;
top of page

Bastian Chapter 74

  • 21 Agu
  • 7 menit membaca

※Bukti Pernikahan※

Pahlawan dan Sang Jelita.

Begitulah foto Kapten Klauswitz dan istrinya diiringi pujian yang cukup manis.

Dengan senyum sinis, Theodora membuka koran pagi itu. Artikel utama tentang festival angkatan laut tahun ini seolah menjadi persembahan untuk Bastian Klauswitz. Hatinya terasa sakit saat membaca pujian meluap-luap Angkatan Laut kepada cucu penjual barang antik yang kini disebut pahlawan.

Ia dengan acuh tak acuh meletakkan koran terlipat di pinggir meja teh, memastikan foto Bastian tidak terlihat.

Theodora sempat merenungkan kemungkinan untuk mengabulkan keinginan suaminya agar Franz menjadi perwira militer. Namun, jauh di lubuk hati, ia tahu bahwa impian itu sia-sia. Franz memang tidak pernah diciptakan untuk karier militer, terlepas dari desakan ayahnya. Bahkan jika Franz enggan menurutinya, ia tidak akan mampu bertahan lama.

Menyadari keputusan bijak Franz, Theodora mengenyahkan kekhawatiran sia-sianya dengan membunyikan bel. Dalam sekejap, Nancy muncul.

"Saya menerima pesan dari Molly," ungkap Nancy, mendekati meja dan menyerahkan surat yang disembunyikan di balik lengan bajunya.

Theodora menerimanya, menyisihkan cangkir tehnya, lalu membaca surat yang berisi jadwal Odette Klauswitz yang terperinci untuk minggu itu. Tampaknya waktu yang paling cocok untuk tujuan mereka adalah sore hari ini.

"Aku sangat mengagumi keponakanmu. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, aku akan selalu mengingat kontribusi kalian berdua," puji Theodora kepada pelayannya yang setia, tersenyum lebar.

Sinar matahari pagi yang cerah menyinari Nancy, yang wajahnya menunjukkan ekspresi terharu. Sejak Theodora menerima surat dari Duke Dyssen, ia sengaja membiarkan tirai terbuka agar cahaya matahari membanjiri ruangan. Pemandangan dua rumah mewah yang saling berhadapan tidak lagi terasa buruk; justru membangkitkan motivasinya.

"Bersiaplah. Kita akan pergi ke Ratz. Kita berangkat sekitar siang," Theodora mengumumkan sambil bermalas-malasan meregangkan tubuhnya saat bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan menuju balkon.

Odette, istri Bastian, telah menolak undangannya, menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak tahu tentang rencana Theodora. Jelas sekali Odette tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang Theodora rencanakan. Sementara itu, masuk akal untuk memercayai sikap polos Molly dan berasumsi ia tidak bermain sebagai agen ganda. Jika memang demikian, ini saatnya bertindak.

Bersandar pada pagar marmer yang hangat karena matahari, Theodora menyesap rokoknya, menikmati asap sambil memandang ke seberang laut. Istri Bastian berencana mengunjungi Ratz sore ini untuk menemui kerabat mereka, Countess Trier.

Mengembuskan asap, mata Theodora tertuju pada rumah mewah di kejauhan. "Jika kau tidak mau datang kepadaku, maka aku yang akan datang kepadamu," gumamnya dengan sedikit kesal.

Tugas ini memang merepotkan, tetapi Odette Klauswitz pantas mendapatkan perhatian lebih. Bagaimanapun, Odette punya peran penting bagi Theodora, setidaknya untuk saat ini.

Kantor Laksamana Demel berada di lantai tiga markas angkatan laut, menunggu kedatangan Bastian. Saat menaiki tangga, ia mencapai anak tangga teratas dan diam-diam memastikan amplop di saku seragamnya.

Di dalamnya ada formulir pengajuan penugasan yang telah ia isi dengan cermat, yang akan membawanya ke Pulau Trosa, garis depan sekali lagi. Tugas ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar, dan itu keputusan yang telah ia pikirkan matang-matang.

Kehancuran ayahnya tidak akan langsung mengembalikan segalanya seperti semula. Dampaknya membutuhkan banyak waktu dan upaya untuk membersihkan kekacauan yang tersisa. Saat Bastian merenungkan bagaimana memanfaatkan waktu itu untuk hal yang menguntungkan, sebuah rencana terbentuk di benaknya. Formulir penugasan yang ia pegang adalah pilihan terbaik yang ia temukan.

Keterlibatan Bastian dalam perusahaan kakeknya terbatas pada merancang skema rumit untuk menjerat ayahnya. Namun, tugas-tugas selanjutnya diurus dengan efisien oleh Thomas Muller, seorang individu yang pragmatis. Masuk akal untuk percaya bahwa ketidakhadiran Bastian tidak akan mengakibatkan kemunduran yang merugikan.

Dengan amplop yang tersimpan aman kembali di sakunya, Bastian melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Suara langkah kakinya yang tegas bergema di sepanjang koridor panjang.

Alasan ia berpikir begitu lama berasal dari tuntutan pekerjaan di departemen Angkatan Laut. Nasihat dari rekan-rekannya bahwa bertugas di markas akan bermanfaat bagi kariernya sangat ia pertimbangkan.

Pemikiran Bastian sendiri pun mengamini hal yang sama. Naik ke pangkat terhormat bukan hanya hasil dari kecakapan yang luar biasa. Mau tidak mau, menavigasi melalui seluk-beluk politik dengan otoritas terbatas adalah hal yang penting, dan menduduki peran penting di dalam markas besar menyajikan senjata yang tangguh untuk mendapatkan keuntungan dalam pertarungan melawan ayahnya.

Dengan mengikuti perhitungan tersebut, tampaknya bijaksana untuk tetap berada di posisi ini. Namun, tekadnya untuk menghindari hidup seumur hidup sebagai prajurit tetap tak tergoyahkan. Sebaliknya, ia beralasan bahwa mengenakan seragam militer untuk sementara waktu akan memperkuat kehormatan yang ia peroleh dengan susah payah. Jika demikian, menambahkan beberapa medali mengilap lagi, mungkin yang pantas untuk seorang mayor, akan menjadi sentuhan akhir yang sempurna, meningkatkan pencapaiannya.

...Dan Odette.

Bastian tidak bisa mengusir nama yang terus bergema di benaknya, membuatnya melambat saat ia berulang kali menulis, merobek, dan menulis ulang formulir penugasan kerjanya.

Bagaimana jika Odette menjadi istriku yang sebenarnya?

Pikiran itu menghantuinya, terus membayangi alam bawah sadarnya. Lamunan yang tadinya samar, kini telah mengambil bentuk nyata dan rutin menguasai pikirannya.

Odette menunjukkan dedikasi dan cinta yang tak tergoyahkan terhadap keluarganya, yang meyakinkan Bastian bahwa Odette pasti akan tetap setia pada keluarga baru mereka juga. Bahkan jika perasaan Odette saat ini tidak romantis, Bastian yakin seiring waktu, kasih sayang Odette padanya akan tumbuh. Meskipun ia tidak begitu akrab dengan konsep keluarga harmonis, ia yakin bisa menyediakan lingkungan keluarga yang lebih baik untuk Odette dibandingkan keluarga Dyssen, yang telah mengeksploitasinya sepanjang hidup.

Bastian tahu ia punya banyak hal untuk ditawarkan sebagai suami untuk Odette.

Ia bertekad untuk memberinya kehidupan bangsawan yang tak tertandingi, melampaui bangsawan mana pun, dan berjanji akan memberinya hal-hal paling berharga dan indah yang dunia tawarkan. Apa pun yang diinginkan hati Odette, ia tidak akan berhenti sampai mendapatkannya. Di atas segalanya, ia akan melindunginya dari kesulitan lebih lanjut, memastikan tidak ada lagi noda yang mengotori hidupnya yang sudah penuh tantangan.

Dengan keyakinan teguh, Bastian percaya ia bisa mewujudkan peran sebagai suami yang setia, ayah yang peduli, dan fondasi dari keluarga penuh kasih. Hanya masalah waktu sebelum hati mereka terjalin, karena Odette tidak pernah menjadi wanita yang akan mengkhianati kepercayaannya.

Kemungkinan mencapai kehidupan yang begitu memuaskan membuatnya merenung untuk melepaskan aliansi dengan Laviere. Namun, ia mengakui bahwa kecenderungan ini mungkin tidak lebih dari dorongan sesaat, delusi yang didorong oleh kerinduan akan wanita yang ia inginkan.

Namun, saat ia beralasan bahwa waktu bisa menyelesaikan masalah ini, ia dengan tegas membubuhkan tanda tangannya pada formulir pengajuan penugasan. Itu pilihan yang mantap, tanpa keraguan yang tersisa.

Bastian mencapai kantor Laksamana Demel dan meluangkan waktu sejenak untuk meluruskan postur tubuhnya sebelum dengan ringan mengetuk pintu.

"Masuk," jawab sang laksamana, suaranya terdengar dari balik pintu yang tertutup, kuat dan ceria seperti biasanya.

"Lihat ini. Sungguh luar biasa kita punya bukti yang begitu meyakinkan," ujar Countess Trier dengan senyum puas, sambil membuka koran di tangannya.

Melihat foto itu, Odette membalas dengan senyum tipis dan menundukkan pandangan. Suara sendok yang mengaduk cangkir, padahal gula di dalamnya sudah lama larut, mengisi keheningan yang menyelimuti mereka.

"Aku selalu merasa terganggu karena kalian tidak punya foto pernikahan. Setiap kali seniman potret disebut-sebut, suamimu selalu menolak. Aku bahkan hampir curiga dia sengaja menghindari bukti pernikahan,"

"Bukan begitu. Bastian..."

"Aku mengerti sepenuhnya. Jangan khawatir. Melihat kehangatan dan kasih sayang yang suamimu tunjukkan, jelas sekali kalian berdua masih tenggelam dalam masa bulan madu," Countess Trier menenangkan, menyisihkan koran, lalu tertawa gembira sambil bertepuk tangan. "Jika niatnya jahat, dia tidak akan dengan bangga memamerkan istrinya ke seluruh Kekaisaran. Ternyata perasaannya padamu jauh lebih dalam dari yang kuduga. Kau tidak perlu cemas lagi."

Saat Countess Trier mengencangkan genggamannya pada cangkir teh, cincin safir yang dibuat dengan halus berkilauan di tangannya yang keriput, menangkap cahaya.

Pandangan Odette terpaku pada cahaya biru halus dari cincin itu. Dengan senyum yang terlatih, ia menyembunyikan gejolak batinnya sekali lagi. Itu kesalahpahaman yang sulit, yang tidak bisa dengan mudah ia jelaskan.

Countess Trier mulai menghujani Bastian dengan pujian meluap-luap, sebuah kebalikan total dari sikap ragu-ragunya saat dulu menyampaikan kabar pernikahan mereka. Kontras yang mencolok dalam sikapnya tidak mungkin diabaikan.

Odette dengan lembut meletakkan sendok teh yang sedari tadi ia mainkan, tatapannya terpaku pada pantulan dirinya sendiri yang tercermin di cangkir teh.

Seperti yang disebutkan Countess Trier, Bastian memang cermat dalam menghindari jejak pernikahan mereka. Baru sekarang Odette mulai memahami motif di balik pujian dan pengakuan berlebihan yang diberikan kepadanya. Situasi ini bisa dengan mudah menimbulkan kecurigaan.

Odette merasa bodoh karena tidak menyadarinya lebih awal. Untungnya, pandangan jauh Bastian telah memungkinkan mereka meredam keraguan apa pun yang mungkin muncul—sebuah keberuntungan yang patut mereka syukuri.

"Masih belum ada kabar tentang anak?" Celotehan Countess Trier tiba-tiba terhenti, diakhiri dengan pertanyaan yang membingungkan.

Odette menjawab pertanyaan itu dengan sedikit anggukan dan menundukkan matanya. "...Belum,"

"Yah, kalian berdua masih muda dan sehat, jadi tidak perlu terburu-buru. Tapi, mengertilah kerinduan hati wanita tua ini, ingin segera menggendong bayimu. Seorang anak yang lahir dari orang tua luar biasa seperti kalian, bayangkan betapa cantiknya mereka nanti!" Countess Trier mengalihkan perhatiannya kembali ke gambar di koran, memberi Odette waktu sejenak untuk menenangkan diri dan mengatur ekspresinya.

Akhir-akhir ini, topik tentang anak-anak semakin sering muncul, menandakan bahwa pembicaraan itu sudah semakin dekat. Namun, Odette merasa lega dari pertanyaan-pertanyaan canggung ini hanya ketika Bastian tidak ada di medan perang.

Saat pikirannya mencapai titik ini, Odette mulai memahami pilihan Bastian untuk pergi dari Berg. Dia membuktikan dirinya sebagai kapten yang terampil dalam perjalanan pernikahan mereka, dengan cekatan memetakan arah menuju tujuan yang mereka inginkan. Kemenangan Bastian adalah kemenangannya, jadi Odette hanya perlu percaya padanya dan mengikuti arahannya.

"Maaf, ada surat untuk Nyonya Klauswitz," ujar pelayan itu, menyajikan amplop yang tersegel rapat tepat saat Odette mulai kembali tersenyum.

Bingung dengan perkembangan tak terduga itu, Odette bertanya tentang asal surat itu, suaranya diwarnai kejutan. Sang pelayan mengangguk, memberikan detail tambahan.

"Surat itu diantar oleh kurir, ditandai sebagai 'mendesak', itulah sebabnya surat itu dibawa langsung ke sini. Ini pesan dari Lady Rahner," jelas sang pelayan.

Rahner...

Odette diam-diam mengulang nama asing itu dalam pikirannya saat dengan hati-hati membuka amplop. Pemandangan kertas surat berwarna emas yang dihiasi dengan mewah tiba-tiba membuat dadanya terasa sesak, seolah tenggorokannya tercekat.

Meskipun tidak ada indikasi eksplisit tentang identitas pengirim, Odette secara naluriah mengenalinya. Ia pernah melihat kertas surat khusus ini sebelumnya.

Theodora Klauswitz...., seseorang yang tidak terikat oleh darah tetapi dianggap sebagai keluarga. Sebuah hubungan yang lebih dari sekadar tetangga, seperti tetangga sejati. Itulah dia.

Odette mengingat kembali undangan yang baru-baru ini ia terima dari Theodora, dihiasi dengan pola emas khas yang sama. Keakraban itu bergema dalam dirinya.

"Kau baik-baik saja, Odette? Apakah kau menerima berita yang buruk?" Pertanyaan khawatir Countess Trier menyentakkan Odette dari lamunannya, mendorongnya untuk dengan cepat mendapatkan kembali ketenangannya.

"...Tidak, bukan apa-apa," Odette buru-buru berkata, menggenggam erat surat terlipat itu. "Ini dari istri seorang perwira tinggi yang kukenal. Dia menyebutkan ada masalah mendesak terkait Festival Angkatan Laut."

Meskipun tangannya gemetar, Odette memaksakan senyum yang meyakinkan. Untungnya, Countess Trier mengangguk tanpa sedikit pun kecurigaan.

"Sangat disayangkan, tapi silakan saja. Kita tidak bisa mengabaikan persiapan untuk hari yang akan membawa kemuliaan bagi keluarga kita,"

"Terima kasih atas pengertian Anda, Countess," Odette dengan cepat bangkit dari meja teh, mengucapkan selamat tinggal dengan sopan.

Berhasil meninggalkan ruang tamu tanpa kakinya yang tidak stabil menarik perhatian, Odette buru-buru kabur dari Rumah Trier. Ia tidak lagi memiliki kapasitas untuk memperhatikan tatapan ingin tahu dari para pelayan rumah tangga.

Bertekad untuk memadamkan keraguan sia-sia, Odette memilih untuk mengesampingkannya sejenak. Di atas segalanya, prioritasnya adalah bertemu Theodora Klauswitz.

Dengan satu-satunya pikiran itu yang membimbingnya, Odette mulai berlari, hanya mengandalkan tekadnya untuk mencapai tujuannya.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Donasi Pembelian Novel Raw untuk Diterjemahkan

Terima kasih banyak atas dukungannya 

bottom of page