Bastian Chapter 8
- Crystal Zee
- 20 Mei
- 6 menit membaca
Diperbarui: 4 hari yang lalu
~Bukan Hadiah yang Buruk~
Lanskap kota berubah drastis di balik jembatan. Jalanan terlihat tak teratur dan kotor, dengan bangunan-bangunan usang berjejer di sepanjangnya.
Di antara batu-batu trotoar yang miring, tumbuh ilalang liar. Sampah dibuang sembarangan, dan poster-poster kantor tenaga kerja yang mencari pembantu serta pekerja harian bertebaran, terbawa angin sungai.
Odette berhenti sejenak untuk mengatur napas; beban tas belanja membuat lengannya terasa sakit. Bahkan permukiman kumuh di pinggir kota terkena sentuhan merah muda saat matahari terbenam.
Odette terus berjalan saat ketidaknyamanan di lengannya mulai memudar. Kesedihan yang mendalam menghantuinya saat ia memandang mekarnya bunga musim semi, yang pagi tadi sungguh menakjubkan. Kemurungannya bertambah pekat oleh jendela-jendela toko yang kotor, orang-orang yang tak peduli, dan teriakan serta kata-kata kotor yang terdengar dari kejauhan.
"Oh, ini dia. Putri Duke pengemis," ia tak sengaja mendengar tawa dan ejekan saat berbelok di sudut jalan.
Ia mengenali suara itu tanpa perlu menoleh. Milik pria pemilik toko kelontong di lantai dasar gedungnya. Ia pernah berbelanja di sana saat mereka baru pindah, namun berhenti saat pria itu mulai mengejeknya dengan lelucon vulgar.
"Sepertinya kau kesulitan membawa beban berat itu. Apa makanan di kota ini begitu tak enak hingga kau tak mau memasukkannya ke dalam mulut cantikmu?"
Pria bertubuh tambun yang berjalan terhuyung ke depan toko, menyeringai pada Odette dengan tatapan licik. Adegan serupa selalu terjadi setiap kali Odette lewat.
Odette hanya menatap lurus ke depan dan mempercepat langkah. Jika hanya celotehan pria kejam, ia akan menahannya dan terus melangkah. Namun, kebencian yang ia rasakan terasa baru, mungkin akibat hari yang sangat berat.
Saat suara pria itu semakin samar, sebuah bangunan rumah sewaan muncul di hadapannya.
Odette melangkah gontai melewati ambang pintu, langkahnya lelah. Saat melihat pantulan dirinya di cermin tua yang tergantung di atas pintu masuk, ia menghela napas panjang yang tak ia sadari telah ia tahan begitu lama.
Odette berangkat pagi itu, mengenakan gaun terbaiknya, namun kini, saat menatap diri di cermin, ia merasa seperti badut dengan riasan konyol. Saat ia berbalik dari cermin, sebuah suara familiar terdengar. Nyonya Palmer, istri kepala gedung.
"Sepertinya perkelahian sedang pecah di rumah itu. Kedengarannya serius, cepat, ayo kita pergi!" seru Nyonya Palmer, matanya membelalak khawatir.
Tanpa sedikit keraguan, Odette mulai berlari menaiki tangga, barang-barangnya berserakan saat ia naik. Ia mencapai lantai atas dan membuka pintu depan yang tak terkunci, hanya untuk menemukan vas pecah dan pecahan kaca berserakan di lantai ruang tamu. Barang-barang Tira yang baru saja dibawanya beberapa hari lalu.
Saat mendengar raungan dari kamar adiknya, Odette tahu ia harus bergegas. Ia berlari ke kamar dan menemukan Tira, adiknya, meringkuk di antara lemari dan dinding, melindungi sebuah kotak kecil dengan seluruh tubuhnya.
"Tira!" ia memanggil adiknya. Itu kotak tempat kakak beradik itu menyimpan uang darurat mereka. Pandangan Odette beralih pada ayahnya, Duke Dyssen, yang berwajah merah karena mabuk, lengannya terangkat, siap menyerang Tira lagi.
Tanpa ragu, Odette berlari mendekati Tira dan memeluknya erat, melindunginya dari pukulan berikutnya. Kekuatan pukulan begitu dahsyat hingga topi Odette terlepas dan terpental ke seberang ruangan, namun ia tak mengeluarkan suara. Ia mendekap adiknya erat-erat, menawarkan perlindungan dan kenyamanan saat Tira menangis kesakitan dan ketakutan.
"Odette! Kenapa kau..." Duke Dyssen tergagap, mundur selangkah karena malu.
Dengan Tira masih dipeluk erat, Odette berdiri, matanya dipenuhi amarah dan cemoohan saat ia menatap ayahnya. Ia bisa melihat ketakutan di mata ayahnya saat melirik kotak berisi dana darurat mereka.
"Tinggalkan ruangan ini segera," perintah Odette dengan suara yang kuat dan tak tergoyahkan.
Namun, Duke Dyssen belum selesai. "Ini semua karena gadis kurang ajar itu. Melihatmu semakin vulgar dari hari ke hari. Kau punya darah ibumu, benar!" ia bergumam alasan-alasan basi, mencoba mengalihkan kesalahan.
Tapi Tira tak mau menerima. "Tidak! Ini semua berkat darah ayah yang membuatku dangkal!" ia berteriak marah.
Ruangan dipenuhi suara kutukan dan hinaan yang beterbangan saat ayah dan anak itu bertengkar. Namun Odette sudah muak. "Hentikan!" ia berteriak, matanya terpejam erat.
Perlahan membuka mata, ia menatap ayahnya, "Jangan sentuh Tira lagi. Jika terjadi sekali lagi, aku tidak akan menoleransinya."
"Bagaimana jika tidak?" ia mencibir.
"Hal yang paling ayah takuti akan terjadi," jawab Odette, tak gentar menghadapi kemarahan ayahnya.
"Kau berani mengancam ayahmu?" ia berteriak, namun Odette tetap pada pendiriannya, tekadnya tak goyah.
Ini adalah pertarungan, pertarungan kemauan antara ayah dan anak, dan Odette tak akan mundur. Ia berdiri tegak, kekuatan dan tekadnya terpampang nyata, siap berjuang demi kebenaran.
Odette sepenuhnya sadar ayahnya tak akan pernah membiarkannya pergi selama Odette menerima uang pensiun dari Kaisar. Karena sangat penting untuk mempertahankan hubungan terakhir dengan keluarga kerajaan. Ia menyadari bahwa ia mungkin menjadi kelemahan terbesar ayahnya saat Odette mulai menyadarinya .
"Dasar makhluk mengerikan,"
Saat Duke Dyssen mencibir pada Odette dan bergegas keluar ruangan, keheningan yang mengikuti sungguh memekakkan telinga. Odette akhirnya menghela napas lega dan menoleh pada adiknya, yang masih memegangi kotak dana darurat, air mata mengalir deras di wajahnya.
Odette dengan lembut membantu adiknya berdiri dan mendudukkannya di tempat tidur. "Mulai sekarang, berikan saja uangnya. Lebih baik daripada terluka," katanya, mencoba menghiburnya.
Namun Tira tak mau menurut. "Tidak!" serunya, menggelengkan kepala dengan keras. "Aku tidak akan menyerahkan apa yang menjadi hak kita. Kita tidak akan menjadi korban lagi. Kita akan melawan."
Dengan tekad baru di matanya, Tira berdiri, siap menghadapi dunia dan siapa pun yang berani menyakiti ia atau keluarganya lagi. Odette berdiri di sampingnya, siap mendukung dan melindunginya apa pun yang terjadi. Bersama, mereka adalah kekuatan yang harus diperhitungkan.
"Aku tidak akan membiarkan orang seperti ayah merampas satu sen pun dariku. Aku lebih memilih dipukuli dengan kejam."
"Tira…."
"Jangan suruh aku bertindak sehormat dirimu, Kakak. Bagaimana mungkin anak seorang Tuan Putri berpikir sama seperti anak haram yang lahir dari seorang pelayan?" Tira berteriak sambil mendorong tangan Odette untuk memeriksa wajahnya yang terluka. "Kakak, kau benar-benar tak tahu apa-apa. Kaulah yang bisa berdandan seperti putri dan mengenakan pakaian mahal; bagaimana mungkin kau tahu perasaanku?" Tira, dengan komentar sarkastis di bibirnya, menyerbu melewati Odette.
Suara pintu gudang yang dibanting menggema di seluruh rumah, meninggalkan Odette berdiri sendiri, menatap keluar jendela ke arah pemandangan malam Sungai Prater. Ia menyaksikan sebuah kapal perang besar berlayar di bawah jembatan gantung, menuju dermaga Admiralty.
Dengan napas dalam, Odette menutup mata dan mulai menanggalkan pakaian, melepaskan pakaian yang tak lagi cocok untuknya. Ia meraih ke dalam lemari, mengeluarkan kenang-kenangan ibunya, gaun biru air yang indah, dan kenangan yang tersimpan di dalamnya yang tak ingin ia ingat. Nasib sepatu, sarung tangan, dan topi rusak kesayangannya tak berbeda.
Mengenakan gaun katun lamanya, Odette mulai merapikan rambut, yang berantakan karena pukulan ayahnya. Matahari terbenam pada hari Rabu saat ia membersihkan puing-puing dan mengumpulkan bahan makanan yang berserakan di tangga. Pintu gudang yang dimasuki Tira tertutup rapat, tanda bahwa adiknya membutuhkan lebih banyak waktu sendiri.
Odette menuju dapur untuk membuat makan malam, setelah membalut luka yang menyebabkan pendarahan.
Pertunjukan Tuan Putri telah berakhir. Sekarang waktunya kembali menjadi Odette von Dyssen.
"Dan ini sebuah surat dari istana kekaisaran," kepala pelayan, Loris, mengumumkan dengan bingung saat ia menyerahkan surat pada Bastian.
Bastian, yang baru saja selesai menandatangani buku cek, perlahan mengalihkan pandangan pada surat yang diserahkan Loris. Sebuah amplop kosong dan segel lilin berstempel lambang kekaisaran, surat yang bisa dikenali pengirimnya tanpa perlu dibuka.
Dengan sebatang rokok tak menyala di bibirnya, Bastian hati-hati membuka amplop. Aroma parfum yang kuat menyeruak saat ia melakukannya. Di dalamnya, ia menemukan nama yang telah ia duga: Putri Isabelle, anak impulsif yang telah menyebabkan kekacauan dalam hidupnya yang bebas.
Ketidakdugaan pernikahannya, permohonan maaf, dan cintanya yang tak terbalas.
Bastian membacanya dengan tatapan dingin dan penuh perhitungan. Tak ada hal yang mengejutkannya dalam surat. Sang Putri terpaku pada cintanya, meniru puisi cinta kuno antara putri dan ksatria di istana. Saat membaca surat, ia bisa memahami Kaisar, yang telah kehilangan akal karena mengkhawatirkan putrinya.
"Tuan, saya sungguh minta maaf." Kepala pelayan menggelengkan kepala dan menyatakan penyesalan. "Yang Mulia Putri memberi saya instruksi tegas untuk memastikan surat ini terkirim, meskipun saya sudah mencoba menolaknya."
"Tak ada yang perlu dikhawatirkan." Bastian bangkit dari mejanya, menyalakan rokok, dan tertawa santai.
Selama bertahun-tahun, sang Putri telah menggunakan pelayan pribadinya untuk mengirim surat. Meskipun sudah lama ia tak membalas secara formal, tekad Putri tetap tak tergoyahkan.
Bastian melemparkan surat ke dalam perapian saat ia melintasi ruang kerja. Matahari yang tenggelam telah mengubah langit barat, yang bisa dilihat melalui jendela, menjadi merah.
Bastian menikmati malam yang sangat dibutuhkan untuk bersantai.
Ia merokok santai lalu berpakaian untuk latihan sebelum meninggalkan rumah. Malam telah tiba setelah ia berlari melintasi taman di tengah kota.
Bastian pulang, mengikuti promenade yang mengarah ke pintu belakang town house. Saat ia keluar dari kamar mandi yang panjang dan menenangkan, sebuah ketukan mendesak terdengar di pintunya.
"Masuk," panggil Bastian saat ia mengikat ikat pinggang jubahnya.
Kepala pelayan, Loris, masuk ke ruangan dengan langkah cepat dan suara bergetar. "Ada surat dari istana kekaisaran," katanya, mengulurkan sebuah amplop.
Bastian membuka jendela yang menghadap taman dan berbalik ke arah kepala pelayan. Dua surat dalam sehari, pikirnya, kejengkelannya pada sang Putri mencapai titik didih.
"Ini undangan pesta untuk merayakan ulang tahun Yang Mulia. Anda sekarang menjadi tamu di istana kekaisaran, Tuan," kata Loris, matanya memerah karena haru.
Bastian membuka amplop berwarna-warni dengan wajah tanpa ekspresi. Pada undangan pesta kekaisaran, namanya, Bastian Klauswitz, terukir dalam huruf tebal, indikasi jelas penghargaan atas persetujuan lamaran pernikahan.
"Ibumu di surga pasti sangat bahagia," bisik Loris, menyeka air mata.
Bastian mengangguk dan meletakkan undangan. Bagaimana perasaan ibunya yang sebenarnya tak ia tahu, namun ia tak bisa menghilangkan perasaan tentang ibu tirinya di Ardene, yang mungkin tak akan bisa tidur malam, bahkan mungkin jatuh sakit oleh kemarahan.
Bastian mengalihkan perhatian ke taman, tempat angin malam yang menyenangkan berhembus, dan menyeringai puas. Wajah Odette melintas sejenak di atas bunga-bunga musim semi yang baru mekar sebelum menghilang.
Ia akan segera melihatnya lagi...
Jika begitu, hadianya tidaklah buruk.
Comments