Bastian Chapter 7
- Crystal Zee
- 20 Mei
- 6 menit membaca
Diperbarui: 4 hari yang lalu
~Bagaikan Sinar yang Menghujam~
Bastian terkejut oleh pemandangan di hadapannya, walau hanya sesaat.
Ia bertanya-tanya apakah semua hanyalah tipuan mentari musim semi yang cerlang, atau murni halusinasi. Namun, seiring detik berlalu dan cahaya tak berubah, ia menyadari apa yang disaksikannya nyata.
Pandangannya perlahan turun, meneliti rupa wanita tak dikenal yang duduk di hadapannya. Gadis kemenangan pertaruhannya malam itu. Gadis yang dijual untuk melunasi utang judi sang ayah. Bastian tahu itu hal mustahil, namun ia tak mendesak perdebatan lebih jauh.
Manajer, yang sedari tadi memperhatikan saksama, mendekat dengan pertanyaan hati-hati. "Apa ada masalah, Tuan?" Bastian tak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat pandangan, memandang ke luar pagar teras.
Taman sungguh menakjubkan, dengan petak-petak bunga tersusun geometris dan air mancur marmer. Ia mengenalinya sebagai taman Hotel Reinfeld. Dinding dihiasi sulur-sulur plester, dan bayangan pot-pot bunga gantung jatuh di atas meja berlatar pemandangan. Lalu Manajer yang menonjol dari keramaian karena kumis tak biasa dan rambut putih.
Pandangan Bastian kembali ke wanita di hadapannya, meneliti detail yang memastikan ia tak salah tempat. Matanya, besar dan bulat, lebih jernih serta biru-kehijauan yang lebih hidup dari yang ia ingat.
Ingatan akan julukan untuk pria yang telah mempertaruhkan putrinya—Sang Duke Pengemis—membuat mata Bastian menyipit jijik. Sebuah pikiran terlintas—bagaimana jika semua kebohongan yang diucapkan pria itu benar? Meski terdengar tak masuk akal, hanya penjelasan ini yang cocok untuk situasi membingungkan.
"Kapten...?" Suara manajer memecah keheningan, matanya penuh ketidakpastian.
"Tidak." Bastian menegakkan postur, memberi jawaban ringkas. Manajer, merasa lega, diam-diam undur diri.
Musik fantasi di lounge hotel mencapai puncaknya. Odette menahan napas, diliputi ketakutan tanpa harapan yang sama seperti malam ia dijual. Detak jantung berpacu kencang, selaras dengan melodi piano. Senyum kecil bermain di sudut bibir pria itu saat ia menatap Odette. Bayangan topi perwiranya menutupi separuh wajah, namun Odette bisa melihat cibiran getir dalam ekspresinya.
"Anda Bastian Klauswitz?" Saat Odette diliputi perasaan terhina yang membuat kepalanya berputar, pria itu perlahan melepas topinya.
"Rupanya, Nona Odette dan saya pernah bertemu sebelumnya."
Mata biru dan rambut platinum yang tertata sempurna menghujam pandangan Odette bagaikan sinar yang membakar.
Tatapan riang Bastian beralih dari air mancur taman ke arah Odette saat pianis memasuki panggung dan piano mulai mengalun, mengisi ruang sempit di antara mereka dengan suara merdu.
Gadis itu masih menatap ujung meja dengan ekspresi kosong, sepucat malam saat Bastian memenangkannya. Kekeh kering keluar dari bibirnya saat ia teringat mencuri keponakan Kaisar dari Duke yang sesungguhnya, memperkuat absurditas keadaan.
Bastian hanya mengetahui status Duke Dyssen sebagai bangsawan yang jatuh. Ia tak terlalu memikirkan informasi ini, jadi ia tak merasa terdorong untuk menyelidiki lebih jauh.
Sambil menyesap tehnya yang lumayan dingin, Bastian tak bisa tidak bertanya-tanya apakah ia seharusnya lebih berhati-hati. Namun, bahkan jika ia tahu sebelumnya, ia tak bisa membangkang perintah Kaisar. Kaisar tahu itu, jadi ia bisa memaksakan lamaran pernikahan konyol ini.
Akhirnya, Odette mengangkat kepalanya dan bertanya dengan suara tenang, "Apa Anda tahu segalanya sejak awal?" Ekspresinya sedingin malam itu, semua jejak kebingungan terhapus.
"Tidak, Nona Odette," jawab Bastian. Ia menggelengkan kepala perlahan dan meletakkan cangkir teh yang dipegangnya ke permukaan meja. Penggunaan kekuatan yang disengaja menghasilkan suara yang nyaring dan jelas.
"Sayangnya, imajinasi saya tidak cukup kuat untuk percaya bahwa ayah yang menjual putrinya ke sarang judi di gang belakang adalah seorang Duke sejati, dan bahwa taruhan yang saya menangkan di sana adalah keponakan Kaisar. Saya terkejut melihat Anda di kembali berada di posisi yang sama." Dalam upaya untuk bersikap sopan, Bastian sedikit mengangkat sudut bibirnya.
Odette awalnya bingung, namun ia segera menguasai diri. Meski agak dingin, mata itu menatapnya. Ia menjalani hidup dalam kemiskinan ekstrem, namun tetap seorang wanita yang tak terlihat kehilangan kesadaran akan kelas bangsawannya.
'Sekarang kupikir-pikir, dia memang bersikap penuh martabat malam itu,' pikir Bastian.
Di mana doa dan permohonan gagal membersihkan udara tebal kebingungan dan rasa malu, gadis itu malah berbicara dengannya dengan otoritas agung. Saat ia mengetahui garis keturunan bangsawan Odette, ia mulai memahami keberanian wanita itu.
Kebanggaan kosong yang tak berdaya, sikap yang Bastian benci sampai ke inti.
'Kau pasti bercanda,' katanya pada diri sendiri.
Ingatan malam itu menjadi semakin membingungkan saat ia memikirkan lamaran pernikahan. Bastian menatap wanita itu dengan ekspresi kekecewaan mendalam. Harga yang ia bayar untuk kemenangannya adalah putri seorang duke pengemis. Ia tak ingin membuang emosinya lebih dari yang diperlukan untuk masalah ini.
Kaisar, yang tak bisa menang namun ingin mencapai banyak hal, mungkin berada di tempat lain.
Bastian hanya menatap wanita itu, matanya terpaku padanya saat uap dari cangkir tehnya menghilang. Sementara, satu lagu berakhir dan yang lain dimulai, melodi indah namun membosankan dan tak bernilai, mirip dengan wanita yang duduk di hadapannya.
"Saya mohon Anda menolak lamaran pernikahan ini." Odette berjuang mengeluarkan kata-katanya setelah menyelesaikan pikirannya. "Tolong beritahu Yang Mulia bahwa Anda tidak menyetujui saya, Kapten."
Odette melontarkan permintaan sopan lainnya saat ia berbalik menghadap Bastian, yang masih diam. Begitu mata mereka bertemu untuk pertama kalinya, ia menyadari sebuah kebenaran. Ia dibenci oleh Bastian Klauswitz, dan pria itu tak berniat menikahinya demi keajaiban mengejutkan.
Harapan yang Countess Trier bicarakan tak pernah ada. Saat ia menyadari hal ini, perasaan malu dan terhina yang tak tertahankan membanjirinya.
Lamaran pernikahan mendadak memang menakutkan, namun pada saat yang sama, ia merasakan secercah antisipasi hati-hati. Bahkan dengan penolakan seperti ini, ia tak bisa menyerah pada harapan terakhirnya yang belum terpenuhi. Terasa seolah pria yang dikenal sebagai pahlawan adalah cahaya keselamatan yang bersinar menerangi hidupnya yang tanpa harapan.
"Maaf, tapi saya tak berniat melakukannya, Nona Odette," kata Bastian tenang, menyampaikan niatnya untuk menolak.
Odette, terkejut oleh jawaban tak terduga, ragu-ragu, ia duduk tegak. Dekorasi yang melambangkan pangkat dan posisinya bersinar cemerlang di seragam putih bersih, mengintimidasi dalam kemegahannya.
"Apa Anda menyadari spekulasi publik tentang Dyssen?" Bastian secara tak terduga mengajukan pertanyaan dengan suara rendah.
Odette akhirnya berkata, berjuang menggerakkan bibirnya, "Saya... saya tidak tahu."
"Lalu, menurut Anda mengapa saya datang ke sini?" Nada bicaranya tak cocok untuk berbicara dengan wanita saat ia bertanya dengan sedikit teka-teki.
Odette membalas kekasarannya, "Akan bagus jika Anda bisa berhenti berbicara dalam teka-teki, Kapten." Bastian mengangkat pandangan dan mengangguk dingin sambil memeriksa jam di pergelangan tangannya.
"Maksudnya, saya berusaha keras untuk menjunjung tinggi kesetiaan pada Kaisar."
"Apa Anda tidak berniat menerima lamaran pernikahan ini, kan?"
Bastian tersenyum samar dan berkata, "Maaf, tapi sepertinya itu bukan pilihan."
Odette bisa merasakan pipinya memerah seperti kompor panas, namun ia tak menyerah dan menanggung situasi memalukan itu.
"Saya ingin kita berpura-pura menjadi pasangan yang telah berkomitmen untuk menikah sampai Putri Isabelle menikah," kata Bastian.
"Saya tidak berniat membantu menyesatkan keluarga kekaisaran juga," jawab Odette.
Bastian menggodanya, "Saya pikir Anda salah paham, tapi mungkin itulah yang Kaisar inginkan," dengan cara yang sangat sopan.
Sebuah perisai untuk melindungi sang putri.
Odette tahu itulah tugas yang telah ditugaskan kepadanya; ia tak sebegitu naif. Pria itu pasti punya motif datang ke sini, sama seperti dirinya yang juga di sini karena suatu alasan. Ia sekali lagi berpura-pura bermoral mengenai subjek ini. Namun, itu adalah langkah yang mengerikan.
"Seperti yang Anda lihat, saya seorang prajurit, dan Kaisar memerintah kekaisaran secara militer. Saya mematuhi perintahnya, Nona Odette."
"Apa Anda tidak mempertimbangkan gosip yang akan beredar dan kerugian reputasi Anda sementara waktu?"
"Tidak masalah. Bagaimanapun, saya bukan seorang pria bangsawan." Sudut bibir Bastian sedikit berkedut cemberut.
Bastian akan melakukan apa saja untuk melindungi miliknya, menikmati hadiah indah yang diberikan Kaisar kepadanya secara kebetulan. Lamaran pernikahan ini tak terkecuali, sebuah kesepakatan yang terlalu bagus untuk ditolak.
"Jika Anda sangat tidak menyukai saya sampai tidak ingin melihat saya lagi, saya sarankan Nona Odette pergi menemui Kaisar sendiri. Saya yakin Kaisar akan mendengarkan keponakan kesayangannya, yang harus ia bantu mencarikan suami, daripada mendengarkan seorang perwira angkatan laut rendahan seperti saya, bukankah begitu?" Bastian tetap sopan dan masuk akal meskipun ia mengucapkan kata-kata yang menghancurkan hati Odette.
Odette merasakan matanya perih, namun ia tak menghindari tatapannya. Seberkas sinar matahari yang ramping menembus penutup tenda dan memisahkan dua orang yang masih saling menatap.
"Jika Anda tidak akan melakukannya, maka saya kira kita telah mencapai kesepakatan." Setelah merapikan seragamnya, Bastian mengakhiri pertemuan dengan meraih topi perwiranya di meja.
"Tolong, tunggu sebentar!" seru Odette mendesak saat ia melihat pria itu berdiri. Ia tahu banyak mata tertuju pada mereka, namun tak ia gubris.
Odette mendekati Bastian, sebuah amplop tergenggam di tangannya. Menyadari makna di balik permintaannya yang sopan, Bastian tertawa tulus untuk pertama kalinya sejak waktu minum teh mereka dimulai. "Jangan bilang Anda akan membayar tehnya?"
"Ya, saya tidak ingin minum teh yang dibayar oleh Kapten," jawab Odette. Rona pipi menguasai dan menyebar ke leher dan daun telinga sebelum ia menyadarinya, namun Odette tetap mempertahankan postur bangsawannya yang tegak.
Angin berhembus melalui taman hotel di antara mereka. Bastian perlahan menundukkan matanya dan menatap Odette. Wanita lembut di hadapannya memancarkan aroma bunga musim semi yang menyenangkan. Sore itu begitu tenang, begitu damai sehingga hampir terdengar kelopak bunga bergemerisik tertiup angin.
"Simpan uang Anda," Bastian menghela napas rendah dan memakai topinya. "Bukan ide buruk untuk menambah dana judi Duke, supaya saya tidak akan melihat Anda di sana lagi."
"Apa maksudnya?" Odette bertanya, terkejut oleh kata-katanya.
"Anda beruntung dijual kepada saya hari itu, tetapi tidak ada jaminan Anda akan memiliki keberuntungan serupa lain kali," Bastian menegurnya seolah ia adalah anak yang belum dewasa. Meskipun suaranya lembut, matanya bersinar dengan cahaya dingin dari bawah pinggir topinya, yang membuat Odette merinding.
Odette merasa kewalahan oleh kehadirannya sesaat. Ia tahu ia harus mengatakan sesuatu, namun ia tak memiliki kepercayaan diri untuk melakukannya dengan benar. Odette tak punya pilihan selain berdiri di sana dan menerima tatapan menghina dari posisi yang sangat menguntungkan bagi Bastian.
Ia tak pernah ingin melihat pria ini lagi.
Saat keinginan tulus Bastian berubah menjadi air mata sang wanita, ia perlahan tersenyum. "Saya menantikan pertemuan kita selanjutnya di tempat yang pantas bagi Anda, seorang wanita berdarah bangsawan," kata Bastian, meninggalkan ucapan selamat tinggal yang elegan sebelum berbalik.
Odette, berdiri tegak kaku, matanya berkaca-kaca saat ia melirik punggung pria itu.
Pria itu berjalan lurus melewati tengah ruangan dan keluar dari pintu depan lounge tanpa menoleh sekali pun.
Opmerkingen