A Barbaric Proposal Chapter 15
- Crystal Zee
- 19 Mei
- 9 menit membaca
Diperbarui: 25 Mei
~Jangan Bergerak~
"Hmm... Lebih baik dari yang kuduga."
Begitulah komentar Nyonya Flambard, wanita terhormat yang setia pada Kerajaan Nauk, saat ia membuka peti kayu tua yang tertutup debu usang.
"Ya, aku juga berpikir begitu," jawab Liene, matanya tertuju pada peti.
Liene membawa Nyonya Flambard ke salah satu gudang penyimpanan kerajaan. Di antara barang-barang lama, ada sebuah peti berisi pakaian milik mendiang ayahnya, Raja sebelumnya. Liene telah menjual sebagian besar perhiasan dan barang berharga untuk menghidupi kerajaan yang sekarat, tetapi beberapa barang memang sengaja atau tanpa sadar ia simpan, tak tersentuh oleh kesulitan. Dan jubah pengantin ayahnya adalah salah satunya.
[Liene] "Sulaman ini masih utuh."
Liene menjalankan ujung jari-jarinya di atas jubah yang masih memancarkan kejayaan masa lalu, merasakan benang perak dan emas yang terjalin indah.
"Tapi bagaimana pakaian ini bisa bertahan? Bukankah sebagian besar barang-barang Raja sebelumnya sudah... dialihkan?" Nyonya Flambard bertanya dengan lembut, menggunakan kalimat yang lebih halus daripada kenyataan bahwa Liene harus menjualnya karena tidak punya uang.
Liene tersenyum tipis. "Aku merasa sayang pada jubah ini. Pembuatannya sangat indah, dan juga... ada beberapa kenangan baik yang melekat..." Ia menghentikan perkataannya, dahi mengerut. "Oh, tunggu sebentar?"
Liene memiringkan kepala, kebingungan menyelimutinya saat ia bicara. Ia selalu berpikir bahwa ini adalah jubah pengantin ayahnya. Tapi... bagaimana mungkin ia masih ingat ayahnya mengenakan jubah ini di hari pernikahannya? Bukankah seharusnya ia terlalu kecil atau bahkan belum lahir? Liene menatap Nyonya Flambard dengan ekspresi bingung.
[Liene] "Bukankah ini... jubah pengantin?"
[Nyonya Flambard] "Terlihat serupa, Yang Mulia, tapi saya ingat Baginda Raja mengenakannya di hari yang berbeda."
[Liene] "Kapan?"
[Nyonya Flambard] "Mungkin saat upacara penobatan. Pakaian semegah ini hanya dikenakan pada acara yang sangat istimewa."
[Liene] "Penobatan... Jadi, ayahanda dinobatkan setelah aku lahir?"
[Nyonya Flambard] "Benar sekali, Yang Mulia."
[Liene] "Ah, jadi begitu."
Mungkin ia menyimpannya tanpa sadar, sebagai kenangan dari momen penting ayahnya. Liene kembali menyentuh kain jubah itu, yang masih terlihat indah bahkan hingga kini. Sulaman perak yang rumit masih berkilauan mempesona di bawah cahaya remang-remang gudang.
[Liene] "Hiasan kancingnya juga masih sama."
Kancing-kancing yang dibuat dari perpaduan mutiara dan rubi, disilangkan dengan indah, masih utuh di tempatnya. Liene merasa beruntung bahwa ia sempat melupakan keberadaan jubah ini. Jubah semacam ini... akan sangat sempurna untuk diubah menjadi jubah pernikahan.
[Liene] "Aku rasa hanya perlu disesuaikan sedikit agar pas dengan ukuran Lord Tiwakan."
[Nyonya Flambard] "Jika dicuci dan disetrika dengan bersih akan terlihat seperti baru."
Untungnya, Nyonya Flambard bersikap positif mengenai perbaikan pakaian ini. Liene berbicara kepadanya dengan hati yang agak menyesal namun penuh rasa terima kasih.
[Liene] "Aku pikir Nyonya akan marah."
[Nyonya Flambard] "Saya? Mengapa?" Nyonya Flambard mengerutkan kening.
[Liene] "Ya. Aku memberikan pakaian berharga kepada seseorang yang... tidak cocok untukku." Liene merujuk pada Black, tunangannya dari Tiwakan yang datang dengan paksa.
[Nyonya Flambard] "Yah, mengucapkannya... akan melukai lidahku jika diucapkan dua kali," Nyonya Flambard menjawab, matanya menatap gaun dengan kepahitan.
[Nyonya Flambard] "Tapi... Meskipun saya bilang pernikahan ini tidak akan berhasil, pernikahan tetap akan terjadi. Bagaimanapun, ini adalah pernikahan Tuan Putri Kerajaan Nauk, jadi kita harus melakukan apa yang perlu dilakukan, dengan martabat yang tersisa. Daripada melihat orang-orang biadab itu—" ia merujuk pada Tiwakan dengan nada mencemooh, "—yang tidak tahu apa-apa soal etiket memakaikan pengantin pria dengan dengan pakaian yang tidak pantas, ini jauh lebih baik. Meskipun di dalam hati, saya merasa seperti seorang yang tidak berguna karena membiarkan keadaan ini, setidaknya saya harus membuat penampilan Tuan Putri tetap mulia."
Liene tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahu Nyonya Flambard, merasa terhibur oleh ketulusan dan cinta wanita tua itu. "Mendengarnya membuatku ingin menangis," bisiknya lirih.
"Hah? Apa aku salah bicara, Yang Mulia?" Nyonya Flambard tampak terkejut.

[Liene] "Tidak, aku hanya... senang mendengarnya."
Mendengar bahwa masih ada yang peduli pada penampilannya, pada martabat kerajaannya yang terkoyak.
[Nyonya Flambard] "Oh astaga, ada-ada saja. Apa yang barusan saya katakan... Anda ini, Yang Mulia."
Nyonya Flambard tersipu dengan canggung, namun tangannya membelai rambut Liene dengan lembut. Liene bisa merasakan betapa Nyonya Flambard sangat peduli padanya dari setiap kata dan gerakannya.
[Liene] "Mungkin dia bukan orang yang begitu buruk," gumam Liene, memikirkan Black.
Nyonya Flambard, yang dengan tenang menyisir rambut Liene dengan jari-jarinya, hanya mendengarkan cerita sang Putri.
[Liene] "Tentu, awalnya sangat buruk. Aku tahu itu, tapi... entah mengapa aku sesekali merasa dia tidak memperlakukanku seburuk itu."
Justru, orang yang selama ini ia pikir adalah penindasnya (Keluarga Kleinfelter, terutama Laffit dan Lyndon) menjadi semakin jelas sifat aslinya yang hina. Dan Black... rasanya Liene semakin memahami pria itu. Ia benar-benar berpikir Black telah berubah, atau mungkin memang aslinya begitu, hanya saja situasinya yang buruk.
[Liene] "Jika aku tampak terluka, dia peduli..."
Liene mengingat kembali kejadian di puri Kleinfelter. Ia mungkin tidak akan pernah melupakan apa yang pria itu lakukan pada mulutnya hari ini, mencoba menemukan luka, dengan cara yang begitu asing namun... tak bisa ia benci.
[Liene] "Dia mungkin terdengar kasar, tapi... sebenarnya tidak," Liene mengakui kebingungannya pada dirinya sendiri.
Jadi, Liene sebenarnya tidak membencinya, perasaannya rumit. Ia tidak berpikir seharusnya merasa seperti ini, tapi terus saja terjadi.
[Liene] "Hari ini... aku berterima kasih padanya karena sudah datang menjemputku..."
Liene diam-diam menelan emosi yang bergejolak di dalam dirinya.
Nyonya Flambard adalah orang yang paling dekat dengannya, tapi ia tidak ingin wanita tua itu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi hari ini, dirinya dipaksa menikah dan diperlakukan seperti objek. Jika ia tahu, wanita baik dan lembut ini akan jauh lebih terkejut daripada dirinya.
[Liene] "...Aku merasa lega," Liene menghela napas.
[Nyonya Flambard] "Kalau begitu, dia bisa mengenakan pakaian ini," Nyonya Flambard menepuk bahu Liene dengan penuh kasih sayang. "Dan sebenarnya, dia memang enak dipandang. Walaupun sifatnya perlu dipertanyakan."
Kata-kata terakhir itu membuat Liene tertawa terbahak-bahak. "Apakah artinya dia tampan?" Ia tahu Nyonya Flambard tidak akan pernah mengatakan hal seperti itu tentang Laffit Kleinfelter atau pria dari keluarga Kleinfelter lainnya.
[Nyonya Flambard] "Mengapa Anda bertanya lagi? Ya, memang begitu adanya. Apa ada hukum yang mengatakan bahwa semua orang barbar tidak boleh terlihat rupawan?" Nyonya Flambard mendengus geli.
...Yah, dia memang tampan. Ketika Liene pertama kali melihatnya, ia tidak ingin percaya betapa menariknya penampilan pria itu.
[Nyonya Flambard] "Pakaian ini akan sangat cocok untuknya."
[Liene] "Ya... aku juga berpikir begitu," Liene setuju, membayangkan Black mengenakan jubah kerajaan sang ayah.
Liene dan Nyonya Flambard saling pandang dan tersenyum, sejenak melupakan kesulitan yang menghadang.
[Liene] "Kalau begitu, aku akan mencari tahu ukuran tubuhnya."
[Nyonya Flambard] "Baiklah, aku akan mulai memperbaiki jubah ini sekalian dengan pakaian berkabung Yang Mulia."
[Liene] "Setelah ini aku akan ikut membantumu Nyonya."
[Nyonya Flambard] "Seperti yang Anda inginkan, Yang Mulia."
Liene kemudian pergi mencari Black untuk mengukur pakaiannya, hatinya masih berdebar memikirkan momen-momen bersama tadi.
Saat itu, Black berada di ruangan tempat ia menginap bersama para bawahannya. Tidak banyak orang bersamanya, hanya sekitar tiga atau empat pria kekar, tapi karena tubuh mereka semua besar, ruangan itu terasa sempit. Bahkan di antara para pria besar, Black tetap menonjol. Ia yang tertinggi, dan anehnya, ia tidak terlihat besar seperti yang lain; ia terlihat ramping dan gagah, proporsional. Mungkin karena itu ia terlihat berbeda dari para pengikutnya...
Liene teringat kata-kata Nyonya Flambard tentang bagaimana Black rupawan, "enak dipandang". Mungkin karena dia berbeda dari orang-orang di sekelilingnya. Karena dia satu-satunya yang ... Mempesona.
"Ada urusan apa denganku?" Black bertanya pada Liene, tatapannya lurus ke arahnya. Liene baru sadar bahwa ia sedari tadi hanya menatap Black.
"...Oh, ya. Mari kita bahas sejenak mengenai pakaian pernikahan," Liene tergagap, tersipu karena tertangkap basah.
Black mengangguk sedikit pada Liene, lalu berbicara kepada para bawahannya. "Keluarlah."
"Baik, Tuanku." Perintahnya diucapkan dengan singkat dan dipatuhi dengan cepat.
Tidak ada keperluan untuk mengeluarkan mereka, tapi Black bersikeras mengusir orang-orangnya. Liene tidak menyadari bahwa itu adalah sebuah perhatian darinya, karena ia tahu Liene masih merasa tidak nyaman dengan para prajurit Tiwakan.
Kedua insan itu kini hanya berdua saja... Yang lebih mengganggunya adalah kenyataan bahwa mereka kembali ditinggalkan berduaan. Entah mengapa, ruangan ini terasa seperti tempat di mana ia harus terus-menerus berciuman dengan Black.
"Bicaralah." Black menunjuk kursi kosong di depan ranjang.
Liene duduk, berhadapan dengannya. Black tidak berbaring, tetapi duduk di tepi ranjang, kemejanya setengah terbuka, mungkin untuk memamerkan luka-lukanya... Atau mungkin ia hanya belum selesai berpakaian? Pasti dia tidak melakukannya dengan sengaja. Dia tahu bagaimana penampilannya terlihat... Pasti tidak. Bagaimanapun juga, terlalu berlebihan untuk dipikirkan.
Liene menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran-pikiran yang tidak pantas itu, dan mulai berbicara. "Aku akan menyiapkan pakaian pernikahan untukmu. Mungkin tidak cukup untuk disebut sebagai hadiah kerajaan, tapi ini adalah isyarat terbesar yang bisa kuberikan saat ini."
"Kau tidak perlu memaksakan diri terlalu keras," Black menyela, suaranya tenang.
"Ini... tidak banyak," Liene menjawab, mengakui keterbatasan kerajaannya.
Sekalipun ia menginginkan, tidak ada yang bisa ia lakukan. Perbendaharaan benar-benar kosong, bahkan setelah uang dari Tiwakan masuk, sebagian besar sudah dialokasikan untuk utang. Setelah pemakaman besok, Liene akan menjadi jauh lebih miskin lagi.
[Liene] "Daripada membuat sesuatu yang baru, saya ingin Tuan mengenakan pakaian upacara penobatan mendiang Raja."
[Black] "..."
Ada keheningan singkat setelah kata-katanya terucap. Liene menahan napas, khawatir Black tidak setuju.
[Liene] "Jika kebetulan kau tidak setuju..."
[Black] "Itu tidak akan terjadi." Black mengangguk sedikit, membuat keheningan tadi terasa seperti ilusi semata.
[Liene] "Kalau begitu, mohon izinkan aku mengukur," Liene menghela napas lega.
[Black] "...sekarang?" Tanya Black, tatapannya penasaran.
[Liene] "Ya."
Liene mengeluarkan benang yang ia pinjam dari Nyonya Flambard yang berupa tali kulit tua dengan torehan-torehan kecil, alat ukur tradisional yang telah digunakan untuk membuat banyak pakaian kerajaan di masa lalu.
[Liene] "Mari kita ukur bagian atas tubuhmu terlebih dahulu. Mohon rentangkan tanganmu ke samping."
[Black] "..."
Black menatap Liene sejenak, raut wajahnya tak terbaca, lalu patuh merentangkan tangannya. Liene mendekatinya yang duduk di tepi ranjang dan mulai mengukur dengan hati-hati. Ia mengukur lingkar pergelangan tangannya, lalu dari pergelangan tangan ke siku, dan kemudian dari siku ke bahu. Setelah mengukur bahu, ia harus mengukur lingkar leher.
[Liene] "Kau bisa menurunkan tangan sekarang."
[Black] "..."
Black menurunkan lengannya, dan Liene melingkarkan pita ukur di lehernya. Dan pada saat itulah Liene menyadari mengapa Black diam saja selama proses pengukuran....
Ternyata mereka terlalu dekat.
Ia harus melingkarkan pita ukur di leher Black dan artinya ia harus berdiri sangat dekat di hadapan pria itu.
Dia duduk, dan Liene sedikit membungkuk, posisinya persis seperti saat Liene pertama kali menciumnya di ruangan ini.
Saat Liene menyadarinya, matanya terpaku pada bibir Black yang begitu dekat. Rasanya bibir mereka akan bersentuhan kapan saja.
Ah... seharusnya aku meminta Nyonya Flambard saja yang mengukur.
Tangannya, yang bergerak tanpa masalah saat mengukur lengan, kini membeku saat menyentuh leher Black, dan tak bisa bergerak seperti yang ia inginkan. Ia tidak tahu... akan menjadi seperti ini.
Black membuka mulutnya, memecah keheningan yang tegang. Suara lembutnya langsung menghangatkan telinga Liene.
[Black] "Aku sedikit bingung saat ini."
[Liene] "Maksudmu...?"
[Black] "Apakah ini bagian dari perjanjian kita?"
[Liene] "Apa?"
Liene perlahan mengangkat kepalanya, menatap mata Black. Pita ukur masih melingkar di leher Black, dan tangan Liene menekan bagian ujung pita yang bertumpang tindih.
[Black] "Kau berjanji akan menginginkanku, Tuan Putri. Aku bertanya apakah ini adalah bentuk dari janji itu."
[Liene] "Tidak, aku..."
Liene tidak bisa membuka mulutnya, begitu malu hingga kata-kata tak bisa keluar. Ia tidak menedekat tanpa alasan. Ia benar-benar melakukannya untuk mengukur pakaian...
[Black] "Bukan begitu?" Black bertanya lagi, nadanya menggoda.
[Liene] "Itu... bukan yang aku pikirkan..." Liene tergagap, berusaha membela diri.
[Black] "Begitu ya?" Black tidak menekan lebih jauh, hanya mengamati ekspresinya.
Tidak sama sekali, batin Liene. Setidaknya, tidak di awal tadi. Tapi kini...
[Liene] "...Ya," Liene akhirnya mengakui, suaranya nyaris tak terdengar.
Sebagai ganti jawaban lisan, Black mengusap buku-buku jari Liene yang melingkari lehernya, sentuhannya ringan seperti bulu.
[Black] "Kau tidak bermaksud untuk menepati janjimu, kau hanya ingin mengukur tubuhku... Baiklah, aku mengerti," Black berbicara seolah ia percaya alasan Liene, namun sorot matanya mengatakan hal lain.
Tangan yang menyentuhnya menghilang. Momen itu entah mengapa membuatnya ingin menghela napas lega sekaligus kecewa.
[Black] "Selesaikanlah."
[Liene] "..." Liene menelan desahan dan membaca tanda-tanda di pita ukur.
[Liene] "Semuanya sudah selesai."
Ia pikir leher akan menjadi bagian yang paling sulit. Tapi ketika ia menyadari yang berikutnya adalah mengukur dada, ia sadar ini hanyalah permulaan dari ketidaknyamanannnya
[Liene] "Angkat tanganmu lagi..."
Saat Liene, yang sedikit membungkuk sambil memegang pita ukur, tiba-tiba berhenti bicara, Black bertanya balik.
[Black] "Sekarang giliran mengukur dada?"
Dia tahu.
[Black] "Itulah mengapa segalanya akan menjadi lebih sulit," gumamnya, lebih pada dirinya sendiri.
Dia tahu segalanya.
[Black] "Apa yang kau ingin aku lakukan?"
Liene tak tahu harus bereaksi seperti apa.
...Aku tidak tahu.
Bahkan jika dia hanya diam seperti patung dan tidak bergerak, Liene tidak berpikir ia bisa mengukurnya dengan nyaman. Tidak peduli apa yang dia lakukan, semua akan terasa tidak nyaman. Tidak peduli apa yang dia lakukan, Liene akan gugup, dan tidak peduli apa yang ia lakukan, ia akan seperti ini... gemetar. Karena dia adalah seorang pria, dan dia adalah Black.
[Liene] "Mohon diam sebisa mungkin."
Liene menggigit bibirnya sejenak, lalu kembali mengangkat pita ukur. Jika ia tidak bisa menahan gemetar bagaimanapun caranya, lebih baik menyelesaikannya dengan cepat.
[Liene] "Jangan bergerak. Aku akan melakukannya secepat mungkin."
[Black] "..."
Black menghela napas rendah, lalu berdiri dan mengangkat tangannya, merentangkan tubuh kekarnya.
Liene merentangkan tangannya juga, melingkarkannya di dada Black dengan pita ukur, bertekad untuk segera menyelesaikan tugas ini. Ia tahu, ia sangat tahu, dengan Black merentangkan tangan seperti ini, rasanya seolah ia sedang memeluknya erat. Ia tahu itu.
Tapi apa masalahnya? Mau bagaimana lagi. Hal seperti ini akan terjadi lagi.
Ia tidak bisa terpengaruh setiap saat. Ia harus segera terbiasa dengan pria ini, dengan kedekatan ini.
Liene dengan paksa mengalihkan pandangannya dari wajah Black dan memeriksa skala pada pita ukur.
[Liene] "Sekarang aku akan mengukur pinggangmu."
Black tiba-tiba meraih tangan Liene yang bergerak cepat hendak turun setelah menyelesaikan pengukuran dada.
[Black] "Tidak bisakah kita lakukan perlahan?" Suaranya terdengar lembut, namun menghentikan Liene.
[Liene] "Apa...?" Liene mengangkat kepalanya tanpa sadar dan menatapnya.
[Black] "Aku tidak suka diam saja," Black berujar, ada kilatan nakal di matanya.
Apa yang kau bicarakan...?
Black perlahan mengusap rambut Liene saat ia menarik tangan sang Putri kembali ke dadanya, mempererat posisi mereka.
[Black] "Apa kau tidak suka kalau aku bergerak?" Tanyanya dengan suara rendah dan menggetarkan.
Comments