;
top of page

Bastian Chapter 42

  • 11 Agu
  • 7 menit membaca

Diperbarui: 19 Agu

~ Pemenang Licik dan Kejam ~

Sebuah melodi alam beresonansi di udara saat pepohonan berdesir dan bergoyang mengikuti irama angin.

Mata Odette berkedip, dadanya naik turun dengan cepat saat ia terbangun dari mimpi buruk yang mengerikan. Ia tidak menyadari di mana ia berada sampai rasa kantuknya mereda sejenak.

Odette menghela napas pelan, pengakuan diam-diam atas tidurnya yang tak sengaja. Ia mengalihkan pandangan ke ranjang di sisi lain ruangan yang gelap. Di sana, ia melihat Bastian berbaring tenang, dalam posisi terlentang seperti sebelumnya.

Odette melepaskan ketegangan yang membelenggunya, bangkit dari kursinya dengan langkah pelan. Dengan sentuhan lembut, ia menutup tirai, menghalangi cahaya bulan yang masuk. Ia berbalik, matanya tertuju pada jam yang tergantung di dinding seberang. Jarumnya seolah merangkak dengan sangat lambat. Meskipun sudah menunggu lama, ternyata masih tengah malam. Ia masih harus bersabar beberapa saat lagi sebelum dunia kembali terjaga.

Mata Odette terpaku pada sisi kiri ranjang yang kosong, jantungnya berdebar gelisah. Meskipun Bastian sudah mengalokasikan sisi itu untuknya, pikiran untuk memasuki ruang pria itu terasa menakutkan, membuatnya tetap membiarkan sisi itu kosong.

Sikap Bastian tetap tenang saat ia menyelesaikan rutinitas malamnya, lalu masuk ke ranjang tanpa melirik sedikit pun ke arahnya. Odette merasa seperti seorang tahanan, terperangkap dan terisolasi di dalam ruangan yang mereka bagi. Seolah-olah Bastian telah menghapus keberadaannya, hanya menyisakan hantu dari apa yang disebut istri palsu.

Bastian, tanpa diduga, menolak menganggapnya sebagai masalah.

Bertekad untuk mengusir keraguan, Odette menguatkan diri dan mendekati ranjang. Udara fajar terasa sangat sejuk, bahkan di tengah musim panas yang terik di wilayah pegunungan itu.

Ia mencela dirinya sendiri karena masih diliputi ketakutan, apalagi saat ia memiliki tempat yang aman untuk beristirahat. Percuma saja mengkhawatirkan kesalahan yang sudah terjadi. Mungkin ia harus mencontoh Bastian dan berani dalam bertindak.

Odette mengumpulkan keberanian untuk duduk di sisi ranjang, bertekad untuk melupakan segalanya saat itu. Syukurlah, Bastian tidak terbangun.

Bahkan saat tidur pun, ia tetap mempesona.

Dahinya ditutupi rambut keemasan, bulu matanya panjang dan lurus. Di bawah tulang selangkanya, ada bekas luka lama.

Odette mengamati tangan Bastian, menatap cincin platinum berkilauan yang tergeletak di dada pria itu. Cincin itu adalah lambang pernikahan palsu mereka, pengingat tajam akan penipuan yang mereka lakukan.

Tiba-tiba, Odette diliputi rasa malu. Ia mundur dan lari dari ranjang seolah lari dari mimpi buruk. Tangannya, yang memakai cincin yang sama dengan milik Bastian, terasa asing dan berat saat ia menyembunyikannya di belakang punggung.

Ini mirip dengan perasaan yang ia alami bertahun-tahun yang lalu, pada hari musim semi yang cerah saat ia pertama kali menjajakan renda-renda halus jualannya. Kenangan itu kembali dengan jelas, mengancam untuk menelannya.

Bastian terbangun tepat saat sinar fajar pertama muncul di cakrawala, menandakan awal hari yang baru.

Tidak peduli kapan ia tidur, ia selalu bangun dengan konsistensi yang sama setiap pagi. Rutinitas itu sudah ia asah selama bertahun-tahun.

Tanpa ragu, Bastian bangkit saat rasa kantuknya hilang. Matanya memindai sisi ranjang yang kosong di sampingnya.

Kesadaran itu menyambar dirinya seperti sambaran petir: Odette tidak ada di sana.

Bastian menutup matanya sejenak lalu membukanya dengan cepat, bangkit dari ranjang. Kursi tempat Odette duduk semalam masih kosong. Kemarahan yang sebelumnya meluap-luap saat membayangkan wanita yang melarikan diri dari kamar, kini lenyap begitu saja.

Saat ia berjalan menuju lemari pakaian, ia menemukan istrinya terbaring di sofa panjang, wajahnya menghadap perapian. Odette berbaring di sana, terbungkus selimut tebal yang asing, tidur dalam posisi meringkuk.

Bastian menatap pemandangan menyedihkan itu, diliputi kebingungan. Di tengah dinginnya ruangan, ia menyadari bahwa Odette tidak mencari kenyamanan di samping pria yang ia benci.

Keberanian Odette justru memancing tawa dari Bastian.

Odette.

Sebuah nama yang sangat Bastian kenal selama ini. Ia menelan rasa pahit dari nama itu di ujung lidahnya, mendekati sosok Odette di sofa dengan langkah hati-hati. Ia tahu sebaiknya ia membangunkannya dan menyuruhnya tidur di ranjang, tetapi ia ragu apakah Odette akan menurut tanpa perlawanan.

Dengan berat hati, Bastian menghela napas pelan dan perlahan mendekati istrinya yang sedang tidur. Tepat saat ia mulai mengangkat selimut ke tubuh Odette, mata Odette tiba-tiba terbuka, membuatnya terkejut.

"Diam di tempat, jangan bergerak," kata Bastian dengan nada tenang saat ia mengangkat tubuh Odette yang kedinginan.

Sesaat, Odette menatap Bastian dengan mata nanar sebelum mulai melawan dengan intens. Meskipun ia tidak berteriak, ia mendorong dan meronta dengan sekuat tenaga, seolah Bastian telah melakukan kesalahan yang tak termaafkan. Syukurlah, ia masih cukup waras untuk tidak membuat keributan.

"Tenanglah," kata Bastian dengan nada tegas, tetapi istrinya tidak mendengarkan.

Bastian semakin kesal dengan sikap keras kepala Odette. Ia menindih tubuh wanita yang baru saja ia lepaskan. Dengan tekad baja, ia mencengkeram lengan Odette dan menahannya di sofa, mengakhiri perlawanan yang sia-sia itu.

Meskipun gemetar ketakutan, tatapan dingin Odette tidak goyah saat ia menatap mata Bastian.

"Aku tidak menginginkanmu di sini! Pergi!" ia terkesiap, kesulitan bernapas, dan mengeluarkan perintah yang menyakitkan.

Bastian perlahan menundukkan kepalanya, membalas tatapan wanita di bawahnya. Pemandangan Odette dengan pipi yang memerah, rambut acak-acakan, dan napas tersengal-sengal, sungguh memikat.

"Apa yang begitu lucu?" Bastian terkekeh sambil menahan Odette, yang meronta sekuat tenaga.

Kewalahan oleh kekuatan dan dominasi Bastian, Odette terdiam, bibirnya terkatup rapat. Tubuh Bastian yang menindihnya membuatnya merinding, dan tatapan tajamnya membuat Odette merasa benar-benar terekspos, seolah ia telanjang di hadapannya.

"Coba jelaskan. Apa yang ingin kulakukan?" Bastian bertanya.

Meskipun Odette mencoba mengangkat kakinya untuk melawan, ia dengan cepat dikuasai oleh Bastian. Saat ia meronta di bawahnya, ia terkejut oleh sensasi asing yang mengalir di tubuh bagian bawahnya yang tertekan, membuatnya menggelengkan kepala dengan panik sebagai penolakan.

"Aku tidak akan melakukan apa pun, apa pun yang tidak disetujui dalam kontrak!" seru Odette dengan tegas.

"Kau salah, Odette. Meskipun kau tidak rela, aku adalah suamimu, dan itulah inti dari kontrak kita,"

"Kau yang mengajukan kontrak dengan alasan bahwa pernikahan kita hanyalah sandiwara!" Suara Odette meninggi di setiap kata. Meskipun lantai tiga sunyi, hanya masalah waktu sebelum para tamu terbangun.

Bastian meletakkan satu tangan di sandaran sofa dan dengan lembut menggenggam tangan Odette. Saat ia mencengkeram dagu Odette dengan tangan satunya, sebuah erangan keras keluar dari mulut wanita itu.

"Tolong tepati janjimu."

Dengan ekspresi putus asa, Odette memohon agar Bastian menepati janjinya. Tapi wajah Bastian tetap tegas, dan bibirnya membentuk senyum kejam. Pernikahan itu harus berjalan sesuai kesepakatan, itu sudah jelas baginya. Ia tidak berniat menyimpang dari kontrak mereka. Setelah urusannya dengan kaisar selesai, ia akan membuang Odette seperti tisu bekas dan melanjutkan tujuannya yang lebih besar.

Bastian menarik napas dalam-dalam dan menahan napasnya saat ia mencengkeram dagu Odette dengan kuat.

Sejak hari mereka bertemu, ia tahu bahwa wanita ini memang ditakdirkan untuknya, terlepas dari alasan di balik pernikahan mereka. Oleh karena itu, sampai akhir kesepakatan, ia memiliki setiap hak untuk mengklaim apa yang seharusnya menjadi miliknya.

Di matanya, Odette tidak lebih dari sebuah alat, bidak dalam rencana besarnya. Ia telah memberikan segalanya, jadi Odette berutang segalanya padanya. Jika ia memutuskan untuk menjadi kejam dan tidak menunjukkan belas kasihan, ia berhak melakukannya. Ia tahu bahwa konsep kebaikan itu rapuh dan dangkal, dan ia tidak berniat untuk terpengaruh olehnya.

ā€œJika kau tidak segera pergi, aku akan berteriak.ā€

Saat suara langkah kaki menggema di lorong, Odette diliputi gelombang kepanikan. Putus asa mencari jalan keluar, ia melontarkan ancaman kosong, berharap bisa mengintimidasi Bastian agar menyingkir. Namun, ia tidak tahu bahwa Bastian selangkah lebih maju, sepenuhnya menyadari niatnya.

ā€œCoba saja.ā€

Bastian menanggapi tantangan Odette dengan tawa angkuh, sama sekali tidak terpengaruh.

Saat Odette menatapnya dengan jijik, jarak mereka menyusut menjadi tidak ada. Sebelum ia sempat bereaksi, ia merasakan napas panas Bastian di bibirnya dan lidahnya mendorong masuk ke mulutnya, membuatnya kewalahan oleh gairah yang tiba-tiba dan tak terduga.

Odette berjuang mati-matian, karena ia sudah kehilangan sedikit martabat yang nyaris tidak ia pertahankan.

Persetan dengan kesepakatan itu, pikirnya.

Ia seharusnya berteriak minta tolong. Apa pun yang ia inginkan. Ia seharusnya melakukannya. Tapi Odette bahkan tidak bisa bernapas dengan benar, apalagi berteriak.

Bastian menghisap bibir Odette dan memelintir lidahnya seolah mencoba mengambil segalanya saat menindihnya dengan tubuhnya yang besar dan berotot.

Ciuman itu seperti seekor predator yang menguntit mangsanya. Intens dan penuh gairah.

Meskipun dalam keadaan tertekan, Odette mengumpulkan semua kekuatannya dan memutar tubuhnya saat Bastian lengah sejenak.

Dengan tangannya yang akhirnya terbebas, ia mendorongnya dengan kuat, memukul dan mencakarnya. Namun, bahkan setelah konfrontasi sengit, Bastian tetap tidak bergerak.

Saat Odette berada di ambang keputusasaan dan merasa tak berdaya, bibir Bastian tiba-tiba menjauh darinya. Memanfaatkan momen itu, ia mengeluarkan seruan kemarahan dan ketidakadilan sebelum melayangkan tamparan keras ke wajah Bastian.

Plak!

Suara nyaring itu menggema di seluruh ruangan.

Odette menatap Bastian dengan marah, tangannya gemetar karena adrenalin. Ia menolak menyerah, meskipun ada sensasi perih di bibirnya.

Bastian merasa bodoh karena meremehkannya. Ia bersandar, mengusap rambutnya saat merenungkan kesalahannya. Jelas sekali bahwa ia telah meremehkan kekuatan dan ketekunan dari orang yang dianggap sebagai "istri"nya.

Bastian terkekeh, merasa geli melihat ekspresi Odette yang kalah namun penuh tekad. Sungguh menyegarkan melihat Odette akhirnya merangkul seni strategi, seperti Klauswitz sejati.

Meskipun Odette gagal menyerangnya lagi, Bastian merasa kegigihannya menarik, membuat tingkahnya jauh lebih menawan.

Sambil mencengkeram pergelangan tangan Odette yang baru saja ia raih, Bastian kembali melahap bibirnya dengan lebih banyak amarah. Odette kembali melawan, tetapi Bastian akhirnya kehilangan kesabaran.

Bastian meraih payudara Odette tanpa ragu, mendorong tangannya ke dalam piyama Odette, yang sudah tergulung hingga ke pinggang. Lidahnya meredam dan menyerap semua jeritan dan erangan Odette.

Tubuh Odette gemetar saat ia mencoba menahan tangisnya. Semuanya terasa kabur, dan ia tidak bisa memahami apa yang terjadi. Tetapi di tengah kebingungan, satu hal yang sangat jelas—gairah Bastian terhadapnya. Gairah itu memancar darinya seperti kekuatan yang nyata, kuat, dan menguasai segalanya.

Tangan Bastian tiba-tiba merayap masuk ke dalam celana dalam Odette saat penderitaannya sudah tak tertahankan. Odette tidak menyadari apa yang terjadi sampai Bastian mulai mengusap paha bagian dalamnya secara tidak senonoh.

Odette terkejut, tidak yakin harus berbuat apa. Ia memejamkan mata. Ia mencela dirinya sendiri, mencoba untuk tidak menangis, dan memohon petunjuk Tuhan, meminta kejernihan berpikir. Namun, suara tindakan tak senonoh Bastian terus bertambah keras, membuatnya hampir tidak mungkin untuk berkonsentrasi.

"Bastian."

Saat bibir Bastian bertemu dengan bibirnya lagi, Odette mengumpulkan keberanian dan berani membuka matanya. Ia disambut oleh tatapan tenang dan dingin dari mata biru tajam Bastian.

"Bastian."

Saat keributan di luar ruangan semakin keras, Odette memeluk wajah Bastian, air mata mengalir di pipinya saat ia membisikkan nama suaminya. Tatapan mereka terkunci, tetapi suara dari koridor terus menyelinap masuk ke dalam ruangan, mengancam untuk mengganggu momen mereka.

"Tolong aku."

Suara Odette bergetar karena putus asa saat ia berbicara. Meskipun Bastian adalah orang yang menyebabkan kesusahannya, ia tetap satu-satunya yang bisa ia mintai pertolongan.

"Bastian, tolong... tolong aku."

Ia memejamkan matanya, berjuang untuk tetap tenang di tengah kekacauan yang mengelilingi mereka.

Suara dari luar pintu mengancam untuk membuatnya kewalahan, tetapi ia berpegang pada harapan bahwa Bastian akan mendengar permohonannya dan datang membantunya.

Tawa keras yang riang memecah kesunyian yang tegang, membuat Odette merinding. Suara langkah kaki yang berat menyusul, menandakan kedatangan seorang pria besar dan kuat.

Respons Bastian adalah tawa riang bercampur umpatan saat ia bangkit. Ruangan itu tiba-tiba diterangi oleh aliran sinar matahari, menyoroti Odette yang berantakan dan gemetar.

Bastian dengan santai melemparkan selimut sofa ke lantai di samping Odette, yang masih gemetar karena kejadian barusan. Ia masih bisa mencium gairah Odette di jari-jarinya saat ia menyeka bibirnya yang lembap, merasakan campuran kepuasan dan rasa jijik.

Ia menarik gaun Odette, yang sudah terangkat hingga ke pinggang, dan bangkit dari sofa, tidak meliriknya sedikit pun. Saat ia pergi, ia tidak bisa tidak memikirkan istrinya, yang telah membuktikan dirinya sebagai pemenang yang licik dan kejam.


Postingan Terkait

Lihat Semua

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Donasi Pembelian Novel Raw untuk Diterjemahkan

Terima kasih banyak atas dukungannya 

bottom of page