Bastian Chapter 41
- 11 Agu
- 6 menit membaca
Diperbarui: 19 Agu
~ Muncul Bak Bidadari ~
Suara bising dan sorak-sorai pesta mulai pudar saat Odette menaiki tangga menuju lantai tiga, di mana kamar tamu berada.
Seorang pelayan mengantarnya ke kamar di ujung timur. Meski gelap, Odette tahu bahwa di siang hari, kamar tidur itu pasti menyuguhkan panorama menakjubkan dari danau yang tenang dan hutan lebat di lereng bukit.
"Aku bisa mengurus diri sendiri," ucapnya berterima kasih kepada pelayan yang sudah membantunya berganti pakaian. Setelah pelayan itu pergi, ia menikmati kemandiriannya.
Kepalanya sedikit pusing akibat alkohol, tetapi ia masih bisa menjaga keseimbangan. Odette melepas cincin pernikahannya, melangkah ke kamar mandi, dan mulai mengisi bak mandi. Suara gemericik air menenangkan menggema di seluruh ruangan.
Apakah ia benar-benar telah menjadi istri yang baik?
Gelombang keraguan menyapu dirinya. Sambil menunggu bak mandi terisi air hangat, Odette membiarkan dirinya merenung sejenak. Ia sangat menghargai kebaikan dan keramahan Marchioness Demel, yang telah memungkinkannya memerankan Nyonya Klauswitz dalam lingkungan yang jauh lebih santai dari biasanya. Ia menikmati hidangan lezat dan percakapan yang menyenangkan, bebas dari keharusan untuk selalu waspada dan tegang. Ini adalah jeda dari pertarungan akal yang ia hadapi setiap hari.
Sebuah pikiran tiba-tiba muncul saat ia berusaha tetap terjaga. Mungkin, ia bisa menemukan apa yang ia cari di dalam ingatan Bastian. Dengan tekad di matanya, ia menyelam jauh ke dalam pikiran suaminya, menelusuri kenangan-kenangan seperti seorang detektif yang memburu petunjuk.
Jadi ia berakting, bahkan sesekali mencuri pandang ke arah Bastian, takut suaminya menyadari ia tidak fokus dan kembali menegurnya karena tidak menjalankan tugas. Meskipun Bastian terlihat tenang, Odette merasakan suasana hati pria itu sedikit berubah, mungkin bertanya-tanya apa yang ada di benaknya.
Tawa hangat dan tatapan lembut Bastian mengisi meja makan dengan kehangatan, membuat Odette merasa nyaman di sisinya. Menjelang akhir malam, Bastian-lah yang mendesak Odette untuk kembali ke kamar, meskipun ia sendiri minum lebih banyak dari biasanya.
'Selamat malam, Odette.'
Saat menaiki tangga, ia masih bisa mendengar gema suara Bastian.
Ketika mata mereka bertemu, Odette bertanya-tanya apakah sapaan manis itu hanya sebuah sandiwara. Tapi senyum Bastian tampak tulus, dan ada kilatan kepuasan di matanya yang tidak bisa ia artikan.
Odette menghela napas lega setelah mengambil kesimpulan dan mematikan keran air. Lalu ia melihat jendela besar yang membentang di seluruh dinding, tepat di belakang bak mandi.
Kepalanya yang pening membuatnya bingung, tetapi ia tetap berjalan ke jendela untuk menutup tirai.
Langit malam dipenuhi bintang-bintang yang berkelap-kelip, layaknya lautan luas di atasnya. Dengan dorongan hati yang tiba-tiba, Odette membuka jendela itu, tertarik oleh keindahan malam di pertengahan musim panas. Bima Sakti membentang di atas sana, ditemani bisikan dedaunan yang bergemerisik dan nyanyian serangga.
Odette kini mengerti alasan di balik jendela kamar mandi yang begitu besar. Ia terpikat oleh pemandangan indah itu cukup lama, sampai akhirnya ia berbalik, meninggalkan jendela terbuka di belakangnya. Di dalam ruangan yang remang-remang, ia melepaskan gaunnya, siap untuk berendam di air hangat di bak mandi.
Riak-riak air berhenti, dan kamar mandi kembali sunyi.
Lolongan serigala menggema di seluruh hutan yang gelap, suara mereka menembus keheningan malam.
Bastian menghentikan langkahnya dan memandang ke luar jendela di lorong. Gugusan bintang berkelap-kelip di langit tanpa bulan. Ingatan membanjiri benaknya saat ia mengenang kelas khusus yang diadakan pada malam-malam seperti ini, ketika keluarganya melatih calon penerus agar siap menghadapi keadaan tak terduga dan memimpin keluarga di masa depan.
Dalam dunia para guru yang kebal hukuman, kekejaman adalah hal biasa. Namun, ada beberapa yang menjadi pengecualian, dan kebaikan hati serta pemikiran mendalam sang guru adalah hal langka. Sayangnya, guru seperti itu jarang bertahan lama.
Guru Bastian yang paling lama mengajar adalah seorang pensiunan perwira militer yang dicopot pangkatnya karena perlakuan kejamnya terhadap para prajurit. Namun, bagi ayah Bastian, ia adalah mentor yang hebat. Setelah mengalihkan pandangannya dari cakrawala yang redup, Bastian melanjutkan langkah. Meskipun sangat mabuk, penilaiannya tetap tajam.
Undangan ke pesta Laksamana Demel selalu disertai dengan janji gelas yang melimpah dan botol yang tak ada habisnya. Bastian sering kali menyerah pada godaan malam, namun malam ini berbeda. Malam ini, ia memilih jalan yang tidak mengarahkannya ke dasar botol.
Ia tahu bahwa alkohol dalam jumlah yang tepat akan membuatnya tertidur nyenyak, jadi ia minum secukupnya. Saat menuju kamar, sebuah sensasi aneh merayap di punggungnya.
Apakah Odette sudah pergi tidur?
Ia ragu sejenak sebelum diam-diam mendorong pintu.
Lampu di meja samping tempat tidur memberikan cahaya hangat di atas ranjang yang kosong, memberitahunya bahwa Odette tidak ada di sana. Tapi saat ia berdiri, sebuah melodi manis mencapai telinganya, menariknya masuk seperti panggilan bidadari laut. Suara itu, berupa senandung lembut, bergema di kegelapan seperti lagu pengantar tidur. Bastian mengikutinya, tubuhnya bergerak dengan sendirinya, hingga ia berdiri di depan pintu kamar mandi yang setengah terbuka.
Tanpa berpikir dua kali, ia membuka pintu itu, memperlihatkan Odette dalam penuh keindahan.
Dalam momen yang memukau, Bastian menyadari sumber melodi yang memikat itu tidak lain adalah Odette. Suara merdunya menggema di seluruh ruangan seperti mantra, mengendalikan dirinya.
Saat ia berdiri membeku, ia memandangi Odette yang sedang berendam di bak mandi dekat jendela. Odette tampak seperti bidadari laut, menggodanya untuk bergabung di air yang sejuk dan jernih. Lagunya seperti mimpi, membuainya dalam keadaan tak sadar. Di tengah kegelapan, tubuh telanjangnya bersinar seperti suar, kerentanannya terlihat jelas. Tenggelam dalam momen itu, Odette tetap tidak menyadari kehadirannya.
Bastian melawan lonjakan kegelisahan dan perasaan hampa yang tiba-tiba muncul. Ia mengepalkan tangannya. Tepat pada saat itu, hembusan angin menyapu pepohonan di luar hutan, menyebabkan dedaunan bergemerisik dan menciptakan gelombang suara yang memecah keheningan malam.
Odette tiba-tiba berhenti bernyanyi dan menoleh, mengikuti arah datangnya angin. Matanya terkunci pada mata Bastian, dan pada saat itu, kegelapan transparan malam pertengahan musim panas seolah menghilang, hanya menyisakan mereka berdua.
Namun, kemudian ketakutan melintas di wajah Odette, dan ia menatap Bastian dengan hampa. Sebuah jeritan tajam nyaris keluar dari bibirnya, tetapi Bastian bertindak cepat, merasakan krisis itu, dan bergerak untuk mencegahnya.
Dengan refleks secepat kilat, Bastian melompat ke arah bak mandi dan membekap mulut Odette untuk meredam jeritannya. Meskipun Odette berusaha melawan dengan lemah, kekuatan Bastian dengan mudah menaklukkannya. Keheningan malam pertengahan musim panas kembali pulih saat angin yang mengguncang hutan perlahan mereda.
Jantung Bastian berdebar kencang saat ia berusaha mendengar tanda-tanda gerakan di luar pintu kamar mandi. Suara obrolan dan tawa para tamu pesta perlahan memudar, menandakan bahwa kemeriahan malam itu telah berakhir.
Dengan napas lega, Bastian mengalihkan perhatiannya kembali ke Odette, yang kini gemetar dan sepucat hantu. Sulit baginya untuk menyatukan wanita yang rentan dan ketakutan itu dengan makhluk berani dan memikat yang ia temui beberapa saat sebelumnya.
Matanya mencari tanda pemahaman dari Odette, mencoba memahami kejadian aneh itu. Cengkeramannya tetap kuat, siap bertindak cepat jika ada gerakan atau kejutan mendadak.
Tubuh Odette bergetar di bawah sentuhan Bastian. Perlawanannya semakin kuat saat tatapan Bastian menelusuri lehernya yang ramping, mengikuti jalur urat biru, hingga ke tulang selangkanya. Tetesan air di dadanya yang naik turun berkilauan dalam cahaya remang, jatuh ke air yang tenang dengan suara gemericik lembut. Saat suara para tamu pesta memudar, Bastian mengangkat pandangannya dari tubuh Odette.
"Sstt." Bastian memberi isyarat agar diam, meletakkan jari di bibirnya. Mata Odette melebar karena takut, tetapi ia menurut dan mengangguk.
Bastian melepaskan cengkeramannya pada Odette dan berdiri. Dengan gerakan cepat, ia melemparkan handuk ke arah wanita yang gemetar itu. Odette segera meraihnya dan membungkus tubuhnya yang menggigil. Napas Odette tersengal-sengal, seolah ia baru saja lolos dari bahaya besar.
"Kenapa kau di sini? Mengapa..." Odette kesulitan bernapas dan tergagap-gagap saat berbicara. Bastian menatapnya dengan mata yang jernih dan bingung, lalu ia segera memahami situasinya.
"Apa kau benar-benar berpikir kamar ini hanya untukmu?" Frustrasinya terlihat jelas, terbukti dari cara ia menjilat bibirnya yang kering dan mengeluarkan tawa kesal.
"Awalnya, kita..."
"Bagaimana kalau kita langsung memberi tahu Laksamana Demel, orang kepercayaan Kaisar?" suara Bastian memotong. "Yang Mulia. Sebenarnya, pernikahan kami hanyalah sandiwara. Kami hanya memainkan peran sebagai pasangan suami istri, dan kami bahkan tidak tidur di ranjang yang sama. Akan sangat dihargai jika kami bisa mendapatkan kamar lain, terpisah satu sama lain. Apakah Anda bisa mengaturnya?"
"Maafkan aku," suara Odette bergetar. "Aku harap kau akan menemukan solusi untuk masalah kita, tapi... aku salah." Suaranya terdengar tercekat air mata dan nyaris tidak terdengar dalam kegelapan.
Tangannya bergetar saat ia mengusap wajahnya yang memerah, seolah mencoba sadar dari kebingungannya, tetapi sepertinya tidak berhasil.
"Bersihkan dirimu dan keluar," Bastian keluar dari kamar mandi dan menutup pintu di belakangnya. Ia akhirnya menyadari penampilannya sendiri yang acak-acakan dan basah.
Setelah buru-buru mengeringkan diri, ia melangkah ke balkon untuk merokok. Saat menghembuskan kepulan asap putih, pandangannya melayang ke bawah dan ia menyadari bahwa gairahnya belum juga mereda.
Dengan tawa sinis, Bastian mengeluarkan kepulan asap lagi dan menghela napas, bercampur dengan umpatan.
Komentar