top of page

A Barbaric Proposal Chapter 2

Updated: 20 hours ago

~Lamaran Berdarah (2)~

Satu sisi pipi pria itu berwarna merah kehitaman. Di nodai oleh darah yang belum sempat mengering sepenuhnya.

[Black] “Ada urusan mendesak yang mendadak muncul, membuatku sedikit terlambat. Silakan, duduk.” 

Pria itu mengulurkan tangan, menunjuk ke tempat yang dimaksud. ……

Tenangkan dirimu. Kau harus tetap tenang. 

Meskipun jelas baru saja terjadi pertempuran sengit, Panglima Tiwakan tetap hadir di tempat yang dijanjikan. Tampaknya pertempuan itu bukan masalah besar baginya.

[Liene] “Aku menghadap Lord Tiwakan. Sungguh aku penasaran, urusan mendesak apakah gerangan yang membuat Tuan menunda pertemuan dengan calon pengantin yang telah Tuan lamar?” 

Liene mengepalkan kedua tangannya erat-erat di balik punggungnya, menciptakan suara yang terdengar begitu tenang, bahkan dirinya sendiri sulit mempercayainya.

[Black] “Terjadi serangan mendadak,” jawab pria itu. ……

Jadi begitu, pikir Liene dalam hati. Pasti itu bantuan yang kami tunggu! Liene menggigit bibir bawahnya, menahan senyum lega yang nyaris merekah. Dia takut, tawa kemenangan yang tak pantas akan meletus begitu saja.

[Liene] “Jika memang terjadi serangan mendadak, bukankah seharusnya Lord  Tiwakan tidak punya waktu untuk berada di sini? Janji dengan Kerajaan Nauk bisa ditunda. Kita bisa menjadwalkannya kembali setelah urusan Tuan selesai.” 

Jika bala bantuan telah tiba, maka segalanya akan berubah. Kerajaan Nauk kini bisa berjuang, bukan hanya menyerah. Pikiran yang sama menyulut kembali percik harapan di mata Weroz. 

Pria itu, yang muncul di hadapan mereka untuk memohon restu lamaran dengan wajah berlumuran darah, seolah tanpa sadar mengusap pipinya.

“Tidak perlu,” gumam Black. Darah menempel di ibu jari yang mengusap pipinya.

Bau darah, batin Liene. Aroma amis menusuk hidungnya, membuat Liene tanpa sadar mengernyit dan melangkah mundur setengah langkah. Itu mungkin darah prajurit Nauk, darah rakyatnya. 

Black mengejar Liene yang menjauh dengan tatapannya.

[Black] “Sekarang, apakah kau berniat menarik kembali persetujuan lamaran?” 

Liene mengatupkan giginya erat-erat, mati-matian menahan getaran di tubuhnya.

“Bu-bukan begitu……” Liene tergagap. 

Matanya, mata yang seperti mata binatang buas. Hanya tatapannya saja sudah terasa seperti lidah lengket yang melilit seluruh tubuhnya, merenggut napasnya. 

Sang pria terus menatap Liene, seolah ingin menjeratnya, sebelum akhirnya ia berucap ke arah luar tenda.

[Black] “Bawa kemari.”

[Prajurit] “Siap, Tuanku.” Suara sahutan datang begitu cepat, seolah para prajurit bayaran Tiwakan memang sudah bersiaga di luar tenda.

Syuuut! Tenda tersibak, dan seorang pengikut pria itu masuk. Di tangannya tergenggam sebilah pedang. Pedang panjang yang biasa digunakan para kesatria dari keluarga bangsawan, dengan hiasan permata pada gagangnya.

[Liene] “I-ini……” Wajah Liene memucat pasi bagai dini hari yang dingin. 

Weroz pun tak kalah terkejutnya. Pedang itu… adalah pedang yang selalu dibawa oleh Komandan Kesatria Keluarga Arsak! Pedang yang tersemat di pinggang kekasihnya, yang berjanji akan kembali dalam sepuluh hari, pada hari keberangkatannya! 

“……Apakah dia sudah…… tiada?” 

Pedang itu berlumuran darah. Darah dengan warna yang sama persis dengan yang menodai pipi pria di hadapannya.

[Black] “Memang ada serangan mendadak,” katanya, suaranya datar dan rendah, tanpa sedikit pun emosi, mengalir lambat memenuhi tenda. “Namun bukan masalah besar. Semuanya sudah beres.”

[Black] “Jadi, bagaimana jawabanmu atas lamaranku?”

Situasi ini hanya memiliki satu arti. Tak ada lagi pilihan tersisa. Bala bantuan tidak akan datang. Kekasihnya, yang seharusnya memimpin bala bantuan, telah tiada. Dibunuh oleh orang barbar di hadapannya.

[Liene] “……Pertama,” 

Liene membuka bibirnya, menatap Lord Tiwakan di seberang meja yang memisahkan mereka. Saat itu juga, dia mengubur dalam-dalam segala pikiran tentang kekasihnya. Tak ada waktu untuk meratapi sang kekasih. 

Prioritas utamanya kini adalah meninggalkan tempat ini dengan selamat. Situasi berubah drastis dalam sekejap. Keadaan sekarang bukan lagi sekadar menerima lamaran atau tidak. 

Pada saat dia seolah setuju untuk menerima lamaran, terjadi serangan, seolah sudah direncanakan sebelumnya. 

Pihak Tiwakan mungkin menganggap ini sebagai jebakan. Para barbar yang marah bisa saja tanpa ragu menggorok lehernya di sini, untuk membalas dendam atas pengkhianatan yang mereka rasakan.

[Liene] “Aku mohon…… sekiranya Tuan berkenan menunjukkan sedikit sopan santun.” Suaranya bergetar tak karuan. Setelah susah payah mengucapkan satu kalimat itu, tenggorokannya terasa perih seolah terkoyak.

Bola mata sang pria bergerak lambat, menelitinya.

[Black] “Sopan santun, katamu?”

[Liene] “Di Kerajaan Nauk, bukanlah suatu kesopanan untuk menghadirkan pedang di tengah meja perundingan lamaran pernikahan.”

[Black] “……” 

Bola mata itu berhenti bergerak, lalu perlahan menyapu pipi Liene. Hanya dengan duduk diam dan menggerakkan pandangannya, pria itu berhasil membuatnya merasa terhina sekaligus diselimuti ketakutan yang mencekam. 

Mungkin karena matanya memang seperti mata binatang buas. Tatapan dari makhluk yang luar biasa kuat, yang memandang mangsa yang begitu lemah dan tak berdaya, yang sama sekali tak mungkin melawan.

[Black] “Baiklah kalau begitu.”

Buk! Panglima Tiwakan mendorong ringan pedang yang tergeletak di atas meja, menjatuhkannya ke lantai. Seolah menunjukkan bahwa ia memiliki alasan sah untuk menggorok leher mereka kapan saja, namun bersikap seolah hal itu tak berarti apa-apa baginya.

[Black] “Aku tidak berniat berlaku tidak sopan,” katanya datar. “Lagipula ini bukan pedang milikku, jadi aku tidak berniat menghunusnya. Pedang ini hanya untuk berjaga-jaga.” 

Di bawah meja, Liene mengepalkan tangannya lebih erat lagi. Kuku-kukunya menggali ke dalam telapak tangannya.

[Liene] “Berjaga-jaga untuk apa maksudnya?”

[Black] “Berjaga-jaga seandainya Putri berubah pikiran dan menolak lamaran.”

[Liene] “……” Anehnya, mata yang terlihat begitu jernih itu tak menunjukkan apa pun yang ada di dalam benaknya. Sulit untuk dibaca.

[Black] “Karena pemilik pedang itu, sekiranya, adalah alasan mengapa Putri bisa menolak lamaranku.”

[Liene] “D-dia……” 

Napas Liene tercekat sejenak. Ternyata dia tahu. Dia tahu bahwa yang melakukan serangan mendadak adalah Komandan Kesatria Keluarga Arsak, dan artinya Liene harus berjuang mati-matian untuk menolak lamaran ini.

“Dia tidak akan kembali,” ucap Panglima Tiwakan Black dengan nada tanpa beban, seolah sedang menyatakan perang. 

Tak ada lagi jalan keluar. Tak ada lagi tempat untuk bersembunyi. Liene harus memberikan jawaban.

[Black] “Jadi, bagaimana dengan lamaran ini?”

[Liene] “……” 

Kuku-kuku yang menusuk telapak tangan akhirnya merobek kulit. Rasa perih yang menyengat justru membantu Liene kembali tersadar. 

Aku tidak bisa menikah seperti ini. Pria ini tidak ingin menikahiku. Tapi dia ingin melahap semuanya. Panglima Tiwakan telah melahap kekasihnya. Dan dia akan melahap Kerajaan Nauk dengan cara yang sama. Aku harus melarikan diri. 

Kini, Liene hanya memiliki satu kartu tersisa untuk digunakan. Kartu bernama ‘kebohongan’.

[Liene] “Sebelum itu, ada hal yang harus Tuan ketahui.”

[Black] “Apa itu?” tanyanya singkat. 

Liene menggigit lidahnya dengan harapan, bagai memanjatkan doa dalam hati. Semoga, semoga saja dia termakan kebohongan ini.

[Liene] “Pemilik pedang itu adalah Komandan Kesatria Keluarga Arsak, dan dia…… dia juga kekasihku. Karena Tuan telah melamar, aku yakin Tuan sudah mengetahuinya, bukan?”

[Black] “Ya, Aku tahu.”

[Liene] “Aku sudah tidur bersama dengan kekasihku.”

[Black] “……” 

Matanya, yang lebih mirip mata binatang buas daripada manusia, berkilat saat menangkap cahaya.

[Liene] “Dan…… sekarang, aku sedang mengandung anaknya.” 

Liene mengeluarkan kartu terakhirnya, kartu pamungkas. Dia yakin, tanpa keraguan sedikit pun, bahwa kartu ini akan membuat lawannya menghentikan permainan. Pria itu tak punya pilihan selain mengakui kekalahan.

[Liene] “Sekarang, apakah Tuan masih ingin meneruskan lamaran ini?”


“Tuan Putri……,” Weroz yang berdiri di belakang Liene, bergumam lirih, wajahnya sepucat kain kafan.

Ketegangan menusuk seluruh tubuhnya bagai jarum es. Tak ada penolakan yang lebih jelas daripada mengatakan bahwa sang putri mengandung anak pria lain. Pria normal mana pun pasti akan menarik lamarannya dan pergi. 

Tapi lawannya ini adalah orang barbar. Weroz berpikir, mungkin saja pria ini mengamuk gila karena merasa terhina. Jika itu terjadi, dia harus melindungi Liene, bahkan dengan tangan kosong sekalipun. 

Namun, si barbar itu tidak menjungkirkan meja, juga tidak mengamuk sambil mengayunkan pedang.

“……Anak,” gumam Black. Dia hanya memiringkan kepalanya sekali, seolah terkejut, lalu bibirnya merekah dalam senyum aneh, nyaris menyeramkan.

[Liene] “Lord Tiwakan pastinya mengharapkan hak memerintah Kerajaan Nauk melalui lamaran ini, bukan?” Liene melanjutkan tanpa jeda, suaranya mengalir lancar, “Jika begitu, Tuan harus tahu. Hak takhta Kerajaan Nauk diwariskan melalui garis darah Arsak. Meskipun Tuan menikah denganku, yang akan menjadi raja berikutnya tetaplah anakaku. Anak yang tidak memiliki setetes pun darah Tiwakan.” 

Itulah satu-satunya hal yang bisa Liene tebak tentang motif Panglima Tiwakan. 

Mengapa pasukan bayaran yang terkenal menguasai medan perang tiba-tiba datang ke kastil kecil di selatan yang hampir tak punya apa-apa, hanya untuk melamar? Mungkin dia ingin menetap sebagai seorang raja. 

Memang tidak banyak jalan bagi pasukan bayaran setelah perang berakhir. Mereka bisa kembali ke kampung halaman masing-masing dengan rampasan perang, atau terus berkeliaran mencari jarahan. Atau, mereka bisa saja menelan habis kerajaan kecil yang lemah. Sebagai penakluk, dia bisa saja menyatakan diri sebagai raja baru, atau berbagi hak memerintah dengan menikahi anggota keluarga kerajaan yang ada. 

Namun, ada masalah. Untuk sepenuhnya menjadi bagian dari garis takhta kerajaan, harus ada ikatan darah. Seperti kata Liene, jika anak yang bukan darah dagingnya menjadi raja berikutnya, semua itu akan sia-sia belaka. Lord Tiwakan hanya akan hidup sebagai suami sang putri, lalu mati tanpa arti. 

Panglima Tiwakan mengerutkan kening. Kerutan kecil itu adalah satu-satunya ekspresi ketidaknyamanan yang diperlihatkannya setelah sekian lama tanpa ekspresi sama sekali.

[Black] “……Harga yang harus dibayar ternyata lebih besar dari yang kukira.” Gumaman itu mengalir perlahan. 

Liene menahan napasnya sampai pria itu selesai bergumam. Matanya yang setajam mata binatang buas yang tidak pernah puas, kini menatap tajam ke arah Liene.

[Black] “Jadi, jika aku mengakui hak takhta anak itu, kau akan menikah denganku?”

[Liene] “……Ap-apa?” 

Liene, yang sudah yakin permintaannya akan ditolak, mengerjap kebingungan, sangat terkejut. 

Reaksi Weroz pun tak jauh berbeda. Baru beberapa saat yang lalu, Weroz mencengkeram erat ketegangan di seluruh tubuhnya, siap menghadapi Penguasa Tiwakan, sang putra dewa perang. Kini, dia hanya bisa ternganga bodoh.

[Black] “Kalau begitu, lahirkanlah dia.”

[Liene] “……”

[Black] “Sebagai gantinya, aku akan memilikimu, Tuan Putri.”

Lamaran telah diterima. Dalam situasi yang sungguh di luar nalar dan sulit dipahami.

[Black] “Aku akan mengantarmu,”

Panglima Tiwakan, dari seorang peminang, kini telah menjadi tunangan sah. Karenanya, Weroz tak bisa lagi memerintahkannya untuk segera mundur, atau melarangnya menyentuh sehelai rambut pun dari Putri Kerajaan Nauk. Dia hanya bisa menggeretakkan giginya dan melangkah mundur satu langkah.

“Sentuhan dirmu masih asing bagiku. Untuk saat ini, izinkan aku menolaknya,” ujar Liene, mundur mengikuti Weroz. 

Hanya mendengar derap langkah pria itu mengikutinya menuju tempat kuda-kuda ditambatkan, bulu kuduknya sudah berdiri.

[Black] “Kau akan terbiasa. Cepat atau lambat, kau memang harus terbiasa.”

[Liene] “Aku……”

[Black] “Pegang ini,” Black mengulurkan tangannya. 

Tangan pria itu, sungguh sebuah kontradiksi. Tangan yang telah membunuh orang seperti memangsa, tangan milik manusia yang bahkan masih berlumuran darah di pipi, terlihat lurus dan sempurna bagai sebuah kebohongan. Memang ada kapalan di bagian yang biasa menggenggam pedang, tetapi jari-jarinya yang panjang terentang lurus bagai milik seorang bangsawan tulen. 

Jika saja ada sedikit saja noda darah di sela kuku-kukunya, Liene mungkin bisa menjadikannya alasan untuk menolak sentuhan. Namun kuku-kuku yang dipangkas rapi itu terlihat sangat bersih, tanpa cela sedikit pun.

[Liene] “……Baiklah.” 

Liene nyaris tak sanggup, namun berhasil meletakkan ujung jari-jarinya di telapak tangan pria. Namun, Panglima Tiwakan tidak menarik dan menggenggam tangannya. Sebaliknya, dia membiarkannya begitu saja, dan dengan tangannya yang lain, pria itu melingkarkan lengan di pinggang Liene.

[Liene] “……Haah.” 

Di tengah napas yang tesekat, dengan satu lengan, pria itu mengangkat tubuh Liene dengan sangat ringan, mendudukkannya di atas pelana kuda. Segalanya terjadi begitu cepat, rasanya sebagian kesadaran Liene menghilang.

Belum sempat Liene berpikir untuk meraih tali kekang kuda, pria itu menyentuh telapak tangannya dengan ujung jarinya.

[Liene] “Ah,” desahnya.

[Black] “Ada luka di sini,” ucap pria itu. 

Rasa perih yang menyengat, menyadarkan Liene. Luka di telapak tangannya, tempat kuku-kukunya menancap dan merobek kulit. Terlalu jelas asal-usul luka itu. 

Liene tanpa sadar menarik tangan untuk menyembunyikannya. Namun belum sempat, pria itu menangkap dan menggenggam erat ujung jari-jarinya.

[Black] “Kau sudah menahan semuanya dengan baik.”

[Liene] “Ap-apa?”

[Black] “Teruslah menahan semuanya seperti itu di masa mendatang. Suatu saat nanti, kau akan terbiasa padaku.” 

Pria itu menyelesaikan kalimatnya perlahan, lalu menundukkan kepalanya, menyentuhkan bibirnya pada telapak tangan Liene yang terluka.

[Liene] “……”

Tak pernah sama sekali terbayangkan oleh Liene. Ia hanya bisa terdiam dengan mulut sedikit terbuka, menatap sang pria.

Novel A Barbaric Proposal Chapter 2

Matahari sore menjelang senja menyinari sang pria, seolah membelainya dengan cahaya keemasan. Sepasang mata berwarna terang miliknya, yang sepenuhnya terekspos di bawah sinar matahari, berkilauan menatap Liene.

[Black] “Pulanglah.”

Pria itu melepaskan tangan Liene, menggantinya dengan menyerahkan tali kekang kuda. 

Tak-tak-tak…… 

Kuda mulai melangkah, berjalan menuju Kastil Kerajaan Nauk. 

Entah mengapa, Liene merasa pria itu masih berdiri di tempatnya, mengawasi kepergiannya, membuatnya menggertakkan gigi.

[Fermos] “Apa sebenarnya yang ada di benak Anda?” 

Begitu Putri Kerajaan Nauk menghilang dari pandangan, Fermos, sang penasihat, buru-buru bersuara, seolah sudah menahan diri sejak tadi.

[Fermos] “Anak?…… Bukan, maksud saya, anak!” Fermos berseru, tak habis pikir. “Bukankah Anda ingin mengambil alih Kerajaan Nauk? Menumpahkan terlalu banyak darah hanyalah urusan yang merepotkan dan tak berarti, jadi Anda memilih jalan lamaran ini. Apakah saya salah paham?” 

Penasihat bernama Fermos memanglah orang yang cerdas. Benda aneh dengan bingkai logam dan lensa bulat yang bertengger di hidungnya bukanlah sekadar hiasan. Dia telah membaca banyak buku dan memiliki pengetahuan yang luas. Dan dia mampu berpikir di luar kebiasaan manusia lainnya. 

Bahkan dia, ketika junjungannya tiba-tiba turun ke selatan dan melamar putri dari kerajaan yang hampir runtuh, tentu saja mengira bahwa yang diinginkan adalah hak memerintah. Dia berpikir, setelah sekian lama berkecimpung di medan perang, junjungannya mungkin sudah lelah dan ingin beristirahat. Maka, dia mengikuti tanpa banyak bertanya. 

Mengepung benteng lemah seperti liburan bagi mereka. Lawan toh pasti akan menyerah. Mereka bahkan sedang berlatih tata krama makan ala bangsawan sambil bercanda, bertanya-tanya apakah mereka akan menjadi bangsawan ketika junjungan mereka menjadi raja. 

Tapi… anak haram? Menerima anak orang lain yang tidak memiliki ikatan darah, yang jelas-jelas akan menjadi bibit perpecahan di kemudian hari? Sungguh perbuatan aneh macam apa ini?

[Black] “Kau tidak salah,” jawab Black datar. “Aku memang menginginkan Kerajaan Nauk.”

[Fermos] “Kalau begitu, belum terlambat! Jangan menyerahkan hak memerintah kepada anak itu! Apa pun yang Tuan minta, mereka tak punya cara untuk menolaknya. Bukankah jelas apa akibatnya jika mereka menolak?” 

Black mengalihkan pandangannya dari punggung Liene yang telah menghilang. Fermos merasa ada sesuatu yang berbeda dari mata junjungannya kali ini, sesuatu yang tidak biasa. Jawabanya mengalir perlahan, bagai aliran Sungai Ebet di Nauk yang perlahan mengering.

[Black] “Yang kuinginkan…… juga termasuk Tuan Putri Nauk."


Comentarios

Obtuvo 0 de 5 estrellas.
Aún no hay calificaciones

Agrega una calificación

Join Our Mailing List

© Crystal Zee
bottom of page