;
top of page

Bastian Chapter 60

  • 15 Agu
  • 8 menit membaca

Diperbarui: 19 Agu

~ Malam Ini Tak Boleh Menghancurkanku ~

Di bawah naungan pohon maple, di mana janji-janji yang tak terucapkan menggantung di udara, yang tersisa hanyalah sebuah kaleng kosong.

Odette bergegas memeriksanya, menyapu pandangannya ke sekeliling, mencari anjing-anjing liar yang selama ini membuatnya sibuk. Mereka tidak ada di sana, seperti yang ia duga, tetapi pemandangan itu tetap membuatnya merasa sedikit kecewa. Ia menyalahkan Bastian karena telah menimbulkan semua kekacauan ini, entah disengaja atau tidak.

Meskipun menyadari kebenciannya salah tempat, kebencian Odette pada Bastian tidak bisa surut.

Andai saja Bastian pulang setelah Count Xanders pergi, mereka tidak akan pernah bertemu. Odette benci harus mencari alasan untuk dirinya sendiri, tetapi pikirannya tidak bisa melepaskan pembenaran diri.

Kata-katanya, yang diucapkan dalam kemarahan, terbawa oleh angin dingin yang mengguncang hutan malam, seolah-olah mereka hanyalah daun-daun yang berhamburan. "Pria jahat," gumamnya, seolah ucapannya memiliki kekuatan untuk melepaskan frustrasi yang menumpuk di dalam dirinya.

"Aku tidak akan pernah meneteskan air mata karena pernikahan ini," ia berjanji pada dirinya sendiri, bertekad agar tetap teguh.

Saat lanskap yang sebelumnya buram kembali fokus, Odette berjalan menuju pohon maple yang menandai pintu masuk ke jalan setapak. Dengan tangan lembut, ia membersihkan daun-daun kering dan kulit biji ek yang berserakan di kaleng timah di dekatnya.

Dengan desahan, Odette bangkit berdiri dan menepuk-nepuk tangannya. "Oh, Puppy," panggilnya ke dalam kegelapan jalan di depannya.

Saat suara kepakkan sayap memudar, hutan kembali hening, meninggalkan Odette sendirian dengan pikirannya.

Ia memanggil anjing-anjing itu beberapa kali lagi, tetapi tidak ada respon. Kelelahan, Odette bersandar pada batang pohon megah dan merenungkan langkah selanjutnya.

Ia tahu harus segera kembali, karena telah menggunakan alasan berjalan-jalan di sekitar taman untuk beristirahat sejenak. Tetapi sesuatu di dalam dirinya mendesaknya untuk menunggu sedikit lebih lama, untuk memberi anjing-anjing itu kesempatan untuk kembali.

Hewan lain mungkin akan mencuri makanan jika Odette meninggalkannya dalam kondisi ini.

Suara burung bulbul bernyanyi muncul entah dari mana. Odette mendengarkan lagu itu sambil menutup mata dengan tenang.

Hui-hwi!Ā Melodi jernih dan menghantui dimulai seperti siulan sederhana, tetapi saat jari-jari terampil sang musisi menari di senar, melodi berubah menjadi simfoni suara, kaya dan bersemangat dengan berbagai teknik.

Burung bulbul adalah burung favorit ibunya, mudah untuk melihat alasannya. Bahkan ketika ibunya tidak bisa lagi menghadiri teater besar dan mendengar orkestra megah yang pernah memenuhi hidupnya dengan kegembiraan, lagu-lagu manis dari burung bulbul masih memberinya kenyamanan dan kedamaian.

Pada lagu burung bulbul terakhir, Odette duduk di samping tempat tidur ibunya, memegang tangannya saat ia mendengarkan melodi menghantui yang memenuhi ruangan. Saat itulah ibunya membisikkan sebuah harapan rahasia—bahwa di kehidupan selanjutnya, ia akan terlahir kembali sebagai burung bulbul, bernyanyi dengan suara yang semurni dan semanis burung yang telah memberinya begitu banyak kegembiraan.

"Tapi bukankah ibu hanya bisa bernyanyi dengan indah ketika dipenuhi rasa sakit dan emosi?" tanya Odette kepada ibunya, mengawasi saat ibunya menutup jendela untuk menyingkirkan hawa dingin udara malam. "Ibu selalu mengatakan kalau musik harus datang dari hati."

Ibunya tersenyum tanpa daya pada kata-kata putrinya, "Kau memiliki pikiran yang sangat ingin tahu, sayangku."

Pikiran yang ingin tahu...

Sang ibu, yang secara teratur memoles Odette, menggumamkan beberapa kata penyesalan yang aneh.

"Odette. Aku mencintaimu, putriku."

Ibunya menutupi wajahnya dengan tangan kurus setelah momen-momen panjang perhatian penuh kasih.

"Jika saatnya tiba ketika aku tidak bisa lagi melindungimu dari bahaya, sayangku, berjanjilah kau akan hidup sebagai orang bodoh yang bahagia," Ia memohon, wajahnya yang berlinang air mata diterangi oleh cahaya bulan. Itu adalah permintaan yang aneh dan penuh teka-teki.

"Maafkan aku...."

Setelah mengucapkan kata terakhir, ibunya menghela napas dalam dan terlelap seolah-olah membawa beban seluruh keberadaannya. Helen, tuan putri tidak beruntung, meninggal secara tak terduga keesokan paginya.

Tindakan pengkhianatan tidak dapat disangkal. Bagi Odette, ibunya adalah segalanya. Ia mengajarinya setiap hal kecil—dari berbicara, berjalan, dan tertawa, hingga mengamati, mendengarkan, dan merenung. Ketika Odette tidak bisa memiliki guru pribadi, ibu menjadi gurunya.

Ibunya tidak mengampuninya, bahkan ketika kakinya sakit karena menari dengan sepatu yang tidak nyaman atau ketika buku-buku jarinya bengkak karena memukul tuts piano saat ia tidak bisa bermain dengan baik.

Ia terus belajar dengan membaca buku-buku perpustakaan, dan ketika gagal memenuhi harapan ibunya, ia akan menerima hukuman yang kejam. Ibunya tetap berharap suatu hari mereka akan mendapatkan kembali pada status tinggi sebelumnya. Demi sebuah fatamorgana.

Saat Odette menerima perintah terakhir dari tuan yang tak berperasaan untuk menjadi orang bodoh, ia diliputi rasa tidak percaya. Ia selalu menjadi putri yang patuh, mengikuti setiap instruksi ibunya, tetapi ia menolak untuk mematuhi permintaan terakhir ini.

Ia tidak ingin mengikuti ambisi sia-sia yang telah menghantui ibunya sepanjang hidup. Ia hanya tidak ingin meninggalkan kehidupan yang telah ia curahkan sejauh ini. Bagaimanapun, ia bukan ibunya; ibunya pada akhirnya menyerah dan melarikan diri.

Namun, sekarang hidupnya sama, karena, seperti yang diklaim pria itu, ia menjual hidupnya demi uang.

'Suatu hari, aku akan tinggal di rumahku sendiri dan menjalani kehidupan yang kuinginkan.'

Gagasan tentang kemuliaan yang bukan benar-benar miliknya tidak menarik bagi Odette, terlepas dari lokasinya. Apa yang memikat imajinasinya adalah kemungkinan menemukan tempat di mana ia bisa melepaskan identitas palsu dan menjadi dirinya sendiri. Saat ia merenungkan akhir pernikahannya, Odette tidak bisa tidak memimpikan masa depan di mana ia bisa mewujudkan hal itu.

Mata yang tertutup perlahan terbuka mendengar suara tangisan burung bulbul yang tak henti-hentinya. Saat ia mendengarkan lagu merdu burung itu, sebuah pikiran terlintas di benaknya— bagaimana jika ibunya menjelma menjadi burung, lalu menyanyikan lagu perpisahan padahal belum sempat mengajarinya banyak hal? Perasaan itu terasa manis sekaligus menyakitkan.

Odette menyesuaikan posisinya dan menarik napas sambil memeriksa jam.

Ia tidak menyesal, jadi mungkin ibunya benar. Ia harus memanfaatkan sebaik-baiknya keputusan yang telah ia buat.

Ia menolak meniru kehidupan sedih ibunya karena terpenjara di masa lalu. Tidak akan, tidak akan, tidak akan.

"Puppy." Odette mengeluarkan satu panggilan terakhir untuk anjing-anjing liar, tetapi saat ia berbalik untuk pergi, ia melihat sekilas seekor anak anjing muncul dari semak-semak terdekat. Meskipun ia mencari anjing induk, yang selalu mengikuti anaknya, si induk tidak terlihat di mana pun.

Saat Odette mendekati anak anjing yang sendirian, "Apa yang kau lakukan di sini sendirian? Di mana ibumu?" Tetapi anak anjing yang ketakutan itu hanya merengek dan berlari ke hutan tanpa jalan setapak tanpa melirik makanan yang telah ia bawa.

Odette tidak bergerak, tapi anjing itu kembali dan menggeram, sepertinya memanggil Odette untuk mengikutinya.

Odette menatap kosong ke pepohonan yang gelap gulita. Sekali lagi, anak anjing itu mulai berlari ke arahnya.

Malam akan segera berakhir, namun Odette belum kembali.

Bastian cemas saat ia menyalakan rokok ketiganya dan bangkit dari kursinya. Meskipun Odette mengatakan ia akan berjalan-jalan santai di taman, Lovis bahkan menyaksikan kepergiannya.

Kesabaran Bastian menipis seiring berjalannya waktu dan Odette tidak juga kembali. Ia tidak bisa mengerti mengapa Odette pergi dari mansion dalam kemarahan, dan menempatkan dirinya dalam bahaya.

Perilakunya tidak seperti Odette yang bertanggung jawab dan berkepala dingin. Lebih buruk lagi, Odette tahu konsekuensi dari menentang perjanjian mereka, membuat tindakannya semakin sembrono dan mengkhawatirkan Bastian.

Bastian melirik jamnya sekali lagi sebelum menuju jendela yang menghadap ke taman. Saat ia menarik tirai, ia disambut dengan pemandangan hujan gerimis yang telah menyelinap tanpa disadari, melukis panel kaca dengan tetesan.

Melangkah keluar ke balkon, ia merasakan angin sejuk membawa aroma hujan di kulitnya. Bastian menghela napas pasrah dan buru-buru mulai bersiap untuk pergi.

Ia hanya mengenakan jas hujan untuk menutupi pakaiannya. Tidak ada waktu untuk mengkhawatirkan hal lain.

Saat ia turun ke aula lantai satu, Lovis menemuinya dengan ekspresi cemas. "Saya akan mengerahkan para pelayan untuk mencari Nyonya."

"Tidak. Aku saja sudah cukup." Tanpa jeda, Bastian menggelengkan kepalanya. Solusi yang cepat dan diam-diam diperlukan untuk mencegah penyebaran informasi yang tidak perlu. Perselisihan kecil dan penyelesaian, agar bisa mewakili kegiatan sehari-hari pasangan pada umumnya.

"Jangan khawatir, Lovis. Odette mungkin ada di suatu tempat yang aku ketahui." Bastian dengan cepat meninggalkan rumah setelah menipu kepala pelayan dengan cerita cerdik.

Odette pasti bersembunyi di tempat yang lebih jauh. Seandainya ia tetap di taman, Bastian pasti sudah melihatnya. Ia mungkin ada di dalam hutan, sebab pantai yang sering ia lihat dari jendela tampak sepi.

Pikiran Bastian berpacu saat dengan cepat menuju tujuannya. Langkah kakinya berdebar di tanah hutan, semakin cepat dengan setiap saat yang berlalu. Hujan mengguyur di sekelilingnya, sensasi akrab dan tidak menyenangkan.

Sudah bertahun-tahun sejak ia berkelana di hutan Arden pada malam seperti ini, tetapi kenangan itu membanjirinya dengan terburu-buru, kuat dan jelas.

Dengan sentakan, Bastian menyadari ia tidak lagi berada di tempat tidurnya yang nyaman, tetapi di tengah hutan yang luas, hanya mengenakan piyama dan bertelanjang kaki. Saat mencoba memahami apa yang telah terjadi, pikirannya perlahan menjadi jernih dan rasa tenang menguasainya.

"Aku berjalan sambil tidur," gumam Bastian pada dirinya, saat ia merangkul kegelapan hutan yang dingin dan hujan.

Bastian sudah tahu bahwa saat tidur, ia kadang-kadang berkeliaran di malam hari seperti hantu. Ia sudah lama mencapai titik di mana tidak bisa lagi terus hidup dalam penyangkalan dan menyembunyikan kondisinya.

Itu menjelaskan semuanya. Sebelum tidur, ia mulai mengikat tali di pergelangan tangan agar tidak ada yang tahu. Satu-satunya hal yang ia rasakan adalah terbangun dalam keadaan terikat dan sendirian.

Bastian sudah ahli menyembunyikan kelemahannya, dan tahu bahwa jika ia bangun cukup awal dan menghapus semua jejak, ia bisa merahasiakannya. Meskipun pindah ke kediaman Illis, malam-malam berjalan sambil tidur terus menghantuinya, tetapi ia berhasil menyembunyikannya. Namun, pada suatu pagi akhir pekan yang naas, setelah beberapa bulan tinggal bersama kakeknya, Bastian tergelincir dan mengungkapkan kerentanannya. Kecerobohannya telah membuatnya ketiduran.

Rasa ingin tahu telah menguasai kakeknya, memaksanya untuk membuka pintu yang terkunci dan mengintip ke dalam. Apa yang ia temukan adalah cucunya tergeletak di lantai kamar tidur, seolah-olah ia telah dijinakkan seperti binatang yang diikat tali. Bastian tersentak bangun mendengar jeritan kakeknya yang menusuk.

"Siapa yang melakukan ini padamu? Siapa yang membuatmu seperti ini? Katakan padaku sekarang!" Kemarahan kakeknya terasa nyata saat ia dengan cepat melepaskan tali dan menginterogasi Bastian.

"Tuan, aku yang melakukannya." Bastian kecil menjawab dengan tenang. Perjuangannya saat ditahan oleh tali telah menyebabkan luka yang mengeluarkan darah, tetapi tidak cukup parah untuk menimbulkan kekhawatiran.

Pagi yang naas, dunia tampak runtuh saat kakeknya menangis tak terkendali, memecah keheningan di sekitar mereka. Dengan rasa penyesalan, Bastian berharap ia tidak ketiduran dan memperburuk keadaan dengan mengucapkan sesuatu yang seharusnya tidak diucapkan.

Bertekad untuk menemukan obat untuk tidur sambil berjalan, kakeknya menjelajahi kekaisaran yang luas untuk mencari solusi. Dengan komitmen yang tak tergoyahkan, Bastian menjalani perawatan, diam-diam menanggung prosesnya. Berlalunya waktu membawa kelegaan manis dari kesembuhan total, serta memudarnya bekas luka di pergelangan tangannya.

Bastian berhenti di ujung jalan setapak yang menghubungkan hutan lebat ke pantai berpasir, hujan mengguyur wajahnya dan membuatnya kedinginan sampai ke tulang. Saat ia menyeka tetesan air dari kulitnya, ia merasakan kenangan masa lalu memudar menjadi ketiadaan, hanya menyisakan satu pikiran konstan: Odette.

Wanita yang sulit dipahami dan menjengkelkan itu telah menghilang tanpa jejak, bahkan setelah ia menyisir jalan setapak yang berkelok-kelok melalui hutan.

Bastian menarik napas dalam-dalam, jantungnya berdebar kencang dengan tekad saat memperpanjang langkahnya. Ia tahu Odette ada di suatu tempat di dalam halaman mansion yang luas, bahkan jika ia tersesat. Kecil kemungkinan terjadi kecelakaan, tetapi tetap saja, Bastian tidak bisa menghilangkan emosi intens yang meliputinya.

Ingatan tentang pertengkaran di meja makan yang tidak menyenangkan masih tersisa, dan meskipun tahu Odette tidak bersalah, Bastian tidak bisa menghentikan kata-kata menyakitkan yang keluar dari lidahnya.

Bastian merasa sedih karena menyadari konflik semacam ini terlalu sering terjadi. Namun, ia tidak membiarkan hal itu menghancurkannya. Dengan ketabahan, ia menghadapi semuanya dan berangkat mencari Odette dengan semangat baru.

Meskipun masih ada jejak musim dingin di udara, matahari terbenam menyinari malam awal musim semi dengan cahaya hangat. Dan pada saat inilah wanita yang tidak beruntung itu melepas cadarnya.

Ia menyesal, menyadari seharusnya ia mengambil kesempatan pada malam yang naas itu. Dalam kesunyian malam, beban atas keterlambatan begitu mengimpit. Seandainya Bastian memanfaatkan kesempatan itu, hubungannya dengan Odette mungkin hanya akan menjadi kenangan sesaat atau hubungan satu malam saja. Sekalipun takdir akhirnya menyatukan mereka sebagai suami istri, hubungan mereka tidak akan pernah sama.

Keputusan kaisar memang sangat kuat, tetapi bahkan kekuatan itu tidak bisa memaksanya untuk kembali berurusan dengan wanita yang menjual dirinya di sudut-sudut gelap tempat judi. Ia telah membawa Odette masuk ke dunianya, meski bertentangan dengan nalurinya, dan itu kesalahan yang tak bisa diubah. Namun, jika memang inilah akhirnya, semua harus diakhiri dengan tepat, sesuai rencana.

Pikiran Bastian membelah kabut ketidakpastian dengan keputusan yang tegas, sama seperti anak laki-laki muda di masa lalu yang mengikat pergelangan tangannya untuk melindungi diri dari malam penuh gejolak.

Tepat saat ia menganggap pencarian harus diperluas, ia melihat ada orang di jalan menuju tebing yang menghadap ke laut.

Dengan langkah-langkah hati-hati, Bastian mendekat ke pohon yang menjulang tinggi yang berdiri sebagai penjaga tepi tebing. Hembusan napas berat keluar dari bibirnya saat ia melihat sosok di bawah akar pohon yang bengkok, tenggelam dalam perenungan dalam.

"Odette,"

Ia berbisik, suaranya hampir tidak terdengar di atas gemerisik dedaunan.

Mendengar namanya, wanita yang berlumuran lumpur itu perlahan menoleh ke arah Bastian. Dan pada saat itu, Bastian tahu bahwa dia adalah istrinya, Odette.


Postingan Terkait

Lihat Semua

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Donasi Pembelian Novel Raw untuk Diterjemahkan

Terima kasih banyak atas dukungannya 

bottom of page