A Barbaric Proposal Chapter 12
- Crystal Zee
- May 19
- 7 min read
Updated: 2 days ago
~Pertemuan Berbahaya (3)~
“Ada banyak desas-desus mengenai Tiwakan. Bukankah ada desas-desus bahwa pemimpin mereka… adalah seorang penyuka sesama jenis?” Liene berkata, berusaha setenang mungkin.
Penyuka sesama jenis… desas-desus yang tidak masuk akal. Liene ingat bagaimana Black menciumnya. Tidak ada yang akan mencium seseorang yang tidak diinginkan, bukan? Ketika Liene teringat ciuman yang ia berikan pada kekasihnya karena terpaksa, jawabannya menjadi semakin jelas. Itu hanya desas-desus. Pasti hanya desas-desus.
“Bagaimana kau tahu itu?” Laffit Kleinfelter bertanya, wajahnya menegang. “Mungkinkah… kau sudah membawanya… ke ranjang?”
“Tuan Kleinfelter.” Liene menggenggam erat tangannya.
Baik paman maupun keponakan. Manusia dari keluarga ini punya bakat mencari masalah dengan mulut mereka.
[Liene] “Jika sekali lagi kau mengucapkan hal seperti itu, aku akan menamparmu. Kau tidak punya hak untuk menanyakan urusan ranjang diriku dan tunangaku.”
[Laffit] “Tunangan? Bagaimana kau bisa memanggil barbar itu sebagai tunangan?”
[Liene] “Pergilah dari Nauk. Demi menghormati keluargamu, Tuan Weroz akan menjaga jalan keluar hingga kau sudah berada di luar Nauk. Anggap saja sebagai hadiah perpisahan.”
[Laffit] “Liene!”
Kekasihnya terkejut. Tidak, ia merasakannya. Ia masih belum mengerti apa yang Liene katakan.
[Laffit] “Aku tidak bisa pergi. Aku tidak akan pergi! Bagaimana mungkin aku bisa membiarkanmu menikah dengan pria lain?!”
[Liene] “Jika kau tidak mau pergi…”
Liene menyembunyikan emosinya alih-alih marah dan mencoba untuk mengerti. Jika ia marah, maka akan terjadi perkelahian. Sekarang saatnya untuk menyelesaikan permasalahan.
Suara dingin yang kehilangan emosi mengalir di antara mereka.
[Liene] “Kalau begitu, apa yang akan kau lakukan? Menembakkan panah lagi? Tahukah kau apa yang terjadi karena satu panah yang kau tembakkan? Tiwakan, dengan dalih memburu pembunuh, sedang mempelajari setiap sudut Nauk… dengan dalih latihan pengamanan sebelum pernikahan. Sekarang aku harus terbiasa dengan tindakan mereka. Ini semua karena panah yang meleset.”
[Laffit] “Kau tidak bisa mengatakannya seperti itu. Panah itu jelas merobek kulit barbar, dan kekuatan Tiwakan akan…”
[Liene] “Sama sekali tidak berpengaruh. Hanya kulitnya yang tergores.”
[Laffit] “Kita akan berhasil. Lain kali… kita bisa berhasil.”
[Liene] “Tiwakan bukan orang bodoh. Percobaan pembunuhan hanya akan meningkatkan kewaspadaan mereka. Sekarang, untuk melukai pemimpin mereka… kau harus menghadapi semua Pasukan Tiwakan terlebih dahulu.”
[Laffit] “…” Laffit akhirnya terdiam.
Syukurlah. Ia pasti bisa memahami kalau perkataan Liene benar.
[Liene] “Jika terungkap kalau kau adalah penembak panah itu, Keluarga Kleinfelter akan musnah dari tanah ini. Karena itu… larilah. Inilah jalan menuju kedamaian bagi semua orang.”
[Laffit] “…”
[Liene] “Kalau begitu, selamat tinggal.” Liene berbalik.
Saat ia hendak membuka pintu ruang resepsi, Laffit mengulurkan tangan dari belakangnya dan menutup pintu kembali.
Brak!
Terkejut oleh tindakan yang belum pernah dilihatnya, Liene mengerutkan kening dan berbalik menghadap Laffit.
[Liene] “Apa yang kau lakukan?”
[Laffit] “Satu hal saja… Mohon jawab satu hal ini.”
Liene dihadapkan pada ekspresi yang sangat terdistorsi oleh penyesalan. Ia tahu pria ini tulus mencintainya. Karena itu, ia bisa sedikit bersabar.
[Liene] “Apa itu?”
[Liene] “Apakah… kau menyukainya?”
[Liene] “Apa?” Bagi Liene, itu pertanyaan bodoh, tetapi Laffit sangat serius.
[Laffit] “Jawab! Apa kau menikah karena menyukainya? Karena itu… kau meninggalkanku?”
[Liene] “Ha…” Liene menghela napas.
[Liene] “Kau pikir pertanyaanmu pantas untuk dijawab?”
[Laffit] “Jawab!” Laffit berteriak, suaranya pecah.

Ia tampaknya tidak akan menyingkir hingga mendapatkan jawaban.
[Liene] “Haa… Aku tidak tahu kalau kau punya sisi buruk seperti ini. Ada seratus lebih nyawa yang melayang karena lamaran Tiwakan. Dan aku tidak akan melupakannya.”
[Laffit] “Katakan dengan jelas. Apakah kau yakin kau tidak menyukainya? Apakah kau hanya menyerah pada kekuatan mereka?”
Ia tidak membencinya. Ia berjanji akan menginginkannya. Hanya itu saja. Bukan berarti ia menyimpan perasaan khusus pada Black. Rasanya tidak mungkin. Awal yang mustahil agar perasaan suka bisa tumbuh.
Liene tersenyum dingin dan getir.
[Liene] “Bagiku, yang paling penting adalah Nauk. Mengakhiri hubungan denganmu dan menerima pernikahan yang dimulai dengan darah, bagiku sama saja.”
Jadi ia bertahan… hanya karena ia harus bertahan.
[Liene] “Pergilah dari Nauk. Ini perintah.”
[Laffit] “…”
Liene mendorong Laffit yang pucat pasi dan terdiam, lalu ia membuka pintu ruang resepsi.
Namun, ia tidak bisa pergi semudah itu.
[Liene] “Di mana Tuan Weroz?”
Setelah keluar dari ruang resepsi, Liene mencari Weroz. Namun, pengawalnya tidak terlihat, dan Liene merasa ada yang salah. Ia bertanya pada penjaga gerbang Keluarga Kleinfelter.
[Penjaga] “Saya… tidak tahu.”
[Liene] “Apa?! Tidak mungkin! Tuan Weroz… baru saja ada di sini!”
[Penjaga] “Saya… tidak melihatnya.”
[Liene] “Apa maksudmu… Tuan Weroz!”
Liene berteriak memanggil Weroz, memandang sekeliling.
[Liene] “Tuan Weroz!”
Namun, tidak ada jawaban. Kecemasan datang menyergap. Liene sadar ia sendirian, tanpa pengawal, di tempat yang berbahaya. Ia harus segera keluar dari sini.
[Liene] “Buka pintunya.”
Mencari keberadaan Weroz bisa dilakukan penjaga istana. Ia tidak bisa melakukan apa pun di sini.
[Penjaga] “Saya diperintahkan untuk menjaga gerbang ini dan tidak membukanya.”
Penjaga gerbang Keluarga Kleinfelter menghalanginya dengan keras kepala.
Ketakutannya menjadi kenyataan.
[Liene] “Apakah perintahnya untuk tidak membiarkanku keluar dari pintu ini?”
[Penjaga] “Saya tidak tahu. Perintah yang saya terima adalah untuk tidak membuka pintu dan menjaganya.”
“[Liene] Apakah kau tidak tahu siapa aku?! Tuan Putri Liene dari Nauk memerintahkanmu, buka pintunya!”
[Penjaga] “Saya hanya menjalankan perintah.”
Jawaban yang sama kembali diulang. Sangat tidak pantas bagi penguasa Nauk untuk dihalangi, tetapi sekarang bukan saatnya berdebat.
[Liene] “Minggir. Kalau begitu. Aku akan membukanya sendiri.”
[Penjaga] “Tapi…”
Kepada penjaga gerbang yang ragu, Liene memberikan peringatan tajam.
[Liene] “Jika kau tidak menyingkir… akan ada harga atas pembangkanganmu. Ingatlah bahwa nama Kleinfelter tidak akan bisa melindungimu saat itu.”
[Penjaga] “…”
Mendengarnya, penjaga gerbang dengan enggan menggeser langkahnya. Liene bahkan mengulurkan tangan untuk mendorongnya dan membuka pintu. Namun, sayang sekali, sudah terlambat.
Buk, buk!
Langkah berat menggetarkan lorong di belakang Liene, mendekat. Ia menoleh. Lyndon Kleinfelter menuju ke arahnya, memimpin para prajurit pribadi.
[Lyndon] “Mundur, Tuan Putri. Membuka sendiri pintu rumah orang lain… sungguh tidak sopan.”
Lyndon Kleinfelter dengan tenang mendekati Liene.
[Liene] “Apa yang kau lakukan?”
Lyndon Kleinfelter, tenang seperti biasa, berdiri di depan Liene.
[Lyndon] “Setelah kupikir-pikir… aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja.”
[Liene] “Apa?”
[Lyndon] “Tuan Putri akan menyerahkan kekuasaan Nauk kepada barbar dari antah berantah. Keluarga Kleinfelter tidak bisa membiarkannya terjadi.”
Terheran-heran, Liene menarik napas. “Ha, apa aku harus mengulangi perkataanku lagi? Apa kau sudah pikun?”
“Tidak perlu. Sebagai gantinya…” Lyndon Kleinfelter memberi isyarat melewati bahunya.
Dari kerumunan prajurit pribadi, seseorang melangkah maju dengan ragu-ragu. Melihat jubah ungu tebal yang terseret di kakinya, mata Liene membesar.
[Liene] “…Kardinal Milode?”
“Ya…” Kardinal Milord mengakhiri kata-katanya, menatap Liene lekat-lekat.
Nauk memang bukan tempat yang sangat religius, tetapi kehadiran Kardinal selalu dibutuhkan. Dalam festival musim semi memohon hujan, atau upacara pemakaman, atau… pernikahan.
[Liene] “Ada urusan apa Kardinal berada di kediaman Keluarga Kleinfelter?”
Kardinal dan Liene tidak memiliki hubungan yang baik. Untuk mengurangi pengeluaran, Liene adalah orang pertama yang menghapus subsidi ke kuil. Meskipun biaya untuk acara kuil tidak bisa dihindari, kemewahan Kardinal tidak bisa ditanggung oleh anggaran kerajaan.
Karena itu, Kardinal menghentikan doa untuk keluarga kerajaan dan mulai berdoa untuk Keluarga Kleinfelter sebagai gantinya. Kabarnya, Lynndon Kleinfelter mengirimkan uang bulanan kepada Kardinal.
“Apakah Kardinal datang untuk persiapan doa persemayaman?” Liene bertanya, berharap Kardinal tidak tahu Laffit masih hidup.
Jawabannya diberikan oleh Lyndon Kleinfelter, buka Kardinal.
[Lyndon] “Tidak. Aku membawanya untuk memimpin upacara pernikahan.”
[Liene] “Pernikahan…?”
[Lyndon] “Benar.”
Lyndon Kleinfelter menatap Liene, tersenyum tanpa malu. Senyum yang mengerikan.
[Liene] “Siapa… yang akan menikah?”
[Lyndon] “Sudah jelas. Siapa lagi?”
Lyndon Kleinfelter menunjuk Liene dengan jarinya. Jari itu terasa seperti panah yang mengarah padanya.
[Lyndon] “Tuan Putri Arsak… sekarang, di tempat ini… akan bersumpah setia dan patuh selamanya… kepada putra Kleinfelter… sebagai istrinya.”
[Liene] “…!”
Ini salahku. Liene tanpa sadar menggigit bibirnya.
Ia seharusnya sudah menduga bahwa mereka akan bertindak kotor dengan segala cara. Keluarga Kleinfelter telah lama menginginkan kekuasaan di Nauk.
[Liene] “Aku tidak bisa menerimanya. Apa Tuan Laffit Kleinfelter sudah menyetujui pernikahan yang bahkan tidak ia ketahui?”
[Lyndon] “Ah, sayang sekali. Sepertinya kau lupa. Laffit sudah meninggal, Tuan Putri.” Lyndon Kleinfelter mengangkat bahu dengan berlebihan.
[Lyndon] “Orang yang akan dinikahi Sang Putri adalah sepupunya, Lopez.”
Omong kosong. Liene tidak tahu ada orang bernama Lopez di Keluarga Kleinfelter.
[Liene] “Apakah aku tidak tahu… ada putra Kleinfelter yang lain? Apakah dia anggota resmi Keluarga Kleinfelter yang diakui oleh kerajaan?”
[Lyndon] “Ah, memang belum. Dia anak haram. Tapi mau bagaimana lagi? Putra sulung sudah meninggal, jadi… kami harus mendatangkan siapa pun.”
Omong kosongnya sungguh lancang.
[Liene] “Hentikan omong kosong ini, Tuan Kleinfelter. Menyingkirlah sebelum keadaan semakin runyam.”
[Lyndon] “Meskipun ia anak haram, tapi tidak mengurangi nilainya, Tuan Putri. Jika bicara soal garis darah ia sangat mirip dengan putra sulung, bukankah begitu, Kardinal Milode?”
Kardinal dengan tenang mendukung kebohongannya.
[Kardinal Milode] “Saya sudah memastikan sendiri. Mereka sangat mirip. Mustahil menyangkal adanya darah Kleinfelter. Ini adalah berkat dari Tuhan, Tuan Putri.”
Berkat, apanya. Liene menggenggam erat ujung gaunnya. Mata hijaunya menilai para pria yang berdiri seperti tembok di depannya. Ia harus keluar dari sini. Bagaimanapun caranya.
[Liene] “Baiklah… Jika ia memang sangat mirip, Aku pun penasaran. Panggil dia kemari sekarang.”
[Lyndon] “Tidak masalah. Pergi dan bawa Laffit… Ah, bukan. Tunggu. Siapa tadi namanya? Ah, Lopez. Ya, bawa Lopez kemari.”
[Prajuri] “Siap, Tuan.”
Seorang prajurit pribadi bergegas menuju ruang resepsi. Waktu yang dibutuhkan untuk membawa seseorang tidaklah lama.
Tentu saja, orang yang ia bawa adalah Laffit Kleinfelter.
Mantan kekasihnya… matanya merah, mungkin karena ia sendiri menahan emosi setelah Liene pergi. Liene melihat tangan kanan Laffit terluka. Sepertinya ia telah memukul atau memecahkan sesuatu.
[Liene] “Jangan lakukan ini.”
Liene mendekatinya saat mata mereka bertemu.
Orang yang bisa mengakhiri sandiwara pernikahan yang sembrono dan bodoh ini… hanyalah mantan kekasihnya. Di tempat yang penuh keserakahan, hanya Laffit sendiri yang berbeda. Karena itu, Liene percaya ia memberikan kasih sayang dengan 'tulus'.
Meskipun tidak pernah ada momen yang penuh gairah, Liene menganggapnya kekasih dan memperlakukannya seperti itu. Ia pun pasti begitu. Perasaannya terhadap Liene pasti tulus. Ia pasti tidak ingin memaksakan kekerasan dan penghinaan seperti ini.
[Liene] “Kumohon. Janjimu padaku… bukan hanya soal kasih sayang. Kau bersumpah akan melindungiku dan Nauk… sebagai Ksatria Keluarga Arsak. Kumohon… jangan membahayakan Nauk.”
Mantan kekasihnya… dengan wajah sangat terdistorsi… membuka bibirnya.
[Laffit] “Aku… tidak mengerti apa yang Tuan Putri katakan.”
[Lyndon] “Laffit.”
Laffit menoleh menatap pamannya. Lyndon Kleinfelter menganggukkan dagunya. Laffit menggigit bibirnya, lalu berkata.
“Tolong… jangan panggil aku dengan nama itu. Aku adalah Lopez Kleinfelter.”
Comments