A Barbaric Proposal Chapter 54
- Crystal Zee
- 17 Jun
- 7 menit membaca
Diperbarui: 19 Jun
~ 21 Tahun Lalu (2) ~
Sir Henton mencoba melarikan diri, namun ketujuh keluarga segera mengirim orang-orang untuk mengejarnya. Ia akhirnya tertangkap dan tewas.
[Liene] "Kalau begitu….."
Sejak kejadian itu, penderitaan Klimah dimulai.
Namun mendengar kisahnya, Liene justru merasa semakin bingung.
[Liene] "Apakah Pangeran Fernand berhasil melarikan diri? Atau ia juga meninggal…?"
[Black] –'Aku hanya ingat pola yang pada sarung tangan mereka yang membunuh ayahku.'
Black mengatakan ia menyaksikan ayahnya, Henton, meninggal tepat di depan matanya. Apakah Henton mencoba melarikan diri bersama keluarganya dan Pangeran Fernand, namun ia tertangkap oleh Kleinfelter dan meninggal di depan putra bungsunya?
[Klimah] "Saya tidak tahu. Saya berada di rumah bersama ibu waktu itu."
[Liene] "Begitu ya…."
Sir Henton pasti tak bisa membantu seluruh keluarganya melarikan diri dari Nauk. Satu-satunya yang bersamanya saat itu adalah putra bungsunya.
[Liene] "Jadi apa yang terjadi setelahnya?"
[Klimah] "Kleinfelter datang…..dan kemudian….."
Pengkhianatan yang dirancang oleh ketujuh keluarga adalah rencana terselubung.
Mereka bekerja sama saat raja sedang berburu, meninggalkan jasadnya dimakan binatang buas. Tak ada yang menyadari bahwa raja tidak dicabik-cabik oleh taring serigala, melainkan ditikam sampai mati. Para ksatria yang menemaninya saat juga tewas.
Sir Henton, yang selamat dan berhasil membawa Pangeran Fernand pergi, akhirnya menjadi musuh ketujuh keluarga, yang pada akhirnya membahayakan Klimah dan ibunya.
Tapi entah mengapa, Lyndon Kleinfelter menyelamatkan mereka.
Klimah akhirnya hidup bersembunyi, disembunyikan dari pandangan keenam keluarga lainnya oleh Kleinfelter. Sebagai imbalannya, mereka menjadikan Klimah pesuruh. Demi mengamankan kesetiaan Klimah yang tak tergoyahkan, mereka menyembunyikan ibunya.
Ibunya adalah sandera sekaligus motivasi baginya.
[Liene] "Pasti sangat sulit bagimu."
Liene berbicara pelan, ucapan dari hatinya.
Itulah mengapa, meskipun membunuh tiga belas orang, Klimah tak terlihat sebagai penjahat di matanya. Sebelum ia dewasa, ia jatuh ke tangan orang-orang jahat, dipaksa bertindak sebagai kaki tangan mereka bahkan sebelum ia tahu perbedaan antara benar dan salah.
[Liene] "Saya tidak ingin menghukum orang semacam itu. Apalagi seseorang yang menyandang nama Henton."
Karena sekarang, Henton adalah nama yang sama berharganya bagi Liene seperti Arsak.
[Klimah] "Kalau, kalau begitu….."
Ada secercah harapan di mata Klimah.
[Klimah] "A, apakah Anda akan menyelamatkan… ibu saya?"
[Liene] "Tentu saja. Ketujuh keluarga-lah yang telah melakukan kesalahan. Merekalah yang harus dihukum."
[Klimah] "..."
Dengan kata-kata Liene, Klimah tiba-tiba terdiam. Harapan di matanya padam, digantikan oleh konflik dan kebingungan.
[Liene] "Kau bisa memercayaiku. Aku kenal adikmu."
[Klimah] "…..Apa?"
[Liene] "Ia adalah orang yang sangat penting bagiku, jadi begitu pula dengan keluarganya."
Tapi mulut Klimah hanya ternganga.
[Klimah] "Tapi bagaimana…? Adik saya meninggal hari itu."
[Liene] "Tidak, ia tidak meninggal. Ia kembali ke Nauk. Tapi ia tidak tahu anggota keluarganya yang lain masih hidup."
Liene rasa Klimah mungkin akan menangis lagi.
Seolah apa yang Klimah dengar tak mungkin dipercaya, ia mencengkeram kepalanya, secara fisik menahan keinginan untuk menangis.
Pada saat itu, Liene dipenuhi keinginan untuk memberi Klimah pelukan penuh kasih sayang, menenangkannya agar berhenti menangis, dan memberitahunya mereka harus menyambut adiknya dengan senyum bahagia.
[Klimah] "Adik saya… sudah meninggal."
Tapi Klimah tidak menangis.
Cara ia memegang kepalanya lebih seperti upaya menahan ingatan yang kembali.
[Klimah] "Ayah saya membunuhnya. Ia tahu jika adikku tetap hidup, ketujuh keluarga akan membunuhnya, jadi akan lebih baik jika adikku mati di tangan ayahnya. Ia memakaikan pakaian Pangeran Fernand pada adik dan menusuk jantungnya dengan pedang. Lalu ia meletakkan pedang di tangan saya…..dan menyuruh saya membuat wajah sang adik tak bisa dikenali. Saya melakukannya seperti yang ia katakan…. Meskipun ibu mencoba menghentikan….Adik saya, ia..."
Tangan Klimah gemetar. Liene tak lebih baik. Seluruh tubuhnya gemetar di luar kendali.
[Klimah] "Ada begitu banyak darah….di wajahnya…"
Ketika Lyndon Kleinfelter data ke rumah Sir Henton, yang ia temukan adalah Klimah yang terisak-isak, memegang tubuh seorang anak laki-laki mengenakan pakaian Pangeran Fernand, yang berukuran sama dengan wajah rusak. Di sampingnya ada pisau berlumuran darah.
Klimah kehilangan sebagian besar akal sehatnya hari itu. Lyndon Kleinfelter pasti menyadari betapa hancurnya ia, dan melihat kegunaan Klimah sebagai pesuruh.
[Liene] "Kalau begitu…..orang yang melarikan diri..."
[Klimah] "Bukan adik saya. Dia meninggal."
[Liene] "Pangeran Fernand…."
Liene menggigit bibirnya erat-erat. Jika tidak, suara rahangnya yang gemetar akan sangat keras, bisa membuat seseorang tuli.
[Black] –'Henton. Itulah namaku tepat sebelum meninggalkan negeri ini.'
Jadi…..itulah yang ia maksud. Ketika meninggalkan Nauk, Black menyamar sebagai putra kedua Sir Henton. Dan pembicaraan pernikahan antara mereka terjadi sebelum itu.
Saat Black masih seorang pangeran.
[Black] –'Bagiku, kau adalah hal terdekat yang kumiliki sebagai rumah.'
Karena tempat yang Liene tempati pernah menjadi rumahnya. Rumah yang ingin ia datangi kembali. Tempat yang harus ia datangi.
Dan Black tak ingin menghancurkan apa pun dalam prosesnya, itulah mengapa ia memutuskan untuk meninggalkan keinginan balas dendam apa pun yang mungkin ia miliki.
Apakah begitu caranya berpikir?
Liene merasa ia bisa memahami Black, bahkan lebih.
[Liene] "Meski begitu, pikiranku tidak berubah. Sir Henton menyelamatkan Pangeran Fernand, jadi ia juga seperti penyelamat bagiku. Dan sebagai keluarga penyelamat, aku akan membantumu dan ibumu. Tolong izinkan aku melakukannya."
[Klimah] "…? Tapi mengapa?"
Melihat ke arah Liene, suara Klimah dipenuhi kebingungan. Liene menutup mata, bernapas dalam-dalam.
[Liene] "Pangeran Fernand adalah tunanganku."
[Klimah] "H, hah….?"
Mata Klimah bergetar tak ada habisnya. Melihat reaksinya, Liene merasa darahnya mengering, pikirannya menjadi cemas.
[Liene] "Ada apa?"
[Klimah] "Oh, apa….? Saya tidak mengerti….."
[Liene] "Lord Tiwakan adalah Pangeran Fernand. Jika ia bukan adikmu, maka hanya ada satu orang yang memungkinkan..."
[Klimah] "Tapi….Anda adalah seorang Arsak, Putri."
[Liene] "....?"
Perasaan merinding mengalir di sepanjang tulang belakang Liene.
Hatinya selalu memiliki sedikit keraguan saat Klimah menyebutkan 'tujuh' keluarga.
Mengapa tujuh?
Saat ini, ada enam keluarga yang memiliki kekuatan dan motivasi untuk melakukan pengkhianatan di Nauk—Kleinfelter, Ellaroiden, Burey, Serquez, Armendaris, dan Rosadel.
Diperlukan satu lagi untuk menjadi tujuh.
Dan ada satu keluarga yang paling diuntungkan dari kudeta itu. Keluarga yang akhirnya mengambil takhta Nauk untuk diri mereka sendiri.
Keluarga Arsak.
[Liene] "Ah…..ah…..AH!"
Liene dengan kasar mencengkeram kepalanya, tiba-tiba memahami apa yang membuat Klimah melakukan hal yang sama. Ia ingin membuat kepalanya berhenti berputar, semuanya menjadi kacau balau dalam benaknya.
Ia memegang kedua sisi kepalanya, erangan pelan dan kesakitan keluar di antara bibirnya, tapi di kepalanya, suara itu jauh lebih keras—seperti raungan orang gila.

Akulah.
Musuh pria itu.
Selalu aku, tak pernah orang lain.
Aku.
Orang yang pantas dibunuh olehnya.
Selalu aku…..
[Liene] "..."
Liene berkedip perlahan.
Dingin, gelap, dan kering di tempatnya berada. Ia tak bisa mengetahui jam berapa sekarang.
[Klimah] "Anda sudah bangun."
Suara Klimah bergema, dan saat itulah ia menyadari ia pasti pingsan.
[Klimah] "Saya tidak yakin harus berbuat apa…..jadi saya hanya duduk di sini….."
Suaranya pelan, hampir seperti merangkak keluar, tapi cukup untuk mengingatkannya tentang apa yang baru saja mereka bicarakan.
Fernand.
Fernand Gainers.
Itulah nama asli Black.
Dan apa yang harus ia lakukan sekarang setelah mengetahuinya?
Saat Liene tetap diam, Klimah tampak gelisah, diam-diam mengepal dan membuka tinjunya, seperti sedang menenangkan diri. Ia tidak menangis lagi.
[Klimah] "Kalau begitu….Haruskah saya membawa Anda kembali ke kastil sekarang...?"
Dan sekarang setelah masalah terselesaikan, ia akhirnya memutuskan untuk berhenti menjadi pelayan Kleinfelter.
Hal itu melegakan bagi Liene, tapi memikirkannya tak menimbulkan perasaan apa pun di hatinya.
[Liene] "....Mengapa kau melamarku?"
[Klimah] "….A, apa?"
[Black] –'Alasan mengapa aku melamar adalah karena aku tidak ingin kau diambil oleh orang lain.'
Jawaban yang pernah Black berikan muncul kembali di kepalanya.
Setidaknya semuanya masuk akal sekarang.
Nauk, dirinya, bahkan takhta— seharusnya sejak awal, semua itu miliknya.
[Liene] "Jadi yang perlu kau lakukan hanyalah melamar. Lalu, setelah kita menikah, Kau bisa menguasai semuanya."
[Klimah] "…..Apa?"
Bingung, Klimah menunjuk dirinya sendiri, menggelengkan kepala, tapi Liene sama sekali tak terganggu oleh apa yang Klimah lakukan, Liene hanya berbicara sendiri.
[Liene] "Tapi mengapa kau bersikap….seperti hanya menginginkan diriku?"
[Black] –'Pada saat itu, lebih dari apa pun, yang kuinginkan hanyalah rumah.'
Mungkin saja benar. Itulah yang Black katakan ketika Liene masih tidak yakin apakah ia memang tulus untuk melepaskan kesempatan balas dendamnya.
Black bisa menghancurkan Nauk kapan pun ia mau, tapi ia tidak melakukannya.
[Liene] "Apakah karena kau hanya ingin rumah untuk kembali dan beristirahat… Jadi kau ingin semuanya tetap seperti saat ini?"
[Klimah] "..."
Klimah duduk diam, mendengarkannya dengan tenang. Ia baru menyadari sekarang bahwa Liene hanya berbicara sendiri, bukan kepadanya.
[Liene] "Kau tidak pernah berbohong padaku…..selain berbohong tentang namamu."
Dan alasan ia berbohong tentang namanya, sama dengan alasannya tidak berbohong tentang hal lain.
[Liene] "Kurasa kau benar-benar tidak ingin aku mengetahui."
Karena ia tahu….Liene tidak akan memercayainya jika ia memberi tahu nama aslinya.
Ia pasti berpikir Liene akan berpihak pada keenam keluarga, takut pada Tiwakan dan cemas kapan ia mungkin membunuhnya jika Liene tahu. Memiliki prajurit bayaran di kastil seperti menyimpan ular berbisa di rumahnya.
Ya. Mungkin itu alasannya.
Jika demikian, maka semuanya masuk akal sekarang.
Dan mungkin benar bahwa Black menginginkannya dan menganggapnya sebagai seseorang yang ingin ia hargai. Mungkin ia jujur ketika mengatakan akan melakukan yang terbaik untuk melindunginya.
Ya. Liene ingin memercayai itu…..
[Liene] "Aku akan kembali ke kastil."
Liene mengangkat dirinya dari tanah.
Ia melakukannya dengan semangat yang begitu besar, sulit dipercaya ia tak berdaya dan lelah semenit yang lalu. Berdiri sendiri, ia menatap Klimah, yang masih duduk di tanah.
[Liene] "Aku bersungguh-sungguh dengan semua yang kukatakan. Aku tidak berniat menghukummu atas dosa-dosamu."
Ia tak punya hak untuk menghukum siapa pun. Ia adalah seseorang dengan darah Arsak mengalir di nadinya—darah orang yang membunuh Raja Gainers dan mencuri mahkota Pangeran Fernand.
...….Dan sekarang setelah memikirkannya, ada orang lain yang berbohong.
Orang lain yang mengklaim nama Black adalah Henton. Pengemis tua dari depan Kuil. Ia pasti juga mengetahuinya. Ia pasti berbohong demi Pangeran Fernand.
Liene tersenyum pahit.
Pada awalnya, Pria tua itu mencoba mengatakan yang sebenarnya, tapi kemudian tiba-tiba berbohong di akhir. Artinya, pria itu ikut campur tangan di tengah-tengah, menyibukkan diri mencoba menyembunyikan kebenaran.
Dan perkara ini mungkin akan terus terjadi di masa depan.
Selama Black memiliki sesuatu yang disembunyikan, penutupan kecil ini pasti akan terus berlanjut. Tidak berbeda dengan Liene yang juga berbohong padanya.
Ada kemungkinan mereka berdua akan hidup terus seperti itu selama sisa hidup mereka.
Meskipun begitu, Liene berniat untuk menjaga rahasia Black.
Bukan karena ia takut bagaimana keenam keluarga akan bereaksi jika mereka mendengar kembalinya Pangeran Fernand. Tapi karena Black ingin Liene tetap tidak tahu. Dan jika memang itu yang ia inginkan, Liene rela berpura-pura bodoh selama sisa hidupnya jika dapat menjaga hubungan mereka tetap sama.
[Liene] "Bersembunyilah seperti yang selama ini kau lakukan. Tidak akan lama lagi. Sementara itu, kau tak perlu lagi mengikuti perintah keluarga Kleinfelter, meskipun seseorang menyampaikannya kepadamu."
[Klimah] "Bagaimana dengan ibu saya?"
[Liene] "Aku akan mengurusnya. Setelah ibumu aman, aku akan mengirimimu pesan. Lalu pilihan ada padamu. Kau boleh meninggalkan Nauk jika mau, tapi jika kau ingin tetap tinggal, aku akan menyiapkan identitas baru untukmu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengetahui namamu."
[Klimah] "Tapi, apakah mungkin….? Saya masih….memiliki banyak dosa..."
[Liene] "Itu adalah dosa yang harus kutanggung. Dosa yang tak akan pernah terjadi seandainya keluarga Arsak tidak melakukan apa yang mereka lakukan."
Ketika Liene sampai pada kesimpulan itu, kepalanya secara tak terduga terasa lebih damai.
[Liene] "Beritahu aku bagaimana cara kembali ke kastil dari sini. Aku akan pergi sendiri."
[Klimah] "Anda membutuhkan seseorang untuk menunjukkan jalan. Jalannya gelap, dan menavigasinya seperti labirin."
[Liene] "Benarkah?"
Tapi membiarkan Klimah terlalu dekat dengan kastil akan berbahaya.
[Liene] "Beritahu aku secara detail, agar mereka tidak bisa menemukanmu. Itu akan lebih baik. Kau, sebagai pelayan, tak pernah menerima perintah keluarga Kleinfelter, dan tak pernah menculikku. Itulah yang harus dipercaya semua orang."
[Klimah] "Tapi akan terlalu berbahaya. Anda mungkin akan tersesat..."
[Liene] "Itu urusanku."
Meskipun putri Arsak mungkin tidak berdarah seperti yang dikatakan pengemis tua, ia masih memiliki terlalu banyak dosa untuk ditanggung.
Liene meninggalkan tempat itu, melalui jalan yang tak dikenalnya untuk kembali ke kastil. Hati dan jiwanya terasa berat.
Comments