A Barbaric Proposal Chapter 62
- 31 Jul
- 8 menit membaca
Diperbarui: 25 Agu
~ Busana tak Pantas ~
Tepat seperti dugaannya. Wanita ini memang ada hubungannya dengan Klimah.
Klimah bercerita bahwa keluarga Kleinfelter telah mengambil dan mengurung ibunya. Karena itu, ia harus melakukan semua yang diperintahkan keluarga Kleinfelter.
[Liene] "Kalau begitu, kau tetap harus takut. Jika kehilangan nyawa sekarang, putramu tak akan pernah bisa pulih. Klimah memilikimu, karena itulah ia bisa bertahan sampai saat ini. Pikirkan apa yang akan terjadi padanya jika kau mati."
[Nyonya Henton] "Oh, bagaimana... Bagaimana Anda tahu...?"
Wanita yang berdiri di hadapan Liene itu adalah istri Tuan Henton.
[Nyonya Henton] "Bagaimana bisa putri Arsak mengatakannya?"
Nyonya Henton meraba-raba, sambil mencengkeram ujung gaun Liene.
[Nyonya Henton] "Apa yang sudah Anda lakukan dengan putra saya? Anda tidak akan...?"
Wanita malang itu terlihat sangat pucat, seakan belum melihat cahaya matahari selama lebih dari dua puluh tahun.
Ini juga bagian dari dosa Liene. Alasan mengapa keluarga Tuan Henton terpaksa hidup dalam bayang-bayang gelap keluarga Kleinfelter, meninggalkan nama mereka, karena adanya pengkhianatan yang terjadi dua puluh tahun lalu.
[Liene] "Putramu sudah aman. Ia tidak bersalah sama sekali, jadi ia akan segera kembali ke pelukanmu."
[Nyonya Henton] "Ah, ah..."
Nyonya Henton mengembuskan napas, penuh air mata. Namun di balik kebahagiaannya yang terlihat jelas, ada pula kebingungan yang tak hilang dari matanya saat menatap Liene.
[Nyonya Henton] "Tapi mengapa...putri Arsak melakukan ini...?"
[Liene] "Putramu sudah menjelaskan semuanya kepadaku."
[Nyonya Henton] "Kalau begitu...ia...ia memberitahu Anda...Benarkah...?"
Mata coklat pucatnya bergetar karena ketakutan. Namun Liene bisa memahami alasannya.
Bagi Nyonya Henton, tak ada yang berubah sejak dua puluh tahun lalu. Putri keluarga Arsak, yang merupakan pusat pemberontakan, akan mewakili lebih banyak bahaya dan ancaman daripada keluarga Kleinfelter.
[Liene] "Setelah kami menikah, Lord Tiwakan akan menjadi Raja Nauk, Nyonya."
Liene dengan hati-hati menghindari penggunaan nama 'Henton'. Masih terlalu banyak orang yang tidak tahu mereka masih hidup. Meskipun orang-orang di dalam kastil secara teknis berada di pihak Liene, namun tetap terlalu berbahaya.
[Liene] "Aku percaya bahwa orang dari darahnya harus diizinkan untuk mengambil alih kendali Nauk. Begitulah yang akan terjadi selanjutnya."
[Nyonya Henton] "T-tapi...Saya...Bagaimana mungkin bisa...? Bagaimana mungkin bagi putri Arsak?"
[Liene] "Karena aku adalah putri Arsak."
Liene menundukkan kepalanya, seolah memberi hormat kepada wanita itu.
[Liene] "Aku tahu aku memiliki hal-hal yang harus kubayar. Dan itu termasuk tanggung jawabku atas dirimu dan putramu. Aku bersumpah, aku akan melindungi kalian berdua sebaik mungkin."
[Nyonya Henton] "Tidak..."
Namun Nyonya Flambard pun tak bisa memercayai apa yang Liene katakan.
[Nyonya Flambard] "Apa, Putri...? Ia merusak busana pernikahan, tapi Anda akan melindunginya? Kita bahkan tidak tahu siapa dia. Ia mungkin memang dikirim ke sini khusus untuk merusaknya."
[Nyonya Henton] "Busana pernikahan?"
Mata Nyonya Henton kembali menajam seperti bilah.
[Nyonya Henton] "Tapi ini busana yang dikenakan Raja Arsak saat upacara penobatannyaā!"
[Liene] "Ah..."
Suara nyaring wanita itu yang melengking membuat Liene menyadari sesuatu.
Apa yang sedang kulakukan? Apa yang kupikirkan, mencoba memberikan busana penobatan ayahku kepada Lord Tiwakan?
Mengingat kembali, saat ia pertama kali menyatakan minatnya agar Black mengenakan pakaian itu di pernikahan, Black anehnya hanya diam.
Mengapa ia tidak menolak saja?
Wajar saja jika ia menolak. Baginya, pakaian ini ternoda bau darah ayahnya.
Lalu mengapa... ia tidak mengatakan apa pun? Mengapa?
[Liene] "Di mana?" Liene berdiri, melihat sekeliling lantai.
[Nyonya Flambard] "Putri! Apa yang Anda cari?"
[Liene] "Guntingnya... Di mana?"
[Nyonya Flambard] "Gunting? Ah, ini dia. Tapi mengapa Anda membutuhkannya..."
Masih bingung dengan alasan Liene, Nyonya Flambard mengambil gunting dari lantai. Namun dengan gerakan cepat dan tergesa-gesa, Liene merebut gunting dari genggamannya.
Switā
Liene merebutnya dengan sembarangan, sehingga bilah yang tajam akhirnya mengiris telapak tangannya.
[Nyonya Flambard] "Putri!"
Dan tanpa ragu, Liene mengarahkan gunting ke ujung busana pernikahan, memotongnya dengan bersih.
Sretā Sretā
[Nyonya Flambard] "Putri!"
Liene bisa mendengar suara Nyonya Flambard memanggilnya, namun terdengar begitu jauh. Kepalanya sangat mendidih, semuanya terasa sangat jauh.
[Liene] "Bodoh..."
Hubungan mereka persis seperti pakaian ini. Sekeras apa pun ia mencoba mengabaikan masa lalu mereka, bau kematian tak bisa dihapus darinya. Ia pun tak bisa lepas dari kenyataan bahwa keluarganya bertanggung jawab atas kematian keluarga Black.
Tidak peduli seberapa keras ia mencoba membuktikan ketulusannya, akan selalu ada orang seperti Nyonya Henton. Mereka yang masih dipenuhi banyak kemarahan sehingga tak akan pernah memercayainya.
Apa yang pantas ia dapatkan sekarang? Hak apa yang ia miliki untuk mencintai pria itu?
Namanya adalah Arsak, jadi berpikir hubungan yang tulus dan tanpa beban masa lalu mereka mungkin saja terjadi, sudah sangat konyol. Ia tahu itu sejak pertama kali mengetahui kebenarannya.
Tapi ia takut. Ia takut membalas kebaikan yang telah Black berikan padanya setelah ia mengetahui lebih banyak tentang masa lalu.
Takut matanya tak lagi membawa kasih sayang atau gairah.
Takut Black akan memperlakukannya seperti yang pantas ia dapatkanāseperti anak dari musuhnya.
Sret, sret, sretā
Namun Liene sudah tahu. Ia bisa merobek dan mengoyak pakaian sebanyak mungkin, tetapi tak ada yang bisa memisahkan masa lalu. Tapi ia tetap tak berhenti. Ia ingin memotong semuanya dan menyingkirkannya. Seandainya saja bisa.
Sret, sretā
Tanpa ia sadari, Liene memotong busana pernikahan, memegang gunting di bagian bilahnya seolah ia memegang pedang.
[Nyonya Flambard] "....tri, Putri! Putri!"
Tiba-tiba, ia bisa mendengar suara Nyonya Flambard jauh lebih jelas dari sebelumnya saat seseorang mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat. Orang yang sama yang secara paksa memegang pergelangan tangannya, mengambil gunting darinya dan dengan cepat melemparkannya ke samping.

[Black] "Tenanglah."
[Liene] "....?"
Suara yang menembus telinganya rendah dan dalam. Suara yang bahkan menyiksanya dalam mimpiāketakutan bahwa suatu hari suara itu mungkin menghilang tanpa jejak.
[Black] "Meskipun kau membenci gagasan untuk menikah, jangan lakukan hal seperti ini."
[Liene] ". . ."
Black mengangkat tangannya, memegangnya dalam genggaman sambil mengernyitkan alis seolah kesakitan. Dan saat Black menatap tangannya, matanya tertuju pada telapak tangannya yang terluka parah, terpotong oleh bilah gunting.
[Nyonya Flambard] "....Selesai, Putri."
Nyonya Flambard selesai mengikat perban, lalu menyesuaikannya.
Liene tak merasakan sakit apa pun sekarang, tapi ia tak yakin apakah itu karena obat, atau karena pikirannya masih di tempat lain.
[Nyonya Flambard] "Hindari menggunakan tangan Anda untuk sementara waktu. Saya akan membantu saat Anda perlu membersihkan diri, jadi jangan lakukan sendiri. Anda mengerti?"
[Liene] "...Ya."
[Nyonya Flambard] "Kalau begitu saya akan pergi sekarang."
Dalam lubuk hatinya, ia ingin berada di sisi Liene sepanjang malam agar bisa merawat lukanya, tetapi sekarang, akan lebih baik jika ia menyerahkan peran itu kepada orang yang lebih menginginkannya.
Saat Nyonya Flambard permisi dengan langkah dipercepat, satu-satunya orang yang tersisa di kamar tidur adalah Black dan Liene.
Bagian dalam ruangan sangat gelap, tetapi tak satu pun dari mereka berpikir untuk menyalakan lilin atau menyalakan perapian.
[Black] "Kau mungkin akan mulai merasakan sakitnya nanti."
Berdiri dengan bahunya bersandar pada tiang ranjang yang tinggi, Black akhirnya berbicara setelah keheningan yang panjang.
[Liene] "...Ya."
Kegelapan terasa sangat berat hari ini. Merasakan suasana hati yang menekan bahunya, Liene menarik kakinya ke dadanya, membenamkan wajah di lututnya.
[Black] "Aku pernah mendengar cerita di masa lalu."
Tanpa diminta, Black memulai sebuah cerita, berbicara dengan ekspresi yang tak bisa Liene lihat atau baca dari nada suaranya. Tubuh Liene tetap diam sepenuhnya saat ia mendengarkan.
[Black] "Dahulu kala ada seorang raja yang membakar semua roda pemintal di kerajaannya setelah mendengar ramalan bahwa putrinya yang baru lahir akan meninggal setelah jarinya tertusuk."
Cerita yang Black ucapkan secara tiba-tiba, tetapi entah mengapa, ia terdengar seperti sedang mencoba bersikap baik. Sekarang setelah Liene terluka, ia mengatakan sesuatu di luar kebiasaannya.
[Liene] "Itu tidak mungkin. Kau tidak bisa membuat benang tanpa roda pemintal."
[Black] "Baguslah kejadian tadi hanya sebuah gunting."
[Liene] "Apa?"
[Black] "Bahkan tanpa gunting, dunia tetap bisa berjalan."
[Liene] ". . ."
Liene mengangkat kepala, menatap Black sambil bertanya-tanya apa ia sedang bercanda atau tidak. Namun Black sama sekali tidak tersenyum.
[Black] "Kau pikir aku tidak akan melakukannya?"
Ā ...Yah, apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia terlihat sangat serius.
[Liene] "Kau tidak bisa melakukannya. Aku yakin Nyonya Flambard akan menangis jika ia kehilangan guntingnya."
[Black] "Kalau begitu katakan padanya ia bebas menangis. Itu tidak masalah."
[Liene] "...Mengapa tidak membiarkan Nyonya Flambard menyimpan guntingnya? Aku tidak akan menggunakan gunting untuk sementara waktu."
[Black] "Bukan 'untuk sementara waktu'. Selamanya."
[Liene] "ā¦..Selamanya?"
[Black] "Jawab aku."
[Liene] ". . ."
Black benar-benar serius. Semua ini karena Liene terluka akibat salah menggunakan gunting.
Tapi mengapa Black harus melakukan ini? Bagaimana ia bisa melakukan ini? Apa yang akan Liene lakukan setelah menerima begitu banyak ketulusan darinya?
Semakin banyak yang ia dapatkan dari Black, semakin menguras dan menyakitkan rasa kehilangan itu saat semuanya lenyap.
Dan bukan hanya Liene yang akan merasakannya. Hal yang sama juga akan terjadi pada Black.
Setelah mencurahkan begitu banyak emosi kepada orang lain, bahkan jika mencoba menariknya kembali nanti, hati seseorang tak akan pernah sama seperti sebelumnya.
Hatinya hanya akan terluka dan hancur.
[Liene] "Akan segera membaik. Hanya luka kecil."
[Black] "Begitulah bagimu, Putri, tapi tidak bagiku."
[Liene] ". . ."
Black perlahan menjauhkan diri dari tiang ranjang. Liene sesaat berpikir Black akan mendekatinya seperti biasa, tetapi ia tetap di tempat. Mengingat keduanya berada di kamar tidur yang sama, Black terasa sangat jauh.
[Black] "Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."
Liene menoleh menatap Black, tak terbiasa dengan pemandangan canggung karena Black berdiri begitu jauh.
[Liene] "....Ya, ada apa?"
[Black] "Jika jawabannya ya, maka jangan katakan apa pun."
[Liene] "ā¦..?"
[Black] "Apa kau ingin menunda pernikahan?"
[Liene] "Maaf?"
[Black] "Jangan bertanya. Cukup diam atau jawab tidak. Apa kau benar-benar membenci gagasan untuk menikah?"
Pertanyaan Black sama mendadak dan canggungnya dengan jarak di antara mereka. Liene bingung dan terkejut hingga ia melewatkan kesempatan yang tepat untuk menjawab. Dan sebagai tanggapan atas diamnya Liene, Black menghela napas pelan dan berat.
[Black] "Baiklah. Beristirahatlah kalau begitu."
[Liene] "Apa.....?"
Namun sebelum ia menyadarinya, Black sudah berbalik dan pergi. Tanpa ragu dalam langkahnya, ia berjalan menuju pintu. Dan saat itulah Liene mendengar suara hatinya tenggelam.
[Liene] "Tidak...bukan begitu!"
Melupakan bahwa ia tanpa alas kaki, Liene melangkah turun dari ranjang, bergegas menghampiri Black dengan tangan terulur. Memeluknya dari belakang, ia menekan wajahnya ke punggung Black, memeluknya erat. Ia berbicara, menjaga suaranya tetap pelan karena ia takut suara air matanya mungkin terdengar.
[Liene] "Itu tidak benar...Jadi jangan pergi begitu saja. Aku tidak menyukainya."
[Black] ". . ."
Ia mendengar Black membisikkan sesuatu.
[Black] "Lalu mengapa kau melakukannya?"
[Liene] "...Aku hanya...memutuskan pakaian itu tidak cocok untukmu."
[Black] "Apa?"
[Liene] "Pakaianmu, Lord Tiwakan."
Siapa pun bisa dengan mudah menebak bahwa jawabannya adalah kebohongan. Tidak perlu merobek pakaian seperti itu, mengklaim tidak cocok padahal Black belum pernah berkesempatan mencobanya.
Sekarang Liene menyadari betapa gilanya ia terlihat.
...Aku ini bodoh sekali.Ā
Jika terus begini, Black akan muak dengan kepribadian Liene sebelum ia tahu bahwa Liene adalah putri dari musuhnya.
[Liene] "Aku pikir akan terlihat bagus...tapi setelah semuanya diperbaiki, aku sedikit frustrasi...karena terlihat agak usang."
[Black] ". . ."
[Liene] "Aku ingin melakukan sesuatu yang baik untukmu, tapi aku tidak bisa... jadi aku akhirnya marah. Aku benci menjadi seorang putri... yang bahkan tidak bisa melaksanakan persiapan upacara pernikahannya sendiri dengan benar. Itu sebabnya..."
Bergerak perlahan, Black menarik tangan Liene saat ia memeluknya, lalu berbalik menghadap Liene.
[Liene] "Putri."
[Liene] "Ya?"
Itulah pertama kalinya Liene merasakan beban kebohongannya begitu jelas di lidah saat mengucapkannya. Liene memalingkan muka, tak bisa melakukan kontak mata dengan Black, takut ia akan langsung mengenali ketidakjujurannya.
[Black] "Buka matamu dan tatap aku. Yakin hanya itu saja?"
...Tidak.
[Liene] "Ya."
[Black] "Kalau begitu mengapa kau tidak bisa menatapku?"
[Liene] "Aku malu. Memalukan...dilihat seperti ini."
Aku takut. Aku takut kau akan menyadari masa lalu yang kusimpan, dan bahwa mengetahuinya akan membuatmu meninggalkanku.
Aku takut kau akan pergi dengan memunggungiku, seperti yang kau lakukan tadi, menghilang jauh dengan langkah yang tak bisa kuikuti.
Dan aku takut kau akan melupakan semuanya. Memotongku dari ingatanmu dengan bersih dan tenang.
Mengawasi Liene, yang masih tak bisa melakukan kontak mata dengannya, Black akhirnya mengatakan sesuatu.
[Black] "Tidak peduli apa yang kupakai dan aku tidak membutuhkan hadiah darimu. Dan Perjanjian Risebury juga bukan masalah lagi. Aku sudah menyiapkan cara untuk menyelesaikannya dengan Kardinal. Kita bisa menikah sekarang juga jika mau."
[Liene] "Kendalanya sudah diatasi...? Tapi bagaimana...?"
[Black] "Jadi ini satu-satunya kesempatanmu untuk mengatakannya, Putri."
[Liene] "Apa...?"
[Black] "Jika kau bilang tidak ingin menikah, aku akan menunda semuanya."
Akhirnya, Liene membuka mata.
[Liene] "Tidak, itu tidakā"
[Black] "Pikirkan baik-baik dan berikan jawabanmu. Kau hanya boleh mengatakannya sekali. Jika kau tidak melakukannya sekarang, kau tak akan bisa menghindari menikah denganku untuk kedua kalinya."
Liene menelan ludah. Mulutnya benar-benar kering dan tenggorokannya sakit.
[Black] "Haruskah aku memberimu tenggat waktu? Baiklah. Satu...."
Komentar