;
top of page

Bastian Chapter 71

  • 20 Agu
  • 8 menit membaca

Malam Ajaib

Berjalan bergandengan tangan, Odette menyusuri taman hiburan yang ramai, tenggelam dalam suasana meriah. Genggamannya pada tangan Bastian seperti genggaman anak kecil yang sedang berlibur.

Pandangan Odette tertuju pada permen kapas di tangannya, hadiah manis pengganti Tira. Rasanya seperti mimpi. Odette ragu untuk memakannya, tetapi ia juga tidak bisa membuangnya. Situasinya serba salah.

Odette menghela napas pasrah, lalu mengangkat pandangannya, menatap Bastian. Meskipun cahaya berwarna-warni di sekitar mereka sangat terang, ekspresi Bastian tetap sama. Ada kebaikan, tetapi juga sedikit ketidakpedulian.

Kenapa Bastian masih menyembunyikan kepergiannya dariku? Apa ia menganggap hubungan kami tidak penting, sampai tidak perlu mengucapkan perpisahan yang layak? Kalau memang begitu, kenapa ia bersikap baik padaku sekarang? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di benak Odette, membuatnya merasa bingung dan tidak yakin.

Saat beragam pertanyaan itu masih membebani pikirannya, keduanya tiba di pusat taman hiburan. Di sana, sebuah alun-alun dihiasi istana megah dari rangka baja, yang dipenuhi banyak pengunjung.

Tak sadar, pandangan Odette terpana melihat pemandangan di depannya, dan napas kagum lolos dari bibirnya. Istana listrik berkilauan dengan cahaya warna-warni, memberikan kilau ajaib ke sekitarnya. Melodi dari komidi putar dan tawa riang anak-anak berpadu harmonis, memperindah malam musim gugur yang perlahan menyelimuti mereka.

Odette berhenti, terpesona oleh panorama yang memikat di hadapannya. Ia seolah melangkah masuk ke dalam dongeng—sebuah hadiah yang diberikan kepada tokoh utama yang telah berhasil melewati cobaan yang tak terhitung jumlahnya.

Inilah bab di akhir cerita, di mana masa depan yang cerah dan menjanjikan terbentang, menjanjikan kebahagiaan dan kepuasan seumur hidup. Namun, lamunan singkatnya tiba-tiba buyar oleh angin sejuk yang membawa aroma manis permen kapas.

Saat itu juga, Odette kembali ke realitas di sekitarnya. Ia melirik permen kapas di tangannya, lalu kembali menatap Bastian. Mata mereka bertemu lagi.

"Bastian," Odette berbisik lembut, membuat Bastian menoleh padanya. Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi matanya menunjukkan kelembutan saat menatap Odette. Meski begitu, sulit untuk menganggapnya sebagai keintiman yang mendalam. Bagaimanapun, Bastian Klauswitz adalah pria dengan tata krama sempurna.

Ia selalu sopan dan baik, tidak pernah menunjukkan lebih dari apa yang seharusnya. Odette tahu betul bahwa ini hanyalah topeng, penggambaran permukaan dari pernikahan mereka. Sudah jelas ia menjalani pernikahan ini dengan pola pikir seperti itu.

Namun, ada kalanya kebenaran terungkap.

Pada suatu hari di musim semi, Odette mengetahui bahwa taruhan yang Bastian menangkan di tempat perjudian tersembunyi adalah milik pasangan yang dipilihkan kaisar untuk dijodohkan dengan Odette. Sebuah pita, yang awalnya dimaksudkan sebagai simbol kemenangan, dibuang begitu saja di lumpur. Tangan tak berperasaan Bastian mengulurkan kontrak yang menawarkan pekerjaan selama dua tahun. Di pegunungan, sebuah malam yang dipenuhi hasrat tak terkendali terungkap, tanpa keraguan apa pun.

Emosi Bastian yang mentah selalu berhasil menusuk hati Odette. Kebenaran yang tertutupi oleh hari-hari damai tiba-tiba muncul kembali saat ia melihat wajah Bastian yang tenang. Namun, berkat usaha mereka berdua, perjanjian kontrak berjalan relatif lancar.

Mereka berdua bertujuan untuk memenuhi tujuan bersama, yaitu menyelesaikan kontrak dengan sukses. Mungkin ada saat-saat di mana pemahaman dan empati muncul dari waktu yang mereka habiskan bersama, tetapi itu hanya sekejap, seperti ilusi yang diciptakan oleh permen kapas.

Karena itu, memikirkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu terasa sia-sia.

Pikiran Odette, yang seperti benang kusut, akhirnya mulai terurai. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang tumpul menghantam bahunya. Odette terdorong ke samping saat ia mencoba melewati kerumunan yang berkumpul untuk melihat Istana Listrik. Ia berhasil tidak jatuh karena ditopang oleh Bastian. Namun, permen kapas yang luput dari tangannya sudah tergeletak di tanah.

"Biarkan saja, Odette. Aku akan membelikanmu lagi," Bastian terkekeh, membujuk Odette agar tidak mengambil permen kapas yang jatuh. Sikapnya lembut, seperti sedang menenangkan anak kecil.

"Tidak, tidak apa-apa," jawab Odette, menolak tawarannya.

Odette menatap permen kapas yang kini tercemar oleh jejak sepatu, dan menggelengkan kepala sambil tersenyum. Benang keajaiban yang halus, yang menyerupai gumpalan awan, telah lenyap, hanya menyisakan gumpalan gula yang hancur. Mengecewakan, tetapi tidak ada rasa penyesalan. Dengan perasaan lega, Odette menoleh ke arah Bastian.

Bahkan jika suatu hari nanti Bastian tiba-tiba pindah ke garis depan, kontrak mereka tidak akan terpengaruh. Yang harus Odette lakukan hanyalah kembali dalam jangka waktu yang ditentukan dan membayar hadiahnya. Karena itu, satu-satunya yang bisa Odette lakukan adalah menunjukkan kerendahan hati dalam menghadapi setiap pilihan dan menjalankan tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya.

"Di sini terlalu ramai. Ayo kita cari tempat yang lebih tenang," ajak Odette, meninggalkan sisa-sisa permen kapas yang sudah tidak berbentuk. Tekadnya untuk menikmati malam yang memikat ini tidak tergoyahkan. Itu caranya membalas kebaikan Bastian.

"Kontrol dirimu," Theodora memperingatkan, memotong ucapan Franz saat hendak mengancingkan kancing terakhir pada jaketnya. Terkejut, Franz dengan lelah berbalik menghadap ibunya. Theodora Klauswitz duduk dengan nyaman di kursi dekat perapian, sama sekali tidak terlihat seperti seorang penyusup yang masuk ke kamar putranya di tengah malam.

"Aku rasa baru-baru ini ibu memberi nasihat untuk bersikap baik pada Ella," Franz mencoba menyembunyikan kejengkelan yang muncul di benaknya dan menjawab. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan, dipenuhi kunjungan ke bursa saham, bank, dan mitra bisnis yang tak terhitung jumlahnya. Franz menghabiskan sepanjang hari menavigasi kawasan keuangan Ratz yang ramai, terus-menerus mempelajari cara kerja perusahaan.

Namun, ayahnya tidak akan menyerah dengan mudah. Tampaknya Jeff mulai bosan dengan angka dan persamaan yang rumit, ia memecat Franz dengan mengomel dan mengamuk pada penerus yang dianggapnya tidak dapat diterima, dan menggunakan bahasa yang kasar.

Setiap hari adalah siksaan bagi Jeff sejak makhluk rendahan itu merebut haknya untuk membangun rel kereta api dan mengakhiri karier pembangunan rel kereta apinya.

"Memang, sangat penting bagimu untuk memperlakukan Ella dengan baik. Di saat-saat seperti ini, kita harus berpegang pada kepolosan masa kecil. Kita perlu memastikan bahwa Pangeran Klein tidak meremehkan kita atau berpikiran lain," Theodora menyatakan saat meletakkan pipanya dan bangkit dari tempat duduk.

Franz, dengan mata tertutup rapat, dengan cemas membuang jaket dan dasinya ke tempat tidur. Penyebutan nama tunangannya, Ella, sekarang membangkitkan rasa muak dalam dirinya.

Ibunya mengklaim bahwa Ella akan menjadi orang yang akan mengangkat dan mendukungnya, dan Franz mempercayainya. Akibatnya, ia menerima pertunangannya dengan Ella von Klein. Sedikit yang Franz bayangkan bahwa wanita itu akan menjadi individu yang menjijikkan dan manja.

Ella sering menuntut cinta dan perhatian Franz, beralih ke ibunya dan mengarang cerita ketika keinginannya tidak terpenuhi. Ia membawa dirinya dengan martabat dan kebanggaan yang sesuai dengan keluarga bangsawan.

Franz dengan santai melepas kacamata dan jam tangannya, duduk di tepi tempat tidur saat menghela napas berat. Theodora berdiri tepat di depannya, dalam jarak yang dekat.

"Sepertinya ada wanita lain yang juga butuh dikontrol," komentar Theodora. Suaranya terdengar lembut saat mengusap bahu putranya yang tampak lelah. Genggamannya lembut ketika ia memegang tangan Franz. Kulit Franz memucat saat Theodora mengarahkan pandangannya ke rak paling bawah di lemari, tempat potret Odette disembunyikan.

"Tidak... Ibu... tidak menggeledah kamarku lagi, kan?" Suara Franz bergetar, tak percaya.

"Karena kau menolak untuk bicara, apa aku tidak boleh mengambil tindakan apa pun?" Theodora bertanya dengan sedikit nada frustrasi.

"Ya Tuhan, Bu!" seru Franz, terperanjat mendengar kata-kata ibunya.

"Berkat itu, aku sekarang mengerti kenapa kau tiba-tiba mengabaikan tunanganmu. Meskipun menyedihkan, pada akhirnya aku tahu dia adalah istri Bastian," Theodora berkomentar, nadanya terdengar kecewa. Meskipun Franz terkejut, Theodora tetap tenang, bahkan tidak mengangkat alisnya.

"Seberapa intim hubunganmu dengannya?" Theodora bertanya dengan tenang, menatap Franz lurus.

Dengan alis terangkat, Theodora mendesak lagi, bertekad mendapatkan jawaban. "Seberapa dekat kau dengannya?"

Keheningan menggantung di udara, terasa sangat tidak nyaman.

"Mudah-mudahan, air berlumpur yang dia cipratkan tidak cukup dekat untuk mengotorimu," tambah Theodora, kata-katanya penuh sindiran halus.

Masih tidak mendapat jawaban, kesabaran Theodora habis. "Jawab aku, Franz Klauswitz!" ia menuntut, suaranya bercampur frustrasi dan kekhawatiran.

Franz dengan keras kepala tetap mengatupkan bibirnya. Wajahnya yang tadinya pucat, kini memerah tanpa ia sadari.

"Mungkinkah hanya kau yang merasakan emosi ini?" Theodora bertanya, alisnya berkerut saat mengamati tatapan putranya yang gelisah.

Saat mata Franz bergerak tak menentu, Theodora tidak bisa menahan diri untuk berkomentar, "Sungguh ironis, memikirkan putraku sendiri terpesona oleh 'sepotong daging' yang dia gigit. Hah," dia terkekeh dan duduk di samping Franz.

Sekarang Theodora sudah tahu cara memanfaatkan surat yang kebetulan ia temukan. Rencananya sudah jelas. Dengan masalah kecil yang muncul tadi sudah diselesaikan, satu-satunya yang tersisa hanyalah menunggu istri Bastian kembali.

"Mungkin terdengar tidak mungkin, tapi sampai masalah ini selesai, pastikan kau tidak mendekati wanita itu," Theodora memperingatkan, suaranya dipenuhi kehati-hatian.

Mata Franz, yang sebelumnya kabur dan kosong, tiba-tiba mendapatkan kembali fokusnya saat ia bertanya, "Apa sesuatu terjadi pada Odette?" Tatapannya terpaku, dipenuhi intensitas putus asa. Semangat seperti ini tidak terlihat saat dia membicarakan tunangannya sendiri.

"Itu bukan urusanmu. Tanggung jawabmu adalah fokus pada pekerjaanmu," Theodora membalas dengan tegas.

"Tapi, Bu..." Franz mencoba menyela.

"Dia adalah pion berharga dalam permainan kita. Jangan khawatir, dia tidak akan celaka," Theodora meyakinkan sambil tersenyum, dengan lembut menggenggam tangan putranya yang basah oleh keringat dingin. "Untuk saat ini, singkirkan istri Bastian dari pikiranmu. Konsentrasilah mempelajari cara kerja perusahaan dan bantu ayahmu dalam kesulitan yang dihadapinya. Dan, tentu saja, penuhi tugasmu sebagai tunangan setia untuk Ella."

"Apa yang ibu pikirkan? Ibu tahu betul Bastian orang seperti apa. Jika ada yang salah, Odette bisa dalam bahaya," Theodora mengungkapkan kekhawatiran.

"Franz, kau harus tetap tenang. Apa kau benar-benar berpikir sekarang saat yang tepat untukmu tenggelam dalam kekhawatiran pada Odette?" ia bertanya, mencoba membuat situasi lebih tenang.

Dengan desahan, Theodora bangkit dari tempat duduknya, mengamati Franz yang tampak begitu lemah. Pada saat itu, ia membangkitkan rasa kasihan dan pathos dalam diri Theodora. Tampaknya semua ini berasal dari pengaruh yang diberikan oleh putra wanita itu.

"Kau hanya perlu menjalani hidupmu dengan rajin, selangkah demi selangkah. Jika semuanya berjalan lancar, hasil yang kau inginkan secara alami akan menjadi milikmu, jadi jangan khawatir," Theodora meyakinkan. Kasih sayangnya untuk putranya yang tercinta masih terlihat di ekspresinya.

Bastian bukanlah individu naif. Jelas meskipun ia bisa memanipulasi istrinya untuk keuntungan mereka, ia tidak bisa menyimpan rahasia hubungan selamanya.

Bagaimanapun, Odette hanyalah kartu yang akan digunakan untuk sementara. Bahkan jika kebenaran terungkap, itu akan ditangani dengan kemahiran. Bastian memiliki keterampilan dan kemampuan untuk mengelola situasi seperti itu secara efisien.

Jika, dengan keberuntungan, Odette mendapatkan perceraian, tidak akan ada halangan yang mencegah Theodora memberikan anak itu kepada Franz sebagai hadiah. Meskipun gagasan Odette adalah wanita yang terkait dengan Bastian memiliki nada ketidaknyamanan, ketika dilihat dari perspektif yang berbeda, itu memperbesar nilainya sebagai harta yang berharga. Pada akhirnya, Franz-lah yang akan mengklaim Odette.

"Jika kau ingin memilikinya, tunjukkan kelayakanmu. Paham?" Theodora menyampaikan permintaannya sambil dengan kuat memegang bahu putranya.

Franz terkejut dengan kabar itu, tidak dapat menyangkal kebenarannya. Ia menatap Theodora dengan kebingungan, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela yang terbuka dengan tirai yang berkibar. Pada saat itu, saat mata mereka bertemu sekali lagi, Theodora merasakan kepastian. Tidak ada kemungkinan bahwa pemuda ini akan gagal dalam tugasnya.

Franz, dalam berbagai hal, adalah anak yang terasing, dan begitulah sifat cinta yang dibutakan.

Setibanya di bianglala, mereka tiba 30 menit lebih awal. Bastian menyipitkan mata, mengamati arlojinya dengan saksama.

"Aku baik-baik saja," Odette meyakinkan.

Sepanjang waktu mereka bersama, Odette terus-menerus memberikan jawaban yang sama. Bastian mencoba menawarkan berbagai hal, entah itu wahana, makanan, pertunjukan, atau suvenir, tetapi jawaban Odette tetap tidak berubah. Akibatnya, mereka hanya berjalan tanpa tujuan di sekitar taman. Tanpa disadari, sudah waktunya untuk janji temu. Bastian pun bertanya-tanya, apa sebenarnya yang menarik bagi Odette? Wanita ini sungguh sulit dipahami.

"Mau naik wahana?" Bastian bertanya dengan sopan, membuat Odette terkejut dengan pertanyaan tak terduga itu.

"Aku baik-baik saja," jawab Odette, tersenyum sopan. Namun, kali ini, keheningan yang menyusul terasa lebih lama dari biasanya.

Bastian yang merasa bingung, mengalihkan pandangannya ke bawah, ke arah Odette yang berdiri di sampingnya. Ia melihat pandangan Odette terpaku pada bianglala, dengan sorot mata yang sedikit serius.

"Apa bianglala akan selesai dalam 30 menit?" Setelah beberapa saat, Odette menoleh hati-hati dan bertanya. Tampaknya alasan pipinya memerah bukan hanya karena malam musim gugur yang dingin.

"Mungkin," jawab Bastian tanpa ragu. Meskipun ia tidak tahu persis berapa lama wahana itu berjalan, ia menjawab dengan yakin.

"Selama kau tidak masalah, kalau begitu ayo kita naik," Odette menegaskan, tatapannya kembali ke bianglala, mengangguk setuju.

Bastian tak bisa menahan tawa kecil melihat keanggunan Odette saat memberikan persetujuan. Sebagai balasan, senyum tenang menghiasi wajah Odette saat diam-diam mengamati ekspresi Bastian. Tatapan itu membuat Bastian merasa seolah sedang menyaksikan mekarnya bunga, momen yang benar-benar memikat.

Alih-alih memberikan jawaban verbal, Bastian memilih tindakan yang berbeda. Ia mengulurkan tangan dan dengan mantap menggenggam tangan Odette, lalu melangkah maju dengan tegas. Langkah penting menuju tujuan akhir mereka, melambangkan jawaban yang akhirnya Bastian temukan.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Donasi Pembelian Novel Raw untuk Diterjemahkan

Terima kasih banyak atas dukungannya 

bottom of page