top of page

A Barbaric Proposal Chapter 11

Updated: 2 days ago

~Pertemuan Berbahaya (2)~

[Lyndon] “Anda datang sendiri untuk menyampaikan berita duka… Hmm.” 

Ekspresi Lyndon Kleinfelter jelas jauh dari kesan menyambut. Namun, tidak ada pula tanda-tanda duka atas kematian keponakannya. Ia tahu… Laffit sebenarnya tidak meninggal.

“Ya,” jawab Liene, berhadapan dengan Ketua Dewan Aristokrat, Lyndon Kleinfelter, yang ‘pantat berat’-nya bahkan tidak beranjak dari tempat meskipun Liene telah beberapa kali meminta audiensi di istana.

Sejak keuangan Nauk mengalami defisit parah, ia mengabaikan tugasnya sebagai Ketua Dewan Aristokrat. Defisit selama ini ditutup oleh Liene dengan menjual aset keluarga.

Namun, Liene tidak bisa memaksakan kehendak pada Keluarga Kleinfelter. Memaksa mereka hanya bisa dilakukan dengan kekuatan militer, tetapi sayang sekali, pasukan pribadi Keluarga Kleinfelter jauh lebih banyak dari pada penjaga istana.

[Liene] “Dan aku juga ingin memberitahukan berita pernikahan Tiwakan dan Arsak akan dilangsungkan dalam waktu sepuluh hari empat malam ke depan. Sebagai keluarga terbesar di Nauk, Keluarga Kleinfelter… harus hadir untuk menunjukkan itikad baik.”

[Lyndon] “Apakah sekarang Anda menyuruh saya menghadiri pernikahan musuh?” 

Liene dengan tenang menghadapi Lyndon Kleinfelter, yang terang-terangan menyatakan permusuhan.

Baik Liene maupun Lyndon sama-sama tahu Tiwakan bukanlah musuh. Karena… kekasihnya tidak meninggal.

[Liene] “Ya.”

[Lyndon] “Maaf jika saya lancang, tapi sepertinya Tuan Putri Arsak sudah kehilangan akal sehatnya. Menerima pinangan barbar itu sejak awal adalah bukti kegilaan.”

[Liene] “…” 

Alih-alih tersinggung oleh ketidak sopanannya, Liene hanya tersenyum getir.

Bukan baru sehari dua hari Lyndon Kleinfelter bersikap kurang ajar terhadap penguasa Nauk. Saat ayahandanya meninggal dan Liene mewarisi kekuasaan, Keluarga Kleinfelter yang paling keras menentang. Jika Liene tidak menjalin hubungan asmara—meskipun tidak resmi—dengan putra sulung Keluarga Kleinfelter, ketidaksopanan mereka pasti akan melebihi batas.

[Liene] “Sayangnya, akal sehatku baik-baik saja. Tidak menerima pinangan Tiwakan… justru akan menjadi bukti bahwa aku gila. Kalau begitu, karena berita duka sudah disampaikan, silakan persiapkan pemakaman. Komandan Ksatria Arsak, Laffit Kleinfelter, dengan ini… akan kembali menjadi debu, dan namanya akan dikenang selamanya sebagai pahlawan yang gugur dengan terhormat.” Perkataan Liene mengandung makna bahwa namanya harus tetap ‘mati’.

Jalan demi keselamatan semua orang.

[Lyndon] “Dengan akal sehat itu sepertinya kau juga kehilangan harga diri dan keberanian. Bukankah seharusnya Putri Arsak membalaskan dendam tunangannya?”

[Liene] “Jaga bicaramu. Tuan Laffit Kleinfelter tidak pernah menjadi tunanganku. Tidak pernah ada janji pernikahan di antara kami. Apak kau tidak ingat?”

Bibir Lyndon Kleinfelter bergetar.

[Lyndon] “Tidak pernah menjadi tunangan? Omong kosong macam apa itu? Jadi, Putri Arsak hanya main-main dengan putra sulung Kleinfelter? Tubuhmu sungguh murahan.”

Jika Weroz ada bersamanya di ruang resepsi ini, ia pasti sudah tidak tahan dan mencabut pedangnya. Liene pun merasa ingin menampar Lyndon Kleinfelter.

[Liene] “Aku rasa aku bisa melihat bagaimana perasaan Tuan Kleinfelter terhadap putra sulung keluargamu. Sekalipun ia sudah meninggal apakah pantas menghinanya?”

[Lyndon] “Putri Arsaklah yang menghina putra sulung Kleinfelter! Mengapa harus menikah dengan si barbar itu?! Lebih baik memenggal kepalanya! Apakah kepalamu yang cantik itu tidak mengerti betapa menghinanya pernikahan ini bagiku?”

Prang!

Liene tidak tahan lagi. Ia mengambil vas bunga yang menghiasi sudut ruang resepsi dan melemparkannya ke kaki Lyndon Kleinfelter. Pecahan keramik dan air meninggalkan noda di karpet beludru yang mahal.

[Lyndon] “Temperamenmu…” Lyndon Kleinfelter menggetarkan kumisnya.

[Liene] “Temperamenku adalah warisan dari mendiang Raja Nauk. Barangkali dimaksudkan untuk orang yang berani berbicara omong kosong melampaui batas statusnya… seperti dirimu.” Liene mengeluarkan dengan napas terengah-engah.

[Liene] “Jika kau begitu tidak setuju dengan lamaran ini, perhatikanlah apa yang Keluarga Kleinfelter lakukan selama dua minggu Nauk dikepung. Ketika hampir seratus Pasukan Nauk mengorbankan nyawa mereka, di mana pasukan pribadi kalian bersembunyi?”

[Lyndon] “Jadi, sekarang kau mengatakan kalau kau menyerahkan tubuh murahanmu itu pada orang barbar demi Nauk?”

Ia membuat kesalahan. Seharusnya ia melemparkan vas itu ke tempat lain.

[Liene] “Sepertinya aku terlalu lunak. Seharusnya vas itu mengenai kepalamu bukan lantai.”

[Lyndon] “Apa, kepala?! Coba kalau kau berani begitu! Apa yang bisa kau lakukan, hah?!” Lyndon Kleinfelter mendengus, menunjukkan sisi kasarnya.

Mereka berdua, yang kini melepaskan sopan santun, tampak seperti dua musuh di medan perang, bukan di ruang resepsi.

[Liene] “Sampaikan padanya. Untuk tetap menjadi orang mati dan pergi diam-diam. Jangan pernah berpikir untuk menembakkan panah lagi.”

Setelah saling melotot sejenak, Liene membahas tujuan utamanya.

[Liene] “Katakan padanya untuk melupakan balas dendam pribadi jika ingin Nauk selamat.”

[Lyndon] “Mengapa kau tidak menunjukkan temperamen itu pada para barbar?”

[Liene] “Aku yakin kau akan menyampaikannya. Aku juga ingin memberitahukan fakta bahwa Tiwakan tahu Komandan Ksatria Arsak tidak meninggal.”

[Lyndon] “Ah, benarkah? Atau mereka tidak punya kemampuan untuk menangani Arsak?”

[Liene] “Di—…” Kata ‘diam’ nyaris saja meluncur dari bibir Liene.

Tok tok.

Suara ketukan terdengar dari balik pintu ruang resepsi.

[Laffit] “Aku membawa minuman dan camilan untuk tamu.”

Liene dan Lyndon Kleinfelter menegang bersamaan, mengenali suara yang familiar.

[Laffit] “Bolehkan aku masuk?”

Kriiieeet.

Pintu terbuka, dan masuklah… sang kekasih yang belum meninggal.

“Mengapa kau ikut campur? Aku sudah menyuruhmu diam.” Lyndon Kleinfelter berkata dengan wajah tidak senang pada keponakannya.

Itulah alasan mengapa Liene harus menunggu begitu lama di depan gerbang rumah besar ini.

Lyndon Kleinfelter memutuskan bahwa keponakannya tidak akan mendapatkan apa pun jika berhadapan sendirian dengan Putri Liene.

Keponakannya menjadi gila karena Putri Liene. Ia adalah pria yang akan mengangguk dan menerima jika Putri memintanya mati, bukannya pura-pura mati.

Itulah sebabnya Lyndon melarangnya mendekati ruang resepsi, tetapi keponakannya tetap saja muncul.

[Laffit] “Mohon tinggalkan kami, Paman.” 

Meskipun keponakannya, Laffit adalah putra sulung. Karena sifatnya yang kalem, selama ini ia selalu bersikap hormat pada pamannya, tetapi kenyataannya bukan seperti itu. Lyndon berada dalam posisi di mana ia tidak bisa berkata apa-apa jika keponakannya mengusirnya, tanpa harta benda sedikit pun.

Lyndon Kleinfelter menggeram. “Putri Arsak sudah mengkhianati kita. Siapa tahu bagaimana lidahnya yang licik akan memengaruhimu.”

[Laffit] “Jangan berbicara tidak sopan pada Putri Liene atau aku tidak akan mentolerirnya.”

…Inilah artinya bodoh karena cinta.

Lyndon Kleinfelter mendesah panjang. “Cih cih… Dia adalah wanita yang tidak layak. Tahukah kau apa yang dikatakan Putri Arsak barusan? Bahwa kau dan keluarga kita… selanjutnya…”

“Paman!” Kemarahan terlihat jelas di mata Laffit.

Lyndon Kleinfelter terdiam. Meskipun biasanya keponakannya kalem dan tidak keras kepala, ada saat-saat ketika ia marah, dan Lyndon tidak bisa menghentikannya.

“…Cih. Aku akan menunggu di luar.” Lyndon Kleinfelter akhirnya meninggalkan ruang resepsi.

Tap.

Di balik pintu yang tertutup, tersisa ruangan yang mencekik napas, tempat dua mantan kekasih saling berhadapan.

“Apakah kau tidak terluka?” Liene membuka suara lebih dulu.

Kekasihnya tampak sehat. Kulitnya terlihat lebih kasar, tetapi itu wajar dibandingkan dengan jasad yang menggantikannya.

“Tuan Putri… Liene-ku.” Suara Laffit terdengar pecah, seolah akan menangis saat ia memanggil namanya.

Awalnya terpaku, matanya bertemu dengan Liene, lalu ia melangkah maju dengan cepat dan memeluk Liene erat.

Terjemahan Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 11

…Tahan saja sebentar.

Liene memejamkan mata, mencoba menenangkan situasi yang penuh kontradiksi ini.

Pria ini juga butuh waktu… untuk berpisah.

[Laffit] “Janjiku… Aku tidak bisa menepati janjiku.” 

Tangan Laffit menyusup ke rambut Liene.

Sentuhannya tidak berubah. Penuh gairah, lembut, hormat, dan putus asa. Karena itu, rasa bersalah yang ia rasakan… sama persis.

…Tidak apa-apa. Sampai sejauh ini… tidak apa-apa.

Aku bisa menahannya.

[Laffit] “Kau pasti menunggu… Kau pasti takut… dan aku tidak bisa berada di sampingmu…”

Tidak apa-apa. Liene tidak terlalu berharap banyak padanya. Jika ia kembali tepat waktu dengan bala bantuan, ia pasti akan senang, tetapi pasti akan berakhir dengan perang lain. Bahkan jika Kerajaan Sharka setuju mengirim bala bantuan, masih diragukan apakah jumlah pasukannya cukup besar untuk menghadapi Tiwakan.

“Larilah,” Liene berkata, membuka mata seolah sedang menghitung sesuatu.

“Apa?” Laffit menghentikan belaiannya dan menjauh dari Liene untuk bertatapan mata.

[Laffit] “Apa maksudmu?”

[Liene] “Seperti yang kukatakan. Larilah… sebelum Tiwakan menemukan di mana kau bersembunyi.”

[Laffit] “Lari… sendirian?”

[Laffit] “Itulah cara yang paling aman untuk semua orang.”

Mata Laffit membesar. Ketidakpercayaan dan rasa dikhianati meluap di matanya yang terbelalak.

[Laffit] “…Aku tidak bisa memercayainya. Tuan Putri menyerah terhadapku begitu saja?”

Liene justru tidak bisa memahami kekasihnya. Mengapa ia tidak mengerti? Ia bisa melepaskan apa pun. Jika itu demi Nauk.

[Liene] “Aku akan menikah dengan Lord Tiwakan.”

Mereka bukan lagi sepasang kekasih.

[Liene] “Aku datang untuk mengatakan ini. Terima kasih untuk segalanya, dan aku harap kau selalu aman.”

[Laffit] “Tidak masuk akal…! Kau meninggalkanku begitu saja? Tuan Putri?!”

Tangan Laffit di bahu Liene menegang, menyebabkan rasa sakit sesaat yang Liene tahan.

[Liene] “Aku percaya… itulah jalan untuk melindungi Nauk.”

[Laffit] “Omong kosong!”

Mata cokelatnya yang biasanya lembut dan hangat, yang terkadang rapuh, kini menyala bagai api unggun.

[Laffit] “Bagaimana meninggalkanku adalah jalan untuk melindungi Nauk?! Mengapa?!”

[Liene] “Baik Keluarga Arsak maupun Keluarga Kleinfelter tidak bisa menghadapi Tiwakan. Itulah kenyataannya.”

[Laffit] “Jadi kau akan menyerahkan Nauk begitu saja ke tangan mereka? Dan juga menyerahkan dirimu sendiri?” 

Laffit menunjukkan ekspresi yang belum pernah dilihatnya. Ejekan tajam muncul di wajahnya, melukai perasaan Liene.

[Laffit] “Bagaimana bisa Tuan Putri sebodoh ini? Memang  itulah yang diinginkan para barbar.” 

Laffit mengulurkan tangan dan meraih rambut Liene. Sebelum Liene sempat memintanya melepaskan, ia berbicara dengan napas terengah-engah.

[Laffit] “Tahukah kau desas-desus apa yang kudengar di Kerajaan Sharka? Tentang pemimpin para barbar itu?”

[Liene] “Tuan Kleinfelter. Lepaskan tanganmu. Aku sekarang sudah punya tunangan.” 

Laffit tidak mendengarkan perkataan Liene. Ia berbicara seolah telinganya tuli, hanya mengatakan apa yang ingin ia katakan.

[Laffit] “Alasan mengapa ia datang ke Nauk dan melakukan hal biadab ini di tempat seperti ini.”

Liene memang sangat penasaran akan alasannya. Alasan mengapa pemimpin Tiwakan menginginkan Nauk. Tempat ini… yang termiskin dan paling tandus di antara lima kerajaan di selatan.

Bahkan sekarang, setelah mereka berjanji untuk saling tulus, pertanyaan itu masih belum terpecahkan.

[Liene] “Alasan apa yang kau dengar?” 

Liene membuka mulutnya, bertanya kepada putra sulung Keluarga Kleinfelter yang bukan lagi kekasihnya.

[Laffit] “Dia… menyimpan dendam, katanya. Kepada Nauk.”

[Liene] “…”

[Laffit] “Dan dia sudah merencanakan balas dendam sejak lama. Itulah fakta yang diketahui semua orang di luar Nauk.”

[Liene] “Omong kosong… Dendam apa?”

[Laffit] “Keluarganya dibunuh oleh seseorang di Nauk.”

[Liene] “Jadi dia ingin mengambil alih Nauk? Itu tidak masuk akal, kan?”

[Laffit] “Apakah kau mengharapkannya masuk akal? Dari seorang barbar?”

[Liene] “…”

Bagi orang biasa, mungkin tidak masuk akal. Tetapi jika orang yang menyimpan dendam adalah pemimpin Tiwakan… mungkin saja masuk akal. Ia memiliki kekuatan untuk menghancurkan Nauk sesuka hati.

…Tidak, itu justru semakin tidak masuk akal.

Jika memang begitu, seharusnya ia memulai perang, bukan melamar. Jika ia memulai perang skala penuh, Tiwakan tidak perlu mengepung kastil selama dua minggu. Semuanya akan selesai dalam tiga hari. Kepalanya akan digantung di tembok kastil, dan Tiwakan akan menghapus nama Nauk sepenuhnya dari peta benua.

Dan dia jelas-jelas berkata begitu. Jika ia ingin menghancurkan, ia akan melakukannya sejak awal. Balas dendam? Tidak.

Pasti bukan itu alasannya.


Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating

Join Our Mailing List

© Crystal Zee
bottom of page