang ia lakukan, Liene tak pernah membayangkan ia akan terlihat canggung. Baik menunggang kuda atau melakukan apa pun, ia selalu melakukannya dengan cekatan seolah tanpa usaha.

[Liene]  "…."

Jika ia membiarkan alur pikirannya berlanjut, Liene pada akhirnya akan teringat betapa mahir pula ia mencium. Maka, ia segera membuang jauh pikiran itu sebelum sempat muncul ke permukaan.

Aku tidak boleh lupa… Aku harus berhati-hati di sekitarnya.

Klip, klop. Klip, klop.

Saat kuda mereka mempercepat langkah, derap tapak kaki yang menghantam tanah semakin nyaring. Sepanjang perjalanan, Liene merasakan pening menyeruak—perasaan lega yang tak terbantahkan tumbuh di dadanya, saat ia merasakan pria misterius menggenggam kendali kuda di sekelilingnya.

Kuil terletak di Bukit Phillyon, persis di utara Kastil Nauk. Liene sudah bisa mendengar suara lonceng duka yang dideringkan para klerus Kuil, menandakan dimulainya upacara pemakaman. Sungguh suara yang pilu dan muram.

[Black] "Tunggu."

Sesampainya di tangga curam menuju pintu masuk, Black meminta Liene untuk tetap di tempat. Namun, sebelum Liene sempat bertanya alasannya, Black lebih dulu turun dari kuda dan mengulurkan lengannya kepadanya.

[Black] "Kau bisa turun sekarang."

Melihat tangan besarnya terulur, Liene menelan ludah gugup.

Mengapa ia begitu baik padanya?

Melakukan hal yang tak perlu jika ia hanya ingin membalas dendam.

Mengapa kau melakukan ini padaku? Mengapa aku?

[Liene]  "…."

Tanpa mengucapkan terima kasih, Liene akhirnya meraih tangan Black.

Namun, tidak berhenti sampai di situ.

Menarik tangan Liene, Black melingkarkan lengannya yang lain di pinggang sang putri dan menariknya mendekat ke dada. Saat ia membantu Liene turun, kaki sang putri dengan hati-hati menyentuh tanah. Perlakuan pria itu membuat siapa pun akan berpikir Liene telah sepenuhnya lupa bagaimana cara berkuda sendiri.

[Black] "Apakah kita harus menaiki semua tangga ini?"

[Liene]  "Ya. Kuil, bagaimanapun juga, tempat suci."

Menaiki tangga adalah bagian dari cara mereka memuja Tuhan. Bahkan keluarga kerajaan Nauk pun tak terkecuali. Namun, perjalanan sulit menuju Kuil adalah salah satu alasan mengapa hanya sedikit orang yang mampu mengunjunginya. Orang sakit atau terluka yang membutuhkan pertolongan tak sanggup menempuh perjalanan itu dan tak pernah berani mencobanya.

Bahkan saat masih kecil, setiap kali ia mengunjungi Kuil, Liene selalu merasakan nyeri hebat di kakinya dan dilanda kelelahan akibat perjalanan menaiki tangga.

[Black] "Kalau begitu, mari kita pergi."

Liene mulai berjalan lebih dulu dengan Black mengikutinya, namun keheningan tidak berlangsung lama. Tepat saat keduanya memulai pendakian tangga curam, bayangan putih tiba-tiba menutupi pandangan mereka.

Mereka adalah pendeta.

Para pendeta bersikeras mengenakan pakaian putih, yang kontras mencolok dengan pakaian duka hitam pekat rombongan Liene.

[Liene]  "Apa yang dilakukan para pendeta di sini…?"

Liene tanpa sadar mengernyit. Perasaannya tidak enak. Turun tangga sama melelahkannya dengan menaiki tangga, sehingga para pendeta berdiri diam tak bergerak.

[Pendeta] "Kami datang menyampaikan pesan dari Kardinal kepada putri keluarga Arsak!"

Tiba-tiba, firasat buruk Liene menjadi nyata. Para pendeta yang bergegas keluar kini berteriak kepadanya.

[Pendeta] "Atas nama Tuhan Nauk yang agung dan Kardinal, Anda dilarang menghadiri pemakaman ini!"

[Liene]  "…?"

Pendeta berteriak cukup jauh, sehingga sejenak Liene mengira ia salah dengar.

[Liene]  "Apa yang baru saja kau katakan?"

[Pendeta] "Selama sang putri bersekutu dengan mereka yang menentang kehendak Tuhan, kami tidak dapat mengizinkan putri Arsak memasuki Kuil! Demikianlah titah Kardinal!"

[Liene]  "Maksudmu tunanganku adalah orang yang menentang kehendak Tuhan?"

[Pendeta] "Tepat sekali."

[Liene]  "…."

Ini bukanlah pesan dari Kardinal, tapi pesan Lydon Kleinfelter. Pria itu bertekad untuk mengisolasi Liene dari semua aspek Nauk.

Liene mendongak—kata-katanya tegas dan tak tergoyahkan. "Aku tidak bisa menerimanya. Minggir!"

[Pendeta] "Kami diperintahkan oleh Kardinal."

[Liene]  "Aku adalah anggota keluarga kerajaan Nauk yang berkuasa."

[Pendeta] "Hanya Tuhan yang dapat mengklaim kekuasaan atas para klerus!"

[Liene]  "Berani-beraninya kau…."

Liene merasakan tangannya terkepal karena terkejut dan marah.

Benar-benar tak bisa dipercaya. Bahkan jika Kardinal bersekutu dengan Lyndon, dengan kantongnya yang menggemuk karena persahabatan itu, ia tak punya hak untuk terang-terangan mengabaikan keluarga Kerajaan Nauk.

[Liene]  "Panggil Kardinal. Katakan padanya untuk mengatakannya langsung di hadapanku."

[Pendeta] "Ia sedang memimpin upacara pemakaman."

[Liene]  "Itu hanya alasan."

[Pendeta] "…Tapi… Kardinal berkata ada cara untuk memperbaiki semua ini."

Begitu kata-kata Liene berubah sengit, pendeta itu, yang ragu sejenak, tiba-tiba mengubah nada bicaranya.

[Pendeta] "Jika Anda, putri Arsak, mengenyahkan mereka yang telah meninggalkan kehendak Tuhan, kami akan mengampuni semua dosa Anda dan menerima Anda sekali lagi sebagai salah satu anak beriman."

Apa yang mereka inginkan darinya sangat sederhana. Berbalik melawan Tiwakan dan patuh dalam diam. Liene begitu marah, ia bisa merasakan telinganya memanas hanya dengan mendengarnya.

[Liene]  "Apakah pembatalan perjanjian pernikahanku yang ia minta? Itukah yang benar-benar diinginkan Kardinal?"

Siapa pun yang memiliki sedikit akal tahu hal permintaan mereka mustahil.

Pasukan Bayaran Tiwakan mengepung kastil selama lima belas hari untuk menekan Sang Putri agar menerima lamaran. Itu saja sudah cukup jelas bahwa pernikahan mereka bukanlah perjanjian yang bisa dibatalkan begitu saja. Tidak mungkin Lyndon Kleinfelter tidak tahu itu.

Ini hanyalah cara untuk membuat semua orang di Nauk menentang Liene.

Jika Liene diusir dari Kuil dan dilarang menghadiri pemakaman, desas-desus akan merebak.

Meskipun Tuhan memberinya keselamatan, Sang Putri yang telah dicuci otaknya justru tunduk pada kehendak monster barbar dan meninggalkan urusan ilahi. 

Mereka akan menganggapnya tidak pantas pada posisinya. Mereka akan melakukan Kudeta.

Pria itu mencoba menganggap semua ini sebagai kehendak Tuhan.

[Pendeta] "Itu yang Kardinal katakan kepada saya untuk disampaikan."

[Liene]  "Kalau begitu, katakan padanya untuk keluar dan berbicara lansung denganku! Ia seharusnya tidak bersembunyi di Kuilnya seperti anjing pengecut!"

Para pendeta membelalakkan mata terkejut saat Liene mengangkat suaranya, tak sanggup menahan diri lagi.

[Pendeta] "Tundukkan kepalamu di hadapan Tuhan, Putri Arsak! Kardinal tidak akan mentolerir ketidaksopanan semacam itu!"

[Liene]  "Siapa yang pertama kali menunjukkan ketidaksopanan…!"

Seluruh situasi ini sama sekali tidak dapat diterima, tak ada kata-kata yang mampu menggambarkannya dengan tepat. Liene melonggarkan kepalan tangannya, lalu mencengkeram kain gaunnya.

[Liene]  "Kalau begitu, izinkan aku bertemu dengannya secara langsung. Kita akan lihat apakah ia mengatakan hal yang sama denganmu."

[Black] "Tunggu."

Namun tiba-tiba, suara berat Black membekukan Liene di tempat.

[Black] "Kau tidak boleh pergi."

[Liene]  "Apa…? Mengapa?"

Dengan sorot mata tajam, Black memandang melewati Liene ke arah para pendeta.

[Black] "Mereka tidak bodoh."

[Liene]  "Ah…" Liene menggigit bibirnya.

Black tidak salah. Bahkan jika Kardinal itu bodoh, ia tahu lebih baik untuk tidak menunjukkan wajahnya seperti ini. Kuil tidak memiliki kekuatan militer yang memadai untuk melawan Tiwakan. Jika mereka benar-benar ingin masuk, tidak akan ada cara untuk menghentikan mereka.

Namun, terlepas dari semua itu, para pendeta berbicara dengan ketidaksopanan yang begitu jelas.

Kecuali mereka bodoh atau punya keinginan untuk mati, mereka tidak akan berani melakukannya.

[Black] "Kurasa mereka mencoba memprovokasi kita."

[Liene]  "Tapi mengapa…."

[Black] "Mereka mungkin ingin kita menyerbu mereka."

Jelas sekali mereka punya niat buruk.

[Liene]  "Tapi… aku harus menghadiri pemakaman. Jika tidak, mereka hanya akan menggunakannya untuk melawanku."

[Black] "Kita akan menyelesaikannya satu per satu. Tapi sampai yakin apa yang terjadi, kau tidak boleh memasuki kuil."

[Liene]  "…."

Black benar.

Menghadapi ketegangan politik yang disebabkan oleh Kleinfelter adalah satu hal, tetapi sebagai pemimpin pasukan tentara bayaran yang tak terkalahkan, ia memiliki pengalaman menghadapi hal yang jauh lebih buruk. Ia tahu apa keputusan taktis terbaik.

[Liene]  "…Baiklah. Akan bijaksana untuk mengikutimu, Lord Tiwakan."

Liene menarik napas dalam-dalam saat berbicara. Berbalik untuk kembali menuruni tangga, ia melirik cepat ke atas bukit. Ia sudah bisa melihat para pendeta kebingungan sendiri karena malu.

Tak dapat disangkal bahwa Lyndon Kleinfelter telah memanipulasi semua ini untuk memprovokasinya. Mengingatnya, membuat kemarahan kembali membuncah dalam dirinya. Pria itu kini secara terang-terangan mencoba merebut kendali Nauk darinya.

Ini tak ubahnya deklarasi perang.

Lalu, apa yang bisa Liene lakukan sekarang?

Setidaknya saat ia menghadapi pengepungan Tiwakan, ia tahu siapa musuhnya. Meskipun sulit, jalannya jelas.

Tapi sekarang ia tidak tahu siapa yang bisa ia percaya.

[Black] "Hati-hati."

Gagasan-gagasan yang rumit dan berliku mengalihkan perhatiannya dari salah satu anak tangga batu yang bergeser. Saat Liene merasakan dirinya tersandung, Black dengan cepat merengkuhnya.

[Liene]  "Oh… maafkan aku… aku menunduk, jadi aku tidak melihat jalan."

[Black] "Tidak apa-apa. Aku melihatnya."

[Liene]  "…."

Apakah pria ini musuhnya atau bukan?

Liene berharap ia tahu pasti.

Black tidak ingin ia jatuh dan tidak ingin ia terluka, tetapi semuanya semakin membuatnya kebingungan.

Apakah wajar jika balas dendam terasa semanis ini?

Lucu sekali pikiran seperti itu muncul di benaknya.


[Lyndon] "Sialan!"

Bersandar di pagar balkon yang menghadap pintu masuk kuil, Lyndon Kleinfelter menunduk dan memutar bibirnya karena kesal.

[Lyndon] "Mereka tidak terpancing. Ular-ular kecil yang cerdik."

Mengambil posisi di samping pamannya, Laffit Kleinfelter berbicara.

[Laffit] "…Tapi baguslah. Jika Putri Liene meninggal, Kleinfelter akan menjadi yang pertama menghadapi kemarahan Nauk."

Laffit, yang kini dikenal sebagai Lopez Kleinfelter, menatap ke arah pintu masuk dengan ekspresi khawatir di wajahnya.

Di puncak tangga Kuil tampak seperti ketapel dengan batu besar yang terikat secara tidak aman—sesuatu yang jelas-jelas tidak seharusnya ada di sana.

[Lyndon] "…."

Lyndon menatap keponakannya, memutar bahunya ke arahnya.

[Lyndon] "Kau serius? Kita melewatkan kesempatan besar untuk membunuh pemimpin suku barbar itu dalam satu serangan."

Setelah Tiwakan terpancing dan mencoba menyerbu Kuil secara paksa, ia berencana melepaskan batu besar itu dan menggelindingkannya menuruni tangga. Semua orang akan hancur hingga mati atau mereka akan terpaksa melompat ke sisi tebing untuk melarikan diri.

Tentu saja para pendeta dan Putri Liene juga akan binasa, tetapi Lyndon sama sekali tidak peduli.

[Laffit] "Kau tidak bisa menyangkalnya. Putri Liene dicintai oleh rakyat Nauk, jadi membunuhnya secara sembarangan sangat tidak bijaksana."

[Lyndon] "Kau bodoh… Jangan-jangan kau masih mencintainya? Wanita jalang kotor itu?"

[Laffit] "Jaga ucapanmu, paman."

Pria itu, yang dulunya adalah putra tertua kini memiliki nama baru, menyipitkan matanya. Kilatan kemarahan biru melintas di wajahnya seperti pisau.

[Laffit] "Aku tidak akan membiarkan siapa pun berbicara buruk tentang Putri Liene di depanku. Tidak setelah apa yang ia lakukan untuk menyelamatkanku."


Commentaires

Noté 0 étoile sur 5.
Pas encore de note

Ajouter une note

Join Our Mailing List

© Crystal Zee
bottom of page