top of page

A Barbaric Proposal Chapter 23

Updated: 2 days ago

~Nyanyian Duka (3)~

Mashilow enggan menjawab pertanyaannya, memang sudah sewajarnya. Ada batas antara memberi nasihat sinis pada Liene dan terang-terangan mengungkap kekejaman Kleinfelter. Mashilow tidaklah sekurang ajar itu.

[Mashilow] "Membuat Anda membayar? Saya tidak bermaksud begitu."

[Liene] "Tidak? Apa hanya imajinasiku kalau kau mengatakan segalanya akan 'memburuk'?"

[Mashilow] "Saya hanya bermaksud mengatakan Lord Kleinfelter akan kecewa."

[Liene] "Kecewa sampai ingin melukai keluarga kerajaan?"

[Mashilow] "Melukai? S-saya tidak pernah mengatakan itu."

[Liene] "Mudah saja bagimu bicara, Tuan. Kata-kata tak meninggalkan jejak usai terucap, terlalu mudah untuk disangkal saat menguntungkanmu."

[Mashilow] "…Uhuk." Kehilangan kata-kata, Mashilow hanya terbatuk canggung.

[Liene] "Tapi kuperingatkan sekarang. Meski tak berjejak, kau tak bisa menarik kembali ucapanmu begitu meludahkannya."

[Mashilow] "…."

Mashilow memilih bungkam. Ia tak bisa menyangkal kebenaran ucapan Liene, namun tak berarti dunia akan berputar sesuai kehendak sang putri. Nauk telah disesuaikan agar sesuai selera para Kleinfelter. Liene tahu hal itu lebih baik dari siapa pun.

[Mashilow] "Saya akan menulis ulang surat penunjukannya."

[Liene] "Kalau begitu, tolong sampaikan pada mereka bahwa aku takkan menyetujuinya semudah itu."

Suara Liene terdengar kuat dan tegas, namun jelas tersirat letih. Ia lelah terus-menerus harus memenuhi tuntutan Kleinfelter, sebuah keadaan yang sudah terlampau ia biasakan.

Lyndon Kleinfelter takkan pernah menyerah mengembalikan status Laffit sebagai bangsawan dan ksatria. Untuk saat ini, langkah terbaik adalah mengikuti nasihat Mashilow, mencari imbalan dari mereka sebelum mereka melampiaskan kekerasan.

[Liene] "Tanyakan pada Lord Kleinfelter berapa banyak utang keluarga kerajaan yang bersedia ia ampuni. Kita akan lihat seberapa besar ia menghargai status putranya."

[Mashilow] "…."

Mashilow tampak bingung, namun akhirnya mengangguk.

[Mashilow] "Pergilah sekarang."

[Liene] "Segel Anda…."

[Liene] "Tidak sampai ia menyetujui syaratku."

[Mashilow] "…Baiklah, Putri."

Dan kemudian Mashilow pergi.

[Liene] "Hah….."

Usai itu, Liene menghela napas panjang dan berat.

[Liene] "Satu lagi rahasia untuk disimpan."

Situasi tadi seolah sengaja memancing kesalahpahaman Tiwakan. Tak hanya Laffit tiba-tiba muncul di kamarnya dan bersembunyi, kini ia pun berusaha diangkat kembali sebagai ksatria resmi. Pria itu mungkin akan berpikir Liene mencoba menjaga cinta lamanya dekat-dekat.

[Liene] "Aku merasa tidak enak."

Dan entah mengapa, Liene tak menyukainya. Jika Black entah bagaimana sampai pada kesimpulan ia masih terjerat dengan Laffit, rasanya aneh, seolah ia dituduh melakukan sesuatu.

[Liene] "…Gagasan tak berarti."

Liene menggelengkan kepalanya dengan getir di matanya.

[Liene] "Aku terdengar seperti seseorang yang takut ketahuan berselingkuh. Padahal sama sekali buka begitu."

Lebih penting lagi, sebaiknya pikirkan bagaimana Black akan menangani pemakaman sesuai janjinya.

[Liene] "Semoga tak ada darah yang tertumpah malam ini…."

Kemudian, di larut malam… berita itu sampai padanya.

Tak ada darah yang tertumpah, namun ada kecelakaan.

[Liene] "…Apa yang baru saja kau katakan?"

Liene terpaku mendengar kabar yang dibawa para pengawal, bibirnya sedikit terbuka karena terkejut.

Saat itu larut malam, bulan terselubung kabut biru, namun anehnya lonceng yang seharusnya berdentang hingga tengah malam tak terdengar. Padahal sudah saatnya makam-makam ditutup tanah dan Tuhan seharusnya turun menjemput jiwa-jiwa yang meninggal.

[Pengawal] "Yah… Awalnya kami pikir bukan masalah besar."

Namun rantai yang menyangga lonceng di menara putus. Mustahil putus karena karat. Meskipun sudah tua, para pendeta merawatnya dengan sangat hati-hati setiap hari.

Terlepas dari itu, kecelakaan tersebut akhirnya menyebabkan sedikit kekacauan. Semua orang yang mampu segera bergegas ke menara, berkata mereka perlu menggantung lonceng kembali sebelum bisa melanjutkan pemakaman.

Namun pemakaman tetap berlangsung. Kardinal memberi perintah untuk melanjutkan penguburan. Yang tersisa hanyalah membawa peti mati dari Kuil ke pemakaman.

[Pengawal] "Tapi kemudian…."

Saat ia berbicara, ada ekspresi di wajahnya yang menunjukkan ketidakpercayaan.

[Pengawal] "Kemudian sebuah batu jatuh dari langit…."

[Liene] "Apa?"

[Pengawal] "Saya juga tidak percaya, tapi itulah klaim para saksi. Sebuah batu besar menggelinding turun dan… yah… menghancurkan tangga menuju Kuil."

[Liene] "…."

Liene pun tak bisa memercayainya.

Ia tak tahu bagaimana caranya, namun ia tahu Black yang melakukannya. Ia tak melukai siapa pun… tapi malah menghancurkan jalan ke kuil.

Satu-satunya jalan menuju Kuil adalah melewati jalan Tuhan, tangga curam di tebing. Karena itu, Kuil benar-benar terisolasi. Tak ada jalan lain yang bisa mereka tempuh untuk membawa jenazah ke pemakaman.

Artinya, pemakaman perlu ditunda. Setidaknya sampai tangga bisa dibangun kembali.

[Liene] "Itu… tidak masuk akal."

Pada kenyataannya, batu besar itu adalah sisa dari tipuan Lyndon Kleinfelter. Jika Liene tahu itu, ia mungkin akan tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Namun meskipun tidak, ia tetap merasa sangat lega.

[Pengawal] "Tentu saja tidak masuk akal, Putri."

Sang Komandan baru dengan canggung menyapu dahinya.

[Pengawal] "Sekarang semua orang khawatir Tuhan marah kepada Kardinal karena mencoba melakukan sesuatu yang begitu menghujat."

[Liene] "Benarkah?"

[Pengawal] "Ya, Anda harus melihat para pendeta, Putri. Mereka melompat-lompat, mengklaim bahwa murka Tuhanlah yang membawa tragedi seperti itu menimpa mereka pada hari yang sama saat pemakaman."

Liene cepat-cepat menutup mulutnya.

Meski sang kapten baru tak menyadari apa pun, Weroz pasti akan langsung mengenali tanda senyum tipis di wajah Liene.

[Pengawal] "Dan… Ada juga desas-desus yang beredar bahwa itu karena Anda tidak diizinkan menghadiri pemakaman, Putri."

[Pengawal] "Oh…."

Dan kemudian tawa yang coba ditahan Liene tiba-tiba meledak.

[Pengawal] "P, Putri…?"

Sang kapten menundukkan kepala, mulutnya sedikit ternganga saat ia melihat bahu Liene yang bergetar.

Oh… Apa yang ia lakukan? Bagaimana ia bisa melakukan ini?

Apakah ia meminta bantuan penyihir atau semacamnya?

Hal yang paling melukai hati Liene dari situasi itu adalah ia tak bisa secara pribadi menghibur keluarga yang kehilangan saat pengepungan. Belum pernah seorang bangsawan yang berkuasa mengabaikan rakyat yang mengorbankan hidup demi mereka. Ini seharusnya menjadi kesempatan terbaik untuk memecah belah rakyat Nauk melawan Liene.

…Namun entah bagaimana semua itu justru menjadi kesalahan Kardinal. Tak ada satu pun desas-desus yang dialamatkan pada Liene. Semua berkat usaha Lord Tiwakan…

[Pengawal] "Mereka mengatakan Tuhan marah… tapi Anda tampak cukup senang, Putri…."

Sang kapten bergumam dengan ekspresi bingung di wajahnya.

[Liene] "Tuhan hanya marah atas namaku."

[Pengawal] "Apa?"

[Liene] "Kardinal yang mencegahku menghadiri pemakaman."

[Pengawal] "Oh. Apakah artinya apa yang mereka katakan benar?"

[Liene] "Ya. Kita harus memperjelas kabar itu. Atas nama Penjaga Kastil Nauk, umumkan di alun-alun besok pagi."

[Pengawal] "Tentu saja, Putri."

Liene kembali berbicara dengan senyum licik di wajahnya.

[Liene] "Mereka akan membutuhkan banyak uang untuk membangun kembali tangga-tangga itu. Kira-kira apa yang akan dilakukan Kardinal."

[Pengawal] "Hah? Yah… untuk konstruksi mereka pasti membutuhkan banyak uang. Tapi… bukankah akan sangat membebani?"

[Liene] "Tepat sekali."

Aku bertanya-tanya… Akankah Lyndon Kleinfelter memberi Kardinal semua uang yang dibutuhkan?

Liene tak tahu persis berapa yang dibutuhkan, namun tak diragukan lagi, pasti jauh lebih banyak dari apa yang sudah diterima Kardinal dari Lyndon. Ia mungkin tak punya pilihan selain menundukkan kepala di Kastil dan memohon bantuan.

[Liene] "Terima kasih atas kabar baiknya. Kau diizinkan pergi."

[Pengawal] "Baiklah, Putri. Selamat malam."

Sang Komandan berlutut di depan Liene, menunjukkan rasa hormat sebelum cepat-cepat pergi.

Saat ia duduk sendirian di kantor, semuanya setenang malam yang pekat, bulan biru yang sama kini terlihat.

[Liene] "Syukurlah aku tidur larut."

Jadi aku bisa mendengar kabar baik ini.

Saat ia berbisik pada dirinya sendiri, Liene menyadari sesuatu.

Kapan terakhir kali ia merasa sebaik ini? Pasti sudah lama sekali. Bahkan sejak sebelum pengepungan Tiwakan di kastil, ia tak bisa mengingat kapan terakhir kali ia mendengar sesuatu yang patut disyukuri.

…Aneh.

Aneh rasanya bahwa Black yang membuat kabar baik luar biasa terjadi setelah sekian lama.

Tepat setelah Liene bersiap untuk tidur dan duduk di bawah selimutnya, ia mendengar suara.

Ketuk… ketuk.

Ketukan canggung dan pelan di pintunya.

[Liene] "Apa… Apa ada orang di sana?"

Awalnya, ia mengira salah dengar.

Ragu sejenak, Liene menarik selimutnya dan menuju pintu. Ketika ia menempelkan telinganya ke pintu, ia mendengarnya lagi—sama pelannya seperti sebelumnya.

Tap, tap.

[Liene] "…."

Terdengar seperti seseorang menahan napas juga. Seolah orang yang mengetuk sebenarnya tak berharap ia menjawab.

…Pasti dia.

Berpikir begitu, tangan Liene sudah memegang kenop pintu.

[Liene] "…Ah."

Terlintas di benaknya bahwa ia mungkin tak seharusnya membuka pintu, namun sebelum ia sempat menghentikan diri, pintu sudah terbuka dan Black berdiri tepat di depannya.

[Liene] "Mengapa… selarut ini…?"

Liene berbisik tanpa sadar, kata-katanya menghilang begitu saja.

[Black] "Bisakah aku masuk?"

[Liene] "Kau…."

Ia hendak mengatakan bahwa pria itu tidak bisa masuk, namun tiba-tiba kakinya mundur seolah memberinya ruang untuk masuk.

[Black] "Terima kasih."

Tak melewatkan kesempatan, Black dengan cepat bergerak melalui celah yang diciptakan Liene saat ia melangkah mundur.

Klik.

Pintu tertutup di belakangnya.

[Liene] "Apa yang membawamu kemari… selarut ini?"

Liene menelan ludah saat berbicara.

Awalnya gelap sehingga ia tak menyadarinya, namun Black tidak berpakaian seolah ia akan mengunjungi kamar seseorang. Dan entah mengapa, meskipun ia mengira itu debu pada awalnya, pakaiannya tertutup tanah dan dan kotoran.

Mungkin ia baru saja kembali ke kastil?

Apakah ia langsung datang ke kamarku tanpa memeriksa penampilannya?

[Black] "Aku ingin memberitahumu kalau semuanya sudah beres."

[Liene] "…."

Aku sudah dengar.

[Black] "Kardinal akan menghubungimu besok. Aku tak meninggalkan jejak keterlibatan, jadi jangan khawatirkan apa yang ia katakan."

[Liene] "…Baiklah. Aku mengerti."

[Black] "Dan ada sesuatu yang rusak sehingga akan membutuhkan biaya perbaikan. Jangan khawatir juga tentang itu. Aku akan mengurusnya."

[Liene] "Baiklah."

[Black] "Dan menurutku, kau yang harus berbicara dengan Kardinal. Itu akan lebih baik."

[Liene] "Aku setuju."

[Black] "Dan… itu saja."

Black terdengar tidak nyaman secara tak terduga, lalu tiba-tiba mengerutkan kening.

[Black] "Tidak cukup."

[Liene] "Tidak… cukup?"

[Black] "Waktu."

[Liene] "…?"

[Black] "Aku punya banyak hal yang perlu diurus sebelum sampai di sini. Aku pasti menghabiskan lebih banyak waktu di tebing daripada yang aku kira."

[Liene] "Tebing…?"

Entah bagaimana, Liene merasa ia tahu apa yang Black bicarakan.

Ia berbicara tentang tebing di belakang Kuil. Mengingat apa yang ia lakukan, ia tak mungkin melewati tangga.

Ia pasti memanjat tebing yang sangat curam untuk mematahkan rantai yang menahan lonceng. Lalu, saat semua perhatian teralihkan, ia mungkin menyiapkan batu besar yang ia gunakan untuk memecahkan tangga.

Dan karenanya ia begitu berantakan sekarang.

[Black] "Aku berencana tinggal di sini hingga fajar untuk bicara denganmu… tapi sekarang tak ada cukup waktu."

Berbisik hampir pada dirinya sendiri, Black tiba-tiba mengganti topik pembicaraan.

[Black] "Artinya aku sudah bisa menggunakan kamar di sebelah mulai sekarang?"

[Liene] "Itu…."

Ia tak menyangka Black akan menyelesaikan semuanya begitu cepat.

Langkah.

Sebelum ia bisa menjawab, Black melangkah lebih dekat.

[Black] "Bisakah aku menyentuhmu?"

[Liene] "Di mana…?"

[Black] "Di mana saja tak masalah. Di mana pun yang kau izinkan."

Langkah.

Saat ia semakin dekat, wujudnya menjadi lebih jelas dalam pandangan Liene berkat lilin kecil yang menyala di samping tempat tidurnya.

Dan saat itulah ia menyadari tangan yang hendak diletakkan di pipinya juga tertutup kotoran.

Baca Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 23 Nyanyian Duka (3) oleh Lee Yuna. Baca Novel Korea Terjemahan.

[Liene] "Oh, tunggu…."

Liene memalingkan kepalanya untuk menghindari tangan Black.

[Black] "…Ah."

Begitu ia melihat tangannya sendiri dalam cahaya lilin, Black menyadari tangannya kotor.

[Black] "Kau tak ingin disentuh tangan kotorku."

[Liene] "Bukan begitu."

Saat Black mencoba menarik tangannya, Liene meraih pergelangan tangan Black dan membimbingnya lebih dekat ke lilin. Di sana, punggung tangannya terlihat jelas.

[Liene] "Kau terluka."

[Black] "…?"

Jelas Black sendiri tidak menyadarinya. Dari ekspresi terkejut di wajahnya, sepertinya ia baru menyadari luka panjang di punggung tangannya.

[Liene] "Apakah terluka saat memanjat tebing?"

[Black] "Aku tidak tahu."

[Liene] "…."

Melihatnya berlumuran tanah dan darah membuat hatinya terasa terganggu. Demi membawakan kabar yang membuatnya paling bahagia setelah sekian lama, ia melukai diri seperti ini.

Ia terluka. Ia kotor.

Apa yang harus kukatakan padanya?

Ia bahkan sempat berpikir bahwa akan adil jika Black benar-benar membalas dendam… asalkan ia tidak menyimpan niat buruk terhadapnya.

Liene tahu betapa konyolnya pikiran itu. Sesuatu yang hanya bisa dipikirkan oleh Putri Nauk.

…Semoga saja itu hanya rumor. Semoga Laffit dan Weroz salah.

Kumohon.

[Liene] "Kemarilah. Aku harus membersihkan lukamu dulu."

Liene meraih pergelangan tangan Black dan mulai membimbingnya menuju kamar mandi yang bersebelahan dengan kamar tidur.

[Black] "Sebelum itu...."

Black membiarkan Liene memegang dirinya, namun tidak bergerak untuk mengikuti. Sebaliknya, ia berdiri diam tak bergerak dan dengan keras kepala mengajukan pertanyaan.

"Aku ingin jawaban darimu."

Ia bertindak seolah jawabannya lebih penting dari apa pun. Seolah tak ada yang bisa dilakukan sampai ia mendengar jawabannya.

[Liene] "Jawaban?"

[Black] "Bisakah aku menggunakan kamar sebelah mulai sekarang?"

Tentu saja. Itu bayaran yang mereka sepakati.

[Liene] "Tentu saja."

[Black] "Satu pertanyaan lagi."

Liene menunggunya berbicara lagi.

[Black] "Bisakah aku menyentuhmu?"

[Liene] "…."

Mengapa ia terus bertanya begitu?

[Black] "Setelah tanganku bersih, tentu saja."

[Liene] "…Setelah lukamu diobati, lebih tepatnya."

[Black] "Baiklah."

Baru setelah itu Black mengikutinya.


Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

Join Our Mailing List

© Crystal Zee
bottom of page