;
top of page

Bastian Chapter 37

  • 10 Agu
  • 6 menit membaca

Diperbarui: 19 Agu

~ Orang yang Bersyukur ~

"Bagaimana rasanya jadi pengantin baru? Semuanya baik-baik saja?" Tira bertanya dengan rasa ingin tahu, di sela-sela ceritanya tentang kehidupan asrama dan teman-teman barunya.

"Aku baik-baik saja," jawab Odette tenang setelah meletakkan gagang telepon.

"Hanya itu?" Tira bertanya, sambil menaikkan sebelah alisnya.

Setelah berpikir sejenak, Odette tersenyum. "Aku merasa sangat nyaman dan menikmati segalanya."

"Di mana pengantin baru yang dulu mengeluh tentang pernikahannya dengan buruk?" Tira tertawa lepas. "Kakak lebih cocok jadi kepala asrama, dengan betapa ketatnya aturanmu," godanya. Setelah itu, suara Tira melembut, seakan menahan luapan kegembiraan.

"Kakak..."

"Ya?"

"Terima kasih." Suara Tira tulus, penuh rasa syukur.

"Untuk apa?" Odette bertanya, bingung.

"Untuk semuanya. Setelah kita tidak tinggal bersama, aku jadi lebih mengerti kalau Kakak sangat menyayangiku. Jadi, terima kasih dan maaf sekali lagi." Suaranya berubah, dari bersemangat menjadi tangisan. "Kakak bahagia?" Tira bertanya terisak.

"Ya, aku bahagia."

Tira kemudian mengajukan pertanyaan yang tak terduga. "Bagaimana Kapten? Apa ia menyayangi dan mencintai Kakak?"

Odette perlahan membuka matanya dan berdiri. Sinar matahari musim panas masuk melalui jendela yang menghadap ke laut, menyinari dinding-dinding polos di ruang kerja kecil itu—ruangan yang Sandrine tunjuk untuk memajang lukisan pemandangan.

"Kakak?"

Suara Tira yang ragu-ragu membuyarkan lamunan Odette. "Ya, Tira." Ia tersenyum lebar, seolah Tira ada di depannya.

"Yah... aku bersyukur padanya," jawab Odette jujur, mencoba menenangkan kekhawatiran Tira.

Meskipun kata-kata Bastian Klauswitz kadang melukai hatinya, Odette tidak bisa memungkiri rasa terima kasihnya. Pria itu datang tepat waktu, saat keluarganya di ambang kehancuran, menyelamatkan mereka dari takdir buruk.

Bantuan Bastian mungkin dilandasi motif pribadinya, tetapi besarnya pertolongan seperti itu tidak pernah ia alami sebelumnya. Karena itulah, ia merasakan rasa syukur yang luar biasa pada suaminya, meskipun pernikahan mereka hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan.

"Syukurlah, hatiku jadi lega." Suara Tira kembali ceria. Ia langsung bercerita tentang rencana akhir pekannya: piknik bersama teman, jalan-jalan keliling kota, dan bahkan belajar tenis. Itulah kehidupan yang tak pernah ia bayangkan sebulan lalu.

"Aku harus pergi sekarang. Sampai nanti, Kakak!" Suara Tira tenggelam oleh keramaian di sekitarnya, menandakan teman-temannya sudah datang.

"Selamat tinggal, Kakak! Aku sayang Kakak!" Tira berteriak sekuat tenaga sebelum memutus panggilan.

"Selamat tinggal, adikku sayang. Aku juga menyayangimu," gumam Odette, mengucapkan kata-kata yang tak sempat ia sampaikan. Setelah mendengar suara Tira, ruangan itu terasa lebih asing dan sepi, seolah kehadiran adiknya membuat segalanya lebih hidup.

Tak mau larut dalam emosi, Odette membunyikan bel untuk memanggil pelayan. Setelah menyerahkan surat-surat yang harus dikirim, ia menerima tumpukan surat baru—kebanyakan adalah undangan pesta.

Duduk di mejanya, ia mulai menyortir surat-surat itu. Surat pertama berasal dari istri Laksamana Demel, atasan Bastian, yang mengundang mereka ke kediaman musim panas.

"Beberapa hari lalu ada pelayan baru yang melamar pekerjaan," kata pelayan kepala sambil meletakkan surat-surat. "Nyonya bisa melihatnya dan memutuskan nanti."

"Aku rasa staf di rumah ini sudah cukup. Apakah benar-benar perlu menambah pelayan?" tanya Odette.

"Ini perintah dari Tuan," jawab pelayan kepala dengan tegas. Odette pun menerima jawaban itu tanpa bantahan.

Para pelayan sangat setia pada tuan mereka. Semakin besar kekaguman mereka pada Bastian, semakin besar pula ketidakpuasan mereka pada Odette. Mereka tidak membenci Odette secara pribadi, melainkan status sosial dan keluarganya. Mereka menganggap pernikahan tuan mereka dengan wanita rendahan sebagai penghinaan besar. Mereka berpikir Bastian sudah bebas dari belenggu dunia lama, tetapi pernikahannya dengan Odette justru membuatnya kembali terikat.

Odette memahami alasan di balik permusuhan mereka. Bastian, sebagai cucu pedagang barang antik, dikucilkan oleh kaum aristokrat. Namun, bagi rakyat biasa, ia adalah perwujudan masa depan dan pemenang.

"Aku akan makan siang di sini," kata Odette setelah membaca surat-surat terakhir. Hari-hari sibuk menjamu tamu akhirnya berakhir. Waktu seakan lenyap saat tugas ini selesai.

Odette hendak meminta pendapat Bastian setelah memilih undangan, ketika kepala pelayan tiba-tiba datang dan menyajikan hidangan mewah layaknya untuk bangsawan. Sepiring rapi sandwich mentimun dan semangkuk sup tomat dingin disajikan bersama segelas limun segar. Ini bukan makanan biasa; hidangan ini adalah pilihan makanan yang biasanya tidak disukai Odette.

"Terima kasih, Dora. Sekarang, silakan istirahat," kata Odette, mengizinkan pelayannya beristirahat. Ia menghabiskan sandwich-nya dan melihat katalog yang diletakkan dekorator interior di meja sehari sebelumnya.

Odette menyadari ia harus mengunjungi studio sang pelukis untuk memilih lukisan yang pas untuk dinding perpustakaan. Sangat penting untuk melihat lukisan berharga secara langsung sebelum memutuskan.

"Dora, ada lagi yang kau perlukan?" tanya Odette pada pelayan kepala yang masih berdiri di ruangan.

"Oh, tidak, Nyonya. Kalau butuh bantuan, jangan ragu memanggil saya," jawab Dora, mengubah ekspresinya dan membungkuk hormat sebelum pergi. Odette melanjutkan santapannya saat pintu tertutup pelan di belakangnya.

Pelayan kepala itu melupakan satu hal penting tentang Odette: kemampuannya yang luar biasa untuk menoleransi hal-hal yang tidak ia sukai. Meskipun limunnya terlalu manis dan asam, Odette tetap meminumnya. Setelah makan siang cepat, ia kembali fokus pada tugasnya sebagai nyonya rumah. Ia bertekad tidak akan membuat masalah lagi, apalagi akhir pekan akan segera tiba.

"Tuan, Anda berlari lebih cepat dari biasanya hari ini," Sapa Kepala Pelayan Lovis dengan senyum lebar.

Di waktu luangnya, Bastian menemukan ketenangan dengan jogging setiap hari di taman. Jarak dan durasi larinya selalu sama, menunjukkan disiplinnya. Setelah sempat menurun setelah kembali dari Trosa, kecepatannya meningkat pesat belakangan ini, melampaui rekor sebelumnya dengan mudah.

Saat Bastian kembali ke rumah, senyum puas menghiasi wajahnya, tapi ia tetap diam. Lovis, yang sudah tahu apa yang ia butuhkan, mengikutinya dari belakang sambil membawa segelas air lemon segar.

"Saya sudah mengatur staf tambahan untuk Ardene Mansion. Ditambah para pelayan yang akan ikut saat Anda pindah ke luar negeri nanti, kita akan kelebihan staf," kata Lovis, berjalan seperti bayangan.

Bastian mengangguk cepat, menghabiskan airnya dalam sekali teguk, dan mengembalikan gelasnya ke nampan. "Terima kasih atas usahamu. Aku akan pergi dalam satu jam. Aku akan mengemudi sendiri, jadi tidak perlu sopir."

"Baik, Tuan. Mobil akan saya siapkan. Apa Anda akan langsung ke Ardene setelah makan malam?"

"Tidak, aku akan menghabiskan akhir pekan di Ratz."

Mata Lovis membelalak. "Kalau begitu Nyonya pasti sudah menunggu cukup lama."

Bastian tidak mengatakan apa-apa sebelumnya, jadi persiapan di Ardene pasti sudah berjalan. Namun, Bastian tampak tidak peduli, jadi Lovis berhenti mencampuri urusannya.

"Saya akan sampaikan pada Nyonya bahwa karena pekerjaan Anda, Anda akan menghabiskan akhir pekan di Ratz," kata Lovis, dengan cekatan menemukan alasan yang masuk akal.

Bastian mengangguk, lalu memberi isyarat agar Lovis pergi, menunjukkan ia ingin sendirian. Lovis tetap di sana sejenak, mengamati tuannya menaiki tangga.

Meskipun sibuk, Bastian selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan akhir pekan dengan istri barunya. Lovis merasa sedikit menyesal karena kebahagiaan pernikahan tuannya tidak diakui. Namun, ia tahu tak ada gunanya mengharapkan respons apa pun dari Bastian, jadi ia menelan kekecewaannya dan melanjutkan tugasnya.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Odette mengenakan gaun kesayangannya. Gaun biru muda yang tidak membuat Bastian senang, tapi Odette tetap memakainya. Ia menambahkan anting mutiara kecil untuk melengkapi penampilannya. Wajahnya berseri-seri dan hidup, dengan riasan tipis.

Akhir pekan tak terduga tanpa suaminya sempat membuatnya merasa bingung, tetapi ia dengan cepat menyusun rencana. Ia akan ke Ratz untuk memilih lukisan, lalu menikmati teh pribadi yang santai. Ia memilih kafe luar ruangan yang tenang daripada lounge hotel mewah yang ramai. Ia juga berencana mampir ke toko buku untuk membeli beberapa buku.

Odette berbalik, membawa tas tangan dan payung, lalu disambut sopirnya.

"Halo, Nyonya. Saya Hans. Anda membutuhkan mobil yang mana?" tanyanya dengan sangat sopan. Pertanyaan itu membuat Odette sedikit terkejut.

Odette mengerutkan dahi, berpikir. Bahasa dan kebiasaan di rumah itu membuatnya bingung. "Maaf, saya masih belum terbiasa. Bisa jelaskan lebih detail?"

Hans mengangguk meyakinkan. "Tentu, Nyonya," katanya ramah. "Mobil-mobil yang sebelumnya disimpan di gudang berbeda sudah dipindahkan ke garasi rumah baru. Anda bisa memilih mobil sesuai selera Anda di sana. Apa Anda mau melihatnya sendiri?"

"Ya, boleh."

Odette tampak canggung. Rasanya seperti tersesat di Negeri Ajaib. Perasaan itu semakin kuat saat Hans membuka pintu garasi. Mobil-mobil dari berbagai ukuran dan warna berjejer rapi. Odette bingung, ia pikir mobil di sana hanya dua atau tiga.

Hans menunjuk barisan mobil mengilap itu. "Jika Anda tidak suka mobil, kami bisa siapkan kereta kuda," sarannya.

Mata Odette terbelalak. "Uh... tidak, tidak perlu," tolaknya, matanya masih terpaku pada koleksi mobil.

Mengingat permintaan Bastian, Odette mencoba menenangkan diri sebagai nyonya rumah yang anggun. Namun, pemandangan aneh di depannya sulit diabaikan. "Mobil mana yang paling jarang digunakan suamiku?" tanyanya ragu-ragu.

"Hmm... Sepertinya yang ini, Nyonya." Hans menunjuk mobil convertibleĀ kuning mengilap yang terparkir di sudut garasi.

"Baiklah, aku pilih yang itu." Odette bereaksi seolah ia baru saja menyelesaikan tugas yang sulit.

Tampaknya ia membutuhkan lebih banyak waktu dari yang ia duga untuk terbiasa dengan "Negeri Ajaib" ini.


Postingan Terkait

Lihat Semua

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Donasi Pembelian Novel Raw untuk Diterjemahkan

Terima kasih banyak atas dukungannya 

bottom of page