;
top of page

Bastian Chapter 70

  • 19 Agu
  • 6 menit membaca

Karena Kita Saling Mencintai

"Mau pergi ke sana?" Bastian menawarkan, suaranya selembut angin yang membelai telinga Odette.

Odette menoleh dengan terkejut. Tanpa pemberitahuan, Bastian sudah berdiri di sampingnya, di depan jendela dengan pemandangan sungai yang indah.

"Sepertinya tidak terlalu jauh dari sini," komentar Bastian, matanya menyipit mengamati Sungai Schulter yang bermandikan cahaya matahari terbenam. Di pandangannya, Bianglala dari taman hiburan yang diamati Odette terlihat jelas.

"Tidak, tidak perlu," jawab Odette, mencoba mengalihkan topik.

"Kau mengamatinya tadi malam, kan?" desak Bastian, tidak membiarkan Odette menghindar.

"Itu..." Odette ragu sejenak, menggeser tubuhnya sedikit. Sulit untuk menyangkal. Jelas sekali ia menghabiskan malam-malam di depan jendela, terpesona oleh cahaya Bianglala yang berkilauan. "Hanya... karena pemandangannya indah. Itu saja."

Setelah berpikir matang, Odette akhirnya mengungkapkan perasaannya yang paling jujur.

Secara kebetulan, mereka menginap di kamar yang menghadap Bianglala memukau, dan satu-satunya yang diinginkan Odette adalah menatap cahaya yang memesona itu.

Kenangan malam musim semi ketika ia  berjanji pada adiknya akan pergi ke taman hiburan terasa berat di hati, tetapi ia memilih untuk menyimpan perasaan ini dalam-dalam. Bagaimana mungkin ia mengaku pada pria ini bahwa ia kini menyesali janji yang dibuatnya dengan Tira?

Jika janji itu tidak dibuat, Tira tidak akan terlalu ngotot untuk mengamankan uang darurat mereka. Akibatnya, ayah mereka tidak akan mengambil uang itu dalam pertengkaran.

Seharusnya hari itu bisa menjadi hari biasa, penuh dengan kesenangan sederhana seperti makan permen kapas, naik komidi putar, pergi ke Istana Listrik, mesin horoskop, dan Bianglala. Andai saja Tira tidak begitu gembira, layaknya seorang anak kecil, saat ia bercerita dan terus mengoceh.

Ia meyakinkan dirinya sendiri ia berjanji karena sikap adiknya yang kekanak-kanakan, tetapi kenyataannya, Odette juga tertarik. Cahaya terang dari taman hiburan yang ia lihat saat melintasi pusat kota, dan membayangkan dirinya melayang di atas langit malam dengan Bianglala emas raksasa.

Bahkan pada malam itu, saat Odette mengaduk sup dengan sendok, fakta bahwa ia merasakan sedikit kegembiraan saja sudah menambah beban di hatinya. Ia tahu ia seharusnya tidak membiarkan dirinya tenggelam dalam emosi kegembiraan seperti itu.

Mengingat kesalahan bodoh di masa lalu, Odette mengerutkan bibirnya rapat-rapat, bertekad untuk menekan pikiran sentimentalnya. Ini waktunya untuk menjalankan perannya sebagai seorang istri, dan dengan pemikiran itu, ia menenangkan diri, siap menghadapi Bastian dengan ekspresi tenang sambil mengingat tugasnya yang belum selesai.

"Kau ada janji makan malam," Odette mengingatkan Bastian.

Bastian sudah dijadwalkan makan siang di kediaman Herhardt dan pertemuan malam dengan para pengusaha dari utara. Odette sangat sadar akan jadwal hari ini, tidak ada ruang untuk kesalahan. Begitu Bastian pergi untuk pertemuan malamnya, ia sudah berjanji untuk mengunjungi Tira.

"Kau harus pergi sekarang," Odette mendesak lagi, mencoba mendapatkan perhatian Bastian. Namun, pria itu tetap tidak menanggapi. Mata birunya terpaku pada Bianglala yang anggun melintasi langit saat senja menjelang, kembali memikat Odette.

"Jadwalnya sudah diubah," Bastian dengan tenang menyampaikan kabar. Tujuan utama perjalanan mereka ke Carlsbar adalah bertemu keluarga Herhardt, dan setelah menyelesaikan tugas itu dengan sempurna, ia merasa bebas untuk mengurus tugas yang tersisa sesuai keinginannya.

Itu keputusan yang Bastian ambil saat perjalanan kembali ke hotel. Ia membuat pilihan tegas untuk mengabaikan kewajiban resminya, termasuk pertemuan yang seharusnya ia hadiri malam itu.

Keinginannya adalah bersama wanita ini, Odette.

Bastian menginginkannya dengan jelas, dan sebagai hasilnya, ia menyerah pada keinginannya sendiri.

"Bersiaplah," Bastian dengan tenang memerintah, matanya tertuju pada ekspresi terkejut Odette.

Setelah acara orang tua di sekolah Tira, sekolah khusus perempuan, keesokan harinya, mereka harus kembali ke Arden. Sebelum itu, Bastian berpikir akan menyenangkan untuk memberikan hadiah kecil pada Odette. Namun, wanita itu melebihi harapannya, terbukti lebih cakap dari yang diperkirakan.

"Bastian!" Odette memanggil dengan tergesa-gesa, membuatnya cepat berbalik. Ia menatapnya saat wanita itu ragu-ragu melanjutkan.

"Bolehkah aku membawa Tira?" Bibirnya, dihiasi cahaya hangat matahari terbenam, mengucapkan nama adiknya dengan sedikit kegelisahan. "Aku sudah berjanji padanya. Aku berencana mengunjunginya malam ini. Jadi... jika aku harus pergi, aku ingin mengajak Tira bersamaku."

Mata induk burung yang tak berdaya memancarkan tekad baja, mengkhianati keputusasaannya.

"Kak, kenapa sih tidak peka?" teguran tegas Tira terdengar di tengah keramaian taman hiburan yang bising.

"Tidak peka?" Odette memiringkan kepalanya dengan bingung, tampak tidak menyadari kesalahannya.

"Kenapa kau membawaku ke sini? Aku akan merasa tidak nyaman dan tercekik," seru Tira, mendecakkan lidah dan menunjuk ke belakangnya untuk menekankan kesalahan sang kakak.

Saat Bastian berjalan menuju kios permen kapas, permohonan Tira untuk mencicipi yang masih terngiang di telinganya, Odette menyusun rencana untuk memberi kesempatan bagi adiknya untuk berbicara.

"Jangan tidak sopan, Tira. Bastian tidak melakukan hal buruk apa pun padamu," Odette menegur adiknya, merenungkan kata-katanya dengan hati-hati.

Dalam ketidakpercayaannya, Tira menghela napas dan membawa kakaknya ke bangku kosong. Ia sesekali mengawasi gerakan Bastian.

Bastian baru saja mencapai kios permen kapas. Tubuhnya yang tinggi dan besar menonjol di tengah keramaian. Untungnya, antrean panjang, memberi mereka sedikit waktu lebih.

"Kapan aku pernah bilang kapten bersikap buruk?" Tira menggelengkan kepala dan duduk di samping Odette.

Mendengar kabar kedatangan kakaknya, Tira sangat gembira. Itu berarti ia bisa kabur dari asrama yang pengap dan bersenang-senang. Namun, kebahagiaan itu segera lenyap begitu ia bertemu Bastian di lobi lantai satu.

"Bukan kapten yang salah, tapi kau, Kak," seru Tira, tatapannya penuh duri. Meskipun tatapan Tira menusuk, Odette tetap kebingungan.

"Aku? Kenapa?" Odette bertanya.

"Kenapa mengajak adikmu ikut kegiatan berkencan dengan suamimu?" Tira membalas.

Kerutan di dahi Odette semakin dalam, seolah ia sangat tersinggung. Tira menunjukkan rasa frustrasinya dengan menepuk dadanya untuk menekankan maksudnya.

"Oh? Bagaimana lagi cara menggambarkan situasi ini?"

"Kami hanya..." Odette memulai, kata-katanya menggantung.

"Lihat. Ini kencan," Tira menghela napas sekali lagi, menatap Odette yang dengan keras menyangkal kata-katanya. "Bahkan jika tidak secara resmi disebut kencang, sendirian dengan kapten terasa menakutkan. Rasanya seperti duduk di atas bantal penuh duri."

"Bastian adalah orang yang murah hati yang memberimu bantuan besar. Jangan bicara seperti itu,"

"Aku takut padanya, jadi kenapa aku tidak boleh mengatakannya?" balas Tira.

"Kau takut pada Bastian?" Odette bertanya sekali lagi, ketidakpercayaannya terlihat jelas.

"Apa kau tidak takut pada kapten?" Tira tampak bingung dengan kurangnya pemahaman Odette. Odette melirik Bastian, dahinya berkerut dalam perenungan.

Lampu hias berwarna cerah di kios permen kapas dengan nama megah 'Benang Peri' menarik banyak perhatian. Pemandangan yang berputar seperti air dan minyak sementara Bastian berdiri di antrean dengan posisi tegak lurus.

Odette menggelengkan kepalanya sedikit lalu mengalihkan perhatiannya ke Tira.

Odette tidak merasa takut padanya.

Tentu saja ia merasa sangat tidak nyaman dengan pria itu; namun, ketakutan bukanlah salah satunya. Pria itu selalu baik, meskipun ia tidak memiliki ekspresi wajah dan berbicara sangat sedikit. Faktanya, ia bukan hanya pria terhormat tetapi juga pria yang sangat cerdas.

"Mungkin karena kau mencintainya," Tira menyatakan dengan santai, membuat Odette terkejut.

Tidak.

Odette berhasil menahan kata-kata yang hampir keluar secara refleks.

"Meskipun begitu, aku takut pada kapten. Bahkan bertatapan mata dengannya membuatku merinding. Ia sedingin es," Tira mengungkapkan dengan tingkah yang berlebihan, matanya terpaku pada kios permen kapas. Giliran Bastian akan segera tiba.

Tira terkejut ketika mendengar sebuah suara memanggil namanya dengan keras tepat saat matanya mulai redup dengan gagasan bahwa ia hanya menjadi gangguan bagi kakaknya.

Teman-teman sekelasnya yang tinggal di kamar asrama tersenyum dan melambaikan tangan padanya saat ia lewat. Ada juga sekelompok siswa laki-laki dari sekolah terdekat yang hadir di sana.

"Aku akan menemui teman-temanku," seru Tira, memanfaatkan kesempatan untuk melarikan diri dan melompat gembira saat bangkit dari bangku.

"Tira Byller!" Odette memanggil namanya dengan nada menegur, tetapi itu tidak cukup untuk menghalangi tekad Tira.

"Sampai jumpa, Kak! Aku akan berada di depan Bianglala pada jam 9!" Tira meninggalkan pemberitahuan sepihaknya dan berlari ke arah teman-temannya. Saat ia melarikan diri dari kakaknya, Tira melewati kios permen kapas. Suami Odette yang menakutkan namun luar biasa sekarang sedang menerima segumpal permen kapas putih berbulu.

"Aku minta maaf, Bastian." Odette menundukkan kepalanya sekali lagi setelah menjelaskan keadaan Tira yang meninggalkan mereka. "Aku rasa di usianya, menghabiskan waktu bersama teman-teman lebih menyenangkan. Aku minta maaf jadi begini, terutama setelah semua usaha dan kebaikan yang kau berikan."

Bastian melirik permen kapas di tangan dan istrinya yang tampak tertekan, lalu ia tertawa.

Adik Odette sudah menghilang. Kebetulan ia datang ke kota ini dan bertemu beberapa temannya. Tira memang terkesan kekanakan, tetapi ternyata ia juga punya sisi baik.

"Jangan khawatir," jawab Bastian. Ia menatap menara jam dengan ramah sambil menggeleng pelan. Ia menyadari masih ada lebih dari dua jam sebelum waktu yang mereka sepakati, pukul sembilan malam. Dalam situasi yang tak terduga, Tira Byller justru terbukti sangat membantu. "Dia masih muda. Seperti yang kau bilang, memang ini waktunya untuk punya banyak teman."

Wajah Odette akhirnya cerah, menunjukkan kelegaan. "Terima kasih sudah mengerti," ucapnya tulus. Dengan jubah pendek yang membalut gaun wol kotak-kotak, Odette tampak jauh lebih muda dari sebelumnya. Penampilannya sangat berbeda dengan citra wanita bangsawan elegan di sore hari.

Bastian tidak terlalu memikirkannya, tetapi mungkin saja penampilan Odette yang lebih muda adalah ilusi yang tercipta karena suasana yang dipenuhi sorak-sorai dan tawa anak-anak muda.

Bastian lalu menyodorkan permen kapas yang dipegangnya. Odette yang tidak menyangka akan menerimanya, membelalakkan mata karena terkejut.

"Aku kira aku bukan orang yang suka hal-hal seperti ini," komentar Odette dengan nada bercanda. Bastian tertawa lepas sambil meraih tangan Odette. Wahana-wahana yang menyala memancarkan cahaya terang di taman hiburan malam itu, menciptakan suasana semeriah siang hari.

Dengan penuh percaya diri, Bastian menuntun Odette menuju cahaya-cahaya yang menarik perhatiannya. Mereka berjalan bergandengan tangan menyusuri taman, sementara Odette memegang erat permen kapasnya.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Donasi Pembelian Novel Raw untuk Diterjemahkan

Terima kasih banyak atas dukungannya 

bottom of page