top of page

A Barbaric Proposal Chapter 36

~Lubang Perangkap (1)~

Setelah selesai membersihkan diri, selanjutnya mengenakan pakaian.

Liene mengenakan gaun berwarna lilac, busana yang sudah lama tak terjamah. Di seluruh kain tipis, terdapat sulaman kecil yang detail—begitu halus hingga ia tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya apa sulaman itu bisa sobek.

Praktis adalah kunci, sehingga sebagian besar pakaian yang tidak memiliki fungsi nyata segera dijual, namun gaun ini tetap tersimpan.

Satu-satunya alasan Liene menyimpan gaun ini adalah karena Nyonya Flambard. Wanita tua itu menangis, memohon padanya untuk menyimpan pakaian ini, bersikeras bahwa akan sia-sia jika menyingkirkan gaun berwarna lilac yang sangat cocok dengan fitur wajah Liene.

[Ny. Flambard] "Syukurlah saya berhasil meyakinkan Anda untuk menyimpan gaun ini setelah seratus kali meminta.”

Ia mengangguk saat mengalihkan perhatiannya ke rambut Liene, menatanya dengan hati-hati agar serasi dengan pakaian yang dikenakan.

[Ny. Flambard] "Ya, saya melakukan hal yang baik dengan meyakinkan Anda. Bagaimana mungkin putri kesayangan kerajaan kita hanya memiliki pakaian yang polos dan kaku?"

[Liene] "Aku tidak terlalu membutuhkan yang lain.”

[Ny. Flambard] "Tapi mengapa? Anda terlihat begitu menawan berpakaian begitu anggun.”

[Liene] "Begitulah, kurasa.”

Nyonya Flambard, yang bekerja dengan tekun menggunakan tangan terampilnya, mengepang rambut Liene, menjepitnya dengan bunga-bunga violet.

[Ny. Flambard] "Anda sangat cantik. Saya tahu saya yang mendandani Anda, tapi Anda sungguh terlalu cantik.”

Liene tersenyum malu. "Terima kasih.”

Wanita itu menatap Liene dengan ekspresi kebahagiaan di wajahnya. Setelah selesai menghiasi rambut Liene dengan semua dekorasi yang diperlukan, ia menggelengkan kepalanya.

[Ny. Flambard] "Sekarang, saya harus menuju pintu masuk kuil selagi mata-mata yang mengawasi masih sibuk di tempat lain. Maaf saya tidak bisa menemani Anda makan, Putri.”

[Liene] "Tidak apa-apa, Nyonya melakukan sesuatu yang jauh lebih penting. Mohon kembalilah dengan selamat.”

[Ny. Flambard] "Baik, Tuan Putri.”

Dengan wajah tegang, Nyonya Flambard menundukkan kepalanya dan diam-diam permisi dari kamar Liene.

[Liene] "Aku masih punya waktu."

Liene bergegas bersiap-siap, sehingga ia masih memiliki waktu luang sebelum waktu yang dijanjikan.

[Liene] "Mungkin aku bisa mengerjakan perbaikan pakaian? Pasti ada sesuatu yang belum selesai.”

Namun tubuhnya tidak bergerak. Entah mengapa, ia tak bisa berhenti menatap cermin.

[Liene] "Apa pakaian seperti ini benar-benar cocok untukku...?"

Melihat dirinya dari depan, sulit untuk melihat semua bunga yang telah dipasang Nyonya Flambard di belakang rambutnya.

[Liene] "Aku berharap bisa melihatnya sendiri."

Jika Nyonya Flambard mengatakan Liene terlihat cantik, maka pasti benar, namun Liene tetap ingin memastikan dengan matanya sendiri.

Aku bertanya-tanya... apa dia juga akan menganggapnya menawan...

—'Tiba-tiba, aku pikir kau terlihat begitu menawan.'

Mengingatnya, Liene secara naluriah memejamkan mata—memikirkan kata-kata yang Black ucapkan saat menghujani dirinya dengan ciuman yang membuatnya pusing dan ujung jari kakinya geli, seolah ia melayang di udara.

Laffit tak pernah menahan kata-kata pujian saat membahas kecantikannya. Laffit akan terus-menerus memujinya di akhir setiap kalimat, namun pujiannya tak pernah berhasil menyentuh hati Liene seperti pujian Black.

Dan Liene merasakan hal yang sama tentang penampilan Black. Liene selalu menganggap Laffit tampan, namun penampilan Laffit tak pernah membuat Liene kehilangan waktu seperti yang dilakukan Black.

[Liene] "...Aku merasa gugup."

Saat ia memejamkan mata, bulu matanya bergetar. Liene meraih leher gaunnya, memegang tangannya di dadanya.

Tak pernah sebelumnya, hanya sekadar memikirkan bertemu seseorang membuatnya begitu gugup. Hatinya terasa bergetar. Seperti hal lainnya, ini adalah yang pertama.

[Liene] "Mengapa... hanya dengan pria itu...?"

Liene tak bisa berhenti memikirkan Black. Rasanya pikirannya seperti terperangkap di suatu tempat bersama Black.

Liene menguatkan hatinya, ia berdiri di depan cermin.

[Liene] "Aku tidak bisa. Kalau terus begini, aku mungkin akan benar-benar mulai merasakan kasih sayang untuknya."

Black bukanlah pria yang sanggup ia berikan rasa 'cinta''.

Namun, sebanyak apa pun Liene mencoba mengabaikannya, mungkin sudah sering kata cinta memasuki hatinya. Mungkin sudah terlambat untuk mencoba menahan diri.

"Aku perlu melakukan sesuatu. Aku tidak ingin sampai di ruang makan lebih dulu."

Berpikir ia akan mengerjakan perbaikan pakaian yang ditinggalkan Nyonya Flambard, Liene menuju ruangan tempat wanita itu tinggal. Jaraknya agak jauh dari kamar tidur Liene saat ini. Karena Nyonya Flambard pernah menjadi pengasuhnya, kamarnya berada tepat di seberang aula dari kamar yang Liene gunakan saat kecil.

Saat Liene pergi, ia menyadari kamar Black kosong. Tak ada satu pun suara yang berasal dari sana.

[Liene] "Aku yakin dia belum berada di ruang makan.”

Masih ada kurang dari satu jam sebelum waktu yang dijanjikan.

[Liene] "...Baiklah, mungkin dia sibuk di tempat lain."

Liene mulai berjalan menuju sayap timur tempat kamar Nyonya Flambard berada.

[Mashilow] "Putri!"

Tanpa diduga, ia bertemu Mashilow di tengah jalan.

[Liene] "Mashilow...? Apa yang membawamu ke kastil?”

Sejak Liene mengetahui Mashilow berusaha menulis surat penunjukan ksatria di Kantor Raja, Liene telah melarangnya masuk sendirian. Kini Mashilow hanya diizinkan masuk jika Liene secara pribadi menyetujuinya atau jika ia mengajukan permohonan masuk terlebih dahulu.

[Mashilow] "Tidak bisa dihindari, terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Saya perlu berbicara dengan Anda tentang pembangunan kembali tangga kuil, serta masalah Ksatria Kleinfelter..." Mashilow menjelaskan.

[Liene] "Dan seperti yang telah kita diskusikan, uang untuk tangga akan dibayarkan atas nama Tiwakan. Adapun mengenai ksatria, tidak ada lagi yang ingin kukatakan. Tidak ada yang bisa aku lakukan untukmu sampai Kleinfelter menyetujui harganya terlebih dahulu.”

[Mashilow] "Saya tahu, tapi bukankah kita harus membayar uang muka pada tempat penggalian sebelum konstruksi dimulai? Semakin lama proses ini tertunda, semakin banyak doa para pendeta digantikan dengan ratapan. Mereka tidak tahan lagi, jadi mereka mengirim seseorang untuk berbicara dengan saya.”

[Liene] "Jika begitu, mengapa mereka pergi kepadamu alih-alih langsung datang kepadaku?"

[Mashilow] "Seorang pendeta ada di sini untuk berbicara dengan Anda. Itulah tepatnya mengapa saya masuk kastil. Ada terlalu banyak yang harus dibicarakan.”

[Liene] "Baiklah.”

Liene sedikit terdesak waktu, namun bukan sifatnya menunda urusan politik hanya karena ia ingin makan.

[Liene] "Kalau begitu mari kita selesaikan dengan cepat. Pimpinlah jalannya.”

Liene mengundang Mashilow menuju Kantor Raja.

[Mashilow] “Terima kasih atas izinnya, Putri.”

Mashilow dengan cepat mengikutinya, memimpin dengan langkah terburu-buru dan sesekali melirik sekelilingnya.

Liene seharusnya menyadari saat itu juga bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

Brak!

Pintu tertutup di belakangnya segera setelah Liene memasuki Kantor Raja. Liene menoleh ke belakang karena terkejut, hanya untuk melihat orang yang menutup pintu mengenakan jubah ialah seorang pendeta.

[Liene] "Apa yang terjadi?"

Liene bertanya, matanya bergantian menatap pendeta dan Mashilow. Mashilow hanya menundukkan kepalanya, bergumam.

[Mashilow] "Apa lagi yang bisa saya lakukan... Saya tidak punya pilihan, Putri.”

Pria yang mengenakan jubah itu sebenarnya bukan seorang pendeta.

[???] "Tutup mulutmu dan dengarkan aku, Putri.”

Dengan gerakan cepat, pria itu melepaskan tudung yang menutupi wajahnya. Mendengar suara gerutuan yang sama, Liene langsung mengenali siapa pria itu.

Tak disangka, itu adalah Lyndon Kleinfelter.

Baca Novel A Barbaric Proposal Bahasa Indonesia Chapter 36 Lubang Perangkap (1) oleh Lee Yuna. Baca Novel Terjemahan Korea

[Liene] "Penampilan yang memalukan, Lord Lyndon Kleinfelter. Apa para penjaga Tiwakan sebegitu menakutkan, hingga Anda perlu menyamar sebagai hamba Tuhan?" Liene mencibir.

[Lyndon] "Kukira aku sudah memberitahumu untuk diam. Apa telingamu tersumbat?"

Sarkasme tajam dari Liene segera dibalas dengan cemoohan dari Lyndon.

[Mashilow] "Oh... Tuanku, bagaimana bisa...?"

Tidak mengetahui Lyndon akan bersikap seperti ini pada Putri, wajah Mashilow menjadi pucat dan tangannya gemetar.

Namun, baik Liene maupun Lyndon tidak peduli dengan kata-kata yang mereka gunakan. Hubungan mereka telah mencapai titik terendah—telah melewati titik berpura-pura bersikap ramah.

Dan Liene sendiri lebih suka menggunakan kata-kata kasar untuk melawan dari pada berpura-pura bersikap baik.

[Liene] "Telingaku baik-baik saja. Buang harapan apa pun bahwa aku akan membantumu saat ini dan pergilah. Atau haruskah aku berteriak?"

[Lyndon] "Dasar kau...!"

Lyndon mengangkat tangannya seolah hendak memukul Liene.

Namun itu hanya ancaman kosong. Lyndon sepertinya belum siap melewati batas.

Dan tentu saja, Liene tidak akan menerimanya begitu saja. Jika Lyndon berani mengangkat tangan padanya, ia siap menghantamkan botol tinta ke kepala pria itu.

[Mashilow] "Dengarkan baik-baik... Kau akan membebaskan Laffit hari ini. Kau mendengarku dengan jelas?"

[Liene] "Jika kau pikir aku bisa membebaskannya, maka kau perlu bangun dari mimpi.”

[Lyndon] "Apa!?"

[Liene] "Kau tahu apa yang telah Laffit lakukan. Di tengah kota, ia mencoba membunuh tunanganku di siang bolong! Dan kau ingin aku mengabaikannya dan membiarkannya pergi begitu saja?"

[Lyndon] "Apa masalahnya? Tidak ada yang tidak bisa dilakukan putra tertua Kleinfelter di Nauk!"

Saat kelelahan terlihat di matanya, Liene menatap Lyndon. Jika memang itu yang pria itu pikirkan, ia akan bisa mempertahankan ketenangannya bahkan setelah semua yang telah ia lakukan.

[Liene] "...Aku tidak akan berubah pikiran. Lagipula, tidak ada yang bisa kulakukan. Orang yang bertanggung jawab atas keamanan Nauk sekarang adalah Lord Tiwakan.”

[Lyndon] "Aku dengar dia seperti anjing, berliur begitu kau mengangkat rokmu, Putri, namun kau mengklaim tidak ada yang bisa kau lakukan.”

[Liene] "Cukup!!”

[Lyndon] "L, Lord Kleinfelter! Anda tidak bisa mengatakan hal seperti itu...!"

Sungguh penghinaan yang tak bisa dipercaya, melampaui segala akal sehat. Bahkan Mashilow terkejut hingga menunjuk jari ke arah Kleinfelter.

Wajah Liene memucat saat ia mengepalkan tinjunya yang memutih.

[Liene] "Jangan pernah mengatakan hal seperti itu lagi. Aku tidak akan mengizinkannya dua kali.”

[Lyndon] "Dan jika aku menolak?"

[Liene] "Kau sepertinya tidak mengerti mengapa Laffit masih hidup setelah dengan berani mencoba melakukan pengkhianatan. Aku bersumpah atas nama Arsak, aku tidak bisa mengampuni nyawanya untuk kedua kali."

[Lyndon] "...Sialan!"

Tak mampu mengendalikan amarahnya, Lyndon melontarkan sumpah serapah.

Ia tahu Liene benar.

Pria yang mereka bicarakan adalah pemimpin Tiwakan.

Setelah kecelakaan yang hampir membunuhnya, tak sedikit orang yang menyaksikan Black mengejar Laffit dengan keganasan binatang buas. Jika Black ingin mencabik-cabik Laffit saat itu juga, hampir tidak ada cara untuk menghentikannya.

Meskipun ia takkan pernah mengakuinya, jelas sekali bahwa satu-satunya alasan mengapa keponakannya masih hidup saat ini adalah karena Liene. Gadis kecil yang duduk di singgasana yang ia peroleh secara kebetulan, saat ia sama sekali tidak tahu apa-apa, pasti telah mencoba menyelamatkan nyawa keponakannya.

Ia tahu keponakannya terpikat oleh penampilan cantik Putri hingga kehilangan akal sehat, dan pemimpin Tiwakan yang buas juga begitu.

[Liene] "Kalau begitu mari kita bernegosiasi.”

Yang berarti, tidak ada cara lain untuk mengeluarkan Laffit dari penjara selain membuat kesepakatan dengan Liene.

[Lyndon] "Mari kita bicara mengenai uang, seperti yang selalu kita lakukan. Aku bisa memotong tiga puluh persen dari utangmu dan sebagai imbalannya, kau akan bertanggung jawab untuk menemukan cara mengeluarkan Laffit. Kau mengerti maksudku?"

...Apa Liene mengerti?

Lyndon Kleinfelter entah bagaimana berhasil mempertahankan harga dirinya yang angkuh, meskipun ia datang kepada Liene untuk memohon akan nyawa keponakannya. Hanya mendengar nada suaranya yang kasar, kata-katanya yang diucapkan melalui gigi terkatup, membuat Liene ingin menamparnya.

[Liene] "Hanya tiga puluh persen? Aku tidak tahu nyawa Laffit begitu murah bagimu.”

Liene berkata sambil mengibaskan tangannya, menahan keinginan untuk menamparnya

[Liene] "Berikan tawaran lain.”

[Lyndon] "Apa katamu? Tidak peduli seberapa terobsesi kau dengan uang, Putri. Berbicara seperti itu tidak pantas.”

[Liene] "Mereka yang datang memohon seharusnya bertindak lebih pantas.”

[Lyndon] "Kau kurang ajar..."

Lyndon menunjukkan giginya dan mengeluarkan napas geram. Liene menyipitkan mata ke arahnya.

[Liene] "Silakan menghinaku seratus kali, tidak akan ada yang berubah. Aku sudah menyerah mengharapkan kehormatan atau kesopanan dari orang sepertimu. Sebaliknya, aku hanya meminta kau membayar dengan benar. Alih-alih tiga puluh persen, jadikan lima puluh. Dan aku tidak akan membayar bunga apa pun selama tiga tahun ke depan."

[Lyndon] "Apa kau mencoba memerasku sampai kering?"

[Liene] "Sungguh lucu, ucapan itu datang dari seorang Kleinfelter. Bunga yang telah kau terima selama ini bukanlah jumlah yang kecil, jadi tidak perlu merasa murung.”

Krak. Suara Lyndon mengertakkan gigi terdengar.

[Lyndon] "...Jika aku melakukannya, kau akan melepaskannya sekarang.”

[Liene] "Sama sekali tidak. Berikan padaku surat perjanjian utang terlebih dahulu."

[Lyndon] "Kau pasti bercanda."

[Liene] "Kau seharusnya berterima kasih kepadaku, tapi sepertinya kau tidak memahami posisi orang yang memohon.”

[Lyndon] "... "

Sorot mata Lyndon tiba-tiba berubah. Terlepas dari kehadiran Mashilow, ia berbicara kepada Liene secara informal—tanpa sedikit pun rasa hormat.

[Lyndon] "Beraninya gadis kecil yang mengenakan mahkota yang tidak pantas lalu berbicara padaku dengan banyak omong kosong?"

[Liene] "Siapa yang berbicara seperti itu... Ah!"

Lyndon mengulurkan tangan, dengan kasar dan keras menggenggam pergelangan tangan Liene.

Mashilow berteriak kaget, namun tidak bergerak untuk membantu. Pada akhirnya, penasihat yang pengecut dan penakut itu tidak punya nyali untuk menghentikan Lyndon.

Berusaha keras menarik pergelangan tangannya, Liene menatap tajam ke arah Lyndon.

[Liene] "Lepaskan.”

Sebaliknya, Lyndon justru menggenggam pergelangan tangannya lebih erat, bahkan memelintirnya dengan menyakitkan.

[Lyndon] "Sudah kubilang sebelumnya, tapi kau masih tidak mengerti posisimu. Entah bagaimana, mahkota yang dicuri ayahmu berakhir di tanganmu dan kau pikir kau hebat karenanya. Aku bisa mematahkan lehermu sekarang dan tidak ada yang akan berubah.”

Liene mendorong Lyndon dengan tangan lainnya, suaranya perlahan-lahan naik.

[Liene] "Sepertinya kau sudah pikun. Meskipun begitu, apa yang kau lakukan ada batasannya, jadi lepaskan tanganku.”

Namun Lyndon tidak bergeming. Suaranya berubah suram, giginya terlihat jelas seperti taring anjing rabies.

[Lyndon] "Kembalikan Laffit dengan cara apa pun. Jika tidak, aku akan menghapus keluarga Arsak dari muka bumi dengan kekuatan Kleinfelter.”


Comentarios

Obtuvo 0 de 5 estrellas.
Aún no hay calificaciones

Agrega una calificación

Join Our Mailing List

© Crystal Zee
bottom of page