;
top of page

Bastian Chapter 36

  • 10 Agu
  • 6 menit membaca

Diperbarui: 19 Agu

~ Urusan Odette ~

Pagi yang tenang tiba-tiba terusik oleh suara ketukan lembut namun jelas. Odette, yang sedang melamun menatap cermin sambil menyisir rambutnya, segera tersadar. Ia menoleh, penasaran siapa yang datang sepagi ini. Tepat ketika ia mencoba memfokuskan pikirannya, ketukan lain terdengar. Kali ini, suaranya datang dari arah tak terduga, yaitu pintu penghubung ke kamar tidur suaminya.

Odette langsung bangkit dari kursi, menyadari bahwa itu pasti Bastian. Seolah sesuai dugaan, suara familier memecah keheningan, "Odette."

"Silakan masuk," sambut Odette sambil bergegas merapikan meja riasnya yang berantakan. Ia memastikan setiap benda kembali ke tempatnya, lalu dengan hati-hati meletakkan kembali krim ungu. Saat itu, pintu yang hampir tersamarkan dengan dinding perlahan terbuka.

Di baliknya, berdiri Bastian dengan jubah mandi biru keabu-abuan yang jatuh dengan elegan, memancarkan aura dewasa yang tak bisa diabaikan.

Odette membeku, tak tahu harus berbuat apa. "Ada apa?" tanyanya ragu-ragu.

Pintu itu belum pernah dibuka sebelumnya, meskipun mereka sudah menghabiskan beberapa akhir pekan bersama. Odette bingung, sementara Bastian tampak tak peduli. Pria itu menghentikan langkahnya di antara meja rias dan tempat tidur, matanya terpaku pada Odette. Rambutnya tampak lebih gelap, seolah baru saja keramas. Jubah longgar yang dikenakannya sedikit menempel di kulit, memperlihatkan sisa-sisa air yang berkilauan.

Di tengah penampilannya yang tidak rapi, matanya tetap dingin dan kaku, seolah tak bisa ditembus emosi. Tatapan tajam itu terasa seperti keabadian, membuat Odette merasa tidak nyaman dan terlalu terekspos. Bahkan saat ia berusaha menampilkan sikap tenang, ia malah mundur, seolah bisa merasakan beban tatapan Bastian yang menusuk. Rasanya aneh, seperti butiran pasir yang dipanaskan matahari terik mengalir di kulitnya.

Tatapan Bastian perlahan bergerak dari ujung jari kaki Odette yang berbalut sandal, naik ke tangan yang tergenggam, dan berhenti di wajahnya yang memerah. Tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan duduk di meja teh dekat jendela. Barulah saat itu, Odette mulai memahami sumber ketidakpuasannya. Ekspresi di wajah Bastian jelas sekali menunjukkan rasa tak senang.

Odette menarik napas tajam dan berbalik. Pemandangan di cermin membuat ia hampir berteriak kaget dan buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. Di sana, pantulan dirinya hanya mengenakan piama muslin putih tembus pandang. Setiap lekuk tubuhnya terlihat jelas.

Panik, Odette buru-buru menyilangkan tangan di dada sambil memindai ruangan. Gaunnya ada di bangku dekat tempat tidur. Namun, membayangkan harus menyeberangi ruangan untuk mengambilnya di depan suaminya membuat ia merasa seolah berdiri di sana tanpa busana.

"T-Tolong berbalik sebentar," Odette memohon dengan suara gemetar. Ia tahu ucapannya bisa membuatnya terlihat lemah, tapi ia tidak menemukan cara lain untuk keluar dari situasi canggung ini.

Bastian tertawa, lalu menghela napas. Untungnya, meski kaget, ia cukup sopan untuk mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Baru setelah itu, Odette berani mengambil gaunnya. Ia merasa semakin malu setelah buru-buru memakainya. Bagaimana bisa ia lebih mengkhawatirkan mejanya yang berantakan? Benar-benar tidak masuk akal.

"Terima kasih, aku sudah selesai," gumam Odette pelan. Jantungnya berpacu, tetapi ia berusaha terlihat kuat dan tegar.

Bastian menoleh, ekspresinya tak berubah. Rasa tidak senangnya begitu nyata, dan Odette merasakannya seperti beban berat yang menekan.

"Silakan duduk," Bastian mempersilakan Odette. Tangannya menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di dahi. "Ada yang perlu kita bicarakan soal pesta makan malam," katanya dengan nada sedingin dan sekejam biasanya.

Sikap profesional Odette sangat dihargai. Setidaknya, untuk saat ini.

Jari-jari Odette yang gemetar perlahan mereda. Ia terus memegang gaunnya erat-erat, buku-buku jarinya memutih. Bastian mengamatinya dalam diam, memperhatikan ketegangan yang amat sangat dalam dirinya. Odette sudah menunjukkan segalanya, jadi ia tidak mengerti mengapa wanita itu masih memegangi gaunnya seolah itu satu-satunya pelindung. Bastian tahu percuma saja, jadi ia memilih tidak berkomentar. Ia tidak mau membuang waktu lebih lama menunggu wanita yang bingung itu, mengingat hari sudah larut malam.

Bastian langsung ke intinya. "Aku tidak membawamu ke sini untuk bermain peran sebagai tuan putri yang elegan," katanya blak-blakan, nadanya tajam seperti pisau.

Odette berkedip kaget. "Bisakah kau jelaskan agar aku mengerti?"

"Kau menikahi rakyat biasa, Odette," suaranya penuh nada menghina. "Dan sebagai istri rakyat biasa, kau sekarang juga rakyat biasa."

Mata Odette berkilat. "Aku menyadarinya," jawabnya, menatap lurus ke mata Bastian.

"Benarkah?" Senyum licik bermain di bibir Bastian. "Kalau begitu mungkin sudah waktunya kau mulai bersikap seperti itu. Apa akan lebih jelas jika kubilang aku tidak ingin melihat wanita menyedihkan yang hancur berkeping-keping di tangan orang lain bertindak sok terhormat?"

"Aku minta maaf atas tindakanku di meja makan. Aku terkejut dan lengah. Tapi, aku tidak bisa setuju dengan gagasan untuk meninggalkan kesadaran atas kelasku," balas Odette, suaranya tetap mantap meskipun pipinya memerah. "Aku membuat penilaian berdasarkan pikiran dan keyakinanku sendiri, bukan status sosial."

"Pikiran."

Saat kata itu keluar dari bibirnya, mata Odette berbinar dengan secercah kegembiraan.

"Terlepas dari kelahiran atau status pernikahanku, aku tetap diriku sendiri. Dan aku yakin sudah memenuhi tugasku sebagai nyonya rumah yang ramah malam ini." Gejolak batinnya sangat besar, namun ia menolak untuk menyerah begitu saja.

Ia menggertakkan giginya, bertekad menjaga ketenangannya di hadapan teman dan kekasih pria itu. Cemoohan dan hinaan mereka memang menyakitkan, tetapi ia tidak akan membiarkan mereka melihat rasa sakitnya. Bagi Odette, ini tentang menepati janji dan memenuhi tanggung jawab. Ia tak bisa membiarkan posisinya hilang, setelah berjuang keras untuk sampai di sini. Meskipun mereka memperlakukannya seperti pelacur, ia tetap mempertahankan ketenangan dan martabatnya, berpegang teguh pada tata krama keluarga Dyssen.

Dengan beban tugas di pundak, Odette menatap hamparan laut malam yang tak berujung, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia tak boleh membiarkan Bastian melihat kelemahannya—lagi pula, ini hanya bagian dari kontrak. Tapi saat ia berjuang menanggung beban tanggung jawab sebagai Nyonya Klauswitz, ia tak bisa menahan rasa sakit di hatinya. Sakit itu muncul dari kesadaran bahwa ia belum terbiasa memikul beban yang bukan miliknya.

"Apa kau selalu memandang dirimu begitu tinggi?" tanya Bastian, suaranya diwarnai sedikit geli.

"Aku hanya akan menunjukkan penghargaan untuk hal-hal yang pantas," Odette menegakkan bahunya dan menatap Bastian, kemarahannya terasa.

Seiring berjalannya waktu, ia tahu akan beradaptasi. Waktu telah memberinya satu hadiah, tapi itu sudah cukup. Ia telah terbiasa dengan ketidaknyamanan dan menemukan pelipur lara di dalamnya.

"Aku tidak menaruh perhatian pada kata-kata wanita yang sudah melupakan nasihat yang kuberikan tadi malam." Udara di antara mereka menegang saat Bastian bersandar di kursinya, ekspresinya sulit ditebak.

"Kau tidak perlu khawatir soal itu. Pikiranmu adalah milikmu, dan aku akan mengingatnya," Odette meyakinkan.

"Kau tahu itu, jadi mengapa kau mengabaikan nasihatku?"

"Nasihat yang kau berikan semata-mata untuk urusan Nyonya Klauswitz. Ketika saatnya aku bertindak sebagai istrimu, aku akan berusaha selaras dengan keyakinanmu."

"Lalu, bagaimana dengan sekarang?"

"Apakah pantas disebut... Urusan Odette?" Odette, yang kesulitan mencari kata-kata, mengajukan pertanyaan aneh. Ekspresinya tulus, tanpa sedikit pun nada bercanda.

Tawa Bastian menggema di seluruh ruangan. Ia akhirnya mengerti solusi Odette. Wanita di hadapannya, yang dulu begitu tenang dan pendiam, kini menahan napas penuh harap. Seolah ada sisi baru dari dirinya yang muncul, sisi yang tak takut mengambil risiko dan menemukan solusi tak biasa. Bastian tak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi Odette yang baru ini.

Tak ada yang lain, hanya Odette.

Tawa Bastian mereda, ia menghela napas dalam-dalam. Matanya menatap istrinya dengan ekspresi kosong. Ingatan tentang pesta makan malam dan kejengkelan yang disebabkan oleh penolakannya berputar-putar di benaknya. Ia mencoba menepisnya. Namun, ia tak bisa mengabaikan kehadiran Odette yang tak kenal menyerah. Tanpa kepalsuan, wanita itu sungguh memukau. Bastian merasa tekadnya goyah di hadapan kecantikannya.

Bastian menatap gaun di tangan Odette, matanya berhenti pada cincin kawin di jarinya. "Jadi, kapan kau berencana melanjutkan tugasmu sebagai istriku?"

"Di mata mereka yang percaya aku adalah istrimu, aku akan menjadi Nyonya Klauswitz."

"Jadi, itu artinya tidak sekarang?" Bastian bertanya, mencari klarifikasi.

"Ya, benar. Tapi, jika kau punya saran, aku bersedia mendengarkan."

"Ah, begitu. Aku pikir kau berteriak untuk membungkamku."

Odette cepat-cepat menggelengkan kepalanya, rambutnya bergoyang seperti malam yang gelap. "Maaf, aku tidak bermaksud begitu," katanya. "Jika keinginanku tidak sejalan dengan keinginanmu, tolong beritahu aku. Meskipun aku tidak bisa berubah menjadi orang baru dalam semalam, aku akan berusaha semampuku untuk meminimalkan perbedaan di antara kita." Tatapannya pada Bastian menjadi lembut dan penuh kasih saat ia berbicara.

"Aku lebih suka pemenang yang tak berperasaan daripada pecundang yang terhormat," kata Bastian. Matanya melayang dari rambut Odette ke tangannya yang elegan, yang mencengkeram kain pakaiannya dengan erat.

Odette merenung dalam-dalam sebelum berbicara, "Tapi, bahkan jika itu berarti mengorbankan martabat?"

"Menang dengan segala cara adalah esensi dari martabat Klauswitz."

"Tapi itu seharusnya tidak berlaku untuk Countess Lenart."

"Mengapa tidak?" tanya Bastian penasaran.

Odette ragu-ragu sebelum melanjutkan, "Karena hari itu... Countess Lenart jauh lebih penting bagimu."

"Selama sandiwara kita sebagai suami dan istri, aku yakin sudah menjelaskan bahwa aku akan mengutamakan kebutuhan istriku. Apa ingatanmu hanya berfungsi setengah-setengah?" Mata Bastian perlahan terangkat dari tubuh yang Odette coba lindungi.

"Aku paham, tapi Countess Lenart tahu tentang perjanjian kita. Sulit untuk bersikap sebagai pasanganmu di hadapannya..."

"Selama momen itu, bersikaplah sesukamu. Ingat saja jumlah uang yang akan kau terima sebagai imbalan dari jasamu." Bastian bangkit dari kursinya, mengabaikan nasihatnya yang lelah. Rasa marah yang hangat merayap naik dari punggung Bastian yang kaku, semakin intens seiring waktu. Situasi ini semakin tidak masuk akal, tetapi ia tahu bahwa ia punya kekuasaan untuk bertindak sesuka hatinya.

Bastian tidak pernah menganggap penting untuk memuaskan dorongan hasratnya, dan itu masih berlaku. Ia tahu betul ia punya wewenang untuk melanggar perjanjian mereka, tetapi ia mempertanyakan apakah sepadan dengan akibat yang bisa terjadi karena dorongan nafsu sesaat. Jawabannya jelas—adalah kekalahan telak.

Setelah dua tahun memainkan peran sebagai pasangan palsu, seluruh keberadaan Odette, bagi Bastian, terbatas pada hal ini.

"Kalau begitu istirahatlah, Odette," Bastian berkata singkat, tatapannya terpaku pada mata biru kehijauan Odette yang bingung.

Saat ia berjalan melintasi ruangan dan membuka pintu untuk pergi, Odette tetap diam, tidak menjawab sampai pintu tertutup di belakangnya sekali lagi.


Postingan Terkait

Lihat Semua

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Donasi Pembelian Novel Raw untuk Diterjemahkan

Terima kasih banyak atas dukungannya 

bottom of page