Bastian Chapter 75
- 21 Agu
- 7 menit membaca
※Apa Kau Mencintai Suamimu?※
Siang itu, toko musik di 12th Rahner Street tampak sepi. Selain pemiliknya yang berwajah lelah duduk di balik rak pajangan usang, hanya ada dua pelanggan: seorang wanita paruh baya asyik melihat-lihat partitur, dan seorang wanita muda yang tampak kehabisan napas. Di dalam ruangan, alunan waltz yang meriah mengalun dari speaker, melodinya berpadu dengan bintik-bintik debu yang berkilauan di udara.
"Kenapa terburu-buru? Kau masih punya sepuluh menit," Theodora terkekeh, berjalan santai melewati Odette, seolah menikmati setiap momennya.
Menyusuri lorong yang dihiasi tumpukan buku musik kuno, Theodora berhenti di sudut tempat sebuah piano terabaikan, menghalangi pandangan. Tempat itu ideal untuk percakapan pribadi.
"Aku tidak terkejut," kata Theodora dengan tenang, membalikkan badannya untuk menghadap langsung Odette yang terburu-buru menyusulnya. Meskipun Odette tampak berantakan karena tergesa-gesa, tatapan Theodora, yang tenang, memiliki ketegasan yang terkendali.
Anak ini menunjukkan kecerdasan luar biasa, tidak diragukan lagi bahwa syarat pertama dan terpenting telah terpenuhi.
"Kenapa kau memanggilku melalui surat ancaman yang begitu konyol?" Odette memulai dengan berani, menarik napas dalam untuk menyampaikan pernyataannya. Theodora dengan santai mengangkat bahu dan membuka buku musik di dekatnya.
"Aku menemukan surat yang ditulis sendiri oleh Duke Dyssen. Rupanya ia telah mendapatkan kembali ingatannya secara penuh tentang hari yang terlupakan karena syok akibat kecelakaan itu. Sampai kapan kau berniat melanjutkan kepalsuan ini?"
"Apakah kau mengatakan ayahku secara pribadi mengirim surat kepadamu?" tanya Odette, mencari kejelasan. Theodora, dengan santai, terus melihat-lihat rak buku, senyum bermain di bibirnya. Meskipun wajah Odette terlihat pucat, ia menatap Theodora tanpa ragu.
"Kurasa begitu," jawab Theodora dengan santai.
"Aku yakin ayahku salah paham,"
"Benarkah?"
"Ya, seperti yang kau katakan, ayahku pasti sangat terpengaruh oleh insiden hari itu. Tampaknya ingatannya telah sangat terdistorsi."
"Ah, ingatan yang terdistorsi," komentar Theodora.
"Aku menyesal kau begitu saja memercayai ucapan pasien yang berada dalam kondisi pikiran dan tubuh yang rentan. Aku akan memaafkanmu untuk kali ini, tetapi aku mohon untuk tidak menghinaku dan Tira lagi dengan cara seperti ini. Selain itu, aku harap kau berhenti ikut campur dalam urusanku."
Tanpa menunjukkan keterkejutan, Theodora menghargai kenyataan bahwa Odette memiliki sisi yang lebih berani dari penampilannya.
"Jika kau tidak memiliki hal lain untuk ditambahkan, aku akan pergi," Odette menyatakan, menjaga sikapnya tetap tenang. Setelah dengan hati-hati memindai sekelilingnya, ia mengucapkan selamat tinggal dengan sopan.
Theodora diam-diam mengamati kepergiannya, kilatan kegembiraan di matanya. Ia awalnya menganggap Odette sebagai pion yang harus digunakan dengan hati-hati, tetapi kejadian tak terduga ini memberinya rasa puas.
Meskipun seorang wanita tidak memiliki kemampuan untuk menjatuhkan Bastian sendirian, keterlibatannya masih bisa menghasilkan dampak besar. Bahkan jika rencana mereka tidak berjalan persis seperti yang diinginkan, mereka tidak akan rugi banyak. Bagaimanapun, hubungan mereka jauh dari kata baik-baik saja.
Jika Bastian, setelah mengetahui pengkhianatan istrinya, lalu memilih untuk bercerai, itu berpotensi menjadi berkah tersembunyi yang menjadi kesempatan untuk dengan cepat menodai reputasi yang telah Bastian bangun dengan susah payah. Diusir dari dukungan Kaisar akan menjadi hasil yang ideal, tanpa ruang untuk perbaikan.
"Tidakkah memalukan untuk begitu percaya diri di hadapanku ?" Suara Theodora yang rendah menyatu dengan musik. Hatinya terasa seperti tenggelam, tetapi Odette berbalik tanpa menunjukkan apa-apa.
Jangan terpengaruh olehnya.
"Nyonya Palmer." Saat Odette mencoba meyakinkan dirinya sendiri dan mengambil beberapa langkah ke depan, sebuah nama tak terduga mencapai telinganya. "Apakah nama itu mengingatkanmu sesuatu? Istri penjaga gedung, tempatmu tinggal selama tiga tahun. Ayahmu berpikir dia bisa menjadi saksi yang berharga," suara Theodora bergema dengan sedikit nada geli.
Odette menahan erangan, merasakan tenggorokannya tercekat, dan tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Pengakuan Tira bahwa ia melihat istri penjaga gedung di belakang pagar tangga terlintas di benak Odette. Citra dirinya sendiri, yang diabaikan sebagai delusi yang berasal dari rasa takut, segera menyusul.
Apakah Nyonya Palmer benar-benar melihatnya?
Saat Odette berusaha mengingat kembali kenangannya tentang hari itu, usahanya hanya semakin meningkatkan kebingungannya.
"Duke Dyssen meminta pertemuan tiga arah, mendesak kehadiran Tira dan Nyonya Palmer di rumah sakit. Jika putrinya yang tidak berperasaan memilih untuk tetap tidak tahu sampai akhir, kurasa akan pantas untuk membebaskannya dari ketidakadilan," Theodora merenung keras. "Jika kau pergi sekarang, aku akan menganggapnya sebagai indikasi positif. Tentu saja, aku perlu mendiskusikan ini dengan Bastian."
Terus berjalan. Aku harus terus berjalan.
Maju adalah hal yang sangat penting. Odette memaksa dirinya dengan tekad yang tak tergoyahkan, namun Odettee mendapati dirinya tidak bisa bergerak sedikit pun.
Ingatan ayahnya telah muncul kembali, dan tidak ada lagi yang bisa menyangkal fakta itu. Terlebih lagi, tampaknya Theodora Klauswitz telah mengetahui semua ingatan itu.
Tira...
Odette bersandar pada rak buku, mencari dukungan untuk kakinya yang goyah. Nama adik perempuannya bergetar di bibirnya, dan napasnya meningkat hingga tidak mungkin lagi menyembunyikannya. Rasanya seperti sedang menghadapi matahari siang yang menyengat, atau lebih tepatnya, kegelapan yang begitu pekat sehingga bahkan satu inci pun tidak bisa terlihat di depannya.
"Nah, tampaknya kita bisa bicara sebentar."
Langkah kaki Theodora, yang sebelumnya beresonansi serempak, berhenti di belakang Odette.
"Bastian masih belum tahu, kan? Pria yang penuh perhitungan itu tidak akan menikahi wanita yang menyimpan rahasia berbahaya ini, kan?" Tangannya meliuk seperti ular air, melingkari bahu Odette. "Seorang putri tidak sah yang mencoba membunuh ayahnya sendiri, dan seorang kakak perempuan yang menjadi kaki tangan untuk adik tirinya. Seorang ayah menjadi lumpuh karena tindakan kedua putrinya. Dan sekarang, tokoh sentral dalam insiden itu adalah anak Tuan Putri Helene dan istri pahlawan perang, Bastian Klauswitz. Ini situasi yang sangat lucu, benar bukan? Situasi yang cukup untuk memicu skandal yang akan membuat seluruh Kekaisaran heboh."
Gramofon yang tidak aktif tiba-tiba kembali memutar musik, memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. Odette, membuka matanya yang tertutup rapat, secara naluriah mengusir genggaman yang tidak nyaman di bahunya. Saat berbalik untuk menghadapi Theodora Klauswitz, pikirannya tiba-tiba menjadi jernih.
"Jika kau berniat untuk menciptakan skandal dan menodai reputasi Bastian, tidak akan perlu melakukan pertemuan ini dan ancaman yang menyertainya," Odette menatap Theodora dengan dingin dan tenang. "Katakan apa motifmu. Aku bersedia mendengarkan."
"Sebelum kita melanjutkan, izinkan aku mengajukan satu pertanyaan,"
Theodora menyatakan, meletakkan partitur musik dan melipat tangannya dengan santai. Sinar matahari yang menyaring melalui jendela menyinari Odette, yang berdiri gemetar namun tegak.
"Apakah kau benar-benar mencintai suamimu?"
Pertanyaan dingin itu bergema bersama melodi fonograf. Odette mendapati dirinya tidak bisa memberikan jawaban yang lugas. Tidak peduli berapa kali ia mengerutkan bibir, hasilnya tetap sama. Jurang besar antara rasa kewajiban dan perasaan sejatinya terasa tak tertembus.
"Baiklah," Theodora mengangguk, seolah menerima jawaban yang memuaskan. "Tampaknya sekarang kita bisa melanjutkan urusan tadi."
Bastian berjalan menyusuri koridor yang menghubungkan kamar tidur, langkahnya lebih lambat dari biasanya. Kelelahan yang ia rasakan terasa semakin kuat, diperparah oleh rasa pusing setelah mandi.
Pengajuan penugasannya telah berhasil diserahkan. Meskipun ia kecewa, Laksamana Demel, untungnya, tidak menunjukkan keras kepala lebih lanjut. Namun, Bastian mendapati dirinya membayar harga dengan menjadi teman minum sang laksamana hingga larut malam.
Saat pintu koridor terbuka tanpa suara, sebuah suara lembut muncul dari bayang-bayang.
"Bastian."
Pandangan Bastian bergeser perlahan ke arah api di perapian yang menari, dan menemukan Odette, yang ia kira sudah tertidur, berdiri di depannya.
"Oh, Odette. Kupikir kau sudah tidur nyenyak," Bastian melirik sekilas ke jam meja yang bertengger di atas perapian yang berderak. Waktu sudah menunjukkan tengah malam, biasanya Odette sudah terlelap.
Keheningan semakin dalam, hanya diselingi oleh derak kayu bakar yang memenuhi udara. Bastian menunggu dengan sabar, tetapi Odette tetap tidak bergerak.
Bermandikan cahaya hangat perapian, Odette menatapnya tanpa putus. Syal renda yang tadinya di sandaran kursi, diam-diam meluncur ke lantai, tak disadarinya.
Menjauh dari jalurnya menuju tempat tidur, Bastian mendekat ke perapian. Ia mengambil syal yang jatuh dan dengan lembut menyodorkannya pada Odette.
Mundur selangkah, Bastian mengamati Odette yang buru-buru menyelimuti dirinya dengan syal, wajahnya yang pucat tersapu rona tipis. Sungguh lucu melihatnya bersikap sopan, hampir seperti biarawati, namun itu tidak sepenuhnya salah. Bagaimanapun, ia adalah pengantin wanita yang pernikahannya belum disempurnakan.
Jika semuanya berjalan sesuai rencana dan kontrak terpenuhi, Odette akan berubah menjadi janda yang suci. Dan suami berikutnya akan menjadi pasangan pertamanya.
Saat Bastian merenungkan hal itu, tawa kecil tanpa sengaja keluar dari bibirnya.
Seorang janda perawan.
Sungguh, dunia menyimpan berbagai kombinasi kata yang aneh.
Namun, jika terus melakukan perilaku sembrono seperti itu, ia berisiko mendapatkan reputasi sebagai pria yang diceraikan dan dikebiri. Ini bukan masalah sepele; tindakannya memiliki bobot lebih dari kecerobohan biasa.
"Kurasa kau minum terlalu banyak, Bastian," kata Odette, mengencangkan syal di sekeliling dirinya.
Bastian tersenyum dan mengangguk, mengakui sifat menyedihkan dari pikirannya. Semua itu tampaknya adalah efek yang tersisa karena menuruti keinginan Laksamana Demel untuk minum berlebihan.
"Sekarang, ayo kita tidur,"
Odette menyarankan dengan kekhawatiran tulus, seolah merawat orang sakit. Meskipun kekhawatiran yang tidak perlu itu tidak membuat Bastian senang, tapi juga tidak mengganggunya.
"Apa kau ingin aku menemanimu?"
"Kenapa kau tidak menyanyikan lagu pengantar tidur saja?" tanya Bastian dengan main-main.
Mata Odette melebar, terkejut dengan permintaan tak terduga itu. Meskipun Bastian tampak dingin karena kurangnya ekspresi emosional, ia memiliki sisi polos yang tidak terduga.
Bastian menghela napas lembut, menutup jarak di antara mereka dengan langkah terakhirnya. Odette, terkejut, secara naluriah mundur selangkah, tetapi gerakan Bastian lebih cepat untuk meletakkan tangannya di bahunya.
"Odette," ia mengucapkan namanya dengan nada penuh semangat dan gairah.
Tangan besar Bastian yang semula berada di bahu kini bergerak menangkup wajah Odette, yang berusaha menahan napasnya. Ia sedikit berjuang, tetapi cengkeraman Bastian terlalu kuat untuk ia lepaskan.
"Bastian, tolong jangan lakukan ini. Aku..."
Sebelum Odette bisa menyelesaikan permohonannya, Bastian mencondongkan tubuhnya dan memberinya ciuman penuh gairah. Napasnya, yang berat dengan bau alkohol mengalir melalui bibir mereka yang terbuka, membuatnya terkejut dan tidak memberinya waktu untuk bereaksi.
Ini bukan ciuman agresif dan penuh paksaan seperti sebelumnya.
Bastian melahap bibirnya dengan sengaja sebelum menjalin lidahnya dengan milik Odette. Ciumannya cukup lembut, tetapi berlangsung sangat lama. Hal yang sama terjadi ketika Bastian dengan lembut membelai pipinya dengan tangannya.
Odette hanya menanggung pengalaman aneh itu dengan ekspresi kosong. Baginya, Bastian pasti mabuk karena alkohol. Tidak peduli seberapa keras Odette mencoba, ia tidak dapat menyembunyikan erangan halus yang menyelinap di antara bibir mereka yang menyatu, yang hanya meningkatkan rasa malu pada dirinya.
Ciuman mereka begitu intens sehingga ia sejenak melupakan malam yang menakutkan itu.
Odette, terpaku pada Bastian dengan tatapan kosong, mengalihkan pandangannya, diliputi oleh sensasi yang tak terlukiskan. Namun, ingatan akan tatapan Bastian yang dipenuhi dengan kerinduan yang terasa asing, terus membekas di pikirannya.
"Kenapa?"
Pikirannya tenggelam dalam perenungan, Bastian mendekatinya sekali lagi. Sebelum ia mencoba mendorongnya menjauh, bibir Bastian dengan lembut menyentuh dahinya.
Odette mencoba menciptakan jarak antara dirinya dan Bastian yang semakin tipis, tetapi tangannya jatuh dalam gerakan tak berdaya. Kebingungan yang luar biasa membanjirinya, mengikis sisa-sisa tekadnya sebelumnya, meninggalkan pertanyaan gigih yang terjalin antara harapan dan keputusasaan.
Mulai dari kelopak mata dan menelusuri jalan di pipinya, perjalanan ciuman Bastian berlanjut hingga mencapai tulang hidungnya, dan berakhir di bibirnya.
Bastian menghela napas lembut, memisahkan bibirnya. Tangannya, menangkup bagian belakang kepalanya, dengan lembut membelai rambut Odette yang berantakan, sama seperti sentuhan lembut Odette ketika menghibur Margrethe. Itu sentuhan yang dipenuhi kelembutan dan kehangatan.
"Bastian…."
Odette berbisik di antara bibirnya, yang memerah dan lembap, diresapi dengan secercah harapan. Dari tatapannya yang diam, kehangatan yang nyaman terpancar, mengingatkan pada cahaya nyaman yang memancar dari perapian.
"Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan...?"
Odette dengan gugup mengangkat tangannya dan meraih manset lengan Bastian saat mengangkat suaranya.
Komentar